Pembagian Tauhid Dan Asal Usulnya Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Tidak Mewajibkan Pembagian Tauhid Menjadi Dua, Tiga Ataupun Empat. Yang Penting Bisa Memahami Hakikat Tauhid Dengan Benar Dan Tepat, Sesuai Pemahaman Para Shahabat..
✍🏻 Pembagian tauhid ini hanya dimaksudkan untuk mengenali Allah dengan sebenar-benarnya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Para ulama membuat nama-nama itu sebagai sarana untuk memudahkan pemahaman yang benar tentang tauhid, karena semua kekhususan Allah tidak boleh diberikan pada selainNya. Sehingga tauhid mau dibagi empat, tiga, dua ataupun tidak dibagi maka itu bukan masalah, yang penting selama bisa paham tauhid dengan baik dan benar. Sebagaimana jika ada orang sudah bisa paham bahasa Arab dengan baik dan benar, maka tiada masalah orang tersebut tidak belajar ilmu nahwu dan tidak diwajibkan belajar ilmu nahwu. Sebagaimana juga jika ada orang mampu membaca Al Qur'an dengan baik dan benar, maka orang tersebut pun tidak diwajibkan belajar ilmu tajwid.
✍🏻 Dahulu para ulama membagi tauhid hanya dua jenis saja, dengan beberapa perbedaan nama yang mereka sebutkan, namun memiliki maksud yang sama. Apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Abi al-Izz -rahimahullah- ini misalnya.
قال ابن أبي العز الحنفي في شرحه على العقيدية الطحاوية: ثم التوحيد الذي دعت إليه رسل الله، ونزلت به كتبه نوعان: (١) توحيد في الإثبات والمعرفة، (٢) وتوحيد في الطلب والقصد.
Imam Ibnu Abi Al-'Izz rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah berkata:
ثم التوحيد الذي دعت به رسل الله ونزلت به كتبه نوعان توحيد في الإثبات والمعرفة وتوحيد في الطلب والقصد
"Kemudian, tauhid yang didakwakan oleh para Rasul Allah dan yang termuat dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan adalah Tauhid al-Itsbat wal ma’rifah dan tauhid ath-Thalab wal Qashd." (lihat Syarh Aqidah Thahawiyah: 1/141)
Disebut sebagai tauhid ma’rifah wa al-istbat karena untuk mengetahui Allah adalah dengan cara mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya, serta kewajiban manusia adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diriNya sendiri. Tauhid ini, saat ini lebih dikenal dengan istilah tauhid Rububiyah dan tauhid Asma Wasifat.
✍🏻 Ibnu Jarir Ath Thabari (w.310) ketika menafsirkan firman Allah –Ta`ala- dalam surat Muhammad, ayat 19:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” Beliau menjelaskan berkata :
“فاعلم يا محمد، أنه لا معبود تنبغي أو تصلح له الألوهية، ويجوز لك وللخلق عبادته إلا الله الذي هو خالق الخلق، ومالك كل شيء، يدين له بالربوبية ما دونه”
“Maka ketahuilah, wahai Muhammad, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang pantas atau layak mendapatkan sifat uluhiyah, serta boleh disembah olehmu dan seluruh makhluk kecuali hanya Allah Pencipta seluruh makhluk, dan Pemilik segala sesuatu, semuanya tunduk
✍🏻 Tauhid terbagi menjadi 3 (Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shfat) berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3: Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. Terkumpul 3 jenis tauhid ini di dalam sebuah firman Allah:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً. (مريم : 65)
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (QS. Maryam/19 : 65)
✍🏻 Ibnu Baththah Al-‘Akbary (wafat th. 387 H), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah (5 / 475)
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
"Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada 3 perkara:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah (kekuasaan Allah) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah (keesaan Allah dalam peribadatan) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Ketiga: Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), hikmah (kebijaksanaan), dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitab-Nya."
أبو بكر الطرطوشي المالكي (ت: 520هـ) في سراج الملوك، حيث قال: (وأشهد له بالربوبية والوحدانية، وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى، والصفات العلى، والنعت الأوفى، ألا له الخلق والأمر، تبارك الله رب العالمين)
✍🏻 Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi (wafat th. 520 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk (1/1), beliau berkata : "Dan aku bersaksi atas rububiyyah-Nya dan uluhiyyah-Nya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna. Sesungguhnya kepunyaan-Nyalah ciptaan dan perintah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam."
✍🏻 Imam Al-Qurthuby rahimahullah (wafat th. 671 H), di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah (الله) di dalam Al-Fatihah :
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
"Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah), yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berkuasa), yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya."
✍🏻 Untuk zaman akhir-akhir ini, ada pula ulama yang membagi tauhid menjadi empat yaitu tauhid uluhiyah, rububiyah, asma wa shifat dan mutaba’ah. Tauhid mutaba’ah maksudnya, ketika kita mentauhidkan Allah maka harus dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Kesimpulan
✍🏻 Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mewajibkan pembagian tauhid menjadi dua, tiga ataupun empat. Yang terpenting bisa memahami makna dan hakikat tauhid dengan benar dan tepat sesuai pemahaman para Shahabat.
✍🏻 Pembagian tauhid sebenarnya telah ada di zaman para Salafush Sholih. Kitab-kitab para ulama salaf sebelumnya telah menyebutkan pembagian tauhid ini, baik menyebutkan secara tegas atau menyebutkan secara isyarat. Misalnya imam Abu Hanifah.
قال الإمام أبو حنيفة (ت١٥٠هـ) في كتابه الفقه الأبسط (ص٥١) : "والله يدعى من أعلى لا من أسفل؛ لأنَّ الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء".
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 150 H) di kitab Al-Fiqh Al-Absath (hal. 51) berkata :
“Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah. Karena posisi bawah bukanlah bagian dari sifat rububiyyah dan uluhiyyah sedikit pun.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar