بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين, و بعد :
Allah Ta'ala berfirman:
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Baqoroh: 233).
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).
Bab I. Hadhonah (Kepengasuhan) dan Hadhinah
Hadhonah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya hingga mencapai usia baligh.
Hadhonah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan. Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu mandiri. Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifayah.
Hadhonah sangat terkait dengan tiga hak:
(1) Hak wanita yang mengasuh
(2) Hak anak yang diasuh
(3) Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada hak yang lainnya.
Hadhonah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhun) juga orang yang mengasuh (al-hadhin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhun) ditinjau dari hak penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan si anak sengsara.
Hadhonah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-hadhin). Ini jika ditinjau dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau menggugurkan hak tersebut selama sang anak bisa diasuh oleh selainnya.
Bab II. Mahdhun Disyari'atkan Tinggal Bersama Hadhinah/Hadhin
Anak (mahdhun) disyari'atkan tinggal bersama hadhinah sebagaimana pengamalan Salafush Sholih. Jika si anak tidak memiliki orang tua ataupun kerabat yang berhak menjadi hadhinah bagi si anak, maka ulil amri yang berhak memutuskan dengan siapa anak itu diamanahkan.
Mazhab Malikiyyah berpendapat berakhirnya hadhonah anak laki-laki yaitu ketika ia baligh, sedangkan terhadap anak perempuan yaitu hingga ia dicampuri suaminya, kecuali jika ada sesuatu yang ditakutkan setelah baligh. Ibnu Hazm berkata, bahwa seorang ibu berhak melakukan hadhonah terhadap anak laki-laki atau perempuan hingga haid atau bermimpi, disertai dengan mumayyiz dan kesehatan badan.
Selanjutnya di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:
(1)Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
(3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan karena perceraian, maka:
(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang member keputusan.
(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Kita wajib taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat. Jadi pemeliharaan anak akan terus menjadi tanggung jawab orang tua selama belum berakhirnya masa hadhonah. Hadhanah berakhir apabila anak tersebut telah mandiri atau mampu menghidupi dirinya sendiri.
Bab III. Siapa Yang Berhak Menjadi Hadhinah/Hadhin (Pengasuh)
Yang paling berhak menjadi hadhinah adalah ibu dan bapak. Hadhonah anak wajib dikerjakan kedua orang tuanya.Akan tapi jika ada udzur, cerai atau meninggal dunia maka bisa juga diberikan kepada orang tua susuan, kerabat dari ibu, kerabat dari bapak ataupun yang punya hubungan mahrom. Dari sanak kerabat yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika sanak kerabat tidak ada sama sekali, maka hadhonah terhadap mahdhun wajib dikerjakan ulil amri atau salah satu jama'ah dari kaum muslimin.
Hadhonah tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menjadi hadhinah, walau bergelar kyai, ustadz, syaikh, profesor dan lain-lain.
Jika terjadi perpiasahan antara suami istri karena talaq, atau meninggal dunia, maka yang paling berhak pengasuhan anak adalah ibunya jika ia belum menikah lagi. Karena Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil darinya:
أنت أحق به ما لم تنكحي
"Engkau lebih berhak atas anakmu,selagi engkau belum menikah lagi." ( Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan Al Hakim).
Jika ibunya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ibu karena nenek dari jalur ibu adalah seperti ibu bagi anak kecil tersebut dan jika nenek dari pihak ibu tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah bibi dari jalur ibunya karena bibi dari jalur ibu ialah ibarat ibu bagi anak kecil tersebut. Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الخالة بمنزلة الأم
"Bibi dari jalur ibu itu seperti ibu." (HR. Bukhori dan Muslim).
Jika bibi dari jalur ibu tidak ada, maka orang yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ayahnya. Jika nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah saudara perempuan anak kecil tersebut. Jika saudara perempuannya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah bibi dari jalur ayahnya. Dan jika bibi dari jalur ayah tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah anak perempuan dari saudara ayah. Jika semua orang di atas tidak ada, maka hak hadhonah kembali kepada ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian saudara ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian pamannya dari jalur ayahnya, kemudian keluarga yang paling dekat dan keluarga lainnya sesuai dengan urutan kekerabatan. Saudara kandung lebih didahulukan untuk meng-hadhonah anak kecil tersebut daripada saudara seayah, dan saudara perempuan sekandung juga lebih didahulukan untuk meng-hadhonah darpada saudara perempuan seayah.
Bab IV. Syarat Menjadi Hadhin/Hadhinah
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan para Ulama.
Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah:
(1) Berakal sehat. Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat.
(2) Amanah dalam agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban kepengasuhan ini.
(3) Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya. Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka.
(4) Pengasuh tidak memiliki penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh.
(5) Tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.
(6) Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak maka hak hadhonah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu pada anaknya bila telah menikah lagi. (Al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir, hlm. 79. Lihat al-Mughni 9/298-299).
Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Wahai Rosulullah! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HHR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 2/225).
Diantara syarat-syarat yang masih diperselisihkan adalah:
(1) Islam.
Para Ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian dari Ulama yang bermadzhab Syafi’iyah juga madzhab Zhahiriyah menyatakan bahwa Islam bukan syarat dalam hak Hadhonah. Sedangkan madzhab al-Hanabilah dan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa Islam adalah syarat dalam Hadhonah.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menjadikan Islam sebagai syarat untuk memperoleh hak hadhonah. Karena dikhawatirkan sang anak akan terfitnah dalam urusan agamanya sebagai akibat dari pengajaran dan pembinaan yang dilandasi ajaran kekufuran. Ini jelas menjadi madharat (bahaya) yang sangat besar. Apalagi dipancang secara umum bahwa orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Ini adalah bahaya terbesar yang mengancam sang anak jika diasuh oleh yang kafir.
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. [HR. Al-Bukhori dan Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
(2) Merdeka bukan budak.
Ada dua pendapat Ulama dalam masalah ini. Madzhab Mayoritas Ulama diantaranya madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat pengasuh adalah orang yang merdeka, bukan budak. Sedangkan menurut pendapat madzhab Malikiyah dan Zhohiriyah, merdeka bukan termasuk syarat.
(3) Ar-Rusyd.
Maksudnya, dia memiliki kemampuan untuk beraktifitas dan mampu menjaga harta dengan baik. Madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menetapkan bahwa pengasuh (hadhin) dalam hadhonah harus memiliki sifat rusyd. Karena dikhawatirkan dia akan menghabiskan atau menyia-nyiakan harta sang anak yang sedang diasuhnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah dan Hanabilah memandangnya bukan syarat.
Dengan demikian jelaslah bahwa syarat-syarat ini harus diberlakukan dalam memberikan hak kepengasuhan (hadhonah) kepada pihak-pihak yang berhak memiliki hak tersebut. Sehingga bisa menjadi sarana menyaring mereka yang berhak dan tidak berhak agar hak kepengasuhan diberikan kepada orang yang paling tepat mengurus anak-anak tersebut hingga mandiri ketika usia mumayyiz. Wallahu a’lam.
Bab V. Larangan Khianat Terhadap Amanah
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58).
Anak (mahdhun) temasuk amanah dari Allah kepada orang tuanya, sehingga wajib ditunaikan ibu bapaknya dan tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak berhak menjada hadhinah.
Bab VI. Tholabul 'Ilmi dan Tafaqquh fiiddin
Safar seorang wanita untuk menuntut ilmu bersama wali/mahrom/hadhin-nya yang tinggal bersamanya adalah perkara yang boleh kalau tidak ditakutkan fitnah bahkan bisa jadi safar tersebut menjadi wajib hukumnya apabila ilmu yang hendak ia tuntut adalah ilmu wajib yag tidak boleh untuk tidak diketahui seperti ilmu tauhid, 'aqidah, shalat dan semisalnya, dari ilmu yang wajib bagi seorang hamba laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari apa yang dengannya dia menegakkan agamanya.
Dan sebuah hadits:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim".
Maksudnya adalah ilmu yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari ilmu-ilmu yang telah lewat sebagian penyebutannya.
Dan Imam Al-Aajurri telah mengkhususkan pembahasan ini dengan sebuah makalah berjudul "Fardhu Thalabil 'Ilm" yaitu apa yang wajib bagi seorang hamba untuk mempelajarinya laki-laki atau perempuan, dan menuntut ilmu yang semacam ini masuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan menuntut ilmu seperti firman Allah Ta'ala:
﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ [طه/114].
"Dan katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah untukku ilmu." (QS. Thoha: 114)
Dan Allah berfirman:
﴿يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ [المجادلة/11].
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. dan Alloh Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11).
Dan Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda:
ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
"Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Alloh akan mudahkan baginya jalan menuju jannah." (HR. Muslim (7028) dari hadits Abu Hurairah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ucapannya shallAllahu 'alaihi wa sallam:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
"Barangsiapa yang Allah hendaki baginya kebaikan, Ia akan pahamkan dia dalam agama." (Muttafaqun 'alahi dari hadits Mu'awiyyah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ini mencakup laki-laki dan perempuan, Imam Bukhori menyebutkan dalam Shahihnya di Kitab Al-'Ilm dengan mendatangkan sanadnya dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyAllahu 'anhu para wanita berkata kepada Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:
غلبنا عليك الرجال فاجعل لنا يوما من نفسك فوعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن... الحديث
"Para lelaki telah melampaui kami karena mereka selalu belajar bersamamu, maka luangkanlah untuk kami suatu hari, untuk engkau mengajari kami, maka beliau menjanjikan mereka suatu hari untuk menemui mereka, maka beliaupun menasihati dan memerintahkan mereka …" al-hadits di Shahih Bukhori bab: Apakah di tetapkan untuk wanita satu hari khusus mengajari mereka.
Maka dapat diketahui dari semua dalil-dalil ini dan selainnya akan syar'inya menuntut ilmu bagi laki-laki dan perempuan baik itu di rumah dan itu lebih afdhol (baik) bagi seorang wanita atau di luar rumah dengan syarat-syarat yang teranggap ketika keluarnya.
Ketahuilah bahwa keluar seorang wanita dari rumahnya untuk menuntut ilmu ada dua bentuk: (1) keluar ke tempat dekat bukan safar dan (2) keluar menempuh jarak safar.
Dan keluarnya seorang wanita dari rumahnya bagaimanapun bentuknya harus memenuhi syarat-syarat yang dipahami dari nash-nash syar'i yang mulia:
(1) Izin wali dari kerabat dekatnya dari segi nasab atau sebab seperti suami atau para wali kerabat dekatnya seperti paman dari pihak ibu atau pemerintah kalau tidak didapati seorangpun dari yang telah lewat penyebutannya.
Dalilnya di Shahihain dari hadits ibni 'Umar radhiyAllohu 'anhu beliau berkata: Rosululloh shallAllahu 'alaihi wa sallam berkata:
كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan ditanya pertanggung jawabannya."
(2) Memakai pakaian syar'i yang menutupi seluruh jasad, bukan hiasan, tidak tipis hingga tampak apa yang di dalamnya, tidak sempit atau ketat yang membentuk tubuh.
Allah Ta'ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾ [الأحزاب/59]
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan tidak di ganggu." (QS. Al-Ahzab: 59).
(3) Aman dari fitnah terhadap agama, harga diri, badan, kesucian, dan kehormatannya mulai keluarnya sampai kembalinya, dan ini tentu dengan tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, tidak campur baur dengan mereka, dan tidak merendahkan (melemah lembutkan) ucapan dengan mereka, disertai dengan menundukkan pandangan, dan beradab dalam berjalan, akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Allah.
(4) Apabila jarak yang ia tempuh adalah jarak safar, mesti bersama mahram yang menjaganya saat safar dan kembalinya, hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil sahih di antaranya apa yang di Shahihain dari hadits ibnu 'Abbas:
لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم
"Tidak boleh bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan safar kecuali bersama mahramnya."
Dan telah dinukil ijma' (kesepakatan ulama) tentang hal ini.
Oleh karenanya tafaqquh fiddin dengan safar tidak diwajibkan bagi wanita dan anak kecil. Tafaqquh fiddin hukum asalnya fardhu kifayyah bagi laki-laki yang sudah baligh sebagaimana juga jihad. Allah Ta'ala berfirman:
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
"Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At Taubah: 122).
Berdasarkan pendapat bahwa ayat ini menunjukkan syar'inya menuntut ilmu (dan itulah yang benar) maka kata Thaifah (kelompok) dalam bahasa adalah untuk jama'ah dan terkadang untuk lebih sedikit dari itu hingga mencapai dua orang dan satu atas makna thaifah itu sendiri. Sebagaimana itu perkataan Al-Qurthubi di "Jami' Li Ahkamil Qur'an (8/266).
Dan tidaklah diketahui dalam sejarah salaf keluarnya perempuan tanpa mahram atau tinggal di suatu negeri berjarak safar tanpa mahram untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama, itu dan semacamnya dari jarak safar hanyalah untuk para lelaki saja atau wanita yang bersama mahramnya.
Bab VII. Panti Asuhan Bid'ah Yang Tiada Salafnya Dan Solusinya
Panti Asuhan TN dan TB tidak ada pada zaman Salafush Sholih. Seandainya itu benar dan baik, tentunya mereka para muhajirot orang yang paling berhak untuk dibangunkan asrama sebagai tempat sementara yang aman sampai datang mahromnya atau orang meminangnya. Akan tetapi itu semua tidak terjadi dan tidak ada, padahal tuntutan dan kondisi butuhnya salaf serta kemungkinan berdirinya TN dimasa itu sangat kuat karena banyak faktor pendukung yang mengantar kesana seperti:
(1) Adanya wanita yang paling alimah yakni Ummul Mu'minin ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha dan para Shohabiyyah lain, tentunya modal satu ini sudah cukup untuk mendirikan panti asuhan TN di zaman itu karena semua butuh kepada ilmunya.
(2) Banyaknya wanita yang perlu mendapat perhatian , baik dari sisi ilmu atau lainnya seperti para muhajiroh, para janda syuhada, anak-anak yatim mereka, atau selain mereka dari para wanita shohabat yang sangat butuh ilmu baik dari kalangan Muhajirin atau Anshor.
(3) Dari sisi biaya, sarana dan prasarana, di zaman mereka sangat memungkinkan untuk mendirikannya diantaranya bersumber dari ghonimah(rampasan perang), zakat, shodaqoh dari para muhsinin yang tidak perlu di minta, dan lain-lain. Terlebih pada zaman Kholifah Umar bin Khoththob di mana banyak negeri telah takluk.
(4) Bersihnya jiwa mereka dari kekotoran-kekotoran akhlaq yang membuat keamanan panti asuhan TN mereka terjaga.
(5) Keadaan baik secara politik atau sosial semua mendukung berdirinya panti asuhan TN di zaman itu.
Akan tetapi semua faktor pendukung tersebut tidak sedikitpun membawa mereka untuk bertindak lebih jauh dari tuntunan dan perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam maka jelas pengadaan panti asuhan TN merupakan penyelisihan terhadap dalil dan manhaj salaf.
Demikian juga Tarbiyatun Banin yang mana anak tidak pulang dan tidak tinggal bersama orang tua, walinya, ibu susuan ataupun mahrom yang berhak menjadi hadhinah yang sah itu juga tiada Salafnya. Terlebih anak kecil itu lebih butuh penjagaan daripada wanita dewasa.
Kemudian solusi untuk mandapatkan ilmu nafi' insya Allah ada banyak cara dan sebab, diantaranya:
(1) Tawakkal, berdoa dan minta kepada Allah.
Hendaknya menguatkan dan memantapkan pendekatan diri mereka kepada ” العليم ” Al-‘Aliim” Dzat Yang Maha Mengetahui”, karena Dialah yang memiliki semua ilmu, dan Dia juga yang akan membagi kepada yang berhak mendapat bagian, dan Allah telah perintahkan kita untuk mengharap ilmu dan tambahan ilmu kepadaNya, Allah berfirman :
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا_ [طه : 114]
"Dan katakanlah : “Ya Rob, tambahilah aku ilmu.” (QS : Thoha 114).
Dan juga Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita untuk memohon ilmu kepada Allah ilmu yang bermanfaat dengan sabdanya:
عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم سلوا الله علما نافعا وتعوذوا بالله من علم لا ينفع . [رواه ابن ماجة (ج 8 / ص 343 )تحقيق الألباني :وقال حسن ، وانظر الصحيحة ( 1511 )]
Dari Jabir berkata : bersabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam: Mintalah kepada Alloh ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Alloh dari ilmu yang tidak bermanfaat.[ HSR Ibnu Majah lihat As- Shohihah :1511]
Dan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sendiri memraktekannya dalam doa beliau:
عن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول إذا صلى الصبح حين يسلم اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا .[ صحيح ابن ماجة – (ج 1 / ص 67)]
Dari Umi Salamah bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai sholat Shubuh sehabis salam mengatakan : Ya Alloh , sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat dan rejeki yang baik, serta amalan yang diterima. (HSR Ibnu Majah dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani).
(2) Meminta diajari oleh wali-walinya atau mahrom-nya apabila mereka memiliki dan mampu mengajarinya seperti ayah dan ibunya, suaminya, kakak atau adiknya baik laki-laki atau perempuan, dan tidak perlu merasa malu belajar kepada yang lebih kecil atau muda selama mereka memiliki yang tidak kita miliki.
Kalau itu bisa terpraktekkan maka sungguh kehidupan ilmiyah dalam keluarga yang penuh barokah dan kesejukkan jiwa yang tiada tara sebagaimana kehidupan para salaf.
(3) Jika bukan dari keluarga yang mampu untuk menyampaikan ilmu, karena semua masih pemula atau sebab yang lain, maka hendaknya mereka menyediakan perlengkapan-perlengkapan belajar semampunya. Seperti : Kitab-kitab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang bermanfaat dan bersih dari kesesatan, kaset-kaset dan CD ilmiyah dari para ulama Ahlus Sunnah dan perlengkapan lainnya, dimana Allah subhaanah pada zaman kita ini telah membuka kemudahan yang sangat banyak untuk memperoleh ilmu. Itu semua kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk mencari ilmu.
(4) Berupaya menghadiri majelis ilmu Ahlus Sunnah di sekitarnya jika itu ada dan tanpa harus safar.
(5) Dengan bertanya kepada ahli ilmu atau orang yang dipandang bisa ditanya dari kalangan Ahli Sunnah, lewat surat, sms , email , atau lewat telpon, dalam perkara-perkara rumit yang tidak bisa dipecahkan sendiri atau untuk meyakinkan kebenaran yang kita telah berusaha untuk mencarinya.
(6) kalau memang belum dibuka ini dan itu maka hendaknya menseriuskan diri dengan hafalan Al-Qur’an sampai benar-benar hafal, yang Insya Allah dengan menghafalkan Al-Qur’an akan terbuka jalan lebar lainnya, karena Al-Qur’an adalah kitab yang penuh barokah.
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ_ [الأنعام : 155]
“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan yang penuh barokah , maka ikutilah kitab tersebut dan bertaqwalah kalian agar kalian mendapatkan rohmahNya." (QS. Al-An’am 155).
(7) Mengamalkan ilmu.
Semakin ilmu kita amalkan, maka akan semakin banyak manfaatnya dan semakin kuat pula kita memahami ilmu tersebut. Karena boleh jadi ilmu yang masih sedikit yang kita miliki tersebut, justru akan semakin lengkap manakala kita mengamalkannya. Kita akan semakin mengerti sisi-sisi mana saja yang masih belum kita ketahui pada ilmu tersebut. Allah juga akan menguatkan iman dan diberi petunjuk jalan yang lurus. Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا (67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69) ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)
"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian," niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka); dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid. dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (QS. An Nisa': 66 - 70).
Bersambung...Bagian 2.
https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/08/hadhinah-yang-sah-vs_2.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar