Kamis, 29 Desember 2022

Pada Hari Jum'at Disunnahkan Membaca Surat Yasin Atau Al Kahfi?





BENARKAH MEMBACA SURAT YASIN PADA MALAM/HARI JUM'AT  LEBIH UTAMA DAN LEBIH BERHAK DIAMALKAN DARIPADA MEMBACA SURAT AL KAHFI?



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :


1. Dalil keutamaan membaca  surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at haditsnya shahih dan lebih kuat daripada hadits keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at yang dhoi'f (lemah).

Hadits pertama :
     Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah.”  (HR. Ad-Darimi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6471. Juga diriwayatkan An Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

Hadits kedua :
     Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)

     Dalam dua hadist di atas, pada hadits pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, "membaca surat Al-Kahfi di malam Jum'at". Sementara di hadits kedua, beliau menyatakan, "membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum'at".

     Al-Munawi menukil keterangan Al Hafidz Ibnu Hajar,

قال الحافظ ابن حجر في ” أماليه ” : كذا وقع في روايات ” يوم الجمعة ” وفي روايات ” ليلة الجمعة ” ، ويجمع بأن المراد اليوم بليلته والليلة بيومها

Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Amali, “Anjuran membaca al-Kahfi ada di beberapa riwayat, ada yang menyatakan ‘Hari jum’at’ dalam riwayat lain ‘Malam Jum'at’. Bisa kita kompromikan bahwa waktu yang dimaksud adalah siang dan malam Jum'at.” (Faidhul Qadir, 6/258).

     Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Umm (1: 208) mengatakan,

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai (seseorang itu) memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di setiap waktu. Dan pada hari Jumat serta malam Jumat, lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai (menganjurkan) seseorang untuk membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat dan pada hari Jumat karena terdapat dalil mengenai hal ini.”

     Sebaliknya hadits tentang keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at adalah dha'if jiddan (sangat lemah). Bahkan mereka yang mengamalkan membaca surat Yasin pada malam Jum'at juga mengakui bahwa haditsnya dha'if.

2. Kalau kita telusuri pendapat para ulama, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dha'if (menolak secara mutlak, menerima dengan syarat-syarat tertentu, menerima asal bukan hadits maudhu'/palsu).

(1) Kelompok pertama
     Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
     Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya.

(2) Kelompok kedua
     Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
     Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.
• Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
• Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

(3) Kelompok ketiga
     Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
     Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.
     Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, "Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."

     Dari ketiga pendapat tersebut, taruhlah andai yang benar yaitu boleh mengamalkan hadits dha'if terkait membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at, maka tetap tidak sepatutnya mereka lebih mengutamakan mengamalkan membaca surat Yasin (yang haditsnya dha'if) daripada membaca surat Al Kahfi yang haditsnya shahih. Yang benar mereka seharusnya lebih antusias dan lebih mendahulukan untuk mengamalkan Sunnah membaca surat Al Kahfi daripada mengamalkan membaca surat Yasin yang hanya dengan sandaran hadits dha'if ataupun sangat lemah. Terlebih lagi jika ternyata yang benar pendapat bahwa hadits dha'if (lemah) tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan.


3.  Jika amalan yang jelas-jelas diperintahkan Nabi (seperti sholat tahajjud, pelihara jenggot, membaca surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at dan perkara semisal) berdasarkan hadits shahih saja banyak yang tidak antusias dan enggan untuk mengamalkan, tapi mengapa sebaliknya mereka justru lebih memilih mengerjakan amalan-amalan dengan bersandarkan hadits dha'if? Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan? Yang mana kita saja tidak boleh meyaqini hadits dha'if (lemah) sebagai perkataan Nabi.

4. Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu: (1)Ikhlas karena Allah, dan (2) Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).

     Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits.
(1) Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkanBarangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”. (HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.)
(2) Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718.)
    
     Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak. Termasuk dalam perkara dzikir (takbir, tahlil, dan bertasbih) hendaknya ikhlash serta sesuai tuntunan Nabi dan para Shahabat. Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi no. 204 (1/79). Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (5/11) mengatakan bahwa hadits ini shahih)


5. Kita diperintahkan mengamalkan Islam sebagaimana yang diamalkan Nabi dan para Shahabat.
    
     Tidak ada nukilan shahih bahwa Nabi dan para Shahabat punya kebiasaan membaca surat Yasin pada setiap malam/hari Jum'at.  Demikian juga tidak ada nukilan yang shahih dari para imam 4 madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengamalkan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at. Terlebih dengan ritual yang mengada-ngada seperti yang diamalkan mereka pada masa sekarang yang tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.

Wa Allahu a'lam.

Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Kamis 5 Jumadil Akhir 1444 H (29-12-2022)


Hazim Al Jawiy








Sabtu, 24 Desember 2022

Ghibah (Menggunjing)

 



Tahukah Engkau Apa Itu Ghibah (Menggunjing)?

    
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).

   Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi  ”. Maka Nabi  pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian”. (Maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Tirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

     Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”


Hukum Ghibah

     Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

     Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).

     Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).

     Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)
    
     Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang Ghibah) sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadis Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

"Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak."  (HR Abu Dawud (4/269) No. 4876. dishahihkan syaikh Albani).
     Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)” (Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736)

Ancaman Adzab Bagi Pelaku Ghibah

     Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengGhibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.

Dalam riwayat yang lain :

قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

Rasulullah  bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (HR. Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879))

     Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadits Abu Hurairah.)


Pahala Bagi Yang Dighibah

(1) Keterangan Hasan Al Bashri
     Ada orang yang datang menemui Hasan al-Bashri, lalu orang ini memberikan info, “Bahwa si A telah meng-ghibah anda.”
Lalu Hasan al-Bashri mengirim satu kotak kurma basah ke orang itu, beliau mengatakan,

بلغني أنك أهديتَ إليَّ حسناتِك، فأردتُ أن أكافئك عليها، فاعذرني، فإني لا أقدر أن أكافئك بها على التمام

Saya dapat info bahwa anda telah menghadiahkan pahalamu untukku. Maka saya ingin untuk membalasnya kepadamu. Mohon maaf, saya tidak mampu memberikan balasan yang setimpal. (Tanbih al-Ghafilin, 1/176)

(2) Keterangan Fudhail bin Iyadh
     Ada orang yang mengatakan kepada Fudhail, "Si A telah meng-ghibahku." Lalu Fudhail bin Iyadh mengatakan,

قد جلب لك الخير جلبًا

Berarti dia telah memberikan pahala untukmu. (Hilyah al-Auliya, 8/108)

(3) Keterangan Abdurrahman bin Mahdi, beliau mengatakan,

لولا أني أكره أن يُعْصى الله، لتمنيت أن لا يبقى أحد في المصر إلا اغتابني، أي شيء أهنأ من حسنات يجدها الرجل في صحيفته لم يعمل بها؟!

“Andaikan bukan karena benci maksiat kepada Allah, (maka aku akan lakukan maksiat), dan sungguh aku ber-angan-angan andaikan semua penduduk kota ini meng-ghibahku. Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan melebihi orang yang melihat pahala yang tertulis di catatan amalnya, sementara dia tidak pernah mengamalkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5/305)

(4) Keterangan Abdullah bin Mubarak
     Beliau mengatakan,

لو كنت مغتابًا أحدًا لاغتبت والديَّ؛ لأنهما أحق بحسناتي

"Andai saya boleh meng-ghibah orang lain, tentu saya akan meng-ghibah kedua orang tuaku. Karena mereka yang paling berhak untuk mendapatkan pahala dariku."

(5) Keterangan Ibrahim bin Adham

يا مكذب، بخلت بدنياك على أصدقائك، وسخوت بآخرتك على أعدائك

Wahai manusia pembohong, kamu sangat bakhil terhadap dunia sehingga tidak kamu kasihkan ke sesama muslim, namun kalian begitu pemurah dalam memberikan pahala akhirat kalian kepada musuh kalian. (Tanbih al-Ghafilin, 1/177)
Yang beliau maksud adalah meng-ghibah orang lain.

Cara Taubat Dan Kafaroh Ghibah

     Berkata Al-Hasan Al-Bashri,
كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ

“Penebus dosa Ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau Ghibahi” (Majmu’ fatawa (18/189)
     Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengGhibah) meminta penghalalan (perelaan dosa Ghibahnya-pent) dari orang yang dia Ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia Ghibahi tersebut bahwa dia telah mengGhibahinya, maka terkadang malah orang yang diGhibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengGhibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…” (Tafsir Ibnu Katsir)
     Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Di antara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang mengGhibah) harus datang ke dia (yang diGhibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang diGhibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengGhibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya Ghibah itu, jika yang diGhibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengGhibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadis,

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

"Kafarohnya orang yang kau Ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya."
(Syarah Riyadlus Sholihin (1/78))



Ijma' Bolehnya Ghibah Dalam 6 Perkara

     Hukum asal ghibah (menggunjing) adalah haram. Ghibah dibolehkan jika untuk tujuan yang benar/syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu. Dan para ulama sepakat (secara ijma') dibolehkan ghibah dalam 6 perkara.
     Imam An-Nawawi Rahimahullah menyebutkan Al-Adzkar, “Ketahuilah bahwasannya ghibah walaupun diharamkan akan tetapi dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu karena ada maslahat. Dan kebolehan ghibah di sini karena tujuan yang benar dan disyariatkan dan tidak mungkin untuk sampai kepada tujuan tersebut kecuali dengan ghibah.” Bahkan seorang penulis syair menyebutkan enam ghibah yang dibolehkan dalam sebuah bait syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ         مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ         وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

"Celaan bukanlah disebut ghibah pada enam perkara

(1) Pengadu/orang yang dizhalimi(seperti mengadukan kezholiman kepada imam/pemimpin atau orang yang punya wewenang ), (2) orang yang mengenalkan (seperti dengan ciri "si buta" atau sebutan yang sudah masyhur), dan (3) orang yang memperingatkan (seperti tahdzir terhadap keburukan)

Dan (4) terhadap orang yang menampakkan kefasikan (seperti orang melakukan kesyirikan, bid'ah dan maksiat secara terang-terangan), dan (5) peminta fatwa (seperti minta fatwa terhadap sebuah perkara atau kasus)

Dan (6) orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan suatu kemungkaran."

Wa Allahu a'lam.

Selasa, 25 Oktober 2022

BENARKAH IHTIFAL/PERAYAAN MAULID NABI TERMASUK BID'AH HASANAH?

 


 BENARKAH IHTIFAL/PERAYAAN MAULID NABI 
TERMASUK  BID'AH HASANAH?


بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59).


Bab 1. Dinnul Islam Telah Sempurna

     Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian.”  (QS. Al Maidah : 3).
      Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata, “Ini adalah nikmat Allah terbesar bagi umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada agama yang lain dan Nabi lain selain nabi mereka. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia. Tiada yang halal kecuali apa yang ia halalkan, tiada yang haram kecuali yang ia haramkan dan tiada agama kecuali yang ia syariatkan. Segala sesuatu yang ia kabarkan adalah benar, jujur tiada kedustaan, dan tiada penyelewengan padanya…”

    Ummul-Mukminin ’Aisyah radhiyallaahu ’anhaa berkata:

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)

“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) (HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177).

    Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah di Arafah berkata di hadapan ribuan para sahabatnya,

أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟

“Bukankah sudah kusampaikan?”
Mereka pun menjawab, “Ya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengangkat tangannya ke langit dan menunjukannya pada mereka seraya berkata,

(xاللَّهُمَّ اشْهَدْ ( 3

“Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah.” (HR. Muslim).

     Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :

سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"

”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].



Bab 2. Kewajiban Berpegang Teguh Kepada As Sunnah

     Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi).

     Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan ciri-ciri Firqah Najiyah (satu kelompok yang selamat dari neraka) dalam hadits tentang perpecahan umat dengan sabdanya:

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

“Orang yang mengikuti aku dan para sahabatku”.

     Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Hendaklah kalian ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”  (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih).

     Beliau juga berkata:

إنَّا نَقْتَدِي وَلَا نَبْتَدِي، وَنَتَّبِعُ وَلَا نَبْتَدِعُ، وَلَنْ نَضِلَّ مَا تَمَسَّكْنَا بِالأَثَرِ

“Sesungguhnya kewajiban kita adalah meneladani dan bukan menyelisihi, mengikuti dan bukan melakukan bid’ah, kita tidak akan pernah menyimpang selagi berpedoman kepada atsar (peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya).”

     Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan As Sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya).

     Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” ( Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219).

     Ubay bin Ka’ab berkata:

عَلَيْكُمْ بِالسَّبِيلِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ عَلَى سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ ذَكَرَ الرَّحْمَنَ عَزَّ وَجَلَّ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَمَسَّهُ النَّارُ أَبَدًا، وَإِنَّ اقْتِصَادًا فِي سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنِ اجْتِهَادٍ فِي خِلَافِ سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ.

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan jalan yang lurus dan Sunnah, karena tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang akan disentuh neraka selamanya, selagi ia berada di atas jalan yang benar dan Sunnah, di mana ia ingat kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, lalu berderai air matanya karena takut kepada Allah ‘Azza wa jalla. Dan sesungguhnya sederhana dalam jalan kebenaran dan jalan Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan kebenaran dan menyelisihi Sunnah”.

     Al-Auzaa’i berkata:

اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَةِ وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ وَاسْلُكْ سَبِيلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ فَإنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ

“Sabarkanlah dirimu di atas Sunnah, berhentilah di mana para sahabat berhenti, berkatalah dengan apa yang mereka katakan (yakini ucapan mereka), tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih (Salaf Shalih), karena apa yang telah mencukupi mereka, juga akan mencukupimu”

Beliau juga berkata:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مِنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوهَا لَكَ بِالقَوْلِ

“Hendaknya kalian berpedoman kepada atsar Salaf (dalam beragama), walaupun orang-orang menentangmu. Dan jauhilah opini-opini (pendapat, pikiran, pendirian) orang (dalam urusan beragama), walaupun mereka menghiasi opininya dengan ucapan indah”.

     Imam Ahmad rahimahullah berkata:

أُصُولُ السَّنَةَ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ

“Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang dianut oleh para sahahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah”.

عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا

Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada ilah yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Robb-nya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi).



Bab 3. Allah Mengadzab Bukan Lantaran Sholatmu, Bacaan Al Qur'an Atau Dzikir..Akan Tapi Allah Mengadzabmu Karena Menyelisihi Sunnah Nabi


عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].

     Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).

عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال

     Dari Nafi’ bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
     Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

    Dari Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah seorang tabi’in, bahwa ia pernah melihat seorang yang shalat dua raka’at setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at, ia melakukan banyak rukuk dan sujud. Maka Sa’id melarangnya melakukan hal itu, lalu lelaki itu berkata kepada Sa’id:
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ، أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلَاةَ ؟!

“Wahai Abu Muhammad, apakah Allah subhanahu wata’ala akan mengadzabku atas shalatku ini?!” Sa’id menjawab:

لَا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ

“Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu lantaran kamu menyelisihi sunnah.” (Ad-Darimi: 1/404, Al-Baihaqi: 2/466, Abdurrazaq: 4755)
     Apa yang diucapkan oleh Sa’id rahimahullah ini adalah berdasarkan dalil. Orang yang menyelisihi sunnah (tuntunan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan mendapat adzab sebagaimana firman Allah:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An-Nur: 63)
     Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Ini termasuk di antara jawaban cerdas Sa’id bin Al-Musayyib, dan menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi para pelaku bid’ah yang kebanyakan mereka menganggap bid’ah-bid’ah yang mereka lakukan adalah kebaikan, dengan atas nama dzikir atau shalat. Lalu ketika Ahlussunnah memberi peringatan kepada mereka tentunya mereka tidak terima, bahkan menuduh bahwa Ahlussunnah mengingkari dzikir dan shalat. Padahal sebenarnya yang diingkari oleh Ahlussunnah adalah karena mereka menyelisihi sunnah dalam melakukan dzikir dan shalat, begitu juga dengan yang lainnya.” (al-Irwa’: 2/236).

     Oleh sebab itu, ibadah tidak cukup hanya didasarkan dengan niat yang baik saja, namun harus sesuai juga dengan sunnah (tuntunan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Niat yang baik (ikhlas) dan mengikuti tuntunan Rasulullah, inilah dua syarat diterimanya ibadah.



Bab 4. Tanggal Dan Bulan Kelahiran Nabi Muhammad Diperselisihkan Dan Tiada Ijma' Sebagaimana Natal Kelahiran Nabi Isa

     Kaum muslimin sepakat Nabi dilahirkan pada hari Senin berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim).
     Adapun terkait tanggal dan bulan kelahiran Nabi tiada ijma' dan diperselisihkan sehingga tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti.

Bulan Kelahiran

     Ada perselisihan di kalangan ulama tentang bulan kelahiran Nabi ﷺ, tetapi yang masyhur sebagaimana pendapat mayoritas ulama adalah bulan Rabi’ul Awal, bahkan Ibnul Jauzi rahimahullah menukil ijma’ tentangnya. Ada pendapat lain yaitu bulan Rojab tetapi ini tidak benar. Ada juga yang berpendapat bulan Ramadhan tetapi ini juga tidak benar.

     Ibnu Katsir berkata tentang pendapat terakhir ini: “Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dari Zubair bin Bakkar, tetapi ini pendapat yang aneh sekali”. (Al-Bidayah wa Nihayah) Dalam sumber lainnya beliau mengatakan: “Zubair bin Bakkar berkata: “Nabi dilahirkan pada bulan Ramadhan”, pendapat ini ganjil, diceritakan oleh as-Suhaili dalam Roudh-nya”. (Al-Fushul fi Siratir Rasul)

Tanggal Kelahiran

     Tanggal kelahirannya, maka diperselisihkan ulama secara tajam sebagai berikut:
(1) Tanggal 2 Rabi’ul Awal. Dikatakan Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab. Dan al-Waqidi meriwayatkannya dari Abu Ma’syar Najih bin Abdirrahman al-Madani.
(2) Tanggal 8 Rabi’ul Awal. Diceritakan al-Humaidi dari Ibnu Hazm. Malik, Uqail, Yunus bin Yazid dan lain-lain meriwayatkannya dari Zuhri dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im. Ibnu Abdil Barr menukil dari para ahli sejarah bahwa mereka menguatkan pendapat ini. Dikuatkan juga oleh al-Hafizh Muhammad bin Musa al-Khowarizimi dan al-Hafizh Abul Khaththab Ibnu Dihyah dalam kitabnya at-Tanwir fi Maulid al-Basyri an-Nadhir.
(3) Tanggal 10 Rabi’ul Awal. Ibnu Asakir meriwayatkannya dari Abu Ja’far al-Baqir, dan Mujalid meriwayatkannya dari Sya’bi.
(4) Tanggal 12 Rabi’ul Awal. Ditegaskan oleh Ibnu Ishaq. Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf-nya dari ‘Affan dari Sa’id bin Mina dari Jabir dan Ibnu Abbas, keduanya berkata: “Rasulullah ﷺ dilahirkan tahun gajah hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal”. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ahli ilmu.
(5) Tanggal 17 Rabi’ul Awal. Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Dihyah dari sebagian Syi’ah. (al-Bidayah wa Nihayah dan Lathoiful Ma’arif)

     Semua pendapat di atas tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi ﷺ adalah tanggal 12 Rabi’ul Awal tidak shahih, seandainya saja shahih tentu akan menjadi hakim dalam masalah ini. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut: “Sanadnya terputus”. (Al-Bidayah wa Nihayah)

     Karena penentuan hari kelahirannya tidak ada yang shahih, maka tidak masalah dinukil di sini pendapat ahli falak, di mana banyak di antara mereka berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabi’ul Awal, seperti Al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri, dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan:
“Dalam kitab-kitab sejarah dan sirah dikatakan bahwa Nabi lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April tahun 571 tahun gajah, sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabi’ul Awal tahun 11 dari hijrah yang bertepatan dengan 8 Khoziron tahun 632. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya secara jeli, demikian juga usia Nabi ﷺ. Dengan merubah tahun-tahun ini pada hari akan ketemu 22330 dan bila dirubah ke tahun qomariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian maka hari kelahirannya adalah hari senin 9 Rabi’ul Awal tahun 53 sebelum hijrah, yang bertepatan 20 April tahun 571”. (Taqwimul Azman).

     Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi ﷺ, ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul Awal bukan 12 Rabi’ul Awal”. (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid).



Bab 6. Ajaran Siapakah Perayaan Maulid Nabi?

Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.

Kita tidak tahu pasti kapan pertama kali Maulid ini diadakan. Namun jika kita mengacu pada keterangan al-Maqrizy dalam kitabnya al-Khathat (1/490), Maulid ini ada ketika zaman Dinasti 'Ubaidiyyun atau Daulah Fatimiyah (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah), Daulah Syiah yang berkuasa di Mesir. Mereka membuat banyak Maulid, mulai dari Maulid Nabi ﷺ, Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Fatimah, hingga Maulid Hasan dan Husain. Dan Bani Fatimiyah berkuasa sekitar abad 4 H.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

 Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama,  “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita  temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan  jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)




Bab 7. Kalam Para Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terkait Maulid Nabi
    
     Para ulama dan seluruh kaum muslimin sepakat bahwa perayaan tahunan maulid Nabi termasuk bid'ah yang tidak ada pada zaman Nabi ataupun 3 generasi terbaik dari umat ini.
     Adapun terkait hukum mengadakan perayaan tahunan maulid Nabi terdapat perselisihan. Di antara ulama yang membolehkan Maulid adalah: Imam As-Suyuthi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Dihyah, Ibnul Jauzi, Al-’lraqi, As-Saakhawi, dan Iain-lain. Sementara ulama yang tidak membolehk antara lain: Ibnul Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah, Imam Asy- Syathibi, dan Iain-lain.
      Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59).
      Berikut ini kalam para ulama terkait perayaan maulid Nabi :

1. Al 'Allamah Asy Syaikh Tajuddin al-Fakihani (ulama Malikiyah wafat tahun 734 H),

لا أعلم لهذا المولد أصلاً في كتاب ولا سنة، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة، الذين هم القدوة في الدين، المتمسكون بآثار المتقدمين، بل هو بِدعة أحدثها البطالون

Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan maulid ini, baik dari Al Quran dan As Sunnah. Dan tidak ada nukilan dari seorangpun ulama umat ini, yang mereka adalah panutan dalam agama, berpegang dengan teguh dengan atsar-atsar pendahulunya. Bahkan peringatan ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat ahli bathil. (Risalah al-Maurid fi Hukmi al-Maulid, hlm. 1).

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah (661 - 728H) rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.” Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).

3. Imam Asy Syathibi (wafat 790 H)

فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة

Semua paham bahwa mengadakan maulid seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).

4. As-Sakhawi (ulama Syafiiyah dari Mesir, muridnya Ibnu Hajar al-Asqalani),

أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة

Asal perayaan maulid as-Syarif (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak dinukil dari seorangpun dari ulama salaf yang hidup di tiga generasi terbaik. (al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabawi, hlm. 12)

5. Pujian Asy-Suyuthi terhadap kalam imam Abu Amr bin al-'Alaa’ (wafat 154 H)

ولقد أحسن الإمام أبو عمرو بن العلاء حيث يقول: لا يزال الناس بخير ما تعجب من العجب – هذا مع أن الشهر الذي ولد فيه رسول الله وهو ربيع الأول هو بعينه الشهر الذي توفي فيه، فليس الفرح بأولى من الحزن فيه

Sungguh benar yang dinyatakan Imam Abu Amr bin al-Alaa’, beliau mengatakan, “Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih merasa terheran. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa, 1/190).

Kebahagiaan mereka di tanggal 12 Rabiul awal dengan anggapan sebagai hari maulid, bertepatan dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mana yang lebih dekat, peringatan kelahiran ataukah peringatan kematian.

6. Imam Ibnul Hajj (wafat 737 H) menukil pernyataan al-Allamah al-Anshari

فإن خلا – أي عمل المولد- منه – أي من السماع – وعمل طعاماً فقط، ونوى به المولد ودعا إليه الاخوان، وسلم من كل ما تقدم ذكره – أي من المفاسد- فهو بدعة بنفس نيته فقط، إذ إن ذلك زيادة

Jika kegiatan maulid itu bersih dari semua suara-suara musik, hanya berisi kegiatan makan-makan, dengan niat maulid, mengundang rekan-rekan, dan bersih dari semua aktivitas terlarang yang tadi disebutkan, maka status perbuatan ini adalah bid’ah hanya sebatas niatnya. Karena semacam ini termasuk tambahan. (al- Madkhal, 2/312)
     Al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah juga menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.” Al-Madkhal (II/234-235).

7. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia  yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…” (Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy)

8. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam . Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…” (Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas).

9. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ?  Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu  yang  bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…”[al-Mâidah/5: 3]” (Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.).

10. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu  bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah… Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam…” (Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.).



Bab 8. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat : Mereka berkata, "Keengganan Rasulullah saw untuk menyelenggarakan peringatan maulid semasa hidupnya mengandung hikmah tersendiri. Keengganan itu tidak lain merupakan bentuk kasih sayang Nabi Muhammad saw agar tidak menambah beban bagi umatnya ke depan."

Bantahan :
(1) Apa ada nukilan dari Nabi dan para Shahabat yang menerangkan demikian? Atau hanya sekedar alasan dusta dan tanpa hujjah.?
(2) Jika memang itu disyari'atkan semestinya ada nukilan pernah dikerjakan meski hanya 1 kali sebagaimana sholat tarawih pada malam Ramadhan.
(3) Andai alasan tesebut benar..jika Nabi tidak pernah mengamalkan agar tidak menambah beban bagi umatnya, kenapa mereka malah gemar menambah beban dengan menambah-nambahi syari'at.?

2. Syubhat: "Mereka mengklaim mencintai Nabi sehingga mengadakan maulid."

Bantahan:
(1) Ummul mukminin Aisyah yang dicintai Nabi dan sangat mencintai Nabi tidak pernah merayakan maulid Nabi baik ketika Nabi masih hidup ataupun setelah wafat. Demikian juga para Shahabat Nabi. Apa para pecinta perayaan maulid Nabi merasa lebih mencintai Nabi daripada kadar kecintaan para Shahabat?
(2) Hakekat orang-orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1. Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, beradab dengan adabnya.
2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3.  Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi  dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. [al-Ahzâb/33:56]
4. Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan membenci orang yang membencinya.
5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

3. Syubhat : 
(1))"Diantara mereka berhujjah dengan firman Allah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

(2) Mereka berhujjah dengan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Maksudnya: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka kumpulkan.”
Mereka berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah rahmat-Nya yang paling besar. Oleh kerana itulah, kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) baginda”.

Bantahan :
(1) Para Shahabat Nabi dikenal paling mencintai Nabi, paling paham Al Qur'an dan paling semangat mengamalkan ilmu dan ittiba' Nabi. Siapa yang memahami ayat tersebut sebagai dalil perayaan maulid Nabi.
(2) Kenapa Nabi dan para Shahabat tidak ada yang merayakan maulid Nabi sebagaimana Nabi puasa pada hari Senin? Apa benar penyebabnya karena para Shahabat tidak mampu mengadakan perayaan maulid Nabi.?? Para aimah imam 4 madzhab pun tidak merayakan maulid Nabi.
(3) Berdalilkan dengan ayat ini untuk membolehkan maulid adalah suatu bentuk penafsiran firman Allah Ta’ala dengan penafsiran yang tidak pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak kepada suatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini adalah perkara yang tidak diperbolehkan.
(4) Ibnu ‘Abdil Hady Rahimahullahu berkata dalam Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427: “… Dan tidak boleh memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang tidak pernah ada di zaman para ulama salaf, yang mereka tidak diketahui dan tidak pernah pula mereka jelaskan kepada umat. Kerana perbuatan ini mengandung (tudingan) bahawa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah seorang pengkritik yang datang pada kebelakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran tersebut menyelisihi dan bertentangan dengan penafsiran mereka ?!”.
(5) Para pembesar ulama tafsir telah menafsirkan ayat yang mulia ini dan tidak terdapat sedikitpun dalam penafsiran mereka bahawa yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang diinginkan dalam ayat sebelumnya, iaitu firman Allah Ta’ala:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ


Maksudnya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu pelajaran dari Tuhan kamu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …” (Yunus : 57-58)
Inilah penafsiran yang disebutkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary Rahimahullahu dalam Tafsir beliau (Lihat: Juz 15, halaman 105).
(6) Imam Al-Qurthuby Rahimahullahu berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Abu Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu‘anhuma berkata: “Kurnia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah Al-Islam”. Juga dari keduanya (berkata), “Kurnia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah dia menjadikan kamu ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan, Adh-Dhohak, Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Kurnia Allah adalah iman dan rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”. (Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an juz8, halaman353)
(7) Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullahu berkata dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah ‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah halaman 6: “Perkataan para ulama salaf sekitar di atas penafsiran bahawa kurnia Allah dan rahmat-Nya adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
(8) Sesungguhnya yang menjadi rahmat bagi manusia bukanlah kelahiran Nabi, akan tetapi rahmat itu hasilnya hanyalah ketika Nabi diutus kepada mereka. Makna inilah yang ditunjukkan oleh nas-nas syari’at:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Maksudnya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Al-Anbiya`: 107)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya saya tidaklah diutus sebagai seorang yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus hanya sebagai rahmat.” (HR. Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
(9) Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury (Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil): “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadis bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada malam itu (kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan para ulama” (Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan halaman 49).
Maka betapa menghairankan bagi para pelaku maulid ini, mereka bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (12 Rabi’ul Awwal), sementara hari kelahiran baginda adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut pendapat yang paling kuat, maka apakah ada kerosakan dan kerancuan akal yang lebih parah dari ini?!

4. Syubhat : "Perayaan maulid Nabi sudah ada pada abad ka-3 H tapi sampai pada abad ke-12 atau dalam kurun waktu hampir 1000 tahun tidak ada ulama yang mengingkari atau membid'ahkan. Jika ada yang mengingkari coba sebutkan ulamanya?."
Bantahan:
(1) Kita tidak tahu pasti kapan mulai ada peringatan maulid Nabi. Andai benar maulid Nabi itu sudah ada pada abad ke-3 tapi tidak ada satupun ulama yang mengingkari atau membid'ahkan sampai abad ke-12 maka ini sebuah kedustaan karena pada abad ke-7 sudah mulai ada nukilan para ulama yang mengingkari.
(2) Kita sepakat sepeninggal Nabi maka tiada orang yang ma'shum dan diamnya seorang ulama itu belum tentu iqror. Andai iqror pun maka itu juga bukan hujjah.
(3) Perkataan 'alim jika tidak bersama dalil maka itu bukan hujjah, apalagi jika hanya mendiamkan sebuah perkara.
(4) Pada abad ke-7 sudah ada ulama yang tidak membolehkan maulid Nabi antara lain: Ibnul Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah, Imam Asy- Syathibi, dan Iain-lain.
(5) Peringatan maulid Nabi, mendirikan jam'iyyah, muassasah, panti asuhan dan tafarruq/memisahkan diri dari umaro' dalam perkara sholat Jum''at itu sebagaimana bid'ah dzikir jama'ah yang diingkari Abdullah bin Mas'ud. Walau ada ulama yang membolehkan tapi tidak pernah diperintahkan serta tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.

5. Syubhat : "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan ihtifal maulid Nabi adalah perkara baik sebagaimana dalam fatwanya."

Bantahan:
(1) Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh menyatakan (Lihat Mulhaq dari risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu), “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Istighatsah: “Suatu kesalahan, jika timbul dari buruknya pemahaman orang yang mendengar, bukan kerana kelalaian pembicara, maka tidak mengapa (yakni tidak berdosa) ke atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika dia berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah faham.”
Lagi pula beliau sendiri telah menegaskan dalam lanjutan ucapan beliau bahawa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah bid’ah yang mungkar. Adapun mu’alliq (yang memberi komentar) Al-Iqthidha`, dia berkata: “Bagaimana mungkin mereka memiliki pahala atas hal ini padahal mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dan petunjuk para sahabat baginda.”
(2) Ucapan lengkap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas adalah seperti berikut: "Bid'ah yang diadakan oleh sebahagian orang, baik kerana perbuatan itu menyerupai perbuatan orang Nasrani dalam mengadakan peringatan kelahiran Isa 'alaihis salam, atau kerana mengaku cinta kepada Nabi dengan menjadikan hari kelahiran Nabi sallallahu 'alaihi wasallam sebagai perayaan Maulid walaupun orang-orang masih memperselisihkan hari kelahiran baginda, maka semua ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Jika perbuatan ini baik atau benar nescaya para salaf radiallahu 'anhum lebih berhak untuk melakukannya daripada kita. Sebab, mereka lebih cinta kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan lebih mengagungkannya daripada kita. Mereka lebih semangat dalam mengamalkan kebaikan.
Sebenarnya, hakikat mencintai dan memuliakan Nabi itu adalah mengikuti dan mentaatinya, mengikuti perintah dan menghidupkan sunnahnya, baik secara lahir ataupun yang batin, menyebarkan agamanya dan berjihad dalam memperjuangkannya, baik itu dengan hati, tangan dan lidah. Semua ini adalah cara para pendahulu kita yang pertama dari kalangan kaum Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka." (Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim; 2/615, yang ditahqiq oleh Dr. Nashir Al-Aql)

6. Syubhat : "Maulid Nabi adalah bid'ah hasanah sebagaimana sholat Tarawih berjamaah."

Jawaban dan bantahan:
(1) Semua bid’ah (dalam perkara agama) adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka[9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at[10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11).
(2) Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
(3) Nabi pernah melakukan sholat Tarawih secara berjama'ah kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hukumnya menjadi wajib sehingga memberatkan ummat. Sedang Nabi tidak pernah mengadakan peringatan maulid Nabi.
(4) Sholat Tarawih berjamaah termasuk Sunnah Khalafaur Rosyidin dan terdapat ijma' Shahabat. Sedang para Shahabat Nabi tidak pernah berkumpul mengadakan perayaan maulid Nabi..sehingga tidak bisa disamakan.
(5) Abdullah bin Mas'ud mengingkari orang berkumpul untuk dzikir jama'ah karena tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat. Berkumpul mengadakan peringatan maulid Nabi apa lebih baik daripada dzikir berjama'ah.?

7. Syubhat: "Sesungguhnya perayaan maulid adalah kumpulan zikir, sedekah, dan pengagungan terhadap sisi kenabian. Dan semua perkara ini tentunya merupakan perkara yang dituntut dan dipuji dalam syari’at Islam."

Jawaban dan bantahan :
(1) Tidak diragukan bahawa semua yang disebutkan di atas berupa zikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam merupakan ibadah, bahkan termasuk di antara ibadah yang memiliki kedudukan yang besar dalam Islam. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa ibadah akan diterima setelah dipenuhi dua syarat, ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (Lihat kembali bab Syarat Diterimanya Amalan).
(2) Di antara kaedah yang masyhur di tengah para ulama dan para penuntut ilmu bahawa suatu ibadah apabila perintah pelaksanaannya datang dalam bentuk umum (yakni tidak terikat dengan suatu waktu maupun tempat), maka ibadah tersebut juga mesti dilaksanakan secara mutlak tanpa mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, apabila dikhususkan tanpa adanya dalil maka perbuatan tersebut dihukumi sebagai bid’ah (Kaedah ini disebutkan oleh Syaikh Nashirudin Al-Albany dalam Ahkamul Jana`iz halaman 306). Oleh kerana itulah, adalah termasuk bid’ah tatkala mengkhususkan pelaksanaan ibadah zikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam hanya pada tarikh kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
(Silahkan lihat: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat ke sebelas).

8 Syubhat: "Diantara mereka berkata bahwa tidak ada satupun dalil yang tegas dan jelas melarang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam."

Bantahan:
(1) Sebenarnya dalih dan argumen semacam ini  hakikatnya sudah lebih dahulu patah sebelum dipatahkan. Akan tetapi yang sangat disayangkan, syubhat ini masih juga diucapkan oleh sebahagian orang yang mengaku berilmu yang dengannya dia menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ketika mereka mengingkar korupsi, beragam narkoba, praktek perjudian kontemporer dll...apa mereka bisa menunjukkan dalil yang tegas dan jelas yang mengharamkan.?
Mereka tidak akan mendapatkan satu pun dalil tentangnya -walaupun mereka bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil umum yang melarang dari semua amalan di atas dan yang sepertinya. Maka demikian halnya perayaan maulid.
(2) Memang tidak ada dalil yang tegas dan jelas yang melarang perayaan maulid Nabi ataupun yang melarang mendirikan jam'iyyah, muassasah dan panti asuhan sebagaimana tidak ada dalil yang sera tegas dan jelas yang melarang dzikir jama'ah (yang diingkari Abdullah bin Mas'ud). Akan tetapi perkara tersebut tetap merupakan bid’ah dan keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang sangat banyak berkenaan larangan berbuat bid’ah dalam agama, berkenaan dengan larangan menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir, berkenaan dengan … dan seterusnya. Wallahul Musta’an.

9. Syubhat: Mereka berkata: “Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi ia merupakan syi’ar agama Islam, bukan merupakan bid’ah.”

Bantahan:
(1) Ini menunjukkan kejahilan orang yang mengucapkannya terhadap syari’at Islam, maka apakah orang yang seperti ini layak untuk berkomentar dalam agama Allah?!
(2) Orang ini telah membedakan antara agama dan syi’ar agama padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Maksudnya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan syi’ar agama sebagai lambang dari katakwaan hati yang merupakan kewajiban. Maka apakah setelah ini, masih ada orang yang mengaku faham agama yang mengatakan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan syi’ar agama (menurut sangkaan mereka) yang satu ini (maulid)?!
(3) Ucapan ini mengharuskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan sebuah ketaatan yang merupakan kewajiban (Dan meninggalkan ketaatan yang merupakan kewajiban dengan sengaja adalah dosa besar), padahal para ulama telah bersepakat bahawa para Nabi terjaga (maksum) dari dosa besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata dalam Fathul Bari (8/69): “Para nabi maksum dari dosa-dosa besar berdasarkan ijmak” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472) karya Ibnu Taimiyah).

10. Syubhat: "Sebahagian mereka berdalih bahawa sebahagian ulama sunnah ada yang memperbolehkan perayaan maulid, seperti Imam As-Suyuthi Rahimahullahu dan yang lainnya.
Maka kami hanya mengikuti mereka kerana mereka adalah orang yang berilmu."

Bantahan:
(1) Tidak diragukan bahawa ucapan ini adalah ucapan yang penuh dengan fanatisme, taqlid, dan kesombongan yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(2) Perselisihan para ulama dalam masalah ini (yakni bid’ah maulid) adalah perselisihan yang sifatnya tadhadh (saling berlawanan dan menafikan), yang salah satunya adalah kebenaran dan yang lainnya adalah kebatilan, bukan perselisihan tanawwu’ (cabang) yang sifatnya masih menerima toleransi dan kompromi.
(3) Sebagai seorang muslim, hendaklah mengembalikan semua perselisihan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya,

11. Syubhat: Mereka mengatakan: “Perayaan maulid ini hanya sekadar adat istiadat yang tidak ada kaitannya dengan agama sehingga tidak boleh dianggap sebagai bid’ah.”

Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat larian terakhir bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid setelah seluruh dalil-dalil mereka digugurkan. Itupun alasan yang mereka katakan ini adalah alasan yang tidak dapat diterima kerana para pendahulu mereka yang membolehkan maulid baik dari kalangan ulama maupun yang bukan ulama telah menetapkan bahawa perayaan maulid adalah ibadah di sisi mereka, dan seseorang akan mendapatkan pahala dengannya.

12. Syubhat : Para pendukung bid’ah perayaan maulid menukilkan ucapan Syaikhul Islam sebagai berikut :

“تَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ”.

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung perayaan Maulid Nabi.

 Bantahan :
(1) Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut :

“فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد.”

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwa hal itu dianggap baik oleh sebagian manusia tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapatkan petunjuk “.
Demikian perkataan beliau rahimahullah dalam Kitab Iqtidha’u Ash-Shirāth Al-Mustaqim. (lihat Iqtidha’ Ash Shirathil Mustaqim li Mukhalafati Ashhābil Jahîm, Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah , Maktabah Ar-Rusyd Ar-Riyadh Halaman 621 – 622 dan halaman : 619)
(2) Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh , insyā Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru.
     Lihat baik-baik perkataan beliau di atas :
”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian manusia tetapi TIDAK DIANGGAP BAIK oleh MUKMIN yang mendapat PETUNJUK.”
     Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
(3) Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik, tetapi amalan yang keliru dan salah bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membid’ahkan perayaan maulid ini dalam Kitab yang sama dan dalam Kitab Majmu’ Al-Fatāwa.”  (lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  25/298, Darul Wafa’)

13. Syubhat: Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surah Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Mereka mengatakan bahawa perayaan maulid boleh memberi motivasi sekaligus sarana untuk berselawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Bantahan:
(1) Syaikh Hamud At-Tuwaijiri Rahimahullahu berkata dalam Ar-Roddul Qowy, halaman 70-71: “Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah memberi motivasi untuk memperbanyakkan berselawat kepada beliau di waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jumaat, setelah azan, ketika nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut, dan waktu-waktu lainnya. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah memerintahkan atau memberi motivasi untuk berselawat kepada beliau pada malam maulid beliau sendiri. Jadi, sesungguhnya (yang semestinya) diamalkan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan (yang semestinya) ditolak adalah segala sesuatu yang tidak beliau perintahkan”. Selesai dengan sedikit perubahan.
(2) Syaikh Al-Muqthiry dalam Al-Mawrid (halaman 18) menyatakan: “Bershalawat kepada Nabi adalah perkara yang dituntut terus-menerus, bukan hanya di awal tahun atau dua hari dalam seminggu.
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)
Nabi  ‘alaihish sholatu wassalam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa yang berselawat kepadaku sekali, maka Allah akan berselawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Muslim no. 384 & 408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma).
Beliau telah memerintahkan untuk berselawat kepadanya setelah azan, dalam solat dan demikian pula ketika nama baginda Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut.
Beliau bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ علَيَّ

“Kecelakaan bagi seseorang yang mendengar namaku disebut di sisinya, lantas dia tidak berselawat kepadaku” (HR. Muslim no. 384 & 408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma)

الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang kikir (kedekut) adalah orang yang apabila namaku disebutkan di sisinya, lalu dia tidak berselawat atasku” (HR. At-Tirmidzi no: 3546 dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra no: 8100 & 9883 dari Al-Husain bin ‘Ali Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2878).




Bab 9. Penutup


     Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. 
     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين






Blora, 29 Rabi'ul Awwal 1445H (25-10-2022)



Hazim Al Jawiy

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...