Baca juga :
https://hazimaljawiy.blogspot.com/2023/01/ash-shuroh-gambar-dan-larangan.html?m=1
BENARKAH GAMBAR HASIL KAMERA DAN HASIL SIHIR TIDAK TERMASUK ASH SHUROH YANG DIHARAMKAN?
https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/09/benarkah-gambar-hasil-kamera-dan-hasil.html?m=1
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين, و بعد :
Allah Ta'ala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا
"Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka." (QS. Al Ahzab: 57).
Ikrimah berkata, "Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah mereka yang membuat gambar-gambar."
Bab I. Hukum Ash Shuroh (Gambar) Dan Mushowwir (Pembuat Gambar) Makhluk Bernyawa
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً
“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah, radhiallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ
“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)
Sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْس يُعَذَّبُ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
“Setiap mushawwir (pembuat gambar) berada di dalam neraka, dan setiap gambar yang dibuatnya diberi nafas untuk menyiksa dirinya dalam neraka Jahannam.” (HR. Bukhari: 2225, Muslim: 2110)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadits yang marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فيِ الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Barangsiapa yang membuat shuroh (seni rupa makhluk bernyawa) di dunia, maka kelak (pada hari kiamat) ia akan dibebani untuk meniupkan ruh ke dalam rupaka yang dibuatnya, namun ia tidak bisa meniupkannya.” (HR. Bukhari: 5963, Muslim:2110)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Al Hayyaj, ia berkata: sesungguhnya Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku:
أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ أَنْ لاَ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Maukah kamu aku utus untuk suatu tugas sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: janganlah kamu biarkan ada shurah (sebuah rupaka) tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah kuburan yang menonjol kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim: 969).
Faidah:
1. Syari'at melarang ash shuroh dan membuat gambar makhluk bernyawa.
Telah diriwayatkan di Sunan Tirmidzi (5/427) dari hadits Jabir Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الصورة في البيت ونهى أن يصنع ذلك
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar ke dalam rumah dan melarang membuatnya.” (hadits shahih).
Dan merupakan suatu hal yang maklum hukum asal larangan dalam syari’at itu adalah haram kecuali apabila terdapat dalil lain yang memalingkan keharaman itu menjadi makruh, bagaimana kalau tidak didapati dalil yang memalingkan keharaman perkara tersebut justru dibarengi dengan perintah menghapusnya bahkan laknat serta siksaan yang keras bagi pelakunya.
2. Syari'at memerintahkan menghapus ash shuroh (gambar makhluk bernyawa)
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari hadits Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِى الْبَيْتِ لَمْ يَدْخُلْ ، حَتَّى أَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ
“Manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) di dalam Ka’bah, beliau tidak memasukinya hingga beliau memerintahkan untuk dihapus.”
Dan dari Abil Hayyaaj Al-Asadi berkata:
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ.
“Ali bin Abi Thalib katakan kepadaku: Ingatlah sesungguhnya saya mengutusmu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mengutusku: (yaitu) Janganlah engkau meninggalkan sebuah patungpun (yang bernyawa) melainkan engkau merusaknya dan tidak pula meninggalkan sebuah kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan." (HR. Muslim (2/666))
Dan pada riwayat lain di Muslim:
وَلاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا.
“Dan jangan pula engkau meninggalkan suatu gambarpun melainkan engkau hapus.”
Manakala dia menyelisihi perintah tersebut maka patutlah dia mendapat laknat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Syari'at melaknat al mushowwir (para pembuat gambar bernyawa).
Sebagaimana pada hadits Abi Juhaifah Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ ، وَكَسْبِ الْبَغِىِّ ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing, dan upah pelacur, dan melaknat pemakan riba, dan yang memberi makan riba, pentato, dan yang minta ditato, serta al mushowwir (penggambar/pelukis).” (HR.Bukhari).
Laknat berarti terusir dari rahmat Allah, maka tidak heran kalau mereka diancam akan mendapat siksaan yang pedih dan keras di hari kiamat bahkan berhak masuk neraka jahannam. Laknat Allah kepada seorang muslim beda dengan laknat Allah terhadap orang kafir dan Iblis.
4. Para al mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat.
Dari ‘Abdillah berkata saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ »
“Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah di hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (HR. Bukhari).
Dari Abdillah bin Umar Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم )
“Sesungguhnya yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada mereka hidupkanlah apa yang kalian telah ciptakan.” (HR. Bukhari).
5. Para mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) di Neraka.
Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( كل مصور في النار يجعل له بكل صورة صورها نفسا فتعذبه في جهنم ) وقال إن كنت لابد فاعلا فاصنع الشجر وما لا نفس له…
“Setiap penggambar di dalam neraka, semua gambar yang sudah ia gambar diberi nyawa lalu menyiksanya di Jahannam.” Dan Ibnu ‘Abbas berkata: Apabila engkau harus melakukannya maka gambarlah pohon atau apa-apa yang tidak bernyawa…” (HR. Muslim).
Berkata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah: Yang diinginkan dengan ancaman tersebut adalah teguran keras (bagi pelakunya).
6. Menggambar makhluk bernyawa termasuk dosa besar.
Setelah mengetahui hal-hal yang telah lewat di atas tahulah kita bahwa membuat gambar bernyawa itu termasuk dosa besar di mana telah datang riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya beliau bersabda:
الكبائر كل ذنب ختمه الله بنار أو غضب أو لعنة أو عذاب
“(kaidah untuk mengetahui) Dosa besar adalah semua dosa yang Allah kecam pelakunya dengan neraka, kemurkaan, laknat, ataupun siksaan.”
Oleh karena itu Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah menggolongkan perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana pada kitab beliau “Al- ami’ush Shahih” jilid 5 kitab: Kabair. Kemudian beliau menyebutkan setelahnya hadits Abu Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تخرج عنق من النار يوم القيامة لها عينان تبصران وأذنان تسمعان ولسان ينطق يقول إني وكلت بثلاثة بكل جبار عنيد وبكل من دعا مع الله إلها آخر وبالمصورين
“Akan keluar di hari kiamat sebatang leher, memiliki dua mata yang melihat, dua telinga yang mendengar dan lisan yang berbicara seraya berkata; Saya ditugaskan menyiksa tiga jenis orang; tiap-tiap orang yang suka berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, siapa saja yang menyeru sembahan lain bersama Allah (berlaku syirik), dan para mushowwir (penggambar makhluk bernyawa)." (HR. Tirmidzi dan hadits ini di Shahihkan syaikh Al-Albani).
7. Para pembuat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling zhalim.
Dari hadits Abi Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال الله عز و جل ومن أظلم ممن ذهب يخلق كخلقي فليخلقوا ذرة أو ليخلقوا حبة أو شعيرة
“Allah ‘Azza wa Jalla berkata: “Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat (menggambar) seperti ciptaanKu, maka hendaknya ia menciptakan biji dzarrah, atau sebutir bibit tumbuhan, atau biji gandum.” (HR. Bukhari).
Bab II. Hakekat Ash Shuroh Dan Mushowwir (Pembuat Gambar)
1. Yang dilarang dalam Islam untuk digambar adalah ash shuroh, yaitu gambar makhluk bernyawa.
Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak terlarang untuk digambar. Diantara dalilnya adalah hadits berikut:
وعَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الحَسَنِ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ، إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي، وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata, Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, pekerjaanku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang aku akan sampaikan kepadamu adalah apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu beliau bersabda: “Siapa saja yang membuat gambar ash shurah, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa melakukannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi. Ibnu Abbas lalu berkata: “Celaka engkau, jika engkau tidak bisa meninggalkannya, maka gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki ruh (nyawa)” (HR. Bukhari no.2225).
Dalam hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa ash shurah yang dilarang untuk digambar adalah gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, maka tidak terlarang untuk digambar.
2. Inti ash shuroh adalah kepala.
Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ
“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).
Andaikan hadits ini mauquf pun, memiliki hukum marfu‘, disandarkan isinya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari ash shurah adalah kepala, jika gambar tanpa kepala maka tidak lagi disebut ash shurah.
3. Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’:
"Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Ataupun juga gambar foto. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ
“orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ
“orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ
“barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (makhluk bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga hadits lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ
“semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua hadits-hadits ini melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak.
Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
مجموع فتاوى اللجنة الدائمة بالسعودية - المجلد الرابع عشر (العقيدة).
(https://ar.islamway.net/fatwa/11106/ما-حكم-التصوير-في-الإسلام)
4. Semua Shuroh Makhluk Bernyawa ( Hasil Lukisan Tangan, Kamera, Mesin Pembuat Gambar, Mesin Fotocopy, Mesin Pencetak Foto Dan Patung, Ataupun Hasil Sihir) Haram Karena Tiada Dalil Yang Yang Menunjukkan Ada Perbedaan Hukum.
Dalam banyak hadits Nabi melarang shuroh (gambar makhluk bernyawa) tanpa dirinci ataupun dikhususkan hasil lukisan tangan. Sehingga hukum asalnya semua shuroh makhluk bernyawa itu haram baik hasil lukisan tangan, kamera, mesin pencetak gambar dan patung, robot pelukis, mesin fotocopy, alat sablon, sulap ataupun gambar dengan gunakan sihir dan bantuan jin. Demikian juga baik si pembuat gambar adalah seekor monyet/simpanse, seekor gajah pelukis, anak kecil, orang dewasa, orang gila, wanita dan lain-lain. Baik dibuat mukallaf ataupun tidak mukallaf maka hukum shuroh makhluk bernyawa sama-sama haram.
Membuat gambar dengan kamera termasuk tashwir dan hukumnya haram berdasarkan dengan keumuman dalil-dalil yang melarang tashwir dan memandang bahwa memfoto dengan kamera itu termasuk membuat ash shurah walaupun dengan bantuan alat.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya masalah membuat gambar dengan fotografi, beliau menjawab:
التصوير لا يجوز، لا باليد ولا بغير اليد، التصوير كله منكر، والرسول عليه الصلاة والسلام لعن المصورين
“At tashwir tidak diperbolehkan, baik dengan tangan atau dengan (alat) selain tangan. At tashwir semuanya adalah kemungkaran. Dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat para pembuat gambar.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 28/227).
Itu sebabnya jika ada yang menghalalkan shuroh makhluk bernyawa yang dibuat para mushowwir dengan kamera (berupa foto dan video) maka hendaknya wajib mendatangkan burhan.
5. Shuroh Makhluk Bernyawa Hasil Kamera (Foto Dan Video) Fitnahnya Lebih Besar Daripada Lukisan Tangan
(1) Unsur keserupaan lebih banyak dan tingkat keserupaan foto/video lebih tinggi daripada gambar hasil lukisan tangan. Bahkan gambar pada video bisa bergerak dan bicara menyerupai aslinya. Yang mana ini termasuk sebab dilarangnya ash shuroh karena unsur penyerupaan makhluk ciptaan Allah.
(2) Proses pembuatan foto dan vedeo pada umumnya lebih cepat.
(3) Pembuatan foto dan video pada umumnya lebih mudah daripada gambar dengan tangan. Bahkan banyak anak kecil yang sudah bisa memfoto.
(4) Foto dan video umumnya lebih mudah diperbanyak daripada gambar lukisan tangan.
(5) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan pada foto dan video umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
1. Yang dilarang dalam Islam untuk digambar adalah ash shuroh, yaitu gambar makhluk bernyawa.
Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak terlarang untuk digambar. Diantara dalilnya adalah hadits berikut:
وعَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الحَسَنِ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ، إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي، وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata, Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, pekerjaanku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang aku akan sampaikan kepadamu adalah apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu beliau bersabda: “Siapa saja yang membuat gambar ash shurah, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa melakukannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi. Ibnu Abbas lalu berkata: “Celaka engkau, jika engkau tidak bisa meninggalkannya, maka gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki ruh (nyawa)” (HR. Bukhari no.2225).
Dalam hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa ash shurah yang dilarang untuk digambar adalah gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, maka tidak terlarang untuk digambar.
2. Inti ash shuroh adalah kepala.
Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ
“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).
Andaikan hadits ini mauquf pun, memiliki hukum marfu‘, disandarkan isinya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari ash shurah adalah kepala, jika gambar tanpa kepala maka tidak lagi disebut ash shurah.
3. Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’:
"Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Ataupun juga gambar foto. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ
“orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ
“orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ
“barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (makhluk bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga hadits lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ
“semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua hadits-hadits ini melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak.
Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
مجموع فتاوى اللجنة الدائمة بالسعودية - المجلد الرابع عشر (العقيدة).
(https://ar.islamway.net/fatwa/11106/ما-حكم-التصوير-في-الإسلام)
4. Semua Shuroh Makhluk Bernyawa ( Hasil Lukisan Tangan, Kamera, Mesin Pembuat Gambar, Mesin Fotocopy, Mesin Pencetak Foto Dan Patung, Ataupun Hasil Sihir) Haram Karena Tiada Dalil Yang Yang Menunjukkan Ada Perbedaan Hukum.
Dalam banyak hadits Nabi melarang shuroh (gambar makhluk bernyawa) tanpa dirinci ataupun dikhususkan hasil lukisan tangan. Sehingga hukum asalnya semua shuroh makhluk bernyawa itu haram baik hasil lukisan tangan, kamera, mesin pencetak gambar dan patung, robot pelukis, mesin fotocopy, alat sablon, sulap ataupun gambar dengan gunakan sihir dan bantuan jin. Demikian juga baik si pembuat gambar adalah seekor monyet/simpanse, seekor gajah pelukis, anak kecil, orang dewasa, orang gila, wanita dan lain-lain. Baik dibuat mukallaf ataupun tidak mukallaf maka hukum shuroh makhluk bernyawa sama-sama haram.
Membuat gambar dengan kamera termasuk tashwir dan hukumnya haram berdasarkan dengan keumuman dalil-dalil yang melarang tashwir dan memandang bahwa memfoto dengan kamera itu termasuk membuat ash shurah walaupun dengan bantuan alat.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya masalah membuat gambar dengan fotografi, beliau menjawab:
التصوير لا يجوز، لا باليد ولا بغير اليد، التصوير كله منكر، والرسول عليه الصلاة والسلام لعن المصورين
“At tashwir tidak diperbolehkan, baik dengan tangan atau dengan (alat) selain tangan. At tashwir semuanya adalah kemungkaran. Dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat para pembuat gambar.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 28/227).
Itu sebabnya jika ada yang menghalalkan shuroh makhluk bernyawa yang dibuat para mushowwir dengan kamera (berupa foto dan video) maka hendaknya wajib mendatangkan burhan.
5. Shuroh Makhluk Bernyawa Hasil Kamera (Foto Dan Video) Fitnahnya Lebih Besar Daripada Lukisan Tangan
(1) Unsur keserupaan lebih banyak dan tingkat keserupaan foto/video lebih tinggi daripada gambar hasil lukisan tangan. Bahkan gambar pada video bisa bergerak dan bicara menyerupai aslinya. Yang mana ini termasuk sebab dilarangnya ash shuroh karena unsur penyerupaan makhluk ciptaan Allah.
(2) Proses pembuatan foto dan vedeo pada umumnya lebih cepat.
(3) Pembuatan foto dan video pada umumnya lebih mudah daripada gambar dengan tangan. Bahkan banyak anak kecil yang sudah bisa memfoto.
(4) Foto dan video umumnya lebih mudah diperbanyak daripada gambar lukisan tangan.
(5) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan pada foto dan video umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
Bab III. Malaikat Tidak Mau Masuk Rumah Yang Ada Gambar Makhluk Bernyawa
Malaikat adalah makhluk Allah yang mulia dan senantiasa beribadah kepadaNya tanpa merasa letih, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ (19) يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ (20) [الأنبياء/19، 20]
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan (Malaikat-Malaikat) yang di sisi-Nya, tidak angkuh untuk mengibadahi-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya’: 19-29).
Para Malaikat juga senantiasa menaati perintah Allah dan tidak pula mendurhakaiNya. Allah berfirman:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang mereka diperintahkan.” (QS. At-Tahrim. 6).
Sebab itu para malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang merupakan kemungkaran dan kemaksiatan bahkan termasuk dosa besar sebagaimana pada hadits Abi Tolhah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )
“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama berkata: sebab mereka (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya gambar adalah karena gambar itu adalah maksiat yang keji, dan merupakan bentuk peniruan terhadap ciptaan Allah Ta’ala, dan sebagian dari gambar itu ada yang disembah selain Allah Ta’ala, dan sebab mereka tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing adalah karena anjing sering makan yang najis-najis dan karena sebagian anjing ada yang dinamai setan sebagaimana telah datang hadits mengenai hal itu, sementara malaikat itu adalah musuh syaitan juga karena bau anjing yang sangat bau sedang malaikat tidak menyukai bau yang mengganggu, juga karena ada larangan untuk memelihara anjing maka orang yang memeliharanya diberi ganjaran yang setimpal yaitu malaikat tidak masuk rumahnya dan tidak berdoa di dalam rumahnya dan tidak pula beristigfar dan memintakan berkah untuknya dan berkah terhadap rumahnya dan meminta agar menjauhkannya dari gangguan syaithan, adapun malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan gambar adalah malaikat pembawa rahmat, pemohon berkah dan ampunan, adapun malaikat penjaga maka mereka tetap akan masuk tiap-tiap rumah (yang bergambar ataupun tidak) dan mereka tidak akan meninggalkan anak adam di setiap keadaan karena mereka ditugaskan menghitung dan menulis amalan-amalan manusia.”
Bab IV. Fitnah Dan Kejelekan Shuroh/Gambar Makhluk Bernyawa
Diantara sebab diharamkannya gambar (lukisan):
1. Mudhahah (menyerupai) ciptaan Allah, seolah-olah dia menandingi perbuatan Allah.
Hal haram ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً
“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) Maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)
Juga hadits dari Aisyah, radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ
“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)
Mudhahah (tasyabbuh/menyerupai) dilarang meskipun pelakunya tidak memiliki maksud.
2. Wasilah menuju kesyirikan
Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah:
وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.” (QS. Nuh: 23).
Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana, disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung tersebut disembah.” (HR. Bukhari: 4920)
3. Menyerupai Ahlu kitab
Dari Aisyah radhiallahu’anha:
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].
“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).
4. Fitnah syahwat dan hawa nafsu.
5. Wasilah dan media sihir.
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (4: 153) berkata,
ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية
“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”
Dari sini terlihat bahwa ‘ain insya Allah bisa ditimbulkan dengan melihat pada gambar seseorang secara langsung atau melihatnya di TV. Bahkan bisa hanya dengan mendengar, lalu dikhayalkan dan terkenalah ‘ain. Kita memohon pada Allah keselamatan.
Bab V. Hukum Ash Shuroh (Gambar Makhluk Bernyawa) Karena Terpaksa
Adapun jika dalam keadaan terpaksa dalam arti tidak dapat mencapai mashlahat yang wajib atasnya kalau tidak menuruti kemauan mereka untuk mendatangkan shuroh (foto) maka dosanya akan ditanggung dan dipikul oleh mereka yang mengharuskan hal tersebut, tentunya disertai dengan pengingkaran dan kebencian dari orang yang dipaksa sekurang-kurangnya dalam hati terhadap kemaksiatan itu, Allah Ta’ala berfirman:
﴿ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴾ [النحل/106]
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali siapa yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi barangsiapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka baginya kemurkaan Allah dan azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).
Dan dari hadits Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata:
«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ «لاَ مَا صَلَّوْا».
“Sungguh akan dijadikan atas kalian para penguasa, maka kalian akan dapati apa yang kalian benarkan dan apa yang kalian ingkari, maka barangsiapa yang benci (kemungkaran mereka) maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan nurut. Para sahabat berkata; Wahai Rasulullah tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat.” (HR. Muslim).
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata di “Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah”: “Apabila seseorang terpaksa untuk membuat paspor, baik itu untuk berhaji ataupun selainnya dari perjalanan-perjalanan yang harus atasnya, atau KTP, SIM, lisensi pekerjaan (surat keterangan/SK), ataupun uang (bergambar), maka dosanya dipikul oleh pemerintah yang mengharuskanmu (memaksamu) membuatnya.
Dan batasan darurat di sini adalah: Apabila maslahatmu yang merupakan kewajiban atasmu tak dapat diraih dengan meninggalkan foto. Adapun foto yang dituntut dari pelajar sekolahan (Kartu Tanda Pelajar), atau Tentara maka itu bukanlah suatu hal yang darurat, karena memungkinkan bagi pelajar tersebut untuk tidak belajar di sekolahan dan menuntut ilmu di depan ulama di mesjid-mesjid. Dan Tentara bisa saja dia mencari kerjaan lain dan tidak menjadi tentara."
Juga yang perlu diingatkan adalah apabila terpaksa dan terdesak antara dua pilihan, apakah engkau yang akan mengambil gambar istrimu yang bercadar ataukah tukang foto yang mengambilnya dan membuka cadarnya di hadapan tukang foto itu?
Maka biarlah pelaku maksiat itu (mushowwir/tukang foto) yang mengambil foto istrimu –dengan pengawasanmu (engkau temani)-, dan engkau selamat dari laknat yang diancamkan kepada pengambil gambar. Semakna ini juga fatwa Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah.
Malaikat adalah makhluk Allah yang mulia dan senantiasa beribadah kepadaNya tanpa merasa letih, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ (19) يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ (20) [الأنبياء/19، 20]
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan (Malaikat-Malaikat) yang di sisi-Nya, tidak angkuh untuk mengibadahi-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya’: 19-29).
Para Malaikat juga senantiasa menaati perintah Allah dan tidak pula mendurhakaiNya. Allah berfirman:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang mereka diperintahkan.” (QS. At-Tahrim. 6).
Sebab itu para malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang merupakan kemungkaran dan kemaksiatan bahkan termasuk dosa besar sebagaimana pada hadits Abi Tolhah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )
“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama berkata: sebab mereka (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya gambar adalah karena gambar itu adalah maksiat yang keji, dan merupakan bentuk peniruan terhadap ciptaan Allah Ta’ala, dan sebagian dari gambar itu ada yang disembah selain Allah Ta’ala, dan sebab mereka tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing adalah karena anjing sering makan yang najis-najis dan karena sebagian anjing ada yang dinamai setan sebagaimana telah datang hadits mengenai hal itu, sementara malaikat itu adalah musuh syaitan juga karena bau anjing yang sangat bau sedang malaikat tidak menyukai bau yang mengganggu, juga karena ada larangan untuk memelihara anjing maka orang yang memeliharanya diberi ganjaran yang setimpal yaitu malaikat tidak masuk rumahnya dan tidak berdoa di dalam rumahnya dan tidak pula beristigfar dan memintakan berkah untuknya dan berkah terhadap rumahnya dan meminta agar menjauhkannya dari gangguan syaithan, adapun malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan gambar adalah malaikat pembawa rahmat, pemohon berkah dan ampunan, adapun malaikat penjaga maka mereka tetap akan masuk tiap-tiap rumah (yang bergambar ataupun tidak) dan mereka tidak akan meninggalkan anak adam di setiap keadaan karena mereka ditugaskan menghitung dan menulis amalan-amalan manusia.”
Bab IV. Fitnah Dan Kejelekan Shuroh/Gambar Makhluk Bernyawa
Diantara sebab diharamkannya gambar (lukisan):
1. Mudhahah (menyerupai) ciptaan Allah, seolah-olah dia menandingi perbuatan Allah.
Hal haram ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً
“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) Maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)
Juga hadits dari Aisyah, radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ
“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)
Mudhahah (tasyabbuh/menyerupai) dilarang meskipun pelakunya tidak memiliki maksud.
2. Wasilah menuju kesyirikan
Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah:
وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.” (QS. Nuh: 23).
Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana, disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung tersebut disembah.” (HR. Bukhari: 4920)
3. Menyerupai Ahlu kitab
Dari Aisyah radhiallahu’anha:
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].
“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).
4. Fitnah syahwat dan hawa nafsu.
5. Wasilah dan media sihir.
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (4: 153) berkata,
ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية
“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”
Dari sini terlihat bahwa ‘ain insya Allah bisa ditimbulkan dengan melihat pada gambar seseorang secara langsung atau melihatnya di TV. Bahkan bisa hanya dengan mendengar, lalu dikhayalkan dan terkenalah ‘ain. Kita memohon pada Allah keselamatan.
Bab V. Hukum Ash Shuroh (Gambar Makhluk Bernyawa) Karena Terpaksa
Adapun jika dalam keadaan terpaksa dalam arti tidak dapat mencapai mashlahat yang wajib atasnya kalau tidak menuruti kemauan mereka untuk mendatangkan shuroh (foto) maka dosanya akan ditanggung dan dipikul oleh mereka yang mengharuskan hal tersebut, tentunya disertai dengan pengingkaran dan kebencian dari orang yang dipaksa sekurang-kurangnya dalam hati terhadap kemaksiatan itu, Allah Ta’ala berfirman:
﴿ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴾ [النحل/106]
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali siapa yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi barangsiapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka baginya kemurkaan Allah dan azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).
Dan dari hadits Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata:
«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ «لاَ مَا صَلَّوْا».
“Sungguh akan dijadikan atas kalian para penguasa, maka kalian akan dapati apa yang kalian benarkan dan apa yang kalian ingkari, maka barangsiapa yang benci (kemungkaran mereka) maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan nurut. Para sahabat berkata; Wahai Rasulullah tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat.” (HR. Muslim).
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata di “Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah”: “Apabila seseorang terpaksa untuk membuat paspor, baik itu untuk berhaji ataupun selainnya dari perjalanan-perjalanan yang harus atasnya, atau KTP, SIM, lisensi pekerjaan (surat keterangan/SK), ataupun uang (bergambar), maka dosanya dipikul oleh pemerintah yang mengharuskanmu (memaksamu) membuatnya.
Dan batasan darurat di sini adalah: Apabila maslahatmu yang merupakan kewajiban atasmu tak dapat diraih dengan meninggalkan foto. Adapun foto yang dituntut dari pelajar sekolahan (Kartu Tanda Pelajar), atau Tentara maka itu bukanlah suatu hal yang darurat, karena memungkinkan bagi pelajar tersebut untuk tidak belajar di sekolahan dan menuntut ilmu di depan ulama di mesjid-mesjid. Dan Tentara bisa saja dia mencari kerjaan lain dan tidak menjadi tentara."
Juga yang perlu diingatkan adalah apabila terpaksa dan terdesak antara dua pilihan, apakah engkau yang akan mengambil gambar istrimu yang bercadar ataukah tukang foto yang mengambilnya dan membuka cadarnya di hadapan tukang foto itu?
Maka biarlah pelaku maksiat itu (mushowwir/tukang foto) yang mengambil foto istrimu –dengan pengawasanmu (engkau temani)-, dan engkau selamat dari laknat yang diancamkan kepada pengambil gambar. Semakna ini juga fatwa Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah.
Bab VI. Syubhat Dan Bantahan
1. Syubhat: "Sebagian orang memiliki syubhat, bahwa larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah. Adapun jika tidak bermaksud untuk menyembah gambar tersebut maka tidak mengapa."
Bantahan:
(1) hadits-hadits larangan tashwir sifatnya muthlaq tidak menyebutkan keterangan bahwa larangannya berlaku jika gambarnya akan disembah.
(2) illah (alasan) dilarangnya tashwir diantaranya 3 alasan yaitu: karena menandingi ciptaan Allah (sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, menyerupai perbuatan kaum Ahlul Kitab (sebagaimana dalam hadits Aisyah) dan merupakan sarana menuju kesyirikan (sebagaimana penjelasan Ibnu Mas’ud). Andaikan shurah yang dibuat tidak bermaksud untuk disembah maka bukankah ada 2 alasan lainnya yang tetap menjadikan tashwir hukumnya terlarang??
(3) kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika awal mula mereka membuat patung dari orang shalih yang sudah meninggal, mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu. Namun ternyata berujung kepada penyembahan dan kesyirikan. Sehingga tashwir tetap terlarang meskipun tidak bermaksud untuk menyembahnya, dalam rangka sadd adz dzari’ah (menutup celah menuju keburukan).
(4) Berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir kita tidak boleh menggambar Nabi Muhammad, malaikat Jibril ataupun Buroq sekalipun tidak untuk disembah. Bukankah kaum muslimin sepakat dalam perkara ini.?
(5) Kita juga tidak boleh menggambar kuda bersayap, manusia bersayap, makhluk-makhluk khayalan yang wujudnya perpaduan manusia dan hewan (semisal dewa ganesa, ular berkepala manusia & para dewa Yunani) ataupun makhluk jelmaan jin meski tidak disembah berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir walau makhluk tersebut tidak pernah dilihat di dunia.
2. Syubhat: Diantara orang yang membolehkan shuroh bernyawa berhujjah dengan:
(1) Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukannya.
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440).
(2) Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud no. 4934, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani).
Bantahan:
(1) Ibnu Hajar (wafat tahun 852H) rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia (tidak utuh).”
(2) Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits. Sesungguhnya hanyalah diberikan keringanan hukum (rukhshoh) bagi ‘Aisyah terkait boneka-boneka mainannya karena pada saat itu ‘Aisyah belum baligh.”
(3) Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Aku katakan terkait adanya pemastian bahwa hal ini terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh, (sebetulnya) itu masih berupa kemungkinan, karena ‘Aisyah pada saat terjadi perang Khaibar masih berusia 14 tahun atau sekitar itu, sedangkan ketika terjadi perang Tabuk, beliau sudah dapat dipastikan telah baligh. Sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Khaibar lebih kuat (artinya, ketika itu ‘Aisyah belum baligh, pen.). Dengan demikian, dapat dikompromikan dengan apa yang disebutkan Al-Khathabi (sebelumnya) sehingga terhindar dari adanya pertentangan makna (yaitu larangan gambar atau patung makhluk bernyawa, pen.)” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, XIII/701).
(4) An-Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) rahimahullah mengatakan, “Al-Qadhi berpendapat bahwa hadits ini merupakan dalil bolehnya bermain dengan boneka. Ini merupakan pengkhususan dari dalil tentang gambar (makhluk bernyawa) yang dilarang. Beliau berdalil dengan hadits ini (untuk menyatakan) perlunya latihan bagi anak perempuan ketika masih kecil dalam rangka persiapan untuk kelak mengurusi diri mereka sendiri, rumah tangga, dan anak-anak mereka.”
Namun beliau juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan gambar (makhluk bernyawa)” (Diringkas dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).
(5) Bagaimana hakekat shuroh boneka milik ibunda Aisyah waktu kecil? Apa bisa mendatangkan burhan bahwa boneka tersebut punya mata dan wujudnya seperti aslinya? Andai bentuknya benar-benar seperti makhluk hidup, kenapa Nabi bertanya kepada ‘Aisyah, "Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’"
(6) Mainan anak itu beragam. Dunia anak kecil itu beda dengan dunia orang dewasa. Dan fakta ada mainan belalang dari daun kelapa, orang-orangan dari daun singkong atau mainan origami berbentuk burung, kupu-kupu dan hewan wujudnya beda jauh dengan aslinya. Demikian juga ada boneka salju bentuknya beda jauh dengan manusia. Bahkan buah krai (sejenis mentimun) oleh anak kecil bisa dibuat main dan digendong dianggap menggendong anak.
(7) Jumhur ulama yang membolehkan bermain boneka, tujuannya adalah untuk mendidik si anak ketika masih kecil agar kelak ketika balig sudah dapat mengurus diri sendiri, rumah, hingga anak-anaknya. Adapun boneka yang sekedar dipajang di rumah-rumah, maka hendaklah kita takut dengan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa)” (HR. Bukhari no. 3226 dan Muslim no. 2106).
Sebagaimana juga hukum asal nyanyian adalah dilarang, tapi Nabi pernah membiarkan anak-anak kecil menyanyi. Itu hanya rukhshoh bagi anak kecil. Wallahu Ta’ala a’lam bi shawab.
3. Syubhat: " Mengambil gambar dengan kamera foto tidaklah termasuk dalam larangan yang ada dalam nash-nash yang mengharamkan tashwir. Karena tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah. Karena tujuan dari memfoto adalah mengambil gambar ciptaan Allah ta’ala, tidak ada unsur pengeditan dari manusia. Maka ini sama seperti gambar yang ada di cermin atau yang di air (ketika melihatnya)."
"Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."
Bantahan:
(1) Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Bahkan jika ada monyet bisa melukis, robot pelukis, gajah pelukis, simpanse pelukis ataupun tukang sihir/jin bisa membuat foto tanpa kamera maka tetap haram.
(2) Alasan yang dikemukakan mereka hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(3) Foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.
(4) Jika mereka hanya mampu gunakan logika tanpa secuil dalil (bahkan tidak mampu mendatangkan hadits dho'if yang yang secara shorih membolehkan shuroh makhluk bernyawa), maka sudah sepantasnya juga dibantah dengan akal sehat.
(5) Dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa resmi penulisan karya ilmiah, dll atapun urf, maka foto termasuk gambar. Dalam penulisan karya ilmiah pun foto dimasukkan daftar gambar.
(6) Bahasa Arab tukang foto dan pelukis juga mushowwir.
(7) Dalam seni lukis ada aliran Naturalisme dan Realisme yang lukisannya seperti aslinya seperti foto. Bahkan jika kualitas tingggi lukisan Realistis itu sulit dibedakan dengan foto atau bisa lebih mirip objeknya dari pada foto yang dihasilkan kamera kelas rendah.Apa lukisan Realistis juga mereka halalkan jika si pembuat lukisan tiada tujuan kreasi gambar baru tapi menggambar ciptaan Allah.???
4. Syubhat: "Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."
Bantahan:
Foto tidak bisa diqiaskan dengan bayangan pada cermin karena punya banyak perbedaan:
(1) Foto dihasilkan kamera karena ada upaya dan kehendak manusia, sedang bayangan pada cermin, air dan semisai bisa muncul tanpa kehendak manusia. Tapi karena sifat yang ada pada cermin ataupun air.
(2) Sifat bayangan pada foto antara kanan kiri atau atas bawah bisa kebalikan benda aslinya. Sedang gambar foto tidak demikian.
(3) Bayangan pada cermin dan air tidak disimpan. Jika obyeknya hilang, maka bayangannya juga ikut hilang. Sebaliknya gambar pada foto disimpan.
(4) Bayangan orang yang sudah tidak ada di muka bum(mati), maka tidak bisa dimunculkan lagi lewat cermin. Sebaliknya banyak foto orang-orang yang sudah mati tetap masih bisa tersimpan berupa foto dan video.
(5) Bayangan pada cermin telah ada ijma' tentang bolehnya bercermin. Sedang foto tiada ijma' ahlus sunnah yang membolehkan.
(6) Bayangan pada cermin dan air tidak bisa di-edit, sedang gambar pada foto dan video bisa diedit ataupun diberi efek. Bisa diperkecil, diperbesar, diwarnai, dimunculkan, dihilangkan dan lain-lain. Bahkan foto rambut dan gaya rambut seseorang bisa diedit lewat beragam aplikasi edit foto dan video. Ada foto dan video manusia bisa terbang, menembus tanah dan dinding, manusia berkepala lebih dari 1 dan lain-lain. Bahkan sekarang ada teknologi membuat film baru dengan pemeran/aktornya orang yang sudah mati.
(7) Jika cermin pecah maka bayangan pun ikut rusak. Sebaliknya foto dan video masih bisa ada sekalipun kameranya sudah rusak.
Jika faktanya punya banyak perbedaan maka itu termasuk qias bathil.
Adapun kacamata, lensa, mikroskop, teropong, teleskop dan alat-alat optik jika mau diqiaskan dengan cermin yang fungsinya hanya sebagai alat bantu untuk melihat dan tanpa dilengkapi kamera/alat pembuat gambar..insya Allah dibolehkan secara ijma'. Wa Allahu a'lam.
5. Syubhat: "Kamera bukan mukallaf, sehingga gambar hasil kamera dibolehkan."
Bantahan:
(1) Nabi melarang ash shuroh makhluk bernyawa itu tiada kaitan karena hasil perbuatan mukallaf. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )
“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
(2) Kamera memang bukan mukallaf, tapi orang yang mengoperasikan kamera termasuk mukallaf.
(3) Tidak semua orang bisa memfoto ataupun mengoperasikan kamera. Demikian juga kualitas gambarnya juga tidak sama: ada yang terlihat mirip objek, lebih jelek, lebih bagus dll. Contoh: tidak semua kamera bisa untuk memfoto Bulan di langit seperti aslinya walau tanpa editan.
(4) Shuroh makhluk bernyawa hukumnya tetap haram walau pembuatnya seekor monyet, seekor gajah, anak kecil, orang gila ataupun robot pelukis berdasarkan keumuman hadits.
(5) Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga menjelaskan:
والجواب عن الأول -وهو أن التصوير بالكاميرا ليس تصويراً لأن ذلك ليس من فعل المكلف- أن يقال: هذا غير مُسَلَّـم، فإنه تصوير لغةً وعرفاً، فإنه يقال للآلة: آلة التصوير، ولمُشغِّلها: المُصور، ولفعله: التصوير، وللحاصل بها: صورة، وهذا التصوير من فعل المكلف ولكن بالوسيلة، وهو من فعل المكلَّف، ولكن بالوسيلة الحديثة ((الكاميرا ))، ومما يدل على أنه من فعل المكلَّف أن له أحكاماً، فقد يكون مباحاً وقد يكون حراماً كما تقدم
“Jawaban untuk alasan pertama, yaitu bahwa memfoto dengan kamera bukanlah tashwir karena itu bukan perbuatan mukallaf, maka kita jawab bahwa ini kurang tepat. Karena ini tetap disebut tashwir secara bahasa (lughatan) maupun secara adat (‘urfan). Karena dalam bahasa Arab, kamera disebut: aalatut tashwir. Penggunanya disebut al mushawwir. Perbuatannya disebut at tashwir. Hasilnya disebut ash shurah. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan mukallaf namun dengan perantara alat. Sehingga tetap disebut perbuatan mukallaf, namun dengan menggunakan perantara alat modern bernama kamera. Diantara yang menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan mukallaf adalah karena dia memiliki hukum syar’i, terkadang hukumnya mubah dan terkadang hukumnya haram sebagaimana telah dijelaskan” (Sumber: https://dorar.net/article/80).
6. Syubhat: "foto itu seperti fotocopy maka tulisan yang dicopy tetap dinisbatkan kepada penulis aslinya."
Bantahan:
(1) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
(2) Insya Allah hanya ahlu bid''ah saja yang mengatakan foto dan video ciptaan Allah. Memfoto yang mana itu perbuatan makhluk dinisbatkan perbuatan Allah. Demi Allah ini paham ahlu bid'ah.
(3) Ketahuilah fotocopy walaupun isinya bukan tulisan si tukang fotocopy, akan tapi si tukang fotocopy bisa disebut sebagai pembajak kitab asli. Itu sebabnya banyak kitab yang sudah ada hak ciptanya kemudian tidak boleh dibajak/dicopy. Walau terlihat mirip bisa disebut barang palsu,, bajakan atau tidak original. Sehingga wajar jika pemilik hak cipta bisa marah dan menuntut.
(4) Manusia itu hak cipta Allah sehinga haram untuk dibajak/difoto ataupun ditiru berdasarkan keumuman larangan dari Nabi.
(5) Apa para mushowwir telah mendapat izin Allah membajak yaitu memfoto manusia dan makhluk bernyawa ciptaan Allah.?? Jika tidak mendapat izin hak cipta dari Allah, maka bisa menjadi sebab Allah murka dan melaknat para mushowwir yang berbuat zholim. Allahu a'lam, wa na'udzubillah.
7. Syubhat: "Terkait hukum foto dan video makhluk bernyawa
terdapat khilaf, karena ada yang 'alim yang membolehkan." walau tidak sebutkan dalil tapi hanya argumen dengan logika.
Bantahan:
(1) Tidak semua perkataan Shahabat Nabi itu hujjah apabila menyelisihi Kitabullah dan hadits Nabi ataupun ada Shahabat lain yang menyelisihi. Terlebih lagi perkataan selain Shahabat Nabi.
(2) Tidak semua perselisihan dalam perkara ijtihadiyah maka bisa dihukumi khilaf mu'tabar. Dihukumi khilaf mu'tabar apabila masing-masing pendapat berpegang dalil atau bisa menukilkan salafnya. Terjadi khilaf lantaran terjadi perbedaan dalam memahami dalil tersebut.
Jika satu pihak berpegang hadits Nabi sedang pihak lawannya hanya beragumen dengan logika, maka ini bukan termasuk khilaf mu'tabar. Apa dalam hal ini ada Ahlus Sunnah yang tidak sepakat?
Adapun jika ada orang Salafi ataupun ahlu ahwa' yang tidak sepakat insya Allah karena mereka memang sesat.
(3) Ketika ada orang yang menyelisihi hadits Nabi dan mengedepankan taqlid kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka dengan lantang syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi berkata: "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itu bukan Nabi..."
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi adalah guru syaikh bin Baz, syaikh Muhammad Al Utsaimin, syaikh Muqbil, syaikh Robi, syaikh Abdul Muhsin, syaikh Sholih Al Fauzan...dan tidak ada orang yang tahu pasti jumlah murid beliau karena sangat banyaknya.
Ketika syaikh Utsaimin membolehkan foto tanpa sebutkan dalil dan hanya berdasarkan logika...jika saya katakan bahwa syaikh Utsaimin itu bukan Nabi. Apa ada Ahlus Sunnah yang merasa keberatan?
(4) Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
Imam Syafi’i juga berkata,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
(5) Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:
إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)
"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
Bab VII. Penutup
Allah Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).
قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:
«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»
"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
Allah Ta'ala berfirman:
فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ
"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).
رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
Blora, 19 Shafar 1444 H (15-09-2022)
Hazim Al Jawiy
.
1. Syubhat: "Sebagian orang memiliki syubhat, bahwa larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah. Adapun jika tidak bermaksud untuk menyembah gambar tersebut maka tidak mengapa."
Bantahan:
(1) hadits-hadits larangan tashwir sifatnya muthlaq tidak menyebutkan keterangan bahwa larangannya berlaku jika gambarnya akan disembah.
(2) illah (alasan) dilarangnya tashwir diantaranya 3 alasan yaitu: karena menandingi ciptaan Allah (sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, menyerupai perbuatan kaum Ahlul Kitab (sebagaimana dalam hadits Aisyah) dan merupakan sarana menuju kesyirikan (sebagaimana penjelasan Ibnu Mas’ud). Andaikan shurah yang dibuat tidak bermaksud untuk disembah maka bukankah ada 2 alasan lainnya yang tetap menjadikan tashwir hukumnya terlarang??
(3) kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika awal mula mereka membuat patung dari orang shalih yang sudah meninggal, mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu. Namun ternyata berujung kepada penyembahan dan kesyirikan. Sehingga tashwir tetap terlarang meskipun tidak bermaksud untuk menyembahnya, dalam rangka sadd adz dzari’ah (menutup celah menuju keburukan).
(4) Berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir kita tidak boleh menggambar Nabi Muhammad, malaikat Jibril ataupun Buroq sekalipun tidak untuk disembah. Bukankah kaum muslimin sepakat dalam perkara ini.?
(5) Kita juga tidak boleh menggambar kuda bersayap, manusia bersayap, makhluk-makhluk khayalan yang wujudnya perpaduan manusia dan hewan (semisal dewa ganesa, ular berkepala manusia & para dewa Yunani) ataupun makhluk jelmaan jin meski tidak disembah berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir walau makhluk tersebut tidak pernah dilihat di dunia.
2. Syubhat: Diantara orang yang membolehkan shuroh bernyawa berhujjah dengan:
(1) Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukannya.
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440).
(2) Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud no. 4934, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani).
Bantahan:
(1) Ibnu Hajar (wafat tahun 852H) rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia (tidak utuh).”
(2) Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits. Sesungguhnya hanyalah diberikan keringanan hukum (rukhshoh) bagi ‘Aisyah terkait boneka-boneka mainannya karena pada saat itu ‘Aisyah belum baligh.”
(3) Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Aku katakan terkait adanya pemastian bahwa hal ini terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh, (sebetulnya) itu masih berupa kemungkinan, karena ‘Aisyah pada saat terjadi perang Khaibar masih berusia 14 tahun atau sekitar itu, sedangkan ketika terjadi perang Tabuk, beliau sudah dapat dipastikan telah baligh. Sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Khaibar lebih kuat (artinya, ketika itu ‘Aisyah belum baligh, pen.). Dengan demikian, dapat dikompromikan dengan apa yang disebutkan Al-Khathabi (sebelumnya) sehingga terhindar dari adanya pertentangan makna (yaitu larangan gambar atau patung makhluk bernyawa, pen.)” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, XIII/701).
(4) An-Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) rahimahullah mengatakan, “Al-Qadhi berpendapat bahwa hadits ini merupakan dalil bolehnya bermain dengan boneka. Ini merupakan pengkhususan dari dalil tentang gambar (makhluk bernyawa) yang dilarang. Beliau berdalil dengan hadits ini (untuk menyatakan) perlunya latihan bagi anak perempuan ketika masih kecil dalam rangka persiapan untuk kelak mengurusi diri mereka sendiri, rumah tangga, dan anak-anak mereka.”
Namun beliau juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan gambar (makhluk bernyawa)” (Diringkas dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).
(5) Bagaimana hakekat shuroh boneka milik ibunda Aisyah waktu kecil? Apa bisa mendatangkan burhan bahwa boneka tersebut punya mata dan wujudnya seperti aslinya? Andai bentuknya benar-benar seperti makhluk hidup, kenapa Nabi bertanya kepada ‘Aisyah, "Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’"
(6) Mainan anak itu beragam. Dunia anak kecil itu beda dengan dunia orang dewasa. Dan fakta ada mainan belalang dari daun kelapa, orang-orangan dari daun singkong atau mainan origami berbentuk burung, kupu-kupu dan hewan wujudnya beda jauh dengan aslinya. Demikian juga ada boneka salju bentuknya beda jauh dengan manusia. Bahkan buah krai (sejenis mentimun) oleh anak kecil bisa dibuat main dan digendong dianggap menggendong anak.
(7) Jumhur ulama yang membolehkan bermain boneka, tujuannya adalah untuk mendidik si anak ketika masih kecil agar kelak ketika balig sudah dapat mengurus diri sendiri, rumah, hingga anak-anaknya. Adapun boneka yang sekedar dipajang di rumah-rumah, maka hendaklah kita takut dengan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa)” (HR. Bukhari no. 3226 dan Muslim no. 2106).
Sebagaimana juga hukum asal nyanyian adalah dilarang, tapi Nabi pernah membiarkan anak-anak kecil menyanyi. Itu hanya rukhshoh bagi anak kecil. Wallahu Ta’ala a’lam bi shawab.
3. Syubhat: " Mengambil gambar dengan kamera foto tidaklah termasuk dalam larangan yang ada dalam nash-nash yang mengharamkan tashwir. Karena tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah. Karena tujuan dari memfoto adalah mengambil gambar ciptaan Allah ta’ala, tidak ada unsur pengeditan dari manusia. Maka ini sama seperti gambar yang ada di cermin atau yang di air (ketika melihatnya)."
"Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."
Bantahan:
(1) Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Bahkan jika ada monyet bisa melukis, robot pelukis, gajah pelukis, simpanse pelukis ataupun tukang sihir/jin bisa membuat foto tanpa kamera maka tetap haram.
(2) Alasan yang dikemukakan mereka hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(3) Foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.
(4) Jika mereka hanya mampu gunakan logika tanpa secuil dalil (bahkan tidak mampu mendatangkan hadits dho'if yang yang secara shorih membolehkan shuroh makhluk bernyawa), maka sudah sepantasnya juga dibantah dengan akal sehat.
(5) Dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa resmi penulisan karya ilmiah, dll atapun urf, maka foto termasuk gambar. Dalam penulisan karya ilmiah pun foto dimasukkan daftar gambar.
(6) Bahasa Arab tukang foto dan pelukis juga mushowwir.
(7) Dalam seni lukis ada aliran Naturalisme dan Realisme yang lukisannya seperti aslinya seperti foto. Bahkan jika kualitas tingggi lukisan Realistis itu sulit dibedakan dengan foto atau bisa lebih mirip objeknya dari pada foto yang dihasilkan kamera kelas rendah.Apa lukisan Realistis juga mereka halalkan jika si pembuat lukisan tiada tujuan kreasi gambar baru tapi menggambar ciptaan Allah.???
4. Syubhat: "Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."
Bantahan:
Foto tidak bisa diqiaskan dengan bayangan pada cermin karena punya banyak perbedaan:
(1) Foto dihasilkan kamera karena ada upaya dan kehendak manusia, sedang bayangan pada cermin, air dan semisai bisa muncul tanpa kehendak manusia. Tapi karena sifat yang ada pada cermin ataupun air.
(2) Sifat bayangan pada foto antara kanan kiri atau atas bawah bisa kebalikan benda aslinya. Sedang gambar foto tidak demikian.
(3) Bayangan pada cermin dan air tidak disimpan. Jika obyeknya hilang, maka bayangannya juga ikut hilang. Sebaliknya gambar pada foto disimpan.
(4) Bayangan orang yang sudah tidak ada di muka bum(mati), maka tidak bisa dimunculkan lagi lewat cermin. Sebaliknya banyak foto orang-orang yang sudah mati tetap masih bisa tersimpan berupa foto dan video.
(5) Bayangan pada cermin telah ada ijma' tentang bolehnya bercermin. Sedang foto tiada ijma' ahlus sunnah yang membolehkan.
(6) Bayangan pada cermin dan air tidak bisa di-edit, sedang gambar pada foto dan video bisa diedit ataupun diberi efek. Bisa diperkecil, diperbesar, diwarnai, dimunculkan, dihilangkan dan lain-lain. Bahkan foto rambut dan gaya rambut seseorang bisa diedit lewat beragam aplikasi edit foto dan video. Ada foto dan video manusia bisa terbang, menembus tanah dan dinding, manusia berkepala lebih dari 1 dan lain-lain. Bahkan sekarang ada teknologi membuat film baru dengan pemeran/aktornya orang yang sudah mati.
(7) Jika cermin pecah maka bayangan pun ikut rusak. Sebaliknya foto dan video masih bisa ada sekalipun kameranya sudah rusak.
Jika faktanya punya banyak perbedaan maka itu termasuk qias bathil.
Adapun kacamata, lensa, mikroskop, teropong, teleskop dan alat-alat optik jika mau diqiaskan dengan cermin yang fungsinya hanya sebagai alat bantu untuk melihat dan tanpa dilengkapi kamera/alat pembuat gambar..insya Allah dibolehkan secara ijma'. Wa Allahu a'lam.
5. Syubhat: "Kamera bukan mukallaf, sehingga gambar hasil kamera dibolehkan."
Bantahan:
(1) Nabi melarang ash shuroh makhluk bernyawa itu tiada kaitan karena hasil perbuatan mukallaf. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )
“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain:
( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
(2) Kamera memang bukan mukallaf, tapi orang yang mengoperasikan kamera termasuk mukallaf.
(3) Tidak semua orang bisa memfoto ataupun mengoperasikan kamera. Demikian juga kualitas gambarnya juga tidak sama: ada yang terlihat mirip objek, lebih jelek, lebih bagus dll. Contoh: tidak semua kamera bisa untuk memfoto Bulan di langit seperti aslinya walau tanpa editan.
(4) Shuroh makhluk bernyawa hukumnya tetap haram walau pembuatnya seekor monyet, seekor gajah, anak kecil, orang gila ataupun robot pelukis berdasarkan keumuman hadits.
(5) Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga menjelaskan:
والجواب عن الأول -وهو أن التصوير بالكاميرا ليس تصويراً لأن ذلك ليس من فعل المكلف- أن يقال: هذا غير مُسَلَّـم، فإنه تصوير لغةً وعرفاً، فإنه يقال للآلة: آلة التصوير، ولمُشغِّلها: المُصور، ولفعله: التصوير، وللحاصل بها: صورة، وهذا التصوير من فعل المكلف ولكن بالوسيلة، وهو من فعل المكلَّف، ولكن بالوسيلة الحديثة ((الكاميرا ))، ومما يدل على أنه من فعل المكلَّف أن له أحكاماً، فقد يكون مباحاً وقد يكون حراماً كما تقدم
“Jawaban untuk alasan pertama, yaitu bahwa memfoto dengan kamera bukanlah tashwir karena itu bukan perbuatan mukallaf, maka kita jawab bahwa ini kurang tepat. Karena ini tetap disebut tashwir secara bahasa (lughatan) maupun secara adat (‘urfan). Karena dalam bahasa Arab, kamera disebut: aalatut tashwir. Penggunanya disebut al mushawwir. Perbuatannya disebut at tashwir. Hasilnya disebut ash shurah. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan mukallaf namun dengan perantara alat. Sehingga tetap disebut perbuatan mukallaf, namun dengan menggunakan perantara alat modern bernama kamera. Diantara yang menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan mukallaf adalah karena dia memiliki hukum syar’i, terkadang hukumnya mubah dan terkadang hukumnya haram sebagaimana telah dijelaskan” (Sumber: https://dorar.net/article/80).
6. Syubhat: "foto itu seperti fotocopy maka tulisan yang dicopy tetap dinisbatkan kepada penulis aslinya."
Bantahan:
(1) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
(2) Insya Allah hanya ahlu bid''ah saja yang mengatakan foto dan video ciptaan Allah. Memfoto yang mana itu perbuatan makhluk dinisbatkan perbuatan Allah. Demi Allah ini paham ahlu bid'ah.
(3) Ketahuilah fotocopy walaupun isinya bukan tulisan si tukang fotocopy, akan tapi si tukang fotocopy bisa disebut sebagai pembajak kitab asli. Itu sebabnya banyak kitab yang sudah ada hak ciptanya kemudian tidak boleh dibajak/dicopy. Walau terlihat mirip bisa disebut barang palsu,, bajakan atau tidak original. Sehingga wajar jika pemilik hak cipta bisa marah dan menuntut.
(4) Manusia itu hak cipta Allah sehinga haram untuk dibajak/difoto ataupun ditiru berdasarkan keumuman larangan dari Nabi.
(5) Apa para mushowwir telah mendapat izin Allah membajak yaitu memfoto manusia dan makhluk bernyawa ciptaan Allah.?? Jika tidak mendapat izin hak cipta dari Allah, maka bisa menjadi sebab Allah murka dan melaknat para mushowwir yang berbuat zholim. Allahu a'lam, wa na'udzubillah.
7. Syubhat: "Terkait hukum foto dan video makhluk bernyawa
terdapat khilaf, karena ada yang 'alim yang membolehkan." walau tidak sebutkan dalil tapi hanya argumen dengan logika.
Bantahan:
(1) Tidak semua perkataan Shahabat Nabi itu hujjah apabila menyelisihi Kitabullah dan hadits Nabi ataupun ada Shahabat lain yang menyelisihi. Terlebih lagi perkataan selain Shahabat Nabi.
(2) Tidak semua perselisihan dalam perkara ijtihadiyah maka bisa dihukumi khilaf mu'tabar. Dihukumi khilaf mu'tabar apabila masing-masing pendapat berpegang dalil atau bisa menukilkan salafnya. Terjadi khilaf lantaran terjadi perbedaan dalam memahami dalil tersebut.
Jika satu pihak berpegang hadits Nabi sedang pihak lawannya hanya beragumen dengan logika, maka ini bukan termasuk khilaf mu'tabar. Apa dalam hal ini ada Ahlus Sunnah yang tidak sepakat?
Adapun jika ada orang Salafi ataupun ahlu ahwa' yang tidak sepakat insya Allah karena mereka memang sesat.
(3) Ketika ada orang yang menyelisihi hadits Nabi dan mengedepankan taqlid kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka dengan lantang syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi berkata: "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itu bukan Nabi..."
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi adalah guru syaikh bin Baz, syaikh Muhammad Al Utsaimin, syaikh Muqbil, syaikh Robi, syaikh Abdul Muhsin, syaikh Sholih Al Fauzan...dan tidak ada orang yang tahu pasti jumlah murid beliau karena sangat banyaknya.
Ketika syaikh Utsaimin membolehkan foto tanpa sebutkan dalil dan hanya berdasarkan logika...jika saya katakan bahwa syaikh Utsaimin itu bukan Nabi. Apa ada Ahlus Sunnah yang merasa keberatan?
(4) Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
Imam Syafi’i juga berkata,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
(5) Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:
إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)
"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
Bab VII. Penutup
Allah Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).
قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:
«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»
"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
Allah Ta'ala berfirman:
فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ
"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).
رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
Blora, 19 Shafar 1444 H (15-09-2022)
Hazim Al Jawiy
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar