Selasa, 25 Oktober 2022

BENARKAH IHTIFAL/PERAYAAN MAULID NABI TERMASUK BID'AH HASANAH?

 


 BENARKAH IHTIFAL/PERAYAAN MAULID NABI 
TERMASUK  BID'AH HASANAH?


بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59).


Bab 1. Dinnul Islam Telah Sempurna

     Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian.”  (QS. Al Maidah : 3).
      Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata, “Ini adalah nikmat Allah terbesar bagi umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada agama yang lain dan Nabi lain selain nabi mereka. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia. Tiada yang halal kecuali apa yang ia halalkan, tiada yang haram kecuali yang ia haramkan dan tiada agama kecuali yang ia syariatkan. Segala sesuatu yang ia kabarkan adalah benar, jujur tiada kedustaan, dan tiada penyelewengan padanya…”

    Ummul-Mukminin ’Aisyah radhiyallaahu ’anhaa berkata:

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)

“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) (HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177).

    Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah di Arafah berkata di hadapan ribuan para sahabatnya,

أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟

“Bukankah sudah kusampaikan?”
Mereka pun menjawab, “Ya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengangkat tangannya ke langit dan menunjukannya pada mereka seraya berkata,

(xاللَّهُمَّ اشْهَدْ ( 3

“Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah.” (HR. Muslim).

     Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :

سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"

”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].



Bab 2. Kewajiban Berpegang Teguh Kepada As Sunnah

     Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi).

     Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan ciri-ciri Firqah Najiyah (satu kelompok yang selamat dari neraka) dalam hadits tentang perpecahan umat dengan sabdanya:

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

“Orang yang mengikuti aku dan para sahabatku”.

     Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Hendaklah kalian ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”  (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih).

     Beliau juga berkata:

إنَّا نَقْتَدِي وَلَا نَبْتَدِي، وَنَتَّبِعُ وَلَا نَبْتَدِعُ، وَلَنْ نَضِلَّ مَا تَمَسَّكْنَا بِالأَثَرِ

“Sesungguhnya kewajiban kita adalah meneladani dan bukan menyelisihi, mengikuti dan bukan melakukan bid’ah, kita tidak akan pernah menyimpang selagi berpedoman kepada atsar (peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya).”

     Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan As Sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya).

     Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” ( Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219).

     Ubay bin Ka’ab berkata:

عَلَيْكُمْ بِالسَّبِيلِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ عَلَى سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ ذَكَرَ الرَّحْمَنَ عَزَّ وَجَلَّ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَمَسَّهُ النَّارُ أَبَدًا، وَإِنَّ اقْتِصَادًا فِي سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنِ اجْتِهَادٍ فِي خِلَافِ سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ.

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan jalan yang lurus dan Sunnah, karena tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang akan disentuh neraka selamanya, selagi ia berada di atas jalan yang benar dan Sunnah, di mana ia ingat kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, lalu berderai air matanya karena takut kepada Allah ‘Azza wa jalla. Dan sesungguhnya sederhana dalam jalan kebenaran dan jalan Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan kebenaran dan menyelisihi Sunnah”.

     Al-Auzaa’i berkata:

اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَةِ وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ وَاسْلُكْ سَبِيلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ فَإنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ

“Sabarkanlah dirimu di atas Sunnah, berhentilah di mana para sahabat berhenti, berkatalah dengan apa yang mereka katakan (yakini ucapan mereka), tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih (Salaf Shalih), karena apa yang telah mencukupi mereka, juga akan mencukupimu”

Beliau juga berkata:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مِنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوهَا لَكَ بِالقَوْلِ

“Hendaknya kalian berpedoman kepada atsar Salaf (dalam beragama), walaupun orang-orang menentangmu. Dan jauhilah opini-opini (pendapat, pikiran, pendirian) orang (dalam urusan beragama), walaupun mereka menghiasi opininya dengan ucapan indah”.

     Imam Ahmad rahimahullah berkata:

أُصُولُ السَّنَةَ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ

“Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang dianut oleh para sahahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah”.

عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا

Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada ilah yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Robb-nya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi).



Bab 3. Allah Mengadzab Bukan Lantaran Sholatmu, Bacaan Al Qur'an Atau Dzikir..Akan Tapi Allah Mengadzabmu Karena Menyelisihi Sunnah Nabi


عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].

     Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).

عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال

     Dari Nafi’ bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
     Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

    Dari Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah seorang tabi’in, bahwa ia pernah melihat seorang yang shalat dua raka’at setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at, ia melakukan banyak rukuk dan sujud. Maka Sa’id melarangnya melakukan hal itu, lalu lelaki itu berkata kepada Sa’id:
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ، أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلَاةَ ؟!

“Wahai Abu Muhammad, apakah Allah subhanahu wata’ala akan mengadzabku atas shalatku ini?!” Sa’id menjawab:

لَا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ

“Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu lantaran kamu menyelisihi sunnah.” (Ad-Darimi: 1/404, Al-Baihaqi: 2/466, Abdurrazaq: 4755)
     Apa yang diucapkan oleh Sa’id rahimahullah ini adalah berdasarkan dalil. Orang yang menyelisihi sunnah (tuntunan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan mendapat adzab sebagaimana firman Allah:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An-Nur: 63)
     Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Ini termasuk di antara jawaban cerdas Sa’id bin Al-Musayyib, dan menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi para pelaku bid’ah yang kebanyakan mereka menganggap bid’ah-bid’ah yang mereka lakukan adalah kebaikan, dengan atas nama dzikir atau shalat. Lalu ketika Ahlussunnah memberi peringatan kepada mereka tentunya mereka tidak terima, bahkan menuduh bahwa Ahlussunnah mengingkari dzikir dan shalat. Padahal sebenarnya yang diingkari oleh Ahlussunnah adalah karena mereka menyelisihi sunnah dalam melakukan dzikir dan shalat, begitu juga dengan yang lainnya.” (al-Irwa’: 2/236).

     Oleh sebab itu, ibadah tidak cukup hanya didasarkan dengan niat yang baik saja, namun harus sesuai juga dengan sunnah (tuntunan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Niat yang baik (ikhlas) dan mengikuti tuntunan Rasulullah, inilah dua syarat diterimanya ibadah.



Bab 4. Tanggal Dan Bulan Kelahiran Nabi Muhammad Diperselisihkan Dan Tiada Ijma' Sebagaimana Natal Kelahiran Nabi Isa

     Kaum muslimin sepakat Nabi dilahirkan pada hari Senin berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim).
     Adapun terkait tanggal dan bulan kelahiran Nabi tiada ijma' dan diperselisihkan sehingga tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti.

Bulan Kelahiran

     Ada perselisihan di kalangan ulama tentang bulan kelahiran Nabi ﷺ, tetapi yang masyhur sebagaimana pendapat mayoritas ulama adalah bulan Rabi’ul Awal, bahkan Ibnul Jauzi rahimahullah menukil ijma’ tentangnya. Ada pendapat lain yaitu bulan Rojab tetapi ini tidak benar. Ada juga yang berpendapat bulan Ramadhan tetapi ini juga tidak benar.

     Ibnu Katsir berkata tentang pendapat terakhir ini: “Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dari Zubair bin Bakkar, tetapi ini pendapat yang aneh sekali”. (Al-Bidayah wa Nihayah) Dalam sumber lainnya beliau mengatakan: “Zubair bin Bakkar berkata: “Nabi dilahirkan pada bulan Ramadhan”, pendapat ini ganjil, diceritakan oleh as-Suhaili dalam Roudh-nya”. (Al-Fushul fi Siratir Rasul)

Tanggal Kelahiran

     Tanggal kelahirannya, maka diperselisihkan ulama secara tajam sebagai berikut:
(1) Tanggal 2 Rabi’ul Awal. Dikatakan Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab. Dan al-Waqidi meriwayatkannya dari Abu Ma’syar Najih bin Abdirrahman al-Madani.
(2) Tanggal 8 Rabi’ul Awal. Diceritakan al-Humaidi dari Ibnu Hazm. Malik, Uqail, Yunus bin Yazid dan lain-lain meriwayatkannya dari Zuhri dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im. Ibnu Abdil Barr menukil dari para ahli sejarah bahwa mereka menguatkan pendapat ini. Dikuatkan juga oleh al-Hafizh Muhammad bin Musa al-Khowarizimi dan al-Hafizh Abul Khaththab Ibnu Dihyah dalam kitabnya at-Tanwir fi Maulid al-Basyri an-Nadhir.
(3) Tanggal 10 Rabi’ul Awal. Ibnu Asakir meriwayatkannya dari Abu Ja’far al-Baqir, dan Mujalid meriwayatkannya dari Sya’bi.
(4) Tanggal 12 Rabi’ul Awal. Ditegaskan oleh Ibnu Ishaq. Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf-nya dari ‘Affan dari Sa’id bin Mina dari Jabir dan Ibnu Abbas, keduanya berkata: “Rasulullah ﷺ dilahirkan tahun gajah hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal”. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ahli ilmu.
(5) Tanggal 17 Rabi’ul Awal. Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Dihyah dari sebagian Syi’ah. (al-Bidayah wa Nihayah dan Lathoiful Ma’arif)

     Semua pendapat di atas tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi ﷺ adalah tanggal 12 Rabi’ul Awal tidak shahih, seandainya saja shahih tentu akan menjadi hakim dalam masalah ini. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut: “Sanadnya terputus”. (Al-Bidayah wa Nihayah)

     Karena penentuan hari kelahirannya tidak ada yang shahih, maka tidak masalah dinukil di sini pendapat ahli falak, di mana banyak di antara mereka berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabi’ul Awal, seperti Al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri, dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan:
“Dalam kitab-kitab sejarah dan sirah dikatakan bahwa Nabi lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April tahun 571 tahun gajah, sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabi’ul Awal tahun 11 dari hijrah yang bertepatan dengan 8 Khoziron tahun 632. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya secara jeli, demikian juga usia Nabi ﷺ. Dengan merubah tahun-tahun ini pada hari akan ketemu 22330 dan bila dirubah ke tahun qomariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian maka hari kelahirannya adalah hari senin 9 Rabi’ul Awal tahun 53 sebelum hijrah, yang bertepatan 20 April tahun 571”. (Taqwimul Azman).

     Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi ﷺ, ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul Awal bukan 12 Rabi’ul Awal”. (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid).



Bab 6. Ajaran Siapakah Perayaan Maulid Nabi?

Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.

Kita tidak tahu pasti kapan pertama kali Maulid ini diadakan. Namun jika kita mengacu pada keterangan al-Maqrizy dalam kitabnya al-Khathat (1/490), Maulid ini ada ketika zaman Dinasti 'Ubaidiyyun atau Daulah Fatimiyah (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah), Daulah Syiah yang berkuasa di Mesir. Mereka membuat banyak Maulid, mulai dari Maulid Nabi ﷺ, Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Fatimah, hingga Maulid Hasan dan Husain. Dan Bani Fatimiyah berkuasa sekitar abad 4 H.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

 Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama,  “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita  temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan  jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)




Bab 7. Kalam Para Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terkait Maulid Nabi
    
     Para ulama dan seluruh kaum muslimin sepakat bahwa perayaan tahunan maulid Nabi termasuk bid'ah yang tidak ada pada zaman Nabi ataupun 3 generasi terbaik dari umat ini.
     Adapun terkait hukum mengadakan perayaan tahunan maulid Nabi terdapat perselisihan. Di antara ulama yang membolehkan Maulid adalah: Imam As-Suyuthi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Dihyah, Ibnul Jauzi, Al-’lraqi, As-Saakhawi, dan Iain-lain. Sementara ulama yang tidak membolehk antara lain: Ibnul Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah, Imam Asy- Syathibi, dan Iain-lain.
      Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59).
      Berikut ini kalam para ulama terkait perayaan maulid Nabi :

1. Al 'Allamah Asy Syaikh Tajuddin al-Fakihani (ulama Malikiyah wafat tahun 734 H),

لا أعلم لهذا المولد أصلاً في كتاب ولا سنة، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة، الذين هم القدوة في الدين، المتمسكون بآثار المتقدمين، بل هو بِدعة أحدثها البطالون

Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan maulid ini, baik dari Al Quran dan As Sunnah. Dan tidak ada nukilan dari seorangpun ulama umat ini, yang mereka adalah panutan dalam agama, berpegang dengan teguh dengan atsar-atsar pendahulunya. Bahkan peringatan ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat ahli bathil. (Risalah al-Maurid fi Hukmi al-Maulid, hlm. 1).

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah (661 - 728H) rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.” Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).

3. Imam Asy Syathibi (wafat 790 H)

فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة

Semua paham bahwa mengadakan maulid seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).

4. As-Sakhawi (ulama Syafiiyah dari Mesir, muridnya Ibnu Hajar al-Asqalani),

أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة

Asal perayaan maulid as-Syarif (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak dinukil dari seorangpun dari ulama salaf yang hidup di tiga generasi terbaik. (al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabawi, hlm. 12)

5. Pujian Asy-Suyuthi terhadap kalam imam Abu Amr bin al-'Alaa’ (wafat 154 H)

ولقد أحسن الإمام أبو عمرو بن العلاء حيث يقول: لا يزال الناس بخير ما تعجب من العجب – هذا مع أن الشهر الذي ولد فيه رسول الله وهو ربيع الأول هو بعينه الشهر الذي توفي فيه، فليس الفرح بأولى من الحزن فيه

Sungguh benar yang dinyatakan Imam Abu Amr bin al-Alaa’, beliau mengatakan, “Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih merasa terheran. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa, 1/190).

Kebahagiaan mereka di tanggal 12 Rabiul awal dengan anggapan sebagai hari maulid, bertepatan dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mana yang lebih dekat, peringatan kelahiran ataukah peringatan kematian.

6. Imam Ibnul Hajj (wafat 737 H) menukil pernyataan al-Allamah al-Anshari

فإن خلا – أي عمل المولد- منه – أي من السماع – وعمل طعاماً فقط، ونوى به المولد ودعا إليه الاخوان، وسلم من كل ما تقدم ذكره – أي من المفاسد- فهو بدعة بنفس نيته فقط، إذ إن ذلك زيادة

Jika kegiatan maulid itu bersih dari semua suara-suara musik, hanya berisi kegiatan makan-makan, dengan niat maulid, mengundang rekan-rekan, dan bersih dari semua aktivitas terlarang yang tadi disebutkan, maka status perbuatan ini adalah bid’ah hanya sebatas niatnya. Karena semacam ini termasuk tambahan. (al- Madkhal, 2/312)
     Al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah juga menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.” Al-Madkhal (II/234-235).

7. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia  yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…” (Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy)

8. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam . Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…” (Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas).

9. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ?  Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu  yang  bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…”[al-Mâidah/5: 3]” (Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.).

10. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu  bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah… Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam…” (Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.).



Bab 8. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat : Mereka berkata, "Keengganan Rasulullah saw untuk menyelenggarakan peringatan maulid semasa hidupnya mengandung hikmah tersendiri. Keengganan itu tidak lain merupakan bentuk kasih sayang Nabi Muhammad saw agar tidak menambah beban bagi umatnya ke depan."

Bantahan :
(1) Apa ada nukilan dari Nabi dan para Shahabat yang menerangkan demikian? Atau hanya sekedar alasan dusta dan tanpa hujjah.?
(2) Jika memang itu disyari'atkan semestinya ada nukilan pernah dikerjakan meski hanya 1 kali sebagaimana sholat tarawih pada malam Ramadhan.
(3) Andai alasan tesebut benar..jika Nabi tidak pernah mengamalkan agar tidak menambah beban bagi umatnya, kenapa mereka malah gemar menambah beban dengan menambah-nambahi syari'at.?

2. Syubhat: "Mereka mengklaim mencintai Nabi sehingga mengadakan maulid."

Bantahan:
(1) Ummul mukminin Aisyah yang dicintai Nabi dan sangat mencintai Nabi tidak pernah merayakan maulid Nabi baik ketika Nabi masih hidup ataupun setelah wafat. Demikian juga para Shahabat Nabi. Apa para pecinta perayaan maulid Nabi merasa lebih mencintai Nabi daripada kadar kecintaan para Shahabat?
(2) Hakekat orang-orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1. Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, beradab dengan adabnya.
2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3.  Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi  dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. [al-Ahzâb/33:56]
4. Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan membenci orang yang membencinya.
5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

3. Syubhat : 
(1))"Diantara mereka berhujjah dengan firman Allah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

(2) Mereka berhujjah dengan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Maksudnya: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka kumpulkan.”
Mereka berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah rahmat-Nya yang paling besar. Oleh kerana itulah, kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) baginda”.

Bantahan :
(1) Para Shahabat Nabi dikenal paling mencintai Nabi, paling paham Al Qur'an dan paling semangat mengamalkan ilmu dan ittiba' Nabi. Siapa yang memahami ayat tersebut sebagai dalil perayaan maulid Nabi.
(2) Kenapa Nabi dan para Shahabat tidak ada yang merayakan maulid Nabi sebagaimana Nabi puasa pada hari Senin? Apa benar penyebabnya karena para Shahabat tidak mampu mengadakan perayaan maulid Nabi.?? Para aimah imam 4 madzhab pun tidak merayakan maulid Nabi.
(3) Berdalilkan dengan ayat ini untuk membolehkan maulid adalah suatu bentuk penafsiran firman Allah Ta’ala dengan penafsiran yang tidak pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak kepada suatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini adalah perkara yang tidak diperbolehkan.
(4) Ibnu ‘Abdil Hady Rahimahullahu berkata dalam Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427: “… Dan tidak boleh memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang tidak pernah ada di zaman para ulama salaf, yang mereka tidak diketahui dan tidak pernah pula mereka jelaskan kepada umat. Kerana perbuatan ini mengandung (tudingan) bahawa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah seorang pengkritik yang datang pada kebelakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran tersebut menyelisihi dan bertentangan dengan penafsiran mereka ?!”.
(5) Para pembesar ulama tafsir telah menafsirkan ayat yang mulia ini dan tidak terdapat sedikitpun dalam penafsiran mereka bahawa yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang diinginkan dalam ayat sebelumnya, iaitu firman Allah Ta’ala:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ


Maksudnya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu pelajaran dari Tuhan kamu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …” (Yunus : 57-58)
Inilah penafsiran yang disebutkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary Rahimahullahu dalam Tafsir beliau (Lihat: Juz 15, halaman 105).
(6) Imam Al-Qurthuby Rahimahullahu berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Abu Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu‘anhuma berkata: “Kurnia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah Al-Islam”. Juga dari keduanya (berkata), “Kurnia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah dia menjadikan kamu ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan, Adh-Dhohak, Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Kurnia Allah adalah iman dan rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”. (Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an juz8, halaman353)
(7) Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullahu berkata dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah ‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah halaman 6: “Perkataan para ulama salaf sekitar di atas penafsiran bahawa kurnia Allah dan rahmat-Nya adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
(8) Sesungguhnya yang menjadi rahmat bagi manusia bukanlah kelahiran Nabi, akan tetapi rahmat itu hasilnya hanyalah ketika Nabi diutus kepada mereka. Makna inilah yang ditunjukkan oleh nas-nas syari’at:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Maksudnya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Al-Anbiya`: 107)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya saya tidaklah diutus sebagai seorang yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus hanya sebagai rahmat.” (HR. Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
(9) Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury (Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil): “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadis bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada malam itu (kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan para ulama” (Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan halaman 49).
Maka betapa menghairankan bagi para pelaku maulid ini, mereka bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (12 Rabi’ul Awwal), sementara hari kelahiran baginda adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut pendapat yang paling kuat, maka apakah ada kerosakan dan kerancuan akal yang lebih parah dari ini?!

4. Syubhat : "Perayaan maulid Nabi sudah ada pada abad ka-3 H tapi sampai pada abad ke-12 atau dalam kurun waktu hampir 1000 tahun tidak ada ulama yang mengingkari atau membid'ahkan. Jika ada yang mengingkari coba sebutkan ulamanya?."
Bantahan:
(1) Kita tidak tahu pasti kapan mulai ada peringatan maulid Nabi. Andai benar maulid Nabi itu sudah ada pada abad ke-3 tapi tidak ada satupun ulama yang mengingkari atau membid'ahkan sampai abad ke-12 maka ini sebuah kedustaan karena pada abad ke-7 sudah mulai ada nukilan para ulama yang mengingkari.
(2) Kita sepakat sepeninggal Nabi maka tiada orang yang ma'shum dan diamnya seorang ulama itu belum tentu iqror. Andai iqror pun maka itu juga bukan hujjah.
(3) Perkataan 'alim jika tidak bersama dalil maka itu bukan hujjah, apalagi jika hanya mendiamkan sebuah perkara.
(4) Pada abad ke-7 sudah ada ulama yang tidak membolehkan maulid Nabi antara lain: Ibnul Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah, Imam Asy- Syathibi, dan Iain-lain.
(5) Peringatan maulid Nabi, mendirikan jam'iyyah, muassasah, panti asuhan dan tafarruq/memisahkan diri dari umaro' dalam perkara sholat Jum''at itu sebagaimana bid'ah dzikir jama'ah yang diingkari Abdullah bin Mas'ud. Walau ada ulama yang membolehkan tapi tidak pernah diperintahkan serta tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.

5. Syubhat : "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan ihtifal maulid Nabi adalah perkara baik sebagaimana dalam fatwanya."

Bantahan:
(1) Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh menyatakan (Lihat Mulhaq dari risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu), “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Istighatsah: “Suatu kesalahan, jika timbul dari buruknya pemahaman orang yang mendengar, bukan kerana kelalaian pembicara, maka tidak mengapa (yakni tidak berdosa) ke atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika dia berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah faham.”
Lagi pula beliau sendiri telah menegaskan dalam lanjutan ucapan beliau bahawa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah bid’ah yang mungkar. Adapun mu’alliq (yang memberi komentar) Al-Iqthidha`, dia berkata: “Bagaimana mungkin mereka memiliki pahala atas hal ini padahal mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dan petunjuk para sahabat baginda.”
(2) Ucapan lengkap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas adalah seperti berikut: "Bid'ah yang diadakan oleh sebahagian orang, baik kerana perbuatan itu menyerupai perbuatan orang Nasrani dalam mengadakan peringatan kelahiran Isa 'alaihis salam, atau kerana mengaku cinta kepada Nabi dengan menjadikan hari kelahiran Nabi sallallahu 'alaihi wasallam sebagai perayaan Maulid walaupun orang-orang masih memperselisihkan hari kelahiran baginda, maka semua ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Jika perbuatan ini baik atau benar nescaya para salaf radiallahu 'anhum lebih berhak untuk melakukannya daripada kita. Sebab, mereka lebih cinta kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan lebih mengagungkannya daripada kita. Mereka lebih semangat dalam mengamalkan kebaikan.
Sebenarnya, hakikat mencintai dan memuliakan Nabi itu adalah mengikuti dan mentaatinya, mengikuti perintah dan menghidupkan sunnahnya, baik secara lahir ataupun yang batin, menyebarkan agamanya dan berjihad dalam memperjuangkannya, baik itu dengan hati, tangan dan lidah. Semua ini adalah cara para pendahulu kita yang pertama dari kalangan kaum Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka." (Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim; 2/615, yang ditahqiq oleh Dr. Nashir Al-Aql)

6. Syubhat : "Maulid Nabi adalah bid'ah hasanah sebagaimana sholat Tarawih berjamaah."

Jawaban dan bantahan:
(1) Semua bid’ah (dalam perkara agama) adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka[9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at[10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11).
(2) Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
(3) Nabi pernah melakukan sholat Tarawih secara berjama'ah kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hukumnya menjadi wajib sehingga memberatkan ummat. Sedang Nabi tidak pernah mengadakan peringatan maulid Nabi.
(4) Sholat Tarawih berjamaah termasuk Sunnah Khalafaur Rosyidin dan terdapat ijma' Shahabat. Sedang para Shahabat Nabi tidak pernah berkumpul mengadakan perayaan maulid Nabi..sehingga tidak bisa disamakan.
(5) Abdullah bin Mas'ud mengingkari orang berkumpul untuk dzikir jama'ah karena tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat. Berkumpul mengadakan peringatan maulid Nabi apa lebih baik daripada dzikir berjama'ah.?

7. Syubhat: "Sesungguhnya perayaan maulid adalah kumpulan zikir, sedekah, dan pengagungan terhadap sisi kenabian. Dan semua perkara ini tentunya merupakan perkara yang dituntut dan dipuji dalam syari’at Islam."

Jawaban dan bantahan :
(1) Tidak diragukan bahawa semua yang disebutkan di atas berupa zikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam merupakan ibadah, bahkan termasuk di antara ibadah yang memiliki kedudukan yang besar dalam Islam. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa ibadah akan diterima setelah dipenuhi dua syarat, ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (Lihat kembali bab Syarat Diterimanya Amalan).
(2) Di antara kaedah yang masyhur di tengah para ulama dan para penuntut ilmu bahawa suatu ibadah apabila perintah pelaksanaannya datang dalam bentuk umum (yakni tidak terikat dengan suatu waktu maupun tempat), maka ibadah tersebut juga mesti dilaksanakan secara mutlak tanpa mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, apabila dikhususkan tanpa adanya dalil maka perbuatan tersebut dihukumi sebagai bid’ah (Kaedah ini disebutkan oleh Syaikh Nashirudin Al-Albany dalam Ahkamul Jana`iz halaman 306). Oleh kerana itulah, adalah termasuk bid’ah tatkala mengkhususkan pelaksanaan ibadah zikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam hanya pada tarikh kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
(Silahkan lihat: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat ke sebelas).

8 Syubhat: "Diantara mereka berkata bahwa tidak ada satupun dalil yang tegas dan jelas melarang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam."

Bantahan:
(1) Sebenarnya dalih dan argumen semacam ini  hakikatnya sudah lebih dahulu patah sebelum dipatahkan. Akan tetapi yang sangat disayangkan, syubhat ini masih juga diucapkan oleh sebahagian orang yang mengaku berilmu yang dengannya dia menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ketika mereka mengingkar korupsi, beragam narkoba, praktek perjudian kontemporer dll...apa mereka bisa menunjukkan dalil yang tegas dan jelas yang mengharamkan.?
Mereka tidak akan mendapatkan satu pun dalil tentangnya -walaupun mereka bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil umum yang melarang dari semua amalan di atas dan yang sepertinya. Maka demikian halnya perayaan maulid.
(2) Memang tidak ada dalil yang tegas dan jelas yang melarang perayaan maulid Nabi ataupun yang melarang mendirikan jam'iyyah, muassasah dan panti asuhan sebagaimana tidak ada dalil yang sera tegas dan jelas yang melarang dzikir jama'ah (yang diingkari Abdullah bin Mas'ud). Akan tetapi perkara tersebut tetap merupakan bid’ah dan keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang sangat banyak berkenaan larangan berbuat bid’ah dalam agama, berkenaan dengan larangan menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir, berkenaan dengan … dan seterusnya. Wallahul Musta’an.

9. Syubhat: Mereka berkata: “Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi ia merupakan syi’ar agama Islam, bukan merupakan bid’ah.”

Bantahan:
(1) Ini menunjukkan kejahilan orang yang mengucapkannya terhadap syari’at Islam, maka apakah orang yang seperti ini layak untuk berkomentar dalam agama Allah?!
(2) Orang ini telah membedakan antara agama dan syi’ar agama padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Maksudnya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan syi’ar agama sebagai lambang dari katakwaan hati yang merupakan kewajiban. Maka apakah setelah ini, masih ada orang yang mengaku faham agama yang mengatakan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan syi’ar agama (menurut sangkaan mereka) yang satu ini (maulid)?!
(3) Ucapan ini mengharuskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan sebuah ketaatan yang merupakan kewajiban (Dan meninggalkan ketaatan yang merupakan kewajiban dengan sengaja adalah dosa besar), padahal para ulama telah bersepakat bahawa para Nabi terjaga (maksum) dari dosa besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata dalam Fathul Bari (8/69): “Para nabi maksum dari dosa-dosa besar berdasarkan ijmak” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472) karya Ibnu Taimiyah).

10. Syubhat: "Sebahagian mereka berdalih bahawa sebahagian ulama sunnah ada yang memperbolehkan perayaan maulid, seperti Imam As-Suyuthi Rahimahullahu dan yang lainnya.
Maka kami hanya mengikuti mereka kerana mereka adalah orang yang berilmu."

Bantahan:
(1) Tidak diragukan bahawa ucapan ini adalah ucapan yang penuh dengan fanatisme, taqlid, dan kesombongan yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(2) Perselisihan para ulama dalam masalah ini (yakni bid’ah maulid) adalah perselisihan yang sifatnya tadhadh (saling berlawanan dan menafikan), yang salah satunya adalah kebenaran dan yang lainnya adalah kebatilan, bukan perselisihan tanawwu’ (cabang) yang sifatnya masih menerima toleransi dan kompromi.
(3) Sebagai seorang muslim, hendaklah mengembalikan semua perselisihan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya,

11. Syubhat: Mereka mengatakan: “Perayaan maulid ini hanya sekadar adat istiadat yang tidak ada kaitannya dengan agama sehingga tidak boleh dianggap sebagai bid’ah.”

Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat larian terakhir bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid setelah seluruh dalil-dalil mereka digugurkan. Itupun alasan yang mereka katakan ini adalah alasan yang tidak dapat diterima kerana para pendahulu mereka yang membolehkan maulid baik dari kalangan ulama maupun yang bukan ulama telah menetapkan bahawa perayaan maulid adalah ibadah di sisi mereka, dan seseorang akan mendapatkan pahala dengannya.

12. Syubhat : Para pendukung bid’ah perayaan maulid menukilkan ucapan Syaikhul Islam sebagai berikut :

“تَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ”.

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung perayaan Maulid Nabi.

 Bantahan :
(1) Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut :

“فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد.”

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwa hal itu dianggap baik oleh sebagian manusia tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapatkan petunjuk “.
Demikian perkataan beliau rahimahullah dalam Kitab Iqtidha’u Ash-Shirāth Al-Mustaqim. (lihat Iqtidha’ Ash Shirathil Mustaqim li Mukhalafati Ashhābil Jahîm, Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah , Maktabah Ar-Rusyd Ar-Riyadh Halaman 621 – 622 dan halaman : 619)
(2) Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh , insyā Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru.
     Lihat baik-baik perkataan beliau di atas :
”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian manusia tetapi TIDAK DIANGGAP BAIK oleh MUKMIN yang mendapat PETUNJUK.”
     Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
(3) Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik, tetapi amalan yang keliru dan salah bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membid’ahkan perayaan maulid ini dalam Kitab yang sama dan dalam Kitab Majmu’ Al-Fatāwa.”  (lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  25/298, Darul Wafa’)

13. Syubhat: Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surah Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Mereka mengatakan bahawa perayaan maulid boleh memberi motivasi sekaligus sarana untuk berselawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Bantahan:
(1) Syaikh Hamud At-Tuwaijiri Rahimahullahu berkata dalam Ar-Roddul Qowy, halaman 70-71: “Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah memberi motivasi untuk memperbanyakkan berselawat kepada beliau di waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jumaat, setelah azan, ketika nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut, dan waktu-waktu lainnya. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah memerintahkan atau memberi motivasi untuk berselawat kepada beliau pada malam maulid beliau sendiri. Jadi, sesungguhnya (yang semestinya) diamalkan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan (yang semestinya) ditolak adalah segala sesuatu yang tidak beliau perintahkan”. Selesai dengan sedikit perubahan.
(2) Syaikh Al-Muqthiry dalam Al-Mawrid (halaman 18) menyatakan: “Bershalawat kepada Nabi adalah perkara yang dituntut terus-menerus, bukan hanya di awal tahun atau dua hari dalam seminggu.
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)
Nabi  ‘alaihish sholatu wassalam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa yang berselawat kepadaku sekali, maka Allah akan berselawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Muslim no. 384 & 408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma).
Beliau telah memerintahkan untuk berselawat kepadanya setelah azan, dalam solat dan demikian pula ketika nama baginda Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut.
Beliau bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ علَيَّ

“Kecelakaan bagi seseorang yang mendengar namaku disebut di sisinya, lantas dia tidak berselawat kepadaku” (HR. Muslim no. 384 & 408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma)

الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang kikir (kedekut) adalah orang yang apabila namaku disebutkan di sisinya, lalu dia tidak berselawat atasku” (HR. At-Tirmidzi no: 3546 dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra no: 8100 & 9883 dari Al-Husain bin ‘Ali Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2878).




Bab 9. Penutup


     Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. 
     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين






Blora, 29 Rabi'ul Awwal 1445H (25-10-2022)



Hazim Al Jawiy

Kamis, 15 September 2022

BENARKAH GAMBAR HASIL KAMERA DAN HASIL SIHIR TIDAK TERMASUK ASH SHUROH YANG DIHARAMKAN?




Baca juga :

https://hazimaljawiy.blogspot.com/2023/01/ash-shuroh-gambar-dan-larangan.html?m=1


BENARKAH GAMBAR HASIL KAMERA DAN HASIL SIHIR TIDAK TERMASUK ASH SHUROH YANG DIHARAMKAN?

https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/09/benarkah-gambar-hasil-kamera-dan-hasil.html?m=1



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا 

"Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka."  (QS. Al Ahzab: 57).
     Ikrimah berkata, "Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah mereka yang membuat  gambar-gambar."



Bab I. Hukum Ash Shuroh (Gambar) Dan Mushowwir (Pembuat Gambar) Makhluk Bernyawa

     Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً

“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)

     Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah, radhiallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ

“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)

     Sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْس يُعَذَّبُ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

“Setiap mushawwir (pembuat gambar) berada di dalam neraka, dan setiap gambar yang dibuatnya diberi nafas untuk menyiksa dirinya dalam neraka Jahannam.” (HR. Bukhari: 2225, Muslim: 2110)

     Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadits yang marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فيِ الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Barangsiapa yang membuat shuroh (seni rupa makhluk bernyawa) di dunia, maka kelak (pada hari kiamat) ia akan dibebani untuk meniupkan ruh ke dalam rupaka yang dibuatnya, namun ia tidak bisa meniupkannya.” (HR. Bukhari: 5963, Muslim:2110)

     Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Al Hayyaj, ia berkata: sesungguhnya Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku:

أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ أَنْ لاَ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Maukah kamu aku utus untuk suatu tugas sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: janganlah kamu biarkan ada shurah (sebuah rupaka) tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah kuburan yang menonjol kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim: 969).

Faidah:

1. Syari'at melarang ash shuroh dan membuat gambar makhluk bernyawa.

     Telah diriwayatkan di Sunan Tirmidzi (5/427) dari hadits Jabir Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الصورة في البيت ونهى أن يصنع ذلك

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar ke dalam rumah dan melarang membuatnya.”  (hadits shahih).
     Dan merupakan suatu hal yang maklum hukum asal larangan dalam syari’at itu adalah haram kecuali apabila terdapat dalil lain yang memalingkan keharaman itu menjadi makruh, bagaimana kalau tidak didapati dalil yang memalingkan keharaman perkara tersebut justru dibarengi dengan perintah menghapusnya bahkan laknat serta siksaan yang keras bagi pelakunya.

2. Syari'at memerintahkan menghapus ash shuroh (gambar makhluk bernyawa)

     Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari hadits Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu beliau  berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِى الْبَيْتِ لَمْ يَدْخُلْ ، حَتَّى أَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ

“Manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) di dalam Ka’bah, beliau tidak memasukinya hingga beliau memerintahkan untuk dihapus.”

     Dan dari Abil Hayyaaj Al-Asadi berkata:

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ.

“Ali bin Abi Thalib katakan kepadaku: Ingatlah sesungguhnya saya mengutusmu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mengutusku: (yaitu) Janganlah engkau meninggalkan sebuah patungpun (yang bernyawa) melainkan engkau merusaknya dan tidak pula meninggalkan sebuah kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan." (HR. Muslim (2/666))

     Dan pada riwayat lain di Muslim:

وَلاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا.

“Dan jangan pula engkau meninggalkan suatu gambarpun melainkan engkau hapus.”

     Manakala dia menyelisihi perintah tersebut maka patutlah dia mendapat laknat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Syari'at melaknat al mushowwir (para pembuat gambar bernyawa).

     Sebagaimana pada hadits Abi Juhaifah Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ ، وَكَسْبِ الْبَغِىِّ ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing, dan upah pelacur, dan melaknat pemakan riba, dan yang memberi makan riba, pentato, dan yang minta ditato, serta al mushowwir (penggambar/pelukis).” (HR.Bukhari).

     Laknat berarti terusir dari rahmat Allah, maka tidak heran kalau mereka diancam akan mendapat siksaan yang pedih dan keras di hari kiamat bahkan berhak masuk neraka jahannam. Laknat Allah kepada seorang muslim beda dengan laknat Allah terhadap orang kafir dan Iblis.

4. Para al mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat.

     Dari ‘Abdillah berkata saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ »

“Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah di hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (HR. Bukhari).
     Dari Abdillah bin Umar Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم )

“Sesungguhnya yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada mereka hidupkanlah apa yang kalian telah ciptakan.” (HR. Bukhari).

5. Para mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) di Neraka.

     Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( كل مصور في النار يجعل له بكل صورة صورها نفسا فتعذبه في جهنم ) وقال إن كنت لابد فاعلا فاصنع الشجر وما لا نفس له…

Setiap penggambar di dalam neraka, semua gambar yang sudah ia gambar diberi nyawa lalu menyiksanya di Jahannam.” Dan Ibnu ‘Abbas berkata: Apabila engkau harus melakukannya maka gambarlah pohon atau apa-apa yang tidak bernyawa…”  (HR. Muslim).
     Berkata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah: Yang diinginkan dengan ancaman tersebut adalah teguran keras (bagi pelakunya).

6. Menggambar makhluk bernyawa termasuk dosa besar.

     Setelah mengetahui hal-hal yang telah lewat di atas tahulah kita bahwa membuat gambar bernyawa itu termasuk dosa besar di mana telah datang riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya beliau bersabda:

الكبائر كل ذنب ختمه الله بنار أو غضب أو لعنة أو عذاب

“(kaidah untuk mengetahui) Dosa besar adalah semua dosa yang Allah kecam pelakunya dengan neraka, kemurkaan, laknat, ataupun siksaan.”

     Oleh karena itu Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah menggolongkan perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana pada kitab beliau “Al- ami’ush Shahih” jilid 5 kitab: Kabair. Kemudian beliau menyebutkan setelahnya hadits Abu Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تخرج عنق من النار يوم القيامة لها عينان تبصران وأذنان تسمعان ولسان ينطق يقول إني وكلت بثلاثة بكل جبار عنيد وبكل من دعا مع الله إلها آخر وبالمصورين

“Akan keluar di hari kiamat sebatang leher, memiliki dua mata yang melihat, dua telinga yang mendengar dan lisan yang berbicara seraya berkata; Saya ditugaskan menyiksa tiga jenis orang; tiap-tiap orang yang suka berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, siapa saja yang menyeru sembahan lain bersama Allah (berlaku syirik), dan para mushowwir (penggambar makhluk bernyawa)." (HR. Tirmidzi dan hadits ini di Shahihkan syaikh Al-Albani).

7. Para pembuat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling zhalim.

     Dari hadits Abi Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال الله عز و جل ومن أظلم ممن ذهب يخلق كخلقي فليخلقوا ذرة أو ليخلقوا حبة أو شعيرة

“Allah ‘Azza wa Jalla berkata: “Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat (menggambar) seperti ciptaanKu, maka hendaknya ia menciptakan biji dzarrah, atau sebutir bibit tumbuhan, atau biji gandum.” (HR. Bukhari).




Bab II. Hakekat Ash Shuroh Dan Mushowwir (Pembuat Gambar)

1. Yang dilarang dalam Islam untuk digambar adalah ash shuroh, yaitu gambar makhluk bernyawa.

     Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak terlarang untuk digambar. Diantara dalilnya adalah hadits berikut:

وعَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الحَسَنِ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ  – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ، إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي، وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ

Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata, Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, pekerjaanku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang aku akan sampaikan kepadamu adalah apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu beliau bersabda: “Siapa saja yang membuat gambar ash shurah, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa melakukannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi. Ibnu Abbas lalu berkata: “Celaka engkau, jika engkau tidak bisa meninggalkannya, maka gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki ruh (nyawa)”  (HR. Bukhari no.2225).
     Dalam hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa ash shurah yang dilarang untuk digambar adalah gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, maka tidak terlarang untuk digambar.

2. Inti ash shuroh adalah kepala.

     Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).
     Andaikan hadits ini mauquf pun, memiliki hukum marfu‘, disandarkan isinya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
     Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari ash shurah adalah kepala, jika gambar tanpa kepala maka tidak lagi disebut ash shurah

3. Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’:

      "Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Ataupun juga gambar foto. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
     Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
     Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
     Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ

orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ

barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (makhluk bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Juga hadits lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ

semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Semua hadits-hadits ini melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak.
    Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
     Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم

مجموع فتاوى اللجنة الدائمة بالسعودية - المجلد الرابع عشر (العقيدة).

(https://ar.islamway.net/fatwa/11106/ما-حكم-التصوير-في-الإسلام)

4. Semua Shuroh Makhluk Bernyawa ( Hasil Lukisan Tangan, Kamera, Mesin Pembuat Gambar, Mesin Fotocopy, Mesin Pencetak Foto Dan Patung, Ataupun Hasil Sihir) Haram Karena Tiada Dalil Yang Yang Menunjukkan Ada Perbedaan Hukum.

     Dalam banyak hadits Nabi melarang shuroh (gambar makhluk bernyawa) tanpa dirinci ataupun dikhususkan hasil lukisan tangan. Sehingga hukum asalnya semua shuroh makhluk bernyawa itu haram baik hasil lukisan tangan, kamera, mesin pencetak gambar dan patung, robot pelukis, mesin fotocopy, alat sablon, sulap ataupun gambar dengan gunakan sihir dan bantuan jin. Demikian juga baik si pembuat gambar adalah seekor monyet/simpanse, seekor gajah pelukis, anak kecil, orang dewasa, orang gila, wanita dan lain-lain. Baik dibuat mukallaf ataupun tidak mukallaf maka hukum shuroh makhluk bernyawa sama-sama haram.
     Membuat gambar dengan kamera termasuk tashwir dan hukumnya haram berdasarkan dengan keumuman dalil-dalil yang melarang tashwir dan memandang bahwa memfoto dengan kamera itu termasuk membuat ash shurah walaupun dengan bantuan alat.
     Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya masalah membuat gambar dengan fotografi, beliau menjawab:

التصوير لا يجوز، لا باليد ولا بغير اليد، التصوير كله منكر، والرسول عليه الصلاة والسلام لعن المصورين

“At tashwir tidak diperbolehkan, baik dengan tangan atau dengan (alat) selain tangan. At tashwir semuanya adalah kemungkaran. Dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat para pembuat gambar.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 28/227).
      Itu sebabnya jika ada yang menghalalkan shuroh makhluk bernyawa yang dibuat para mushowwir dengan kamera (berupa foto dan video) maka hendaknya wajib mendatangkan burhan.

5. Shuroh Makhluk Bernyawa Hasil Kamera (Foto Dan Video) Fitnahnya Lebih Besar Daripada  Lukisan Tangan

(1) Unsur keserupaan lebih banyak dan tingkat keserupaan foto/video lebih tinggi daripada gambar hasil lukisan tangan. Bahkan gambar pada video bisa bergerak dan bicara menyerupai aslinya. Yang mana ini termasuk sebab dilarangnya ash shuroh karena unsur penyerupaan makhluk ciptaan Allah.
(2)  Proses pembuatan foto dan vedeo pada umumnya lebih cepat.
(3) Pembuatan foto dan video pada umumnya lebih mudah daripada gambar dengan tangan. Bahkan banyak anak kecil yang sudah bisa memfoto.
(4) Foto dan video umumnya lebih mudah diperbanyak daripada gambar lukisan tangan.
(5) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan pada foto dan video umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.




Bab III. Malaikat Tidak Mau Masuk Rumah Yang Ada Gambar Makhluk Bernyawa

     Malaikat adalah makhluk Allah yang mulia dan senantiasa beribadah kepadaNya tanpa merasa letih, Allah Ta’ala berfirman:

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ (19) يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ (20) [الأنبياء/19، 20]

Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan (Malaikat-Malaikat) yang di sisi-Nya, tidak angkuh untuk mengibadahi-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”  (QS. Al-Anbiya’: 19-29).

     Para Malaikat juga senantiasa menaati perintah Allah dan tidak pula mendurhakaiNya. Allah berfirman:

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ 

“Mereka (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang mereka diperintahkan.”  (QS. At-Tahrim. 6).

     Sebab itu para malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang merupakan kemungkaran dan kemaksiatan bahkan termasuk dosa besar sebagaimana pada hadits Abi Tolhah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )

“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).”  (HR. Bukhari).
     Dalam riwayat lain:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )

“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan  shuroh (gambar makhluk bernyawa).”  (HR. Bukhari).

     Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama berkata: sebab mereka (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya gambar adalah karena gambar itu adalah maksiat yang keji, dan merupakan bentuk peniruan terhadap ciptaan Allah Ta’ala, dan sebagian dari gambar itu ada yang disembah selain Allah Ta’ala, dan sebab mereka tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing adalah karena anjing sering makan yang najis-najis dan karena sebagian anjing ada yang dinamai setan sebagaimana telah datang hadits mengenai hal itu, sementara malaikat itu adalah musuh syaitan juga karena bau anjing yang sangat bau sedang malaikat tidak menyukai bau yang mengganggu, juga karena ada larangan untuk memelihara anjing maka orang yang memeliharanya diberi ganjaran yang setimpal yaitu malaikat tidak masuk rumahnya dan tidak berdoa di dalam rumahnya dan tidak pula beristigfar dan memintakan berkah untuknya dan berkah terhadap rumahnya dan meminta agar menjauhkannya dari gangguan syaithan, adapun malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan gambar adalah malaikat pembawa rahmat, pemohon berkah dan ampunan, adapun malaikat penjaga maka mereka tetap akan masuk tiap-tiap rumah (yang bergambar ataupun tidak) dan mereka tidak akan meninggalkan anak adam di setiap keadaan karena mereka ditugaskan menghitung dan menulis amalan-amalan manusia.



Bab IV. Fitnah Dan Kejelekan Shuroh/Gambar Makhluk Bernyawa

     Diantara sebab diharamkannya gambar (lukisan):
1. Mudhahah (menyerupai) ciptaan Allah, seolah-olah dia menandingi perbuatan Allah.
     Hal haram ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً

“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) Maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)

     Juga hadits dari Aisyah, radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ

“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)
     Mudhahah (tasyabbuh/menyerupai) dilarang meskipun pelakunya tidak memiliki maksud.
2. Wasilah menuju kesyirikan
     Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah:

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.”  (QS. Nuh: 23).

     Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana, disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung  tersebut disembah.” (HR. Bukhari: 4920)
3. Menyerupai Ahlu kitab
     Dari Aisyah radhiallahu’anha:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].

“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).
4. Fitnah syahwat dan hawa nafsu.
5. Wasilah dan media sihir.
     Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (4: 153) berkata,

ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية

“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”
   Dari sini terlihat bahwa ‘ain insya Allah bisa ditimbulkan dengan melihat pada gambar seseorang secara langsung atau melihatnya di TV. Bahkan bisa hanya dengan mendengar, lalu dikhayalkan dan terkenalah ‘ain. Kita memohon pada Allah keselamatan.



Bab V. Hukum Ash Shuroh (Gambar Makhluk Bernyawa) Karena Terpaksa

     Adapun jika dalam keadaan terpaksa dalam arti tidak dapat mencapai mashlahat yang wajib atasnya kalau tidak menuruti kemauan mereka untuk mendatangkan shuroh (foto) maka dosanya akan ditanggung dan dipikul oleh mereka yang mengharuskan hal tersebut, tentunya disertai dengan pengingkaran dan kebencian dari orang yang dipaksa sekurang-kurangnya dalam hati terhadap kemaksiatan itu, Allah Ta’ala berfirman:

﴿ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴾ [النحل/106]

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali siapa yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi barangsiapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka baginya kemurkaan Allah dan azab yang besar.”  (QS. An-Nahl: 106).
     Dan dari hadits Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata:

«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ «لاَ مَا صَلَّوْا».

“Sungguh akan dijadikan atas kalian para penguasa, maka kalian akan dapati apa yang kalian benarkan dan apa yang kalian ingkari, maka barangsiapa yang benci (kemungkaran mereka) maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan nurut. Para sahabat berkata; Wahai Rasulullah tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat.” (HR. Muslim).
     Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata di “Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah”: “Apabila seseorang terpaksa untuk membuat paspor, baik itu untuk berhaji ataupun selainnya dari perjalanan-perjalanan yang harus atasnya, atau KTP, SIM, lisensi pekerjaan (surat keterangan/SK), ataupun uang (bergambar), maka dosanya dipikul oleh pemerintah yang mengharuskanmu (memaksamu) membuatnya.
Dan batasan darurat di sini adalah: Apabila maslahatmu yang merupakan kewajiban atasmu tak dapat diraih dengan meninggalkan foto. Adapun foto yang dituntut dari pelajar sekolahan (Kartu Tanda Pelajar), atau Tentara maka itu bukanlah suatu hal yang daruratkarena memungkinkan bagi pelajar tersebut untuk tidak belajar di sekolahan dan menuntut ilmu di depan ulama di mesjid-mesjid. Dan Tentara bisa saja dia mencari kerjaan lain dan tidak menjadi tentara."
     Juga yang perlu diingatkan adalah apabila terpaksa dan terdesak antara dua pilihan, apakah engkau yang akan mengambil gambar istrimu yang bercadar ataukah tukang foto yang mengambilnya dan membuka cadarnya di hadapan tukang foto itu?
     Maka biarlah pelaku maksiat itu (mushowwir/tukang foto) yang mengambil foto istrimu –dengan pengawasanmu (engkau temani)-, dan engkau selamat dari laknat yang diancamkan kepada pengambil gambar. Semakna ini juga fatwa Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah.



Bab VI. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat: "Sebagian orang memiliki syubhat, bahwa larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah. Adapun jika tidak bermaksud untuk menyembah gambar tersebut maka tidak mengapa."

Bantahan:
(1) hadits-hadits larangan tashwir sifatnya muthlaq tidak menyebutkan keterangan bahwa larangannya berlaku jika gambarnya akan disembah.
(2) illah (alasan) dilarangnya tashwir diantaranya 3 alasan yaitu: karena menandingi ciptaan Allah (sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, menyerupai perbuatan kaum Ahlul Kitab (sebagaimana dalam hadits Aisyah) dan merupakan sarana menuju kesyirikan (sebagaimana penjelasan Ibnu Mas’ud). Andaikan shurah yang dibuat tidak bermaksud untuk disembah maka bukankah ada 2 alasan lainnya yang tetap menjadikan tashwir hukumnya terlarang??
(3) kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika awal mula mereka membuat patung dari orang shalih yang sudah meninggal, mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu. Namun ternyata berujung kepada penyembahan dan kesyirikan. Sehingga tashwir tetap terlarang meskipun tidak bermaksud untuk menyembahnya, dalam rangka sadd adz dzari’ah (menutup celah menuju keburukan).
(4) Berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir kita tidak boleh menggambar Nabi Muhammad, malaikat Jibril ataupun Buroq sekalipun tidak untuk disembah. Bukankah kaum muslimin sepakat dalam perkara ini.?
(5) Kita juga tidak boleh menggambar kuda bersayap, manusia bersayap, makhluk-makhluk khayalan yang wujudnya perpaduan manusia dan hewan (semisal dewa ganesa, ular berkepala manusia & para dewa Yunani) ataupun makhluk jelmaan jin meski tidak disembah berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir walau makhluk tersebut tidak pernah dilihat di dunia.

2. Syubhat: Diantara orang yang membolehkan shuroh bernyawa berhujjah dengan:
(1) Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukannya.

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي

“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440).
(2) Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud no. 4934, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani).

Bantahan:
(1) Ibnu Hajar (wafat tahun 852H) rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia (tidak utuh).”
(2) Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits. Sesungguhnya hanyalah diberikan keringanan hukum (rukhshoh) bagi ‘Aisyah terkait boneka-boneka mainannya karena pada saat itu ‘Aisyah belum baligh.”
(3) Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Aku katakan terkait adanya pemastian bahwa hal ini terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh, (sebetulnya) itu masih berupa kemungkinan, karena ‘Aisyah pada saat terjadi perang Khaibar masih berusia 14 tahun atau sekitar itu, sedangkan ketika terjadi perang Tabuk, beliau sudah dapat dipastikan telah baligh. Sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Khaibar lebih kuat (artinya, ketika itu ‘Aisyah belum baligh, pen.). Dengan demikian, dapat dikompromikan dengan apa yang disebutkan Al-Khathabi (sebelumnya) sehingga terhindar dari adanya pertentangan makna (yaitu larangan gambar atau patung makhluk bernyawa, pen.)” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, XIII/701).
(4) An-Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) rahimahullah mengatakan, “Al-Qadhi berpendapat bahwa hadits ini merupakan dalil bolehnya bermain dengan boneka. Ini merupakan pengkhususan dari dalil tentang gambar (makhluk bernyawa) yang dilarang. Beliau berdalil dengan hadits ini (untuk menyatakan) perlunya latihan bagi anak perempuan ketika masih kecil dalam rangka persiapan untuk kelak mengurusi diri mereka sendiri, rumah tangga, dan anak-anak mereka.”
Namun beliau juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan gambar (makhluk bernyawa)” (Diringkas dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).
(5) Bagaimana hakekat shuroh boneka milik ibunda Aisyah waktu kecil? Apa bisa mendatangkan burhan bahwa boneka tersebut punya mata dan wujudnya seperti aslinya? Andai bentuknya benar-benar seperti makhluk hidup, kenapa Nabi bertanya kepada ‘Aisyah, "Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’"
(6) Mainan anak itu beragam. Dunia anak kecil itu beda dengan dunia orang dewasa. Dan fakta ada mainan belalang dari daun kelapa, orang-orangan dari daun singkong atau mainan origami berbentuk burung, kupu-kupu dan hewan wujudnya beda jauh dengan aslinya. Demikian juga ada boneka salju bentuknya beda jauh dengan manusia. Bahkan buah krai (sejenis mentimun) oleh anak kecil bisa dibuat main dan digendong dianggap menggendong anak.
(7) Jumhur ulama yang membolehkan bermain boneka, tujuannya adalah untuk mendidik si anak ketika masih kecil agar kelak ketika balig sudah dapat mengurus diri sendiri, rumah, hingga anak-anaknya. Adapun boneka yang sekedar dipajang di rumah-rumah, maka hendaklah kita takut dengan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ

“Malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa)” (HR. Bukhari no. 3226 dan Muslim no. 2106).
     Sebagaimana juga hukum asal nyanyian adalah dilarang, tapi Nabi pernah membiarkan anak-anak kecil menyanyi. Itu hanya rukhshoh bagi anak kecil. Wallahu Ta’ala a’lam bi shawab.

3. Syubhat: " Mengambil gambar dengan kamera foto tidaklah termasuk dalam larangan yang ada dalam nash-nash yang mengharamkan tashwir. Karena tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah. Karena tujuan dari memfoto adalah mengambil gambar ciptaan Allah ta’ala, tidak ada unsur pengeditan dari manusia. Maka ini sama seperti gambar yang ada di cermin atau yang di air (ketika melihatnya)."
"Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."

Bantahan:
(1) Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Bahkan jika ada monyet bisa melukis, robot pelukis, gajah pelukis, simpanse pelukis ataupun tukang sihir/jin bisa membuat foto tanpa kamera maka tetap haram.
(2) Alasan yang dikemukakan mereka hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(3) Foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.
(4) Jika mereka hanya mampu gunakan logika tanpa secuil dalil (bahkan tidak mampu mendatangkan hadits dho'if yang yang secara shorih membolehkan shuroh makhluk bernyawa), maka sudah sepantasnya juga dibantah dengan akal sehat.
(5) Dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa resmi penulisan karya ilmiah, dll atapun urf, maka foto termasuk gambar. Dalam penulisan karya ilmiah pun foto dimasukkan daftar gambar.
(6) Bahasa Arab tukang foto dan pelukis juga mushowwir.
(7) Dalam seni lukis ada aliran Naturalisme dan Realisme yang lukisannya seperti aslinya seperti foto. Bahkan jika kualitas tingggi lukisan Realistis itu sulit dibedakan dengan foto atau bisa lebih mirip objeknya dari pada foto yang dihasilkan kamera kelas rendah.Apa lukisan Realistis juga mereka halalkan jika si pembuat lukisan tiada tujuan kreasi gambar baru tapi menggambar ciptaan Allah.???

4. Syubhat: "Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."

Bantahan:
     Foto tidak bisa diqiaskan dengan bayangan pada cermin karena punya banyak perbedaan:
(1) Foto dihasilkan kamera karena ada upaya dan kehendak manusia, sedang bayangan pada cermin, air dan semisai bisa muncul tanpa kehendak manusia. Tapi karena sifat yang ada pada cermin ataupun air.
(2) Sifat bayangan pada foto antara kanan kiri atau atas bawah bisa kebalikan benda aslinya. Sedang gambar foto tidak demikian.
(3) Bayangan pada cermin dan air tidak disimpan. Jika obyeknya hilang, maka bayangannya juga ikut hilang. Sebaliknya gambar pada foto disimpan.
(4) Bayangan orang yang sudah tidak ada di muka bum(mati), maka tidak bisa dimunculkan lagi lewat cermin. Sebaliknya banyak foto orang-orang yang sudah mati tetap masih bisa tersimpan berupa foto dan video.
(5) Bayangan pada cermin telah ada ijma' tentang bolehnya bercermin. Sedang foto tiada ijma' ahlus sunnah yang membolehkan.
(6) Bayangan  pada cermin dan air tidak bisa di-edit, sedang gambar pada foto dan video bisa diedit ataupun diberi efek. Bisa diperkecil, diperbesar, diwarnai, dimunculkan, dihilangkan dan lain-lain. Bahkan foto rambut dan gaya rambut seseorang bisa diedit lewat beragam aplikasi edit foto dan video. Ada foto dan video manusia bisa terbang, menembus tanah dan dinding, manusia berkepala lebih dari 1 dan lain-lain. Bahkan sekarang ada teknologi membuat film baru dengan pemeran/aktornya orang yang sudah mati.
(7) Jika cermin pecah maka bayangan pun ikut rusak. Sebaliknya foto dan video masih bisa ada sekalipun kameranya sudah rusak.
Jika faktanya punya banyak perbedaan maka itu termasuk qias bathil.
     Adapun kacamata, lensa, mikroskop, teropong, teleskop dan alat-alat optik jika mau diqiaskan dengan cermin yang fungsinya hanya sebagai alat bantu untuk melihat dan tanpa dilengkapi kamera/alat pembuat gambar..insya Allah dibolehkan secara ijma'. Wa Allahu a'lam.

5. Syubhat: "Kamera bukan mukallaf, sehingga gambar hasil kamera dibolehkan."

Bantahan:
(1) Nabi melarang ash shuroh makhluk bernyawa itu tiada kaitan karena hasil perbuatan mukallaf. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )

“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
     Dalam riwayat lain:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )

“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan  shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
(2) Kamera memang bukan mukallaf, tapi orang yang mengoperasikan kamera termasuk mukallaf.
(3) Tidak semua orang bisa memfoto ataupun mengoperasikan kamera. Demikian juga kualitas gambarnya juga tidak sama: ada yang terlihat mirip objek, lebih jelek, lebih bagus dll. Contoh: tidak semua kamera bisa untuk memfoto Bulan di langit seperti aslinya walau tanpa editan.
(4) Shuroh makhluk bernyawa hukumnya tetap haram walau pembuatnya seekor monyet, seekor gajah, anak kecil, orang gila ataupun robot pelukis berdasarkan keumuman hadits.
(5) Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga menjelaskan:

والجواب عن الأول -وهو أن التصوير بالكاميرا ليس تصويراً لأن ذلك ليس من فعل المكلف- أن يقال: هذا غير مُسَلَّـم، فإنه تصوير لغةً وعرفاً، فإنه يقال للآلة: آلة التصوير، ولمُشغِّلها: المُصور، ولفعله: التصوير، وللحاصل بها: صورة، وهذا التصوير من فعل المكلف ولكن بالوسيلة، وهو من فعل المكلَّف، ولكن بالوسيلة الحديثة ((الكاميرا ))، ومما يدل على أنه من فعل المكلَّف أن له أحكاماً، فقد يكون مباحاً وقد يكون حراماً كما تقدم

“Jawaban untuk alasan pertama, yaitu bahwa memfoto dengan kamera bukanlah tashwir karena itu bukan perbuatan mukallaf, maka kita jawab bahwa ini kurang tepat. Karena ini tetap disebut tashwir secara bahasa (lughatan) maupun secara adat (‘urfan). Karena dalam bahasa Arab, kamera disebut: aalatut tashwir. Penggunanya disebut al mushawwir. Perbuatannya disebut at tashwir. Hasilnya disebut ash shurah. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan mukallaf namun dengan perantara alat. Sehingga tetap disebut perbuatan mukallaf, namun dengan menggunakan perantara alat modern bernama kamera. Diantara yang menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan mukallaf adalah karena dia memiliki hukum syar’i, terkadang hukumnya mubah dan terkadang hukumnya haram sebagaimana telah dijelaskan” (Sumber: https://dorar.net/article/80).

6. Syubhat: "foto itu seperti fotocopy maka tulisan yang dicopy tetap dinisbatkan kepada penulis aslinya."

Bantahan:
(1) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
(2) Insya Allah hanya ahlu bid''ah saja yang mengatakan foto dan video ciptaan Allah. Memfoto yang mana itu perbuatan makhluk dinisbatkan perbuatan Allah. Demi Allah ini paham ahlu bid'ah.
(3) Ketahuilah fotocopy walaupun isinya bukan tulisan si tukang fotocopy, akan tapi si tukang fotocopy bisa disebut sebagai pembajak kitab asli. Itu sebabnya banyak kitab yang sudah ada hak ciptanya kemudian tidak boleh dibajak/dicopy. Walau terlihat mirip bisa disebut barang palsu,, bajakan atau tidak original. Sehingga wajar jika pemilik hak cipta bisa marah dan menuntut.
(4) Manusia itu hak cipta Allah sehinga haram untuk dibajak/difoto ataupun ditiru berdasarkan keumuman larangan dari Nabi.
(5) Apa para mushowwir telah mendapat izin Allah membajak yaitu memfoto manusia dan makhluk bernyawa ciptaan Allah.?? Jika tidak mendapat izin hak cipta dari Allah, maka bisa menjadi sebab Allah murka dan melaknat para mushowwir yang berbuat zholim. Allahu a'lam, wa na'udzubillah.

7. Syubhat: "Terkait hukum foto dan video makhluk bernyawa
terdapat khilaf, karena ada yang 'alim yang membolehkan." walau tidak sebutkan dalil tapi hanya argumen dengan logika.

Bantahan:
(1) Tidak semua perkataan Shahabat Nabi itu hujjah apabila menyelisihi Kitabullah dan hadits Nabi ataupun ada Shahabat lain yang menyelisihi. Terlebih lagi perkataan selain Shahabat Nabi.
(2) Tidak semua perselisihan dalam perkara ijtihadiyah maka bisa dihukumi khilaf mu'tabar. Dihukumi khilaf mu'tabar apabila masing-masing pendapat berpegang dalil atau bisa menukilkan salafnya. Terjadi khilaf lantaran terjadi perbedaan dalam memahami dalil tersebut.
     Jika satu pihak berpegang hadits Nabi sedang pihak lawannya hanya beragumen dengan logika, maka ini bukan termasuk khilaf mu'tabar. Apa dalam hal ini ada Ahlus Sunnah yang tidak sepakat?
     Adapun jika ada orang Salafi ataupun ahlu ahwa' yang tidak sepakat insya Allah karena mereka memang sesat.
(3) Ketika ada orang yang menyelisihi hadits Nabi dan mengedepankan taqlid kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka dengan lantang syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi berkata: "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itu bukan Nabi..."
     Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi adalah guru syaikh bin Baz, syaikh Muhammad Al Utsaimin, syaikh Muqbil, syaikh Robi, syaikh Abdul Muhsin, syaikh Sholih Al Fauzan...dan tidak ada orang yang tahu pasti jumlah murid beliau karena sangat banyaknya.
     Ketika syaikh Utsaimin membolehkan foto tanpa sebutkan dalil dan hanya berdasarkan logika...jika saya katakan bahwa syaikh Utsaimin itu bukan Nabi. Apa ada Ahlus Sunnah yang merasa keberatan?
(4) Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
(5) Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)



Bab VII. Penutup

Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, 19 Shafar 1444 H (15-09-2022)


Hazim Al Jawiy














.




"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...