Bagi seorang muslim kemerdekaan yang haqiqi adalah menjadi hamba Allah sepenuhnya dan merasa bahagia dengan menunaikan hak Allah dalam tauhid. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan mengenai hal ini, beliau berkata,
“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”. (lihat Al-Majmu’ Al-Fatawa 8/306)
Itu sebuah kenyataan bahwa manusia berada di antara dua pilihan, menjadi hambanya Allah atau menjadi hambanya selain Allah dan tiada pilihan ketiga.
Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah dalam Nuniyyah-nya mengatakan: “Mereka lari dari penghambaan (kepada Allah) yang mereka diciptakan untuknya.. akhirnya mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan syaithan..”
Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan حفظه اللّه تعالى :
“Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya memerdekaan akal, memerdekakan seorang hamba dari kekangan hawa nafsu dan syahwat, dari pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dan ganjil, bahkan memerdekakan manusia dari peribadatan kepada pepohonan, bebatuan, syaithan, dan thogut, inilah kemerdekaan yang benar, yakni dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun menyelsihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka inilah perbudakan bukan kemerdekaan, sehingga mereka menjadi budak-budak bagi hawa nafsunya, bagi pemikiran dan keinginannya, dan menjadi budak-budak kepada siapa yang mereka ikuti di atas kesesatan.”
📖 lihat Bayanul Ma’ani fii syarhi Muqoddimah Ibnu Abi Zaid al-Qoirawani, hal. 91
https://m.youtube.com/watch?v=TKHsc01SDXE
'Id adalah hari perayaan yang dilakukan secara rutin, baik setiap tahun, setiap bulan, atau setiap pekan. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim. Sehingga dari pengertian ini, yaumul wathoni (hari perayaan kemerdekaan) termasuk Id, karena berulang setiap tahun sekali.
Rasulullah ﷺ bersabda :
“Setiap kaum memiliki 'Id sendiri, dan 'Idul Fithri ini adalah 'Id kita (kaum Muslimin).” (HR. Bukhari no. 952, 3931, Muslim no. 892)
Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa 'Id termasuk bagian dari agama. Artinya bahwa dalam 'Id mengandung perkara ibadah. Oleh karena itu para ulama juga menghukumi perayaan-perayaan semacam perayaan maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan Yaumul Wathani (hari kemerdekaan) sebagai perkara bid'ah. Dan perkara bid'ah telah jelas hukumnya sebagaimana dalam hadits :
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” (HR Muslim no. 1718)
Andaikan mereka menolak bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk tasyabbuh dan bidah, maka terdapat larangan khusus mengenai hal ini, yaitu Rasulullah ﷺ melarang umatnya membuat 'Id baru selain dua hari 'Id yang sudah ditetapkan syariat. Hal ini diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu :
“Di masa Rasulullah ﷺ baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang.
Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’
Warga Madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang.’
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Daud, 1134, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/119, disahihkan Al Albani dalam Sahih Abi Daud, 1134)
Dalam hadits ini, 'Id yang dirayakan penduduk Madinah ketika itu bukanlah hari raya yang terkait ibadah. Bahkan hari raya yang hanya hura-hura dan senang-senang. Namun tetap dilarang oleh Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan terlarangnya membuat 'Id baru selain dua hari 'Id yang sudah ditetapkan syariat, baik Id tersebut tidak terkait dengan ibadah, maupun terkait dengan ibadah.
☆ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’
“Kemudian jika 'Id diselenggarakan dalam rangka taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala serta pengagungan sesuatu, atau di dalamnya terdapat unsur tasyabbuh kepada orang Jahiliyyah atau semacam mereka, misalnya menyerupai orang kafir, maka yang demikian ini termasuk bidah dan terlarang, karena termasuk dalam keumuman sabda Nabi ﷺ: “Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak” (HR. Bukhari-Muslim)
Contohnya perayaan Maulid Nabi, perayaan Hari Ibu, dan perayaan Hari Kemerdekaan. Contoh yang pertama, termasuk membuat-buat ritual ibadah baru yang tidak diizinkan oleh Allah. Yang demikian juga merupakan tasyabbuh terhadap orang Nasrani dan kaum kuffar lainnya. Sedangkan contoh kedua dan ketiga, termasuk tasyabbuh terhadap kaum kuffar.” (lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 3/88)
☆ Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Adapun Yaumul Wathani atau perayaan Yaum Wathani, atau perayaan Malam Raghaib, semua ini merupakan kebidahan, dan menyerupai kebiasaan para musuh Allah.” ( sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/2365/%D8%AD%D9%83%D9%85 )
☆ Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Syaikh Muhammah bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
“Semua perayaan yang bertentangan dengan perayaan-perayaan yang syari, semua adalah perayaan yang bidah. Tidak dikenal di zaman Salafus Shalih. Dan terkadang awal kemunculannya berasal dari kaum non-Muslim. Sehingga selain bidah, perayaan seperti itu juga menyerupai musuh-musuh Allah subhanahu wa taala. Dan perayaan yang disyariatkan dalam Islam adalah: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari raya pekanan yaitu Jumat. Dalam Islam tidak ada hari raya lagi selain tiga hari raya ini.” (lihat Majmu Fatawa Ibnu Al Utsaimin, 2/301)
☆ Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata :
“Diantara bentuk mengekor kepada orang kuffar dalam mengadakan perayaan-perayaan yang mengandung syirik dan bid’ah adalah seperti perayaan Maulid Nabi di hari kelahiran Rasulullah ﷺ. Demikian juga perayaan di hari-hari kelahiran para tokoh dan pemimpin. Terkadang perayaan ini dinamakan dengan ‘hari perayaan’ atau kadang dengan ‘pekan raya’. Contohnya seperti: perayaan hari kemerdekaan” (Dari khutbah beliau berjudul “Al Hatsu ‘ala Mukhalafatil Kuffar”, bisa dilihat di: https://khutabaa.com/khutabaa-section/corncr-speeches/172870).
Maka tidak selayaknya mengikuti perayaan-
perayaan demikian. Terlebih lagi ketika di dalamnya banyak sekali hal yang bertentangan dengan syariat, seperti musik, nyanyian, ikhtilath (campur-baur lelaki dan wanita), berjoget, dll. Demikian juga termasuk perbuatan tabdir dengan menghambur-hamburkan harta untuk perkara yang tiada manfaat bahkan untuk perkara yang Allah haramkan serta keburukan-keburukan lain yang sangat banyak. Wa na'udzubillah..
Adapun jika ada fatwa yang membolehkan ‘id yang sifatnya duniawi (bukan religi), maka ini keliru karena:
(1) Dalam hadits Anas bin Malik, mengenai hari raya Nairuz dan Mahrajan, Nabi ﷺ tetap melarangnya walaupun isinya hanya senang-senang, bukan hari raya agama
(2) Nabi bersabda, “setiap kaum memiliki id”. Maka id adalah ciri khas suatu kaum, baik sifatnya duniawi atau pun religi. Sehingga termasuk dalam hadits larangan tasyabbuh.
(3) Nabi dan para Shahabat tidak merayakan hari Kemenangan Perang Badar, tidak merayakan Dies Natalis Kota Madinah, tidak merayakan Hari Fathul Makkah dan semisal.
(4) Perayaan tersebut tiada Salafny dan menyelisihi hujjah fatwa para ulama kibar.
(5) Membuka pintu untuk membolehkan perayaan-perayaan seperti: hari ulang tahun, hari ibu, hari valentine, halloween, dll. yang sifatnya hanya perkara duniawi.
Namun jangan disalah-pahami bahwa kami tidak cinta kepada Indonesia dan tidak bersyukur dengan kemerdekaan. Tentu saja kita sangat-sangat bersyukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan dan keamanan yang besar ini. Dan kami pun cinta Indonesia sebagai negeri kaum Muslimin dan negeri tempat kami lahir dengan cinta yang benar.
Kemudian rasa syukur dan rasa cinta ini tidak mesti diungkapkan dengan bentuk suatu perayaan yang ternyata ini dilarang oleh syariat. Namun rasa syukur dan rasa cinta bisa kita ungkapkan dengan :
(1) Memberikan kontribusi bagi kemajuan dan pembangunan tanah air sesuai kemampuan
(2) Berusaha menaati peraturan-peraturan negara selama tidak bertentangan dengan syari'at Allah. Misalnya: taat aturan lalu lintas, taat administrasi (memiliki KTP, KK, akta lahir), memelihara fasilitas umum, dll
(3) Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan : tidak merokok, tidak buang sampah sembarangan, meminimalisir polusi, dll
(4) Memajukan pendidikan anak dan ikut berupaya mencerdaskan masyarakat
(5) Menggunakan produk dalam negeri dan memajukan usaha lokal
(6) Menjaga keamanan tanah air, mencegah terorisme dalam bentuk apapun dan penjajahan asing.
(7) Dan perkara-perkara lain yang lebih konkret daripada sebuah perayaan.
Semoga Allah ta’ala memberikan keberkahan kepada tanah air kita dan menjaganya dari makar orang-orang yang menyimpang dan para perusak.