Larangan Mencela Seorang Muslim Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan firman Allah:
{وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ}
"dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." (QS. Al-Hujurat: 11). Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ}
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (An-Nisa: 29). Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِبَابُ المٌسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْر
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyaallahu 'anhu berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah mengatakan bahwa mencela seorang muslim merupakan kefasikan. Di dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menggunakan kata سِبَابُ yang artinya mencela. Dalam bahasa Arab dikenal istilah سَبٌّ dan سِبَابٌ dan para ulama membedakan makna keduanya. Kata سَبٌّ artinya mencela seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya. Sedangkan kata سِبَابٌ maknanya lebih parah, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak memperdulikan lagi apakah aib tersebut ada padanya atau tidak. Inilah yang merupakan kefasikan. Ini adalah pendapat Ibrahim al-Harbi. Di antara ulama ada juga yang tidak membedakan antara سب dengan سباب. (Lihat: Fath al-Bari, 1/112.)
Hukum Mencela Para Shahabat Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَىْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِى فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ »
“Dahulu terjadi sesuatu hal antara Kholid bin Walid dan Abdur Rohman bin ‘Auf. Kemudian Khalid bin Walid mencaci Abdur Rahman bin ‘Auf”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci salah seorang dari sahabatku karena seandainya seseorang dari kalian berinfaq dengan emas seukuran Gunung Uhud maka (pahalanya) tidak dapat menyamai infaq para sahabatku dengan ukuran 1 mud (takaran untuk dua gengaman tangan normal) ataupun setengahnya” (HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
"Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah." (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469 dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469.)
Wasiat ini ditegaskan lagi oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمُقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ عُمْرَهُ
“Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Berdirinya salah seorang dari mereka sejam saja (dalam shalat) jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian selama hidupnya.” (HR. Ibnu Majah no. 162 dan dihasankan oleh al-Albani).
Berdasarkan hadits di atas, hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al Qur’an, maka para ulama sepakat hukum mencela para sahabat Nabi adalah haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Maka seseorang tidak boleh mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum dan secara khusus personal mereka. Jika dia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum maka ia telah kafir bahkan tidaklah diragukan kafirnya orang yang meragukan kekafiran orang yang semisal ini." (lihat Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin)
Hukum Mencela Seorang Muslim Dan Perinciannya
Terkait mencela seorang muslim, setidaknya ada 3 golongan manusia: (1) Yang pertama ada golongan yang melampaui batas sehingga sampai mencela para Shahabat Nabi (seperti Khawarij dan Rafidhoh). (2) Kedua golongan yang melarang mencela secara mutlaq. Itu pun mereka tidak konsisten dalam pengamalan..karena tujuan mereka sebenarnya agar tidak ditahdzir. Dalam prakteknya mereka sendiri gemar mencela lawannya atau orang yang mereka benci. (3) Sedang Ahlus Sunnah pertengahan. Ahlus Sunnah meyakini yang tidak boleh dicela secara mutlaq adalah para shahabat Nabi karena telah mendapat tazkiyah dari Allah dan Nabi. Adapun selainnya maka ada perincian :
1. Hukum Mencela Orang Sholih, Orang Mukmin Yang Tidak Bersalah Dan Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Ajaran Nabi
Berdasarkan keumuman dalil larangan mencela seorang muslim, Ahlus Sunnah sepakat bahwa mencela orang sholih, orang mukmin yang tidak bersalah ataupun mencela orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi adalah haram.
2. Hukum Mencela Orang Yang Sudah Taubat
Kita tidak boleh mencela orang yang benar-benar sudah taubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim tentang kisah seorang perempuan pezina dari suku Ghamidiyah yang taubat. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni." Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya."
Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.
Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. (Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.)
Menasihati seseorang itu beda dengan menjelek-jelekkan. Menasihati berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain. Kaum muslimin dilarang sombong, merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.
Ketika seorang hamba telah melakukan perbuatan dosa kemudian dia memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilarang bagi kita untuk menghina dan menjadikannya bahan pembicaraan atau ghibah. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwasannya kita akan melakukan perbuatan yang sama.
Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata :
ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin 1: 176). Bahkan, menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, dosa yang menghina lebih besar daripada orang yang melakukan dosa tersebut.
أَنْ تَعْبِيْرَكَ لِأَخِيْكَ بِذَنْبِهِ أَعْظَمُ إِثْمًا مِنْ ذَنْبِهِ وَ ٱَشَدُّ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لِمَا فٍيْهِ مَنْ صُوْلَةُ الطَّاعَةَ وَ تَزْكِيَةَ النَّفْسِ
“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” (Madarijus Salikin 1: 177-178)
Hal senada diungkapkan oleh salah seorang tabi’in (generasi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu Hasan Al Bashri.
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ مَنْ رَّمَى أَخَاهُ بِذَنْبِ قَدْ تَابَ إِلَى اللّٰهِ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَبْتَلِيْهِ اللّٰهُ بِهِ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut,” (Ash-Shamt)
3. Hukum Mencela Orang Yang Bermaksiat Yang Masih Punya Rasa Malu
Jika ada seorang muslim yang terjatuh zina, minum khamr, mencuri dan lain-lain selama masih punya rasa malu maka tidak boleh dicela berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Karena bisa jadi Allah taqdirkan mereka terkalahkan syahwat agar tidak memiliki rasa ujub pada dirinya. Lain perkara terhadap orang yang sengaja menampakkan maksiat dan telah lepas pakaian rasa malu pada diri mereka, maka boleh dicela.
4. Hukum Mencela Orang Yang Melakukan Kesalahan Karena Tidak Tahu/Tidak Disengaja
Berdasarkan keumuman dalil maka hukum asal mencela seorang muslim yang melakukan kesalahan karena tidak sengaja adalah dilarang. Nabi juga bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), dll)
5. Hukum Mencela Orang Fajir Yang Tidak Punya Rasa Malu Atau Mencela Dengan Tujuan Tahdzir Kebathilan Dan Ahlu Ahwa'
Mencela seorang muslim hukum asalnya dilarang berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan menggembar-gemborkan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ
“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” (HR. Bukhari, no. 6069)
Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak terhitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya.
Demikan juga kita dibolehkan mencela dengan tujuan tahdzir. Dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibn Majah 173 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Yunus bin Abdul A’la rahimahullah mengatakan:
سمعت الشافعي إذا ذكر الرافضة عابهم أشد العيب, فيقول: شر عصابة
Aku pernah mendengar Imam Syafi’i, bila menyebut kelompok Syiah Rafidhah, beliau mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan: “mereka itu komplotan yang paling jahat!” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468)
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan firman Allah:
{وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ}
"dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." (QS. Al-Hujurat: 11). Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ}
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (An-Nisa: 29). Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِبَابُ المٌسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْر
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyaallahu 'anhu berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah mengatakan bahwa mencela seorang muslim merupakan kefasikan. Di dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menggunakan kata سِبَابُ yang artinya mencela. Dalam bahasa Arab dikenal istilah سَبٌّ dan سِبَابٌ dan para ulama membedakan makna keduanya. Kata سَبٌّ artinya mencela seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya. Sedangkan kata سِبَابٌ maknanya lebih parah, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak memperdulikan lagi apakah aib tersebut ada padanya atau tidak. Inilah yang merupakan kefasikan. Ini adalah pendapat Ibrahim al-Harbi. Di antara ulama ada juga yang tidak membedakan antara سب dengan سباب. (Lihat: Fath al-Bari, 1/112.)
Hukum Mencela Para Shahabat Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَىْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِى فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ »
“Dahulu terjadi sesuatu hal antara Kholid bin Walid dan Abdur Rohman bin ‘Auf. Kemudian Khalid bin Walid mencaci Abdur Rahman bin ‘Auf”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci salah seorang dari sahabatku karena seandainya seseorang dari kalian berinfaq dengan emas seukuran Gunung Uhud maka (pahalanya) tidak dapat menyamai infaq para sahabatku dengan ukuran 1 mud (takaran untuk dua gengaman tangan normal) ataupun setengahnya” (HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
"Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah." (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469 dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469.)
Wasiat ini ditegaskan lagi oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمُقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ عُمْرَهُ
“Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Berdirinya salah seorang dari mereka sejam saja (dalam shalat) jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian selama hidupnya.” (HR. Ibnu Majah no. 162 dan dihasankan oleh al-Albani).
Berdasarkan hadits di atas, hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al Qur’an, maka para ulama sepakat hukum mencela para sahabat Nabi adalah haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Maka seseorang tidak boleh mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum dan secara khusus personal mereka. Jika dia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum maka ia telah kafir bahkan tidaklah diragukan kafirnya orang yang meragukan kekafiran orang yang semisal ini." (lihat Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin)
Hukum Mencela Seorang Muslim Dan Perinciannya
Terkait mencela seorang muslim, setidaknya ada 3 golongan manusia: (1) Yang pertama ada golongan yang melampaui batas sehingga sampai mencela para Shahabat Nabi (seperti Khawarij dan Rafidhoh). (2) Kedua golongan yang melarang mencela secara mutlaq. Itu pun mereka tidak konsisten dalam pengamalan..karena tujuan mereka sebenarnya agar tidak ditahdzir. Dalam prakteknya mereka sendiri gemar mencela lawannya atau orang yang mereka benci. (3) Sedang Ahlus Sunnah pertengahan. Ahlus Sunnah meyakini yang tidak boleh dicela secara mutlaq adalah para shahabat Nabi karena telah mendapat tazkiyah dari Allah dan Nabi. Adapun selainnya maka ada perincian :
1. Hukum Mencela Orang Sholih, Orang Mukmin Yang Tidak Bersalah Dan Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Ajaran Nabi
Berdasarkan keumuman dalil larangan mencela seorang muslim, Ahlus Sunnah sepakat bahwa mencela orang sholih, orang mukmin yang tidak bersalah ataupun mencela orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi adalah haram.
2. Hukum Mencela Orang Yang Sudah Taubat
Kita tidak boleh mencela orang yang benar-benar sudah taubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim tentang kisah seorang perempuan pezina dari suku Ghamidiyah yang taubat. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni." Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya."
Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.
Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. (Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.)
Menasihati seseorang itu beda dengan menjelek-jelekkan. Menasihati berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain. Kaum muslimin dilarang sombong, merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.
Ketika seorang hamba telah melakukan perbuatan dosa kemudian dia memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilarang bagi kita untuk menghina dan menjadikannya bahan pembicaraan atau ghibah. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwasannya kita akan melakukan perbuatan yang sama.
Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata :
ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin 1: 176). Bahkan, menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, dosa yang menghina lebih besar daripada orang yang melakukan dosa tersebut.
أَنْ تَعْبِيْرَكَ لِأَخِيْكَ بِذَنْبِهِ أَعْظَمُ إِثْمًا مِنْ ذَنْبِهِ وَ ٱَشَدُّ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لِمَا فٍيْهِ مَنْ صُوْلَةُ الطَّاعَةَ وَ تَزْكِيَةَ النَّفْسِ
“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” (Madarijus Salikin 1: 177-178)
Hal senada diungkapkan oleh salah seorang tabi’in (generasi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu Hasan Al Bashri.
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ مَنْ رَّمَى أَخَاهُ بِذَنْبِ قَدْ تَابَ إِلَى اللّٰهِ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَبْتَلِيْهِ اللّٰهُ بِهِ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut,” (Ash-Shamt)
3. Hukum Mencela Orang Yang Bermaksiat Yang Masih Punya Rasa Malu
Jika ada seorang muslim yang terjatuh zina, minum khamr, mencuri dan lain-lain selama masih punya rasa malu maka tidak boleh dicela berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Karena bisa jadi Allah taqdirkan mereka terkalahkan syahwat agar tidak memiliki rasa ujub pada dirinya. Lain perkara terhadap orang yang sengaja menampakkan maksiat dan telah lepas pakaian rasa malu pada diri mereka, maka boleh dicela.
4. Hukum Mencela Orang Yang Melakukan Kesalahan Karena Tidak Tahu/Tidak Disengaja
Berdasarkan keumuman dalil maka hukum asal mencela seorang muslim yang melakukan kesalahan karena tidak sengaja adalah dilarang. Nabi juga bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), dll)
5. Hukum Mencela Orang Fajir Yang Tidak Punya Rasa Malu Atau Mencela Dengan Tujuan Tahdzir Kebathilan Dan Ahlu Ahwa'
Mencela seorang muslim hukum asalnya dilarang berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan menggembar-gemborkan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ
“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” (HR. Bukhari, no. 6069)
Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak terhitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya.
Demikan juga kita dibolehkan mencela dengan tujuan tahdzir. Dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibn Majah 173 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Yunus bin Abdul A’la rahimahullah mengatakan:
سمعت الشافعي إذا ذكر الرافضة عابهم أشد العيب, فيقول: شر عصابة
Aku pernah mendengar Imam Syafi’i, bila menyebut kelompok Syiah Rafidhah, beliau mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan: “mereka itu komplotan yang paling jahat!” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar