Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas kehidupan manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):
المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام
“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.
Hukum Asal Perlombaan Jika Tanpa Hadiah Mubah
Hukum perlombaan yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini hukum asalnya mubah (boleh), selama tanpa ada taruhan, hadiah dan bukan untuk perkara yang Allah haramkan (seperti lomba musik, membuat shuroh (gambar bernyawa), tinju, adu ayam dan semisal). Karena perlombaan merupakan perkara muamalah (bukan perkara ibadah), sebagaimana kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الأصل في المعاملات الحِلُّ
“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ummul Mukminin Aisyah radhiyaallahu 'anha bercerita:
سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ (5/327)).
Tentunya lomba lari yang dilakukan antara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan ummul mukminin Aisyah radhiyaallahu 'anha tanpa hadiah. Dan tujuan dari lomba adalah untuk melatih fisik, untuk mengetahui siapa yang paling tangkas, atau sekedar untuk bersenang-senang.
Hukum Lomba Dengan Taruhan Atau Hadiah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:
لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ
“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).
Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ
“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).
Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits (lombs berkuda, balap unta dan memanah), maka jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ
“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba memanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).
Ini adalah pendapat mu’tamad 4 madzhab dari Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah, demikian juga pendapat Zhahiriyah.
Bolehkah Musabaqah (Pelombaan) Dalam Perkara Ibadah Dengan Tujuan Untuk Mengharapkan Dunia Atau Hadiah?
Ada sebuah pendapat yang membolehkan perlombaan tilawah Al Qur'an (MTQ), hafalan Al Qur'an (MHQ), hafalan hadits, fiqh, adzan, ilmu yang bermanfaat atau perkara ibadah walau dengan taruhan dan hadiah dengan dikiaskan lomba berkuda dan memanah untuk kepentingan jihad fissabilillah. Benarkah pendapat tersebut?
Sepengetahuan ilmu yang Allah berikan kepada kami maka hal tersebut tidak benar, dikarenakan :
1. Pada zaman Nabi dan para Shahabat tiada nukilan shahih adanya lomba menghafal Al Qur'an atau semisal.
Andai itu disyari'atkan tentu akan diamalkan para Shahabat. Tapi ternyata tidak diamalkan para Shahabat Nabi walau keadaan lebih menuntut yaitu banyak penghafal Al Qur'an yang gugur terbunuh. Apa para Shahabat Nabi kemudian melakukan musabaqah hafalan Al Qur'an.?? Ternyata tidak demikian.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang."
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Perlombaan tersebut tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.
Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak boleh memberi hadiah dalam perlombaan kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi, no. 1700; An-Nasai, no. 3615; Abu Daud, no. 2574; Ibnu Majah, no. 2878. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan dalam ta’liq beliau terhadap Jami’ At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 1506, 5:333 mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
4. Ibnul Qoyyim dalam Al Furusiyah menyebutkan bahwa pengikut imam Malik., imam Ahmad dan imam Asy Syafi'i melarang hal tersebut.
5. Al Qur'an itu untuk dibaca, dihafal, diajarkan, ditadabburi ataupun diamalkan. Bukan untuk dilombakan dengan tujuan dunia atau mencari nama, mencari uang, mencari nomor (juara) satu, atau mengharapkan hadiah. Hal ini sebagaimana terjadi di dalam Musabaqah Tilawah Alquran (MTQ). Belum lagi pada umumnya dalam prakteknya terdapat banyak kemungkaran seperti ikhtilath, shuroh bernyawa, tepuk tangan dan lain-lain
6. Syarat diterimanya amalan itu ada dua yaitu ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi dan para Shahabat).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga siapa yang tilawah Al Qur'an, hafalan, ilmu dan lain-lain jika tujuannya untuk dunia, dipuji manusia, mendapatkan hadiah dan sebagainya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan (minimal riya' (syirik kecil), sum'ah ataupun ujub).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat? ‘ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca. Dan kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 3527)
7. Para Shahabat memahami (فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ) yaitu berlomba dalam kebaikan untuk meraih maghfirah dan Surga Allah.
Jadi bukan berlomba kebaikan untuk tujuan dunia atau mencari hadiah dari manusia.
8. Jika musabaqah tilawatil Qur'an diqiaskan dengan lomba berkuda maka hal tidak tepat, karena hukum asal tilawah Al Qur'an adalah ibadah yang disyari'atkan sedang hukum asal berkuda adalah mubah.
9. Dalam catatan sejarah dari sekian para mujaddid mulai Umar bin Abdul Aziz mujaddid di penghujung abad ke-1, Imam Asy Syafi'i mujaddid di penghujung abad ke-2 dst..jika memang ada, siapa yang pernah menjadi peserta musabaqah tilawatil Qur'an dengan hadiah.? Tanpa ada perlombaan tersebut pun Al Qur'an dan kemurnian agama Allah, insya Allah akan tetap terjaga.
Agama Allah dibangun di atas dalil, sehingga bagi pendapat yang membolehkan perlombaan dalam perkara tersebut untuk tujuan dunia atau hadiah maka wajib mendatangkan dalilnya. Wa Allahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar