Minggu, 21 April 2024

Haruskah Menjadi Sempurna Dulu Untuk Bisa Menasehati Dan Mengingkari Kemungkaran ?





 

Haruskah Menjadi Sempurna Dulu Untuk Bisa Menasehati Dan Mengingkari Kemungkaran ?


 فيه فرق بين أن تنصح غيرك وأنت عاجز عن العفل، وبين أن تنصح غيرك و أنت قادر على الفعل

“Bedakan, antara Anda menasehati seorang, sementara Anda belum ada daya untuk melakukan apa yang Anda nasehatkan. Dengan Anda menasihati seorang,  sementara Anda mampu melakukan apa yang Anda nasehatkan.”

     Jadi ada dua jenis orang dalam masalah ini:
■  Petama, adalah orang yang menasehati orang lain, namun dia belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang ia sampaikan, atau meninggalkan kemungkaran yang ia larang.
■  Yang kedua, adalah orang yang menasehati orang lain sementara sejatinya dia mampu untuk melakukan pesan nasehat yang ia sampaikan. Akan tetapi justru mengabaikan kemampuannya dan ia terjang sendiri nasehatnya,  tanpa ada rasa bersalah dan menyesal. Ia merasa nyaman dan biasa-biasa saja dengan tindakan tidak terpuji tersebut

     Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif (كتاب لطائف المعارف)  Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata :

فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده

“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang makshum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi ﷺ. Karena sepeninggal Nabi tidak ada lagi yang makshum.” (silahkan lihat Lathaif Al-Ma’arif)

     Dalam bait sya’ir disebutkan,

لئن لم يعظ العاصين من هو مذنب … فمن يعظ العاصين بعد محمد

“Jika orang yang berbuat dosa tidak boleh memberi nasihat pada yang berbuat maksiat, maka siapa tah lagi yang boleh memberikan nasihat setelah (Nabi) Muhammad (wafat)?” (silahkan lihat Lathaif Al-Ma’arif)

وروى ابن أبي الدنيا بإسناد فيه ضعف عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "مروا بالمعروف وإن لم تعملوا به كله وانهوا عن المنكر وإن لم تتناهوا عنه كله" 

     Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad yang dha’if, dari Abu Hurairah, dari Nabi , “Perintahkanlah pada yang makruf (kebaikan), walau engkau tidak mengamalkan semuanya. Laranglah dari kemungkaran walau engkau tidak bisa jauhi semua larangan yang ada.” (silahkan lihat Lathaif Al-Ma’arif)

وقيل للحسن: إن فلانا لا يعظ ويقول: أخاف أن أقول مالا أفعل فقال الحسن : وأينا يفعل ما يقول ود الشيطان أنه ظفر بهذا فلم يأمر أحد بمعروف ولم ينه عن منكر 

     Ada yang berkata pada Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah,
“Sesungguhnya ada seseorang yang enggan memberi nasihat dan ia mengatakan, “Aku takut berkata sedangkan aku tidak mengamalkannya.” Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Apa ada yang mengamalkan setiap yang ia ucapkan?” Sesungguhnya syaithan itu suka manusia jadi seperti itu. Akhirnya, mereka enggan mengajak yang lain dalam perkara yang makruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran.

وقال مالك عن ربيعة: قال سعيد بن جبير: لو كان المرء لا يأمر بالمعروف ولا ينهى عن المنكر حتى لا يكون فيه شيء ما أمر أحد بمعروف ولا نهى عن منكر قال مالك: وصدق ومن ذا الذي ليس فيه شيء:

من ذا الذي ما ساء قط ... ومن له الحسنى فقط

     Malik berkata dari Rabi’ah bahwasanya Sa’id bin Jubair berkata, “Seandainya seseorang tidak boleh beramar makruf nahi mungkar (saling mengingatkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, pen.) kecuali setelah bersih dari dosa, tentu ada yang pantas untuk amar makruf nahi mungkar.” Malik lantas berkata, “Iya betul. Siapa yang mengaku bersih dari dosa?”
Dalam bait sya’ir disebutkan,

“Siapa yang berani mengaku telah bersih dari dosa sama sekali. Siapa yang mengaku dalam dirinya terdapat kebaikan saja (tanpa ada dosa, pen.)?”

خطب عمر بن عبد العزيز رحمه الله يوما فقال في موعظته: إني لأقول هذه المقالة وما أعلم عند أحد من الذنوب أكثر مما أعلم عندي فاستغفر الله وأتوب إليه وكتب إلى بعض نوابه على بعض الأمصار كتابا يعظه فيه وقال في آخره: وإني لأعظك بهذا وإني لكثير الإسراف على نفسي غير محكم لكثير من أمري ولو أن المرء لا يعظ أخاه حتى يحكم نفسه إذا لتواكل الخير وإذا لرفع الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وإذا لاستحلت المحارم وقل الواعظون والساعون لله بالنصيحة في الأرض والشيطان وأعوانه يودون أن لا يأمر أحد بمعروف ولا ينهى عن منكر وإذا أمرهم أحد أو نهاهم عابوه بما فيه وبما ليس فيه

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkhutbah pada suatu hari. Ia menasihati, “Sungguh aku berkata dan aku lebih tahu bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki dosa lebih banyak dari yang aku tahu ada pada diriku. Karenanya aku memohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz juga pernah menuliskan surat berisi nasihat pada beberapa wakilnya yang ada di berbagai kota :
“Aku beri nasihat seperti ini. Padahal aku sendiri telah melampaui batas terhadap diriku dan pernah berbuat salah. Seandainya seseorang tidak boleh menasihati saudaranya sampai dirinya bersih dari kesalahan, maka tentu semua akan merasa dirinya telah baik (karena tak ada yang menasihati, pen.). Jika disyaratkan harus bersih dari kesalahan, berarti hilanglah amar makruf nahi mungkar. Jadinya, yang haram dihalalkan. Sehingga berkuranglah orang yang memberi nasihat di muka bumi. Setan pun akhirnya senang jika tidak ada yang beramar makruf nahi mungkar sama sekali. Sebaliknya jika ada yang saling menasihati dalam kebaikan dan melarang dari kemungkaran, setan akan menyalahkannya. Setan menggodanya dengan berkata, kenapa engkau memberi nasihat pada orang lain, padahal dirimu sendiri belum baik.”
(silahkan lihat Lathaif Al-Ma’arif, https://shamela.ws/book/11363/7)

     Penjelasan tersebut bukan berarti kita boleh tetap terus dalam maksiat. Pemaparan Ibnu Rajab hanya ingin menekankan bahwa jangan sampai patah semangat dalam menasihati orang lain walau diri kita belum bisa baik atau belum sempurna. Yang penting kita senantiasa berupaya memperbaiki diri. Dan tetap saja yang lebih baik adalah ilmu itu diamalkan, baru didakwahkan. الله Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi الله bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash- Shaff: 2-3).

Senin, 08 April 2024

Bulan Ramadhan Akan Segera Pergi Meninggalkan Kita



 

Bulan Ramadhan Akan Segera Pergi Meninggalkan Kita

Wahai hamba الله, bulan Ramadhan telah bersiap-siap untuk pergi..

Tidak ada lagi yang tersisa kecuali saat-saat yang singkat.

Barangsiapa yang telah melakukan kebaikan selama ini, hendaklah ia menyempurnakannya..

Barangsiapa yang malah sebaliknya, hendaklah ia memperbaikinya dalam waktu yang masih tersisa. Karena ingatlah amalan itu dinilai dari akhirnya.

Rasulullah pernah bersabda:

إنما الأعمال بالخواتيم (رواه البخاري).

“Sesungguhnya amalan-amalan (seorang hamba) itu tergantung pada amalan-amalan penutupnya.” (HR. Al-Bukhari).

Manfaatkanlah malam-malam dan hari-hari Ramadhan yang masih tersisa,

Serta titipkanlah amalan sholih yang dapat memberi kesaksian kepadamu nantinya di hadapan الله Sang Penguasa Hari Pembalasan

     Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

كيف لا تجرى للمؤمن على فراقه دموع وهو لا يدري هل بقي له في عمره إليه رجوع

"Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, Sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi." (lihat Lathaif Al-Ma’arif 217)

     Para ulama salafush sholih biasa bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amal dan bersungguh-sungguh ketika mengerjakannya. Setelah itu, mereka sangat berharap amalan tersebut diterima dan khawatir bila tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam ayat,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang penuh khawatir, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka” (QS. Al Mu’minun: 60).”

     Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman الله Ta’ala,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27)”

     Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

“Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada Bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan).” (lihat Latha’if Al-Ma’arif hal. 232)

     Di penghujung Ramadan ini, marilah kita memperbanyak istighfar dan memohon ampun kepada Allah, atas segala kekurangan kita dalam menjalankan ketaatan di bulan yang mulia ini.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار       

Malam Selasa 30 Ramadhan 1445 H Diperkirakan Ada Gerhana Matahari


 

Rabu, 03 April 2024

Shadiqaka Man Shadaqaka Laa Man Shaddaqaka



 


Shadiqaka Man Shadaqaka Laa Man Shaddaqaka
ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ

“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”

Jika engkau memiliki sahabat seperti itu, maka genggam tanggannya..
Jangan pernah engkau lepaskan..
Semoga menjadi sahabat di dunia dan akhirat..
Serta saling memberikan syafa’at di akhirat.

     Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

إذا كان لك صديق يعينك على الطاعة فشد يديك به فإن اتخاذ الصديق صعب ومفارقته سهل

“Jika engkau memiliki sahabat yang membantumu dalam ketaatan maka genggam erat ia, karena menjadikan teman itu susah dan melepasnya sangat mudah.” (lihat Hilyah al-Auliya’ 4/101)

     Hasan Al- Bashri rahimahullah berkata :

استكثروا من الأصدقاء المؤمنين فإن لهم شفاعة يوم القيامة

”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari klamat.” (lihat Ma’alimut Tanzil 4/268)

     Rasulullah bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

حتى إذا خلص المؤمنون من النار، فوالذي نفسي بيده، ما منكم من أحد بأشد مناشدة لله في استقصاء الحق من المؤمنين لله يوم القيامة لإخوانهم الذين في النار، يقولون: ربنا كانوا يصومون معنا ويصلون ويحجون، فيقال لهم: أخرجوا من عرفتم، فتحرم صورهم على النار، فيخرجون خلقا كثيرا قد أخذت النار إلى نصف ساقيه، وإلى ركبتيه، ثم يقولون: ربنا ما بقي فيها أحد ممن أمرتنا به، فيقول: ارجعوا فمن وجدتم في قلبه مثقال دينار من خير فأخرجوه، فيخرجون خلقا كثيرا، ثم يقولون: ربنا لم نذر فيها أحدا ممن أمرتنا…

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi الله, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada الله untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: Wahai Rabb kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.

Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.

Para mukminin inipun MENGELUARKAN BANYAK SAUDARANYA yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.

Kemudian orang mukmin itu lapor kepada الله, ”Ya Rabb kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.”

Maka الله berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.”

Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas…” (HR. Muslim no. 183).

Tolok Ukur Kebenaran "Kembali Kepada Al Qur'an Dan As Sunnah Dengan Pemahaman Para Shahabat"


Tolok Ukur Kebenaran "Kembali Kepada Al Qur'an Dan As Sunnah Dengan Pemahaman Para Shahabat"

     Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

"Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih).

لماذا يجب ان نفهم القرآن والسنة على فهم الصحابة رضي الله عنهم؟
قال العلامة ابن القيم رحمه الله تعالى : "أفهام الصحابة فوق أفهام جميع الأمة، وعلمهم بمقاصد نبيهم ﷺ ، وقواعد دينه وشرعه، أتمّ من عِلم كل مَن جاء بعدهم."  (الطرق الحكمية ٣٢٤/١)

■  Mengapa Kita Wajib Memahami Al Qur'an Dan As Sunnah Dengan Pemahaman Para Shahabat ?
Al Allamah Ibnul Qayyim رحمَـہ الله تَعـَالَـى berkata : "Pemahaman Shahabat رضي اللّه عنهم diatas pemahaman seluruh umat. Dan ilmu mereka tentang maksud tujuan Nabi ﷺ dan kaidah-kaidah agamanya dan syari'atnya lebih sempurna daripada ilmu setiap orang yang hidup setelah mereka." (lihat At Turuqul Hikmiyyah : 1/324)
 

Senin, 01 April 2024

Doa Yang Diajarkan Rasulullah ﷺ Ketika Lailatul Qadar



 

Doa Yang Diajarkan Rasulullah ﷺ Ketika Lailatul Qadar



عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

     Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah , yaitu jika saja aku tahu bahwa suatu malam adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul , “Berdoalah: ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ’ANNII (artinya: Ya الله, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf (menghapus kesalahan), karenanya maafkanlah aku (hapuslah dosa-dosaku).” (HR. Tirmidzi, no. 3513 dan Ibnu Majah, no. 3850. Abu ‘Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

    Dari Abdullah bin Buraidah, bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha, pernah mengatakan :

لَوْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِي فِيهَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ

“Jika saya tahu bahwa suatu malam itu adalah lailatul qadar, tentu doa yang paling banyak kuucapkan di malam itu, aku meminta kepada الله al afwu (pemaafan/ampunan) dan al-'afiyah (terbebas dari masalah).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 29189. Al-Albani menilai riwayat ini shahih. Lihat Silsilah as–Shahihah, 7:1011).

قال ابن رجب :
وإنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها وفي ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا ولا حالا ولا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر قال يحيى بن معاذ: ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو.
https://shamela.ws/book/11363/206

     Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“Sesungguhnya perintah memohon al-‘afwu (pemaafan, penghapusan dosa) pada malam lailatul qadar setelah kita bersungguh-sungguh beramal di dalamnya dan di sepuluh hari terakhir Ramadhan, ini semua agar kita tahu bahwa orang yang arif (bijak) ketika sungguh-sungguh dalam beramal kemudian ia tidak melihat amalan yang ia lakukan itu sempurna dari sisi amalan, keadaan, maupun ucapan. Karenanya ia meminta kepada Allah al-‘afwu (pemaafan) seperti keadaan seseorang yang berbuat dosa dan merasa penuh kekurangan.”

Yahya bin Mu’adz pernah berkata,

ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو

“Bukanlah orang yang arif (bijak) jika ia tidak pernah mengharap pemaafan (penghapusan dosa) dari Allah.” (lihat Lathoiful Ma’arif).


Malam Selasa, 23 Ramadhan 1445 H

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...