بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين, و بعد :
Allah Ta'ala berfirman:
۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
"Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud: 6).
Bab II. Anjuran Berusaha
Allah Ta'ala berfirman:
فَٱبْتَغُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ وَٱعْبُدُوهُ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥٓ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan." (QS al-Ankabut:17).
Nabi bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
"Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي
“Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”(HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Bab II. Ta'affuf (Menjaga 'Iffah)
Termasuk makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (QS. Al Baqarah: 273)
Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka ketika itu,
مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِْهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala dari meminta kepada selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari no. 6470 & Muslim no. 1053).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan (hal yang tidak disukai) lainnya di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145).
Bab III. Larangan Tasawwul (Minta Sodaqoh Dan Mengemis)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040)
Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
“Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)
Patut dipahami bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah berikut, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari, no. 1476). Orang miskin berarti bukan pengemis. Orang miskin adalah yang sudah bekerja, namun tetap belum mencukupi kebutuhan pokoknya.
Bab IV. Hukum Tasawwul /Meminta-minta/Mengemis
(1) Meminta-minta hukum asalnya terlarang.
Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini, diantaranya:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).
Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i beliau berkata,
قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا»
“Kami telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan perkataannya) dan tidak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun‘” (HR. Muslim no. 1043).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
(2) Para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
An-Nawawi ketika menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” (larangan meminta-minta) beliau mengatakan:
مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ
“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(3) Meminta-minta dalam keadaan tidak fakir dan tidak darurat, termasuk dosa besar, karena diancam dengan azab di akhirat.
(4) Jika dalam keadaan darurat, namun tidak fakir dan mampu bekerja, ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya.
An-Nawawi menjelaskan:
أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, dalam dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat, hukumnya haram, berdasarkan zahir hadits-hadits yang ada. Pendapat yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan, jika memenuhi tiga syarat: (1) tidak menghinakan dirinya, (2) tidak memaksa ketika meminta, dan (3) tidak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya menjadi haram dengan sepakat ulama. Wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(5) Meminta-minta untuk memperkaya diri itu perbuatan tercela.
Al-‘Aini mengatakan:
من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم
“Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri itu tercela” (Umdatul Qari, 9/56).
(6) Orang-orang yang dibolehkan minta-minta.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (HR. Muslim).
(7) Mengemis untuk diri sendiri, orang lain ataupun untuk kelompok/hizbiyyah hukum asalnya tidak halal (haram) berdasarkan keumuman larangan Nabi untuk tidak minta-minta kepada manusia.
Bab V. Penggalangan Dan Mengumpulkan Zakat/Shodaqoh Termasuk Wewenang Ulil Amri (Umaro' Dan Wakilnya)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِـي بِشِدْقَيْهِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا مَالُكَ، أَنَا كَنْزُكَ، ثُمَّ تَلَا ﱡ… وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ…ﱠالْآيَـةَ.
“Barangsiapa diberikan harta oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya dijelmakan kepadanya pada hari Kiamat berupa seekor ular botak kepalanya bertaring dua yang akan dikalungkan kepadanya pada hari Kiamat. Kemudian ia mengangahkan mulutnya seraya berkata, ‘Aku hartamu, aku simpananmu.’
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran/3: 180).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَارَ ، فَإِنِّـيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَـةٌ : وَمَا لَنَا ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ،وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِيْ لُبٍّ مِنْكُنَّ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّيْنِ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهٰذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِيْ رَمَضَانَ فَهٰذَا نُقْصَانُ الدِّيْنِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar (mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Berkatalah seorang wanita yang cerdas di antara mereka, ‘Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki yang berakal dibandingkan kalian.’Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasûlullâh, apa (yang dimaksud dengan) kurang akal dan agama?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurang akal karena persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian satu orang laki-laki, inilah makna kekurangan akal. Dan seorang wanita berdiam diri selama beberapa malam dengan tidak shalat dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh), inilah makna kekurangan dalam agama.’”
(Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 79 [132]); Ahmad (II/66-67); Abu Dawud (no. 4679), Ibnu Majah (no. 4003); at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Âtsâr (no. 2727), dan al-Baihaqi (X/148)).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ! إِنَّ هٰذَا الْبَيْعَ يَـحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْـحَلِفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ.
“Wahai para pedagang! Sesungguhnya perniagaan ini kerap kali diiringi dengan perbuatan sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah ia dengan sedekah.” (Shahih: HR. Ahmad (IV/6, 280), Abu Dawud (no. 3326), an-Nasa-i (VII/14, 15, 247), Ibnu Majah (no. 2145), dan al-Hakim (II/5, 6). Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7974)).
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyyah (hal. 376) :
وقد دلت نصوص الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة أن ولي الأمر وإمام الصلاة والحاكم وأمير الحرب وعامل الصدقة – : يطاع في مواضع الاجتهاد وليس عليه أن يطيع أتباعه في موارد الاجتهاد بل عليهم طاعته في ذلك وترك رأيهم لرأيه فإن مصلحة الجماعة والإئتلاف ومفسدة الفرقة والإختلاف أعظم من أمر المسائل الجزئية ولهذا لم يجز للحكام أن ينقض بعضهم حكم بعض والصواب المقطوع به صحة صلاة بعض هؤلاء خلف بعض
"Nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ salaful ummah telah menunjukkan bahwa pemimpin, imam sholat, hakim, pemimpin pasukan perang dan ‘amil shodaqoh ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan bukan ia (pemimpin atau imam, dst) yang mentaati pengikutnya dalam masalah ijtihad. Bahkan wajib bagi pengikutnya untuk mentaatinya dalam masalah itu dan meninggalkan pendapat mereka masing-masing untuk mengikuti pendapat pemimpin. Karena maslahat dari berjama’ah dan persatuan; dan mafsadat dari perpecahan dan ikhtilaf, lebih besar daripada masalah-masalah juz-iyyah. Oleh karena itu tidak boleh bagi para hakim untuk saling membatalkan keputusan masing-masing. Yang pasti kebenarannya, masing-masing sah untuk sholat bermakmum kepada yang lain."
قال : وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ
Ia (Harb) berkata : “dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka, dan diantara perkataan mereka : ….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al kharaj (pajak, upeti), al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….” [Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Dan diwajibkan atas orang-orang kaya di negeri mana saja untuk menanggulangi secara bersama-sama terhadap fakir miskin. Sedangkan pihak penguasa boleh bercampur tangan untuk menekan mereka dalam pelaksanaannya itu, apabila harta zakat dan harta-harta kaum Muslimin yang lain tidak mencukupi untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sehingga kebutuhan pangan mereka yang tidak bisa ditunda-tunda itu dapat dipenuhi. Demikian pula halnya dengan kebutuhan sandang dan papan mereka.” (Al-Muhalla (VI/156, masalah ke 725).
Bab VI. Larangan Mengambil Harta Dengan Jalan Bathil Dan Beragam Bentuk Mengemis
Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ ayat 29).
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 188).
Allah Ta’ala berfirman “تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ” yang secara harfiah berarti “janganlah kalian memakan harta kalian sendiri di antara kalian”. Pada ayat tersebut, Allah menyamakan antara orang yang memakan harta orang lain secara batil dan orang yang memakan harta pribadi secara batil. Orang pertama merusak harta orang lain, sedangkan orang kedua merusak harta pribadinya. Meskipun demikian, kesakralan harta pada dasarnya sama.
Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dengki, tamak, dan egois adalah faktor yang mendorong jiwa untuk berbuat melampaui batas terhadap hak-hak orang lain. Jiwa yang memandang hak orang lain sebagai hal yang sakral sebagaimana haknya sendiri, tentu akan menghormati harta orang lain sebagaimana dia menghormati harta pribadinya.
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap harta dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, baik dengan cara merampas, mencuri, mempraktikkan riba dan gharar, atau hal yang semisal. Hal yang paling buruk dari itu semua adalah merampas harta halal dengan trik yang melegalkan dan menggugurkan hak pemilik yang sah. Hal ini bisa terjadi entah karena ketiadaan bukti yang dimiliki oleh pemilik setelah harta itu dirampas darinya atau karena perampasan dan pengguguran hak dari pemilik yang sah dilegalkan dengan cara yang batil.
Diantara bentuk mengambil harta dengan jalan batil dan beragam bentuk minta-minta (mengemis):
1. Merampas harta ataupun menahan barang milik orang lain tanpa hujjah dan burhan.
Termasuk menahan hp santri tanpa hujjah sehingga pemiliknya tercegah untuk memanfaatkan hp (seperti untuk jualan pulsa). Padahal pak ustadz pun juga bisa menggunakan hp untuk maksiat seperti mendakwahkan bid'ah, menjadi mushowwir (tukang foto dan video) ataupun pacaran/selingkuh.
2. Mencuri.
3. Mempraktikan riba dan gharar.
4. Memeras.
Termasuk juga minta uang pendaftaran tanpa hujjah dan burhan. Contoh: memungut uang pendaftaran Rp 100.000,00 padahal hanya diberi beberapa lembar kertas formulir dan map. Andai itu akadnya sebagai uang jasa/biaya administrasi..mahal amat? Lebih parah lagi bagi calon santri yang tidak diterima atau mengundurkan diri maka uang pendaftaran hangus. Demikian juga memeras orang tua murid baru diwajibkan membayar infaq uang bangunan sebesar Rp 500.000,00 ataupun lebih.
5. Menipu dan khianat seperti yang dilakukan pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat.
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis. Mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia. Bahkan pada zaman sekarang banyak pengemis berjenggot ataupun berjubah untuk kepentingan pribadi, hizb, jam'iyyah ataupun muassasah seperti yang dilakukan mayoritas kelompok salafi di Indonesia.
6. Korupsi harta yang bukan haknya.
Termasuk korupsi atas nama agama dengan melakukan mark up dana pada proposal ataupun korupsi harta kaum muslimin untuk kepentingan pribadi/golongan.
7. Menyewakan bangunan masjid, asrama dan harta padahal telah diwakafkan untuk kaum muslimin ataupun harta milik yayasan.
8. Minta shodaqoh untuk kepentingan pribadi/golongan baik secara langsung, lewat e-mail, sms, media sosial, WA dan lain-lain.
9. Mengajukan beasiswa terutama bagi orang-orang yang bukan termasuk faqir miskin.
10. Penggalangan shodaqoh (dana) untuk kepentingan pribadi atau hizb (golongan/kelompok) bukan dalam keadaan darurat (3 keadaan yang dikecualikan).
11. Dan lain-lain.
Bab VII. Tafsir Ta'awwun QS. Al Maidah Ayat 2
Allah Ta'ala berfirman:
{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}
"Dan Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwaan. Allah melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan aniaya, itulah cara menolongnya.
Keduanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"
"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun dianiaya." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku tolong bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu menolongnya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar dalam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.
"الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"
Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.
Imam Tirmidzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; keduanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya) dengan pelaku kebaikan itu.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:
"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا"
Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ من الإسلام"
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam'.'
1. Syubat: mereka mengganggap penggalangan dana dan shadaqah sebagai bentuk ta'awun. Mereka behujjah:
{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}
"Dan Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
Bantahan:
(1) Ayat tersebut adalah dalil untuk tolong menolong dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa ataupun maksiat.
(2) Ayat tersebut bukan dalil bolehnya perbuatan mengemis walau terdapat unsur tolong-menolong. Siapa salafush sholih yang memahami bahwa ayat tersebut adalah dalil bolehnya mengemis untuk diri sendiri, keluarga, orang lain ataupun kelompok hizbiyyah.??
(3) menginfaqkan harta kepada para pengemis memang termasuk menolong. Akan tapi ketahuilah perbuatan mengemis (termasuk yang dilakukan kelompok salafi) iti haram dan sangat hina.
(4) jika mengemis dikatakan ta'awun dan tidak haram..kenapa tidak sekalian mengemis di jalan-jalan, terminal dsb?
(5) Kita hendaknya bersikap jujur dan adil. Jika orang umum mengemis dianggap tercela..tapi jika pelakunya orang salafi kenapa tidak boleh dicela?
2. Syubhat: para penggemar tasawwul berhujjah dengan hadits,
حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَدِيٌّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلُ وَلَا بَعْدُ ثُمَّ مَالَ عَلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ أَنْ يَتَصَدَّقْنَ فَجَعَلَتْ الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْقُلْبَ وَالْخُرْصَ
Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami ‘Adiy dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata:
Nabi ﷺ keluar pada hari ‘Ied lalu shalat dua raka’at dan Beliau tidak shalat lain sebelum maupun sesudahnya, kemudian Beliau mendatangi jama’ah wanita bersama Bilal, lalu Beliau memberikan nasehat dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka diantara mereka ada yang memberikan gelang dan antingnya”. (HR. Bukhari 1341).
Bantahan:
(1) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin sehingga punya wewenang mengurusi shadaqah.
(2) Nabi memerintahkan para wanita bershodaqah itu bukan di setiap selesai sholat 'Id. Andai memerintahkan itu tiap selesai sholat 'Id tentu para Khulafaur Rosyidin juga akan melakukan. Tapi bagaimana faktanya?
(3) Kenapa yang diperintahkan bershodaqah hanya para wanita? Sebaliknya orang-orang salafi memerintahkan laki-laki.?
3. Syubhat: Para penggemar dan penyeru perbuatan mengemis berhujjah dengan kisah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ، فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ المُسْلِمِينَ
“Barangsiapa yang membeli sumur “rumatun”, maka bagiannya dari air yang ia timba darinya itu seperti bagian air yang ditimba kaum muslimin.” Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pun membelinya.
Dalam hadits Shahih Bukhari rahimahullah pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ
"Barangsiapa yang menggalikan sumur rumatun, maka baginya surga." Lalu ‘Utsman pun menggalinya.
Dan disebutkan dalam salah satu riwayat Basyir bin Basyir Al-Aslami disebutkan bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslimin.
Bantahan:
(1) Siapa Salafush Sholih yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis untuk diri sendiri, orang lain ataupun kepentingan hizbiyyah?
(2) Hadits tersebut itu menjelaskan keutamaan Utsman bin Affan dan kabar jaminan Jannah.
(3) Kisahnya pada itu di Madinah tidak ada sumber mata air selain sumur milik orang Yahudi. Kaum muslimin dilarang mengambil air dari sumur milik si Yahudi tersebut. Jika tanpa air maka kaum muslimin bisa mati kehausan. Karena hajat darurot..maka sebagai rosul Allah dan pemimpin kaum muslimin menyeru siapa menggalikan sumur Raumah maka masuk Jannah.
(4) Kenapa orang-orang salafi tidak sekalian membuat hadits palsu bahwa siapa yang menggali sumur maka masuk Surga.? Siapa yang membuat masjid salafiyah maka masuk Jannah.? Siapa yang membangunkan asrama atau rumah untuk ahlu shuffah maka masuk Jannah.?
4. Syubhat: Diantara penyeru mengemis berhujjah dengan hadits:
Rosululloh bersabda:
(( مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ )). فَجَهَّزَهُ عُثْمَانُ
“Barangsiapa yang membekali tentara ‘usrah maka baginya surga.” Maka ‘Utsman pun membekalinya. (HR. al-Bukhari)
Bantahan:
(1) Siapa dari Salaful Ummah yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis untuk kepentingan hizbiyyah?
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan. Kemudian para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
(3) Nabi menyeru hal tersebut ketika akan berjihad. Itupun karena keadaan menuntut dan darurot. Andai baitul mal sudah mencukupi, tentu akan gunakan harta dari baitul mal.
(4) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin melakukan itu untuk kemashlahatan umat dan bukan untuk kepentingan hizbiyah.
5. Subhat: "Yang dilarang adalah mengemis untuk diri sendiri. Adapun jika mengemisnya untuk orang lain, hizbiyyah, jam'iyyah ataupun kelompok salafiyyah maka dibolehkan."
Bantahan:
(1) Silahkan datangkan burhan tentang bolehnya mengemis untuk orang lain, hizbiyyah ataupun jam'iyyah jika kalian memang jujur!
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan.
(4) Imam Ahmad -rahimahullaah- tidak memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah: seorang yang meminta untuk orang lain walaupun ada hajah (kebutuhan); karena dari hal itu akan timbul: menghinakan diri, perasaan (tidak senang) yang muncul ketika ditolak (tidak diberi), dan karena hal itu masuk dalam kategori: minta-minta kepada manusia.
(5) Ibnu Muflih berkata dalam “Al-Furuu’” (IV/318):
قال ابن مُفْلِح في " الفروع " : وَإِنْ سَأَلَ لِرَجُل مُحْتَاجٍ فِي صَدَقَةٍ أَوْ حَجٍّ أَوْ غَزْوٍ، فَنَقَلَ مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُد: لا يُعْجِبُنِي أَنْ يَتَكَلَّمَ لِنَفْسِهِ فَكَيْفَ لِغَيْرِهِ ؟ التَّعْرِيضُ أَعْجَبُ إلَيَّ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ وَجَمَاعَةٌ : لا ، وَلَكِنْ يُعَرّض ، ثُمَّ ذَكَرَ حَدِيثَ الَّذِينَ قَدِمُوا عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، وَحَثَّ عَلَى الصَّدَقَةِ وَلَمْ يَسْأَلْ ، زَادَ فِي رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ : رُبَّمَا سَأَلَ رَجُلا فَمَنَعَهُ فَيَكُونُ فِي نَفْسِهِ عَلَيْهِ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ أَنَّهُ قَالَ لِسَائِلٍ : لَيْسَ هَذَا عَلَيْك . وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ أَنْ يَسْأَلَ . اهـ .
(6) Minta-minta kepada manusia adalah haram.
قال ابنُ القيمِ : مَسْأَلَةُ الْمَخْلُوقِ مُحَرَّمَةً فِي الأَصْلِ ، وَإِنَّمَا أُبِيحَتْ لِلضَّرُورَةِ . اهـ.
وربما أهان الإنسان نفسَه بسؤال الناس ، وإن كان يسأل لِغيره .
وذلك لِمَا في سُؤالِ الناسِ " مِنَ الذُّلِّ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَإِرَاقَةِ مَاءِ الْوَجْهِ لِغَيْرِ خَالِقِهِ، وَالتَّعَوُّضِ عَنْ سُؤَالِهِ بِسُؤَالِ الْمَخْلُوقِينَ " كما قال ابنُ القيم .
وربما لا يؤجَر الإنسان على جَمْع هذا المال ، بل لعلها لا تبرأ ذِمَته في بعض الأحيان .
فقد يَكون سؤال بعض الناس بقصد إرادة الخير ، إلاّ أنه لا يلبث أن تتدخّل حظوظ نفسه، مِن إرادة ثناء الناس ومَدْحِهم ؛ بأن فلانا يَفعل الخير ويَجمع التبرعات .. إلى غير ذلك مِما تتطلّع إليه النفس .
Dan terkadang seorang tidak mendapatkan pahala atas pengumpulan harta ini, bahkan bisa jadi dia tidak lepas tanggung jawabnya -pada sebagaian waktu-. Bisa jadi sebagian orang yang minta-minta (donasi): (awalnya) dengan niat yang baik, akan tetapi tidak lama kemudian masuk ambisi-ambisi pribadi; berupa: ingin dipuji manusia bahwa fulan melakukan kebaikan dan mengumpulkan donasi..dan hal-hal lain yang diinginkan oleh hawa nafsu.
Bisa jadi (sebagian orang yang minta-minta donasi): mencela sebagian orang ketika mereka menjanjikan untuk memberi, tapi kemudian mereka tidak memberi, sehingga perbuatan baik (orang yang minta-minta donasi) tersebut menjadi perbuatan jelek. Semata-mata janji; tidak terbangun atasnya sesuatu, tidak wajib padanya sesuatu pun. Kalau ada orang yang menjanjikannya untuk memberinya sesuatu kemudian dia tidak memberikannya; maka tidak mengapa. Maka tidak boleh mencelanya, dan tidak boleh mencelanya di tengah-tengah manusia serta membicarakannya. Ketika demikian, maka orang yang mengumpulkan harta untuk diberikan kepada orang lain: masuk dalam perkataan Ibnu Mas’ud:
كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ!
“Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!” [Sunan Ad-Darimi (I/68-69)]
Adapun masalah terbebas dari tanggung jawab ; maka bisa jadi seorang mengumpulkan harta, terkadang dia tidak menjaganya, terkadang sebagian mereka meminjam dari harta tersebut dengan alasan bahwa hukum dia seperti amil zakat?! Maka ini tidak halal baginya, hukumnya tidak seperti hukum amil zakat. Atau terkadang dia mempergunakannya dengan ijtihadnya : untuk digunakan bukan untuk tujuan dikumpulkannya harta dan untuk digunakan selain dari segi yang diinginkan oleh orang-orang yang mengeluarkan harta tersebut.
Cukuplah seorang diberikan sindiran/ungkapan/kiasan tentang adanya kebutuhan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. Dan tidak menyusahkan dirinya dan tidak juga orang lain; karena sesungguhnya meminta-minta kepada manusia adalah kehinaan dalam keadaan apa pun. Ibnul Qayyim berkata: “Meminta kepada manusia adalah aib dan kekurangan pada seseorang serta kehinaan yang menafikan muruah (kesopanan) kecuali dalam masalah ilmu.” Sekian [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/510)].
(7) Meminta dengan mendesak dan menyusahkan manusia adalah tercela. Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “(Meminta dengan) mendesak kepada selain Allah adalah tercela, karena Allah memuji orang yang sebaliknya, Allah berfirman:
{…لَا يَسْأَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا…}
“…mereka tidak meminta secara paksa kepada kepada orang lain...” (QS. Al-Baqarah: 274) [“At-Tamhiid” (II/286 -cet. Daarul Kutub)]
Adapun yang terdapat dalam Shahih Muslim (no. 1017), dari hadits Jarir -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa ia berkata : Kami di sisi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pada awal siang, maka datanglah suatu kaum yang memakai kain wol bergaris atau kain ‘aba-ah dengan memanggul pedang, sebagian besar dari Mudhor, bahkan semuanya dari Mudhor. Maka wajah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berubah karena melihat kemisikinan mereka. Maka beliau masuk kemudian keluar. Beliau suruh Bilal untuk adzan dan iqamah, kemudian beliau Shalat dan berkhuthbah, beliau membaca:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ: {إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا}
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam),” sampai akhir ayat: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Dan beliau membaca ayat yang ada dalam Surat Al-Hasyr:
{…اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ…}
“…Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah...” (QS. Al-Hasyr: 18)
“Seorang bersedekah dari dinarnya, dari dirhamnya, dari pakaiannya, dari sha’ gandumnya, dan dari sha’ kurmanya.” Sampai beliau bersabda: “Walaupun sepotong kurma.” Dan seterusnya hadits.
Hal ini dilakukan oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam- karena beliau adalah IMAM manusia. Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak meminta dari manusia setelah Allah taklukkan (negeri-negeri) bagi beliau dan harta mulai banyak. Dan tidak diriwayatkan dari Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- tentang meminta dari manusia; maka hal itu menunjukkan: tidak boleh meminta dari manusia, dan tidak boleh meminta kecuali dilakukan oleh penguasa atau wakilnya dari orang-orang yang mengetahui maslahat -hal itu jika di Baitul Mal tidak tersisa apa pun-.
Dan para ulama tidak berdalil dari kejadian ini atas bolehnya meminta kepada manusia di masjid.
Bahkan para Salaf mengusir para pengemis dari masjid-masjid. ‘Ikrimah jika melihat para peminta-minta di masjid; maka beliau mencelanya dan berkata: Dahulu Ibnu ‘Abbas mencela mereka dan mengatakan: “Mereka tidak menghadiri Jumat dan ‘Id kecuali untuk meminta-minta dan mengganggu. Ketika manusia berharap kepada Allah; maka harapan (para pminta-minta) itu kepada manusia.” (“Tahdziibul Kamaal” (XX/276)).
(8) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- ditanya tentang meminta di masjid jami’; apakah halal, haram atau makruh? Apakah meninggalkannya lebih wajib daripada melakukannya? Maka beliau menjawab: “Asal dari meminta adalah haram, baik di masjid maupun di luar masjid; kecuali karena darurat.” Sekian. (Majmuu’ Fataawaa: XXII/206).
Bab IX. Penutup
Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para penuntut ilmu, dan para dai agar menjaga kehormatan dirinya dengan tidak minta-minta kepada orang dan tidak mengharap sesuatu kepada manusia. Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pada jalan yang disyariatkan. Bagi mereka yang fakir, hendaklah bersabar dan memohon kecukupan kepada Allah. Dan kepada orang kaya yang tidak mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yang mencuri harta orang lain untuk kepentingan kelompoknya- hendaklah mereka takut akan siksa Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.
Allah Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).
قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:
«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»
"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
Allah Ta'ala berfirman:
فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ
"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).
رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
Malam Jum'at, 5 Shafar 1444 H (01-09-2022)
Hazim Al Jawiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar