Kamis, 29 Desember 2022

Pada Hari Jum'at Disunnahkan Membaca Surat Yasin Atau Al Kahfi?





BENARKAH MEMBACA SURAT YASIN PADA MALAM/HARI JUM'AT  LEBIH UTAMA DAN LEBIH BERHAK DIAMALKAN DARIPADA MEMBACA SURAT AL KAHFI?



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :


1. Dalil keutamaan membaca  surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at haditsnya shahih dan lebih kuat daripada hadits keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at yang dhoi'f (lemah).

Hadits pertama :
     Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah.”  (HR. Ad-Darimi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6471. Juga diriwayatkan An Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

Hadits kedua :
     Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)

     Dalam dua hadist di atas, pada hadits pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, "membaca surat Al-Kahfi di malam Jum'at". Sementara di hadits kedua, beliau menyatakan, "membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum'at".

     Al-Munawi menukil keterangan Al Hafidz Ibnu Hajar,

قال الحافظ ابن حجر في ” أماليه ” : كذا وقع في روايات ” يوم الجمعة ” وفي روايات ” ليلة الجمعة ” ، ويجمع بأن المراد اليوم بليلته والليلة بيومها

Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Amali, “Anjuran membaca al-Kahfi ada di beberapa riwayat, ada yang menyatakan ‘Hari jum’at’ dalam riwayat lain ‘Malam Jum'at’. Bisa kita kompromikan bahwa waktu yang dimaksud adalah siang dan malam Jum'at.” (Faidhul Qadir, 6/258).

     Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Umm (1: 208) mengatakan,

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai (seseorang itu) memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di setiap waktu. Dan pada hari Jumat serta malam Jumat, lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai (menganjurkan) seseorang untuk membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat dan pada hari Jumat karena terdapat dalil mengenai hal ini.”

     Sebaliknya hadits tentang keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at adalah dha'if jiddan (sangat lemah). Bahkan mereka yang mengamalkan membaca surat Yasin pada malam Jum'at juga mengakui bahwa haditsnya dha'if.

2. Kalau kita telusuri pendapat para ulama, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dha'if (menolak secara mutlak, menerima dengan syarat-syarat tertentu, menerima asal bukan hadits maudhu'/palsu).

(1) Kelompok pertama
     Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
     Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya.

(2) Kelompok kedua
     Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
     Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.
• Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
• Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

(3) Kelompok ketiga
     Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
     Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.
     Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, "Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."

     Dari ketiga pendapat tersebut, taruhlah andai yang benar yaitu boleh mengamalkan hadits dha'if terkait membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at, maka tetap tidak sepatutnya mereka lebih mengutamakan mengamalkan membaca surat Yasin (yang haditsnya dha'if) daripada membaca surat Al Kahfi yang haditsnya shahih. Yang benar mereka seharusnya lebih antusias dan lebih mendahulukan untuk mengamalkan Sunnah membaca surat Al Kahfi daripada mengamalkan membaca surat Yasin yang hanya dengan sandaran hadits dha'if ataupun sangat lemah. Terlebih lagi jika ternyata yang benar pendapat bahwa hadits dha'if (lemah) tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan.


3.  Jika amalan yang jelas-jelas diperintahkan Nabi (seperti sholat tahajjud, pelihara jenggot, membaca surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at dan perkara semisal) berdasarkan hadits shahih saja banyak yang tidak antusias dan enggan untuk mengamalkan, tapi mengapa sebaliknya mereka justru lebih memilih mengerjakan amalan-amalan dengan bersandarkan hadits dha'if? Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan? Yang mana kita saja tidak boleh meyaqini hadits dha'if (lemah) sebagai perkataan Nabi.

4. Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu: (1)Ikhlas karena Allah, dan (2) Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).

     Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits.
(1) Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkanBarangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”. (HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.)
(2) Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718.)
    
     Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak. Termasuk dalam perkara dzikir (takbir, tahlil, dan bertasbih) hendaknya ikhlash serta sesuai tuntunan Nabi dan para Shahabat. Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi no. 204 (1/79). Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (5/11) mengatakan bahwa hadits ini shahih)


5. Kita diperintahkan mengamalkan Islam sebagaimana yang diamalkan Nabi dan para Shahabat.
    
     Tidak ada nukilan shahih bahwa Nabi dan para Shahabat punya kebiasaan membaca surat Yasin pada setiap malam/hari Jum'at.  Demikian juga tidak ada nukilan yang shahih dari para imam 4 madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengamalkan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at. Terlebih dengan ritual yang mengada-ngada seperti yang diamalkan mereka pada masa sekarang yang tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.

Wa Allahu a'lam.

Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Kamis 5 Jumadil Akhir 1444 H (29-12-2022)


Hazim Al Jawiy








Sabtu, 24 Desember 2022

Ghibah (Menggunjing)

 



Tahukah Engkau Apa Itu Ghibah (Menggunjing)?

    
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).

   Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi  ”. Maka Nabi  pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian”. (Maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Tirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

     Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”


Hukum Ghibah

     Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

     Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).

     Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).

     Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)
    
     Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang Ghibah) sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadis Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

"Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak."  (HR Abu Dawud (4/269) No. 4876. dishahihkan syaikh Albani).
     Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)” (Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736)

Ancaman Adzab Bagi Pelaku Ghibah

     Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengGhibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.

Dalam riwayat yang lain :

قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

Rasulullah  bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (HR. Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879))

     Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadits Abu Hurairah.)


Pahala Bagi Yang Dighibah

(1) Keterangan Hasan Al Bashri
     Ada orang yang datang menemui Hasan al-Bashri, lalu orang ini memberikan info, “Bahwa si A telah meng-ghibah anda.”
Lalu Hasan al-Bashri mengirim satu kotak kurma basah ke orang itu, beliau mengatakan,

بلغني أنك أهديتَ إليَّ حسناتِك، فأردتُ أن أكافئك عليها، فاعذرني، فإني لا أقدر أن أكافئك بها على التمام

Saya dapat info bahwa anda telah menghadiahkan pahalamu untukku. Maka saya ingin untuk membalasnya kepadamu. Mohon maaf, saya tidak mampu memberikan balasan yang setimpal. (Tanbih al-Ghafilin, 1/176)

(2) Keterangan Fudhail bin Iyadh
     Ada orang yang mengatakan kepada Fudhail, "Si A telah meng-ghibahku." Lalu Fudhail bin Iyadh mengatakan,

قد جلب لك الخير جلبًا

Berarti dia telah memberikan pahala untukmu. (Hilyah al-Auliya, 8/108)

(3) Keterangan Abdurrahman bin Mahdi, beliau mengatakan,

لولا أني أكره أن يُعْصى الله، لتمنيت أن لا يبقى أحد في المصر إلا اغتابني، أي شيء أهنأ من حسنات يجدها الرجل في صحيفته لم يعمل بها؟!

“Andaikan bukan karena benci maksiat kepada Allah, (maka aku akan lakukan maksiat), dan sungguh aku ber-angan-angan andaikan semua penduduk kota ini meng-ghibahku. Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan melebihi orang yang melihat pahala yang tertulis di catatan amalnya, sementara dia tidak pernah mengamalkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5/305)

(4) Keterangan Abdullah bin Mubarak
     Beliau mengatakan,

لو كنت مغتابًا أحدًا لاغتبت والديَّ؛ لأنهما أحق بحسناتي

"Andai saya boleh meng-ghibah orang lain, tentu saya akan meng-ghibah kedua orang tuaku. Karena mereka yang paling berhak untuk mendapatkan pahala dariku."

(5) Keterangan Ibrahim bin Adham

يا مكذب، بخلت بدنياك على أصدقائك، وسخوت بآخرتك على أعدائك

Wahai manusia pembohong, kamu sangat bakhil terhadap dunia sehingga tidak kamu kasihkan ke sesama muslim, namun kalian begitu pemurah dalam memberikan pahala akhirat kalian kepada musuh kalian. (Tanbih al-Ghafilin, 1/177)
Yang beliau maksud adalah meng-ghibah orang lain.

Cara Taubat Dan Kafaroh Ghibah

     Berkata Al-Hasan Al-Bashri,
كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ

“Penebus dosa Ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau Ghibahi” (Majmu’ fatawa (18/189)
     Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengGhibah) meminta penghalalan (perelaan dosa Ghibahnya-pent) dari orang yang dia Ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia Ghibahi tersebut bahwa dia telah mengGhibahinya, maka terkadang malah orang yang diGhibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengGhibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…” (Tafsir Ibnu Katsir)
     Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Di antara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang mengGhibah) harus datang ke dia (yang diGhibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang diGhibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengGhibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya Ghibah itu, jika yang diGhibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengGhibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadis,

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

"Kafarohnya orang yang kau Ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya."
(Syarah Riyadlus Sholihin (1/78))



Ijma' Bolehnya Ghibah Dalam 6 Perkara

     Hukum asal ghibah (menggunjing) adalah haram. Ghibah dibolehkan jika untuk tujuan yang benar/syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu. Dan para ulama sepakat (secara ijma') dibolehkan ghibah dalam 6 perkara.
     Imam An-Nawawi Rahimahullah menyebutkan Al-Adzkar, “Ketahuilah bahwasannya ghibah walaupun diharamkan akan tetapi dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu karena ada maslahat. Dan kebolehan ghibah di sini karena tujuan yang benar dan disyariatkan dan tidak mungkin untuk sampai kepada tujuan tersebut kecuali dengan ghibah.” Bahkan seorang penulis syair menyebutkan enam ghibah yang dibolehkan dalam sebuah bait syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ         مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ         وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

"Celaan bukanlah disebut ghibah pada enam perkara

(1) Pengadu/orang yang dizhalimi(seperti mengadukan kezholiman kepada imam/pemimpin atau orang yang punya wewenang ), (2) orang yang mengenalkan (seperti dengan ciri "si buta" atau sebutan yang sudah masyhur), dan (3) orang yang memperingatkan (seperti tahdzir terhadap keburukan)

Dan (4) terhadap orang yang menampakkan kefasikan (seperti orang melakukan kesyirikan, bid'ah dan maksiat secara terang-terangan), dan (5) peminta fatwa (seperti minta fatwa terhadap sebuah perkara atau kasus)

Dan (6) orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan suatu kemungkaran."

Wa Allahu a'lam.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...