Rabu, 17 Agustus 2022

HADHINAH YANG SAH Vs. RUMAH/PANTI ASUHAN (Bagian 1)



بسم الله الرحمن الرحيم



الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ  لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Baqoroh: 233).
      Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).


Bab I. Hadhonah (Kepengasuhan) dan Hadhinah

     Hadhonah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya hingga mencapai usia baligh.
     Hadhonah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan. Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu mandiri. Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifayah.
     Hadhonah sangat terkait dengan tiga hak:
(1) Hak wanita yang mengasuh
(2) Hak anak yang diasuh
(3) Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada hak yang lainnya.
     Hadhonah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhun) juga orang yang mengasuh (al-hadhin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhun) ditinjau dari hak penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan si anak sengsara.
     Hadhonah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-hadhin). Ini jika ditinjau dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau menggugurkan hak tersebut selama sang anak bisa diasuh oleh selainnya.


Bab II. Mahdhun Disyari'atkan Tinggal Bersama Hadhinah/Hadhin

     Anak (mahdhun) disyari'atkan tinggal bersama hadhinah sebagaimana pengamalan Salafush Sholih. Jika si anak tidak memiliki orang tua ataupun kerabat yang berhak menjadi hadhinah bagi si anak, maka ulil amri yang berhak memutuskan dengan siapa anak itu diamanahkan.
     Mazhab Malikiyyah berpendapat berakhirnya hadhonah anak laki-laki yaitu ketika ia baligh, sedangkan terhadap anak perempuan yaitu hingga ia dicampuri suaminya, kecuali jika ada sesuatu yang ditakutkan setelah baligh. Ibnu Hazm berkata, bahwa seorang ibu berhak melakukan hadhonah terhadap anak laki-laki atau perempuan hingga haid atau bermimpi, disertai dengan mumayyiz dan kesehatan badan.
     Selanjutnya di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:
(1)Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
(3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
    Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan karena perceraian, maka: 
(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang member keputusan.
(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
     Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
     Kita wajib taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat. Jadi pemeliharaan anak akan terus menjadi tanggung jawab orang tua selama belum berakhirnya masa hadhonah. Hadhanah berakhir apabila anak tersebut telah mandiri atau mampu menghidupi dirinya sendiri.


Bab III. Siapa Yang Berhak Menjadi Hadhinah/Hadhin (Pengasuh)

     Yang paling berhak menjadi hadhinah adalah ibu dan bapak. Hadhonah anak wajib dikerjakan kedua orang tuanya.Akan tapi jika ada udzur, cerai atau meninggal dunia maka bisa juga diberikan kepada orang tua susuan, kerabat dari ibu, kerabat dari bapak ataupun yang punya hubungan mahrom. Dari sanak kerabat yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika sanak kerabat tidak ada sama sekali, maka hadhonah terhadap mahdhun wajib dikerjakan ulil amri atau salah satu jama'ah dari kaum muslimin.
     Hadhonah tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menjadi hadhinah, walau bergelar kyai, ustadz, syaikh, profesor dan lain-lain.
     Jika terjadi perpiasahan antara suami istri karena talaq, atau meninggal dunia, maka yang paling berhak pengasuhan anak adalah ibunya jika ia belum menikah lagi. Karena Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil darinya:

أنت أحق به ما لم تنكحي

"Engkau lebih berhak atas anakmu,selagi engkau belum menikah lagi." ( Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan Al Hakim).
     Jika ibunya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ibu karena nenek dari jalur ibu adalah seperti ibu bagi anak kecil tersebut dan jika nenek dari pihak ibu tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah bibi dari jalur ibunya karena bibi dari jalur ibu ialah ibarat ibu bagi anak kecil tersebut. Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الخالة بمنزلة الأم

"Bibi dari jalur ibu itu seperti ibu." (HR. Bukhori dan Muslim).
     Jika bibi dari jalur ibu tidak ada, maka orang yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ayahnya. Jika nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah saudara perempuan anak kecil tersebut. Jika saudara perempuannya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah bibi dari jalur ayahnya. Dan jika bibi dari jalur ayah tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah anak perempuan dari saudara ayah. Jika semua orang di atas tidak ada, maka hak hadhonah kembali kepada ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian saudara ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian pamannya dari jalur ayahnya, kemudian keluarga yang paling dekat dan keluarga lainnya sesuai dengan urutan kekerabatan. Saudara kandung lebih didahulukan untuk meng-hadhonah anak kecil tersebut daripada saudara seayah, dan saudara perempuan sekandung juga lebih didahulukan untuk meng-hadhonah darpada saudara perempuan seayah.


Bab IV. Syarat Menjadi Hadhin/Hadhinah

     Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan para Ulama.
     Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah:
(1) Berakal sehat. Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat.
(2) Amanah dalam agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban kepengasuhan ini.
(3) Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya. Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka.
(4) Pengasuh tidak memiliki penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh.
(5) Tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.
(6) Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak maka hak hadhonah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu pada anaknya bila telah menikah lagi. (Al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir, hlm. 79. Lihat al-Mughni 9/298-299).
     Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Wahai Rosulullah! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HHR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 2/225).
     Diantara syarat-syarat yang masih diperselisihkan adalah:
(1) Islam.
     Para Ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian dari Ulama yang bermadzhab Syafi’iyah juga madzhab Zhahiriyah menyatakan bahwa Islam bukan syarat dalam hak Hadhonah. Sedangkan madzhab al-Hanabilah dan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa Islam adalah syarat dalam Hadhonah.
     Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menjadikan Islam sebagai syarat untuk memperoleh hak hadhonah. Karena dikhawatirkan sang anak akan terfitnah dalam urusan agamanya sebagai akibat dari pengajaran dan pembinaan yang dilandasi ajaran kekufuran. Ini jelas menjadi madharat (bahaya) yang sangat besar. Apalagi dipancang secara umum bahwa orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Ini adalah bahaya terbesar yang mengancam sang anak jika diasuh oleh yang kafir.
     Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. [HR. Al-Bukhori dan Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
(2) Merdeka bukan budak.
     Ada dua pendapat Ulama dalam masalah ini. Madzhab Mayoritas Ulama diantaranya madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat pengasuh adalah orang yang merdeka, bukan budak. Sedangkan menurut pendapat madzhab Malikiyah dan Zhohiriyah, merdeka bukan termasuk syarat.
(3) Ar-Rusyd.
     Maksudnya, dia memiliki kemampuan untuk beraktifitas dan mampu menjaga harta dengan baik. Madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menetapkan bahwa pengasuh (hadhin) dalam hadhonah harus memiliki sifat rusyd. Karena dikhawatirkan dia akan menghabiskan atau menyia-nyiakan harta sang anak yang sedang diasuhnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah dan Hanabilah memandangnya bukan syarat.
     Dengan demikian jelaslah bahwa syarat-syarat ini harus diberlakukan dalam memberikan hak kepengasuhan (hadhonah) kepada pihak-pihak yang berhak memiliki hak tersebut. Sehingga bisa menjadi sarana menyaring mereka yang berhak dan tidak berhak agar hak kepengasuhan diberikan kepada orang yang paling tepat mengurus anak-anak tersebut hingga mandiri ketika usia mumayyiz. Wallahu a’lam.


Bab V. Larangan Khianat Terhadap Amanah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58).
     Anak (mahdhun) temasuk amanah dari Allah kepada orang tuanya, sehingga wajib ditunaikan ibu bapaknya dan tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak berhak menjada hadhinah.


Bab VI. Tholabul 'Ilmi dan Tafaqquh fiiddin

     Safar seorang wanita untuk menuntut ilmu bersama wali/mahrom/hadhin-nya yang tinggal bersamanya adalah perkara yang boleh kalau tidak ditakutkan fitnah bahkan bisa jadi safar tersebut menjadi wajib hukumnya apabila ilmu yang hendak ia tuntut adalah ilmu wajib yag tidak boleh untuk tidak diketahui seperti ilmu tauhid, 'aqidah, shalat dan semisalnya, dari ilmu yang wajib bagi seorang hamba laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari apa yang dengannya dia menegakkan agamanya.
     Dan sebuah hadits:
طلب العلم فريضة على كل مسلم

"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim".
Maksudnya adalah ilmu yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari ilmu-ilmu yang telah lewat sebagian penyebutannya.
     Dan Imam Al-Aajurri telah mengkhususkan pembahasan ini dengan sebuah makalah berjudul "Fardhu Thalabil 'Ilm" yaitu apa yang wajib bagi seorang hamba untuk mempelajarinya laki-laki atau perempuan, dan menuntut ilmu yang semacam ini masuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan menuntut ilmu seperti firman Allah Ta'ala:

﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ [طه/114].

"Dan katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah untukku ilmu." (QS. Thoha: 114)
Dan Allah berfirman:

﴿يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ [المجادلة/11].

"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. dan Alloh Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11).
Dan Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

"Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Alloh akan mudahkan baginya jalan menuju jannah." (HR. Muslim (7028) dari hadits Abu Hurairah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ucapannya shallAllahu 'alaihi wa sallam:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

"Barangsiapa yang Allah hendaki baginya kebaikan, Ia akan pahamkan dia dalam agama." (Muttafaqun 'alahi dari hadits Mu'awiyyah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ini mencakup laki-laki dan perempuan, Imam Bukhori menyebutkan dalam Shahihnya di Kitab Al-'Ilm dengan mendatangkan sanadnya dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyAllahu 'anhu para wanita berkata kepada Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

غلبنا عليك الرجال فاجعل لنا يوما من نفسك فوعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن... الحديث

"Para lelaki telah melampaui kami karena mereka selalu belajar bersamamu, maka luangkanlah untuk kami suatu hari, untuk engkau mengajari kami, maka beliau menjanjikan mereka suatu hari untuk menemui mereka, maka beliaupun menasihati dan memerintahkan mereka …" al-hadits di Shahih Bukhori bab: Apakah di tetapkan untuk wanita satu hari khusus mengajari mereka.
     Maka dapat diketahui dari semua dalil-dalil ini dan selainnya akan syar'inya menuntut ilmu bagi laki-laki dan perempuan baik itu di rumah dan itu lebih afdhol (baik) bagi seorang wanita atau di luar rumah dengan syarat-syarat yang teranggap ketika keluarnya.
     Ketahuilah bahwa keluar seorang wanita dari rumahnya untuk menuntut ilmu ada dua bentuk: (1) keluar ke tempat dekat bukan safar dan (2) keluar menempuh jarak safar.
     Dan keluarnya seorang wanita dari rumahnya bagaimanapun bentuknya harus memenuhi syarat-syarat yang dipahami dari nash-nash syar'i yang mulia:
(1) Izin wali dari kerabat dekatnya dari segi nasab atau sebab seperti suami atau para wali kerabat dekatnya seperti paman dari pihak ibu atau pemerintah kalau tidak didapati seorangpun dari yang telah lewat penyebutannya.
Dalilnya di Shahihain dari hadits ibni 'Umar radhiyAllohu 'anhu beliau berkata: Rosululloh shallAllahu 'alaihi wa sallam berkata:

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته       

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan ditanya pertanggung jawabannya."
(2) Memakai pakaian syar'i yang menutupi seluruh jasad, bukan hiasan, tidak tipis hingga tampak apa yang di dalamnya, tidak sempit atau ketat yang membentuk tubuh.
Allah Ta'ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾ [الأحزاب/59]

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan tidak di ganggu."  (QS. Al-Ahzab: 59).
(3) Aman dari fitnah terhadap agama, harga diri, badan, kesucian, dan kehormatannya mulai keluarnya sampai kembalinya, dan ini tentu dengan tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, tidak campur baur dengan mereka, dan tidak merendahkan (melemah lembutkan) ucapan dengan mereka, disertai dengan menundukkan pandangan, dan beradab dalam berjalan, akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Allah.
(4) Apabila jarak yang ia tempuh adalah jarak safar, mesti bersama mahram yang menjaganya saat safar dan kembalinya, hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil sahih di antaranya apa yang di Shahihain dari hadits ibnu 'Abbas:

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم

"Tidak boleh bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan safar kecuali bersama mahramnya."
Dan telah dinukil ijma' (kesepakatan ulama) tentang hal ini.
     Oleh karenanya tafaqquh fiddin dengan safar  tidak diwajibkan bagi wanita dan anak kecil. Tafaqquh fiddin hukum asalnya fardhu kifayyah bagi laki-laki yang sudah baligh sebagaimana juga jihad. Allah Ta'ala berfirman:

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

"Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At Taubah: 122).
     Berdasarkan pendapat bahwa ayat ini menunjukkan syar'inya menuntut ilmu (dan itulah yang benar) maka kata Thaifah (kelompok) dalam bahasa adalah untuk jama'ah dan terkadang untuk lebih sedikit dari itu hingga mencapai dua orang dan satu atas makna thaifah itu sendiri. Sebagaimana itu perkataan Al-Qurthubi di "Jami' Li Ahkamil Qur'an (8/266).
     Dan tidaklah diketahui dalam sejarah salaf keluarnya perempuan tanpa mahram atau tinggal di suatu negeri berjarak safar tanpa mahram untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama, itu dan semacamnya dari jarak safar hanyalah untuk para lelaki saja atau wanita yang bersama mahramnya.


Bab VII. Panti Asuhan Bid'ah Yang Tiada Salafnya Dan Solusinya
    
     Panti Asuhan TN dan TB tidak ada pada zaman Salafush Sholih. Seandainya itu benar dan baik, tentunya mereka para muhajirot orang yang paling berhak untuk dibangunkan asrama sebagai tempat sementara yang aman sampai datang mahromnya atau orang meminangnya. Akan tetapi itu semua tidak terjadi dan tidak ada, padahal tuntutan dan kondisi butuhnya salaf serta kemungkinan berdirinya TN dimasa itu sangat kuat karena banyak faktor pendukung yang mengantar kesana seperti:
(1) Adanya wanita yang paling alimah yakni Ummul Mu'minin ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha dan para Shohabiyyah lain, tentunya modal satu ini sudah cukup untuk mendirikan panti asuhan TN di zaman itu karena semua butuh kepada ilmunya.
(2) Banyaknya wanita yang perlu mendapat perhatian , baik dari sisi ilmu atau lainnya seperti para muhajiroh, para janda syuhada, anak-anak yatim mereka, atau selain mereka dari para wanita shohabat yang sangat butuh ilmu baik dari kalangan Muhajirin atau Anshor.
(3) Dari sisi biaya, sarana dan prasarana, di zaman mereka sangat memungkinkan untuk mendirikannya diantaranya bersumber dari ghonimah(rampasan perang), zakat, shodaqoh dari para muhsinin yang tidak perlu di minta, dan lain-lain. Terlebih pada zaman Kholifah Umar bin Khoththob di mana banyak negeri telah takluk.
(4) Bersihnya jiwa mereka dari kekotoran-kekotoran akhlaq yang membuat keamanan panti asuhan TN mereka terjaga.
(5) Keadaan baik secara politik atau sosial semua mendukung berdirinya panti asuhan TN di zaman itu.
Akan tetapi semua faktor pendukung tersebut tidak sedikitpun membawa mereka untuk bertindak lebih jauh dari tuntunan dan perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam maka jelas pengadaan panti asuhan TN merupakan penyelisihan terhadap dalil dan manhaj salaf.
     Demikian juga Tarbiyatun Banin yang mana anak tidak pulang dan tidak tinggal bersama orang tua, walinya, ibu susuan ataupun mahrom yang berhak menjadi hadhinah yang sah itu juga tiada Salafnya. Terlebih anak kecil itu lebih butuh penjagaan daripada wanita dewasa.

     Kemudian solusi untuk mandapatkan ilmu nafi' insya Allah ada banyak cara dan sebab, diantaranya:
(1) Tawakkal, berdoa dan minta kepada Allah.
Hendaknya menguatkan dan memantapkan pendekatan diri mereka kepada ” العليم ” Al-‘Aliim” Dzat Yang Maha Mengetahui”, karena Dialah yang memiliki semua ilmu, dan Dia juga yang akan membagi kepada yang berhak mendapat bagian, dan Allah telah perintahkan kita untuk mengharap ilmu dan tambahan ilmu kepadaNya, Allah berfirman :

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا_ [طه : 114]

"Dan katakanlah : “Ya Rob, tambahilah aku ilmu.” (QS : Thoha 114).
Dan juga Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita untuk memohon ilmu kepada Allah ilmu yang bermanfaat dengan sabdanya:

عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم سلوا الله علما نافعا وتعوذوا بالله من علم لا ينفع . [رواه ابن ماجة (ج 8 / ص 343 )تحقيق الألباني :وقال حسن ، وانظر الصحيحة ( 1511 )]

Dari Jabir berkata : bersabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam: Mintalah kepada Alloh ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Alloh dari ilmu yang tidak bermanfaat.[ HSR Ibnu Majah lihat As- Shohihah :1511]
Dan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sendiri memraktekannya dalam doa beliau:

عن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول إذا صلى الصبح حين يسلم اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا .[ صحيح ابن ماجة – (ج 1 / ص 67)]

Dari Umi Salamah bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam  apabila selesai sholat Shubuh sehabis salam mengatakan : Ya Alloh , sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat dan rejeki yang baik, serta amalan yang diterima. (HSR Ibnu Majah dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani).
(2) Meminta diajari oleh wali-walinya atau mahrom-nya apabila mereka memiliki dan mampu mengajarinya seperti ayah dan ibunya, suaminya, kakak atau adiknya baik laki-laki atau perempuan, dan tidak perlu merasa malu belajar kepada yang lebih kecil atau muda selama mereka memiliki yang tidak kita miliki.
Kalau itu bisa terpraktekkan maka sungguh kehidupan ilmiyah dalam keluarga yang penuh barokah dan kesejukkan jiwa yang tiada tara sebagaimana kehidupan para salaf.
(3) Jika bukan dari keluarga yang mampu untuk menyampaikan ilmu, karena semua masih pemula atau sebab yang lain, maka hendaknya mereka menyediakan perlengkapan-perlengkapan belajar semampunya. Seperti : Kitab-kitab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang bermanfaat dan bersih dari kesesatan, kaset-kaset dan CD ilmiyah dari para ulama Ahlus Sunnah dan perlengkapan lainnya, dimana Allah subhaanah pada zaman kita ini telah membuka kemudahan yang sangat banyak untuk memperoleh ilmu. Itu semua kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk mencari ilmu.
(4) Berupaya menghadiri majelis ilmu Ahlus Sunnah di sekitarnya jika itu ada dan tanpa harus safar.
(5) Dengan bertanya kepada ahli ilmu atau orang yang dipandang bisa ditanya dari kalangan Ahli Sunnah, lewat surat, sms , email , atau lewat telpon, dalam perkara-perkara rumit yang tidak bisa dipecahkan sendiri atau untuk meyakinkan kebenaran yang kita telah berusaha untuk mencarinya.
(6) kalau memang belum dibuka ini dan itu maka hendaknya menseriuskan diri dengan hafalan Al-Qur’an sampai benar-benar hafal, yang Insya Allah dengan menghafalkan Al-Qur’an akan terbuka jalan lebar lainnya, karena Al-Qur’an adalah kitab yang penuh barokah.

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ_ [الأنعام : 155]

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan yang penuh barokah , maka ikutilah kitab tersebut dan bertaqwalah kalian agar kalian mendapatkan rohmahNya."  (QS. Al-An’am 155).
(7) Mengamalkan ilmu.
Semakin ilmu kita amalkan, maka akan semakin banyak manfaatnya dan semakin kuat pula kita memahami ilmu tersebut. Karena boleh jadi ilmu yang masih sedikit yang kita miliki tersebut, justru akan semakin lengkap manakala kita mengamalkannya. Kita akan semakin mengerti sisi-sisi mana saja yang masih belum kita ketahui pada ilmu tersebut. Allah juga akan menguatkan iman dan diberi petunjuk jalan yang lurus. Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا (67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69) ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)

"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian," niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka); dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid. dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (QS. An Nisa': 66 - 70).





Bersambung...Bagian 2.

https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/08/hadhinah-yang-sah-vs_2.html?m=1


Senin, 08 Agustus 2022

JUJUR AKHLAQ TERMULIA VERSUS DUSTA AKHLAQ PALING TERCELA




JUJUR AKHLAQ TERMULIA VERSUS DUSTA AKHLAQ PALING TERCELA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang shodiq (jujur dan benar)." ( QS. At Taubah : 119 ).


Bab I. Jujur  Akhlaq Paling Mulia

     Jujur adalah sifat mulia yang berfungsi sebagai perias jiwa dan mengangkat derajat akhlaq manusia. Rosulullah adalah pemuka orang-orang yang jujur sehingga kejujuran beliau sangat menonjol dan merupakan sifat yang melekat pada pribadi dan jati diri beliau. Sejak kecil beliau terkenal dengan sifat jujur bahkan menjadi panutan dan simbol dalam kejujuran.
     Allah Ta'ala telah mengabarkan bahwa nanti pada hari Qiyamat tiada yang mampu memberi manfaat kecuali kejujuran dan tiada yang mampu memberi keselamatan kecuali kejujuran sebagaimana firman Allah:

قَالَ اللّٰهُ هٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصّٰدِقِيْنَ صِدْقُهُمْ ۗ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

"Allah berfirman, “Inilah saat orang yang shodiq memperoleh manfaat dari kejujurannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.”  (QS. Al Maidah: 119).
    Allah Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang shodiq (jujur dan benar)."  ( QS. At-Taubah : 119 ).
     Allah Ta'ala berfirman :

وَالَّذِيْ جَاۤءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهٖٓ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa." ( QS. Az Zumar : 33 ).
     Allah Ta'ala perintahkan para hamba-Nya yang beriman agar jujur dan berpegang teguh dengan kebenaran. Tujuannya agar mereka istiqomah di jalan kebenaran (orang-orang yang jujur). Jujur merupakan sifat terpuji yang dituntut keberadaannya dari kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Allah Ta'ala berfirman :

وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ

 “…Laki-laki dan perempuan yang benar (jujur)…”  ( QS. Al-Ahzab : 35 ).

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

“…Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka." ( QS. Muhammad : 21 ).
     Allah Ta'ala memberitahukan nilai kejujuran, bahwa kejujuran itu merupakan kebaikan sekaligus penyelamat. Sifat itulah yang menentukan nilai amal perbuatan, karena kejujuran merupakan ruhnya. Seandainya orang-orang itu benar-benar ikhlas dalam beriman dan berbuat taat, niscaya kejujuran adalah yang terbaik bagi mereka.
     Shidiq merupakan jalan menuju Jannah dan tiada cara belajar yang tepat untuk jujur kecuali hanya membiasakan kejujuran dalam kehidupan.


Bab II. Kejujuran Ibarat Pedang Allah di Muka Bumi

     Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat 751 H) menerangkan sifat as-shidq (kejujuran), dengan perkataannya, “Yaitu maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para salikin  (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa. Dengannya pula dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allah di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. Kejujuran merupakan ruh amal, penjernih keadaan, penghilang rasa takut dan pintu masuk bagi orang-orang yang akan menghadap Rabb Yang Mahamulia. Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama (Islam) dan tiang penyangga keyakinan. Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”


Bab III. Tingkatan Orang-orang Jujur

     Hakekat kejujuran adalah keserasian antara yang tersembunyi dan yang tampak dan antara yang lahir dengan yang bathin.
     Jujur memiliki enam tingkatan dan digunakan untuk enam makna antara lain :
Pertama : Jujur dalam ucapan dan perbuatan. Diantaranya adalah kejujuran dalam menyampaikan kabar baik tentang masa lalu atau berita masa yang akan datang, bisa juga dalam janji atau ingkar. Oleh sebab itu seorang hamba harus menjaga setiap lafazh yang terucap dari lisannya dan tidak berbicara kecuali dengan ucapan yang jujur. Inilah kejujuran yang paling dikenal dan tampak di kalangan masyarakat.
Kedua : Jujur dalam niat dan kehendak. Bisa diraih dengan bersikap ikhlash kepada Allah dalam setiap tingkah laku dan gerakan.
Ketiga : Jujur dalam tekad. Jujur dalam tekad berarti tidak ada keragu-raguan dalam tekad tersebut. Jadi jujur dalam tekad sebagai ungkapan kesempurnaan dan kekuatan yang ada dalam jiwa agar tidak lemah atau batal keinginan untuk mewujudkan.
Keempat : Jujur dalam  mewujudkan atau membuktikan tekad ketika ada kemampuan.
Oleh karena itu Allah memuji orang yang memiliki tekad bulat dan mampu membuktikan tekad tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala :

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ

"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)." ( QS. Al Ahzab : 23 ).
Kelima : Jujur dalam amal perbuatan, yaitu tidak dusta dalam tingkah laku dan perbuatan.
Keenam : Jujur dalam merealisasikan/mewujudkan perintah agama. Ini tingkatan yang paling mulia dan berharga. Diantara contohnya jujur dalam perasaan khouf (takut), zuhud, ridha, cinta, tawwakal dan semisal.


Bab IV. Dusta Akhlaq Tercela

     Allah Ta'ala berfirman :

اِنَّمَا يَفْتَرِى الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kedustaan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pendusta." (QS. An Nahl : 105).
     Seorang mukmin mungkin saja terjerumus dalam akhlak buruk yang lain, akan tetapi mukmin yang sesungguhnya tidak akan berkhianat dan tidak akan berdusta. Sebagaimana dalam sebuah riwayat Nabi bersabda :

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلَالِ كُلِّهَا إِلَّا الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

“Seorang mukmin bisa memiliki tabi'at apa saja kecuali khianat dan dusta” ( HR. Ahmad ).
     Allah Ta'ala berfirman :

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ ﴿٧﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ ﴿٨﴾ كِتَابٌ مَرْقُومٌ ﴿٩﴾ وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjin. Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal). Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).  ( QS. Al-Muthaffifiin: 7-11 ).
    

Bab V. Dusta Termasuk Tanda Kemunafikan

     Dalam hadits Ke-48 dari Jami'ul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab berkata :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ  خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ  وَمُسْلِمٌ

"Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Kemudian ada hadits lain yang menambah satu tanda kemunafikan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, berkhianat.” (HR. Muslim, no. 59).


Bab VI. Pujian Terhadap Kejujuran dan Celaan Terhadap Kedustaan

     Allah membagi manusia menjadi dua yaitu kelompok orang-orang yang jujur dan kelompok munafiq sebagaimana Allah Ta''ala berfirman :

 لِيَجْزِيَ اللّٰهُ الصّٰدِقِيْنَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ اِنْ شَاۤءَ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ

"Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima tobat mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." ( QS. Al Ahzab : 24). 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا 

"Dari Abdullah bin Mas'ud rodhiyaAllahu 'anhu, dia berkata: Rosulullah bersabda, "Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata jujur. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan. Kebaikan akan mengantarkan ke Jannah. Seseorang yang selalu berkata jujur dia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kedustaan. Sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kejahatan. Kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berdusta, dia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.'' (HR Bukhori-Muslim).
     Umar bin Khoththob berkata: "Aku menjadi terhina karena kejujuran lebih kucintai daripada aku naik derajat dengan kedustaan."  
     Ali bin Abu Tholib rodhiyaallahu 'anhu selalu berusaha untuk jujur dalam ucapannya dan bersikap jujur dalam tindakannya sehingga beliau berkata: "Kejujuran lebih berharga daripada harta yang dimakan dan diwariskan seseorang."
Beliau juga berkata: "Dusta laksana fatamorgana."
     Ibnu Abbas rodhiyaallahu 'anhu berkata dalam mentafsiri firman Allah Ta'ala:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

"Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan..." ( QS. Al Baqoroh: 42).
Maknanya: "Janganlah kamu mencampuradukan antara kejujuran dan kedustaan."
Ibnu Abbas juga berkata: "Sangat berhak bagi Allah untuk tidak mengangkat derajat pendusta dan tidak  memenangkan hujjahnya."
     Imam Sya'bi berkata: "Tetaplah kalian di atas kejujuran meskipun terlihat merugikan, maka ketahuilah suatu ketika berguna bagimu. Dan hati-hatilah dari berdusta meskipun terlihat menguntungkan, ketahuilah suatu saat akan merugikan kamu.".
     Ahli hikmah berkata: "Pendusta tidak akan bisa jaya meskipun mampu meletakkan rembulan di atas kedua tangannya dan orang jujur tidak akan terhina meskipun seluruh orang memusuhinya."
     Kedudukan sifat jujur dan orang-orang jujur berada di tempat yang paling depan dalam kamus akhlaq mulia, sebaliknya sifat dusta dan para pendusta berada di tempat yang paling rendah dalam kamus akhlaq tercela. Dusta merupakan suatu akhlaq yang paling berbahaya dan kejujuran sesuatu yang paling berguna, oleh sebab itu kejujuran lebih tinggi dari keimanan karena kejujuran tidak hanya sekedar iman. Shidiq puncak dari seluruh nilai kebaikan dan keutamaan, sedang dusta akar dari seluruh kejahatan dan kerugian.

Bab VII. Penutup

     Pada hari Qiyamat Allah nembagi manusia menjadi dua yaitu kelompok orang-orang yang jujur dan kelompok munafiq yang pendusta sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :

 لِيَجْزِيَ اللّٰهُ الصّٰدِقِيْنَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ اِنْ شَاۤءَ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ

"Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima tobat mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." ( QS. Al Ahzab : 24).

وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا

"Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku)." ( QS. Al Isro' : 80 ).
      Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur serta melindungi kita dari akhlaq dusta dan kejelekan para pendusta.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين






Blora, Senin 10 Muharrom 1444 H / 08-08-2022 M.



Hazim Al Jawiy





Rabu, 27 Juli 2022

WAHAI SAUDARAKU..KERJAKANLAH SHOLAT JUM'AT BERSAMA UMARO' SEBAGAI BUKTI KETAATANMU







WAHAI SAUDARAKU..KERJAKANLAH SHOLAT JUM'AT BERSAMA UMARO' SEBAGAI BUKTI KETAATANMU




بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.62 Al Jumu’ah : 9).
      Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ  إلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ  أَوْ امْرَأَةٌ  أَوْ صَبِيٌّ  أَوْ مَرِيضٌ

“Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakit,” (HR Abu Daud dengan sanad sesuai syarat Bukhori dan Muslim).
Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ 

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).


Bab I. Dalil-dalil yang Perintahkan Taat Kepada Ulil Amri (Umaro'/Pemimipin yang Sah/Penguasa)

     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ : 59).
     Ulil amri dalam ayat di atas ada empat tafsiran dari para ulama, yaitu ada ulama yang berpendapat bahwa mereka adalah penguasa. Ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para ulama. Dua pendapat lainnya menyatakan bahwa ulil amri adalah sahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, juga ada yang menyebut secara spesifik bahwa ulil amri adalah Abu Bakr dan Umar sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.
     Kalau yang dimaksudkan ulil amri adalah penguasa, maka perintah mereka memang wajib ditaati selama bukan dalam perkara maksiat. Dalam hadits disebutkan,

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)

     Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di rohimahullah  menyebutkan bahwa Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rosul dengan menjalankan perintah keduanya baik yang wajib maupun sunnah serta menjauhi setiap larangannya. Juga dalam ayat disebutkan perintah untuk taat pada ulil amri. Yang dimaksud ulil amri di sini adalah yang mengatur urusan umat. Ulil amri di sini adalah penguasa, penegak hukum dan pemberi fatwa (para ulama). Urusan agama dan urusan dunia dari setiap orang bisa berjalan lancar dengan menaati mereka-mereka tadi. Ketaatan pada mereka adalah sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan bentuk mengharap pahala di sisi-Nya. Namun dengan catatan ketaatan tersebut bukanlah dalam perkara maksiat pada Allah. Kalau mereka memerintah pada maksiat, maka tidaklah ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah.
Diutarakan pula oleh Syaikh As-Sa’di bahwa ketaatan pada Allah diikutkan dengan ketaatan pada Rosul dengan mengulang bentuk fi’il (kata kerja) athi’u (taatlah). Rahasianya adalah bahwa ketaatan pada Rosul sama dengan bentuk ketaatan pada Allah. Maksudnya, kalau kita mengikuti dan taat pada Rosul berarti kita telah taat pada Allah. Sedangkan ketaatan pada ulil amri disyaratkan selama bukan dalam maksiat. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rohman, hlm. 183-184).
     Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rosulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak.” (HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
     Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى

Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barangsiapa yang  tidak mentaatiku berarti ia tidak menaati Allah. Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia menaatiku. Barangsiapa yang tidak menaati pemimpin berarti ia tidak menaatiku.” (HR. Bukhori, no. 7137 dan Muslim, no. 1835).

Bab II. Ijma' Ahlus Sunnah Disyari'atkan Sholat Jum'at, Sholat Id, Dan Haji Bersama Umaro' (Ulil Amri) Sebagaimana Jihad.

     Kita disyari'atkan untuk taat pada pemimpin muslim selama ia muslim walaupun ia ahli maksiat, yaitu taat dalam hal shalat Jumat, sholat Id, jihad, dan haji bersamanya. Sebagaimana pengamalan Salaful Ummah yang senantiasa mengerjakan sholat Jum'at di belakang umaro'/amir yang sah atau wakil yang ditunjuk. Demikian juga disebutkan dalam kitab-kitab Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
     Di antara dalil dari sunnah (hadits) yang menunjukkan tetap diperintahkan sholat di belakang pemimpin yang fajir (selama mereka belum kafir) adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzarr rodhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam tentang sholat di belakang pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي

“Sholatlah pada waktunya. Jika Engkau menjumpai sholat bersama mereka (di luar waktu), maka sholatlah. Dan jangan katakan, “Sesungguhnya aku sudah sholat, maka aku tidak sholat (bersama kalian).” (HR. Muslim no. 648)
     Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa sholat lagi di belakang penguasa (di luar waktu/mengakhirkan waktu sholat) itu dinilai sebagai sholat sunnah. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَلَّكُمْ سَتُدْرِكُونَ أَقْوَامًا يُصَلُّونَ الصَّلَاةَ لِغَيْرِ وَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتُمُوهُمْ فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، وَصَلُّوا مَعَهُمْ وَاجْعَلُوهَا سُبْحَةً

“Mungkin kalian akan menjumpai suatu kaum yang mengerjakan sholat tidak pada waktunya. Jika kalian mendapati mereka, maka sholatlah pada waktunya, kemudian ikutlah sholat bersama mereka dan anggaplah itu sebagai shalat sunnah.” (HR. An-Nasa’i no. 779. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)
     Al Hasan berkata tentang umaro' (para pemimpin): "Mereka mengelola lima urusan kita yaitu sholat Jum'at, sholat berjama'ah, sholat 'Id, tsughur (tapal perbatasan), dan hudud. Demi Allah agama tidak tegak kecuali dengan mereka, kendati mereka melampaui batas dan zholim. Demi Allah apa yang diperbaiki Allah melalui mereka itu lebih banyak daripada apa yang mereka rusak. Demi Allah taat kepada penguasa tirani pasti menjengkelkan tetapi keluar dari mereka adalah kekafiran." (dalam Jami'ul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab syarh hadits ke-28).
     Berkata Sufyan Ats Tsauri rohimahullah (wafat 161 H) dalam kitab Syarhu Ushul I’tiqod Ahlussunnah Wa Al-Jama'ah Min Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Ijma’ Ash-Shohobah Wa At-Tabi’in Min Ba’dihim oleh Imam Al-Lalikai (wafat 418 H):
"Wahai Syu’aib, tidak bermanfaat bagimu apa yang engkau tulis hingga engkau berpendapat (diwajibkannya) shalat di belakang (pemimpin) yang baik maupun yang jelek. Berjihad (di belakang pemimpin kaum muslimin) berlaku sampai hari kiamat serta bersabar di bawah bendera mereka yang zhalim maupun yang adil. Syu’aib berkata: Wahai Abu Abdillah, apakah semua sholat? Sufyan berkata: Tidak, akan tetapi sholat Jum'at dan sholat Idul Fitri serta Idul Adha. Sholatlah di belakang (pemimpin) yang engkau jumpai. Adapun sholat yang lainnya, maka terserah kepadamu. Dan jangan engkau sholat melainkan di belakang orang yang engkau percayai dan engkau mengetahui bahwa dia dari Ahlussunnah wal Jamaah."
     Imam Ahmad rohimahullah (wafat 241 H) dalam Ushulus Sunnah berkata:

وَصَلاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُ، وَخَلْفَ مَنْ وَلَّاهُ جَائِزَةٌ بَاقِيَةٌ تَامَّةٌ رَكْعَتَيْنِ، مَنْ أَعَادَهُمَا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، تَارِكٌ لِلآثَارِ، مُخَالِفٌ لِلسُّنَّةِ، لَيْسَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الجُمُعَةِ شَيءٌ؛ إِذَا لَمْ يَرَ الصَّلاةَ خَلْفَ الأَئِمَّةِ مَنْ كَانُوا: بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ فَالسُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَهُمْ رَكْعَتَيْنِ وَيَدِينُ بِأَنَّهَا تَامَّتٌ،لايَكُنْ فِي صَدْرِكَ مِنْ ذَلِكَ شَكٌّ،

"Melaksanakan sholat Jum’at di belakang mereka dan di belakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin (ditunjuk oleh pemimpin) hukumnya boleh dan sempurna dilakukan dua raka’at. Barangsiapa yang mengulangi sholatnya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah. Tidak ada baginya sedikitpun dari keutamaan sholat Jum’at apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat di belakang para imam/pemimpin, baik pemimpin itu baik maupun buruk. Karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan sholat bersama mereka dua raka’at dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. Tanpa ada keraguan terhadap hal itu di dalam hatimu."
     Imam Al-Muzani rohimahullah (wafat 264 H) dalam kitab Syarhus Sunnah berkata:

وَلاَ نَتْرُكُ حُضُوْرَ الجُمُعَةِ وَ صَلاَةٌ مَعَ بَرِّ هَذِهِ الأُمَّةِ وَفَاجِرِهَا لاَزِمٌ , مَا كَانَ مِنَ البِدْعَةِ بَرِيْئًا فَإِنِ ابْتَدَعَ ضَلاَلاً فَلاَ صَلاَةَ خَلْفَهُ وَالجِهَادُ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ عَدْلٍ أَوْجَائِرٍ وَالحَجُّ

"Kita tidaklah meninggalkan menghadiri sholat Jum'at. Akan tetapi, hendaklah melakukan sholat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa), selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan. Jika ia melakukan kebid’ahan yang sesat (yang menyebabkan kekafiran), tidaklah boleh sholat di belakangnya. Jihad dilakukan bersama pemimpin yang adil atau tidak adil, demikian halnya dengan haji."
     Berkata Imam Al Barbahari rohimahullah (wafat 329 H) dalam Syarhus Sunnah: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna Insya Allah. Yakni kebaikan berupa sholat jama'ah, sholat Jum'at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu."
     Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni (wafat tahun 449 H ) dalam kitab Aqidah Salaf Ashabil Hadits berkata :

ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات ، خلف كل إِمام ، برا كان أو فاجراً ، ويرون جهاد الكفرة معهم ، وإِن كانوا جَوَرة فجرة ، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح ، وبسط العدل في الرعية

Dan Ashabul hadits memandang sholat Jumat, Iedain, dan sholat-sholat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendoakan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilah terhadap rakyat.” 
     Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah:

و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا

"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)."
     Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah berkata:
"Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti sholat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam Haji, Jihad, (sholat) Jum'at, dan 'Id?" Kita katakan karena mereka imam kita yang kita beragama dengan mendengar dan mentaati mereka, karena perintah Allah. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' : 59).
Dan perintah Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku kezholiman-kezholiman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalaminya dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikan hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian." (HR. Muslim).
Yang dimaksud hak mereka (penguasa) yaitu ketaatan kepada mereka selain bermaksiat kepada Allah."
     Syaikh Sholih Al Fauzan ketika menjelaskan ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah berkata:
و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا

"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)." . Artinya: Ahlus Sunnah berkeyaqinan syi'ar-syi'at ini wajib dikerjakan bersama para penguasa kaum muslimin. Mereka abror (benar) atau tidak sholih. Yaitu: apakah mereka orang yang sholih atau fasiq (pendosa), orang yang kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama (Islam)."
    Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rohimahullah berkata,
“Siapa saja yang meninggalkan sholat Jum’at dan sholat berjamaah di belakang pemimpin yang fajir (jahat atau dzalim), maka dia adalah mubtadi’ (ahlul bid’ah) menurut jumhur (mayoritas) ulama. Yang benar adalah sholat di belakang mereka dan tidak mengulang sholat. Hal ini karena para sahabat rodhiyallahu ‘anhum tetap sholat Jum’at dan sholat berjamaah di belakang pemimpin yang fajir dan tidak mengulang sholat mereka. Hal ini sebagaimana ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu yang sholat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf, demikian pula Anas radhiyallahu ‘anhu.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah)



Bab III. Hikmah Mengerjakan Sholat Jum'at Di Belakang Umaro'

(1) Mentaati Allah dan Nabi.
     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ : 59).
(2) Taat pemimpin
     Imam Al-Muzani rohimahullah berkata, “Kita tidaklah meninggalkan menghadiri shalat Jumat. Akan tetapi, hendaklah melakukan shalat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa).”
     Hal ini dalam rangka menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin dan tidak boleh menyelisihi mereka. Prinsip ini bertentangan dengan prinsip agama yang dijalankan oleh kaum Khowarij dan Mu’tazilah.
     Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah berkata:
"Mereka (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah) berpendapat untuk menegakkan Haji bersama para amir (penguasa) walaupun mereka fasiq. Bahkan walau mereka minum khomr ketika Haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya.". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati waliyul amri adalah wajib walaupun mereka fasiq, dengan syarat selama kefasikannya  tifak membawa kepada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya burhan...".
(3) Demi menjaga persatuan kaum muslimin
     Imam Al-Muzani ini menjelaskan bahwa wajib menjaga shalat Jumat bersama jamaah kaum muslimin. Masalah ini dibawakan oleh para ulama dalam kitab aqidah untuk menjaga persatuan kaum muslimin dan menjaga jamaah mereka. Kaum muslimin diperintahkan untuk menghadiri shalat Jumat di masjid walaupun imam yang melaksanakan shalat di situ adalah seorang fasik atau punya sebagian kesalahan. Ini semua untuk menjaga persatuan kaum muslimin.


Bab IV. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat: "Pemimpin melakukan bid'ah dan kefasikan".
Bantahan:
(1) Kita diperintahkan taat kepada ulil amri selama bukan perkara maksiat. Dalilnya sangat banyak dan jelas bagi orang yang berakal sehat.
(2) Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّ ةَالَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا فَإِنْ أَنْتَ أَدْرَكْتَهُمْ فَصَلِّ الصَّ ةَالَ لِوَقْتِهَا-وَرُبَّمَا قَالَ: فِي رَحْلِكَ-ثُمَّ ائْتِهِمْ فَإِنْ وَجَدْتَهُمْ قَدْ صَلُّوا كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُمْ لَمْ يُصَلُّوا صَلَّيْتَ مَعَهُمْ فَتَكُونُ لَكَ نَافِلَةً.

“Wahai Abu Dzar, sungguh akan muncul di tengah kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan sholat dari waktu-waktunya. Jika engkau dapatkan mereka, sholatlah engkau pada waktunya.’ -atau beliau mengatakan-, ‘Sholatlah di rumahmu, kemudian datangilah mereka. Jika kalian dapatkan mereka sudah selesai menunaikan sholat, engkau telah tunaikan sholat sebelumnya. Seandainya engkau dapatkan mereka belum sholat, sholatlah bersama mereka dan sholat itu adalah nafilah (sunnah) bagimu’.”
(3) Sejumlah sahabat Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam melakukan sholat di belakang para pemimpin yang jahat seperti sahabat Ibnu Umar dan Anas rodhiyallahu ‘anhuma. Keduanya pernah sholat di belakang Hajjaj (seorang pemimpin yang jahat dan zalim). Sahabat Ibnu Mas’ud juga pernah sholat di belakang al-Walid bin Uqbah dan sejumlah para ulama sunnah sholat di belakang para umara yang zholim dari bani Umayyah dan bani Abbasiyah.
2. Syubhat: "Pemerintah tidak mewajibkan kita sholat Jum'at di belakangnya".
Bantahan:
(1) Pemerintah NKRI menghimbau agar kaum muslimin menjaga persatuan dan tidak berpecah belah. Atau silahkan tanya menteri Agama.
(2) Himbauan pemerintah itu wajib kita taati selama bukan perkara maksiat.
3. Syubhat: "Pemerintah tidak melarang kita mengadakan sholat Jum'at sendiri."
Bantahan:
(1) Kata siapa pemerintah tidak melarangnya?
(2) Bukankah sudah banyak kasus dan pertikaian sehingga pemerintah daerah melarang mengadakan sholat Jum'at sendiri.?
(3) Silahkan tanya menteri Agama dan ulil amri: "apa ridho dan senang melihat rakyatnya berpecah belah mengadakan sholat Jum'at sendiri-sendiri ataukah ingin bersatu dan tidak berpecah belah?"
4. Syubhat: "Izin dari pemerintah itu tidak harus berupa perizinan, tapi bisa berupa urf."
Bantahan:
(1) Sebutkan dalil dan salafnya?
(2) Di sebuah daerah setahu saya banyak urf seorang istri puasa Sunnah atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami..seperti halnya mereka yang mengadakan sholat Jum'at sendiri kerena mengikuti urf. Apa perbuatan tersebut dibenarkan.??
(3) Hukum asalnya sholat Jum'at wajib dikerjakan di belakang ulil amri dan pemerintah tidak mengizinkan kaum muslimin berpecah-belah mengadakan sholat Jum'at sendiri. Akan tapi banyak dari mereka yang menuntut minta imaroh dan wilayah kepada pemerintah dengan mendirikan muassasah.
5. Syubhat: "Dengan mengadakan sholat Jum'at sendiri maka kita bisa kerjakan dengan tata cara yang lebih mencocoki Sunnah."
Bantahan:
(1) Dengan tafarruq dan mengadakan sendiri saja itu sudah menyelisihi Sunnah..menyelisihi Aqidah Ahlus Sunnah ataupun Ushulus Sunnah serta tiada salafnya.
(2) Apa ada nukilan dari Salafus Sholih yang mengadakan sholat Jum'at dan sholat Id sendiri tidak di belakang penguasa ataupun orang-orang yang ditunjuk ulil amri (penguasa)?
6. Syubhat: "Sholat Jum'at di satu masjid tidak mungkin bisa diamalkan pada zaman sekarang. Dan kita semua sepakat akan bolehnya mengerjakan sholat Jum'at tidak di satu masjid jika memang ada hajat yang menuntut.. Demikian juga sholat 'Id."
Bantahan:
(1) Memang benar dan pemerintah yang paling berhak untuk mengurusinya..sebagaimana pernah dilakukan Ali bin Abi Tholib dengan menunjuk orang untuk mengimami untuk sholat 'Id.
(2) Berpecah belah mengadakan sholat Jum'at sendiri di banyak masjid dalam sebuah daerah/wilayah termasuk menyelisihi Sunnah,  sebagaimana kalam syaikh Albani.
(3) Pemerintah NKRI pun sudah mengatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa sudah mengadakan sholat Jum'at. Apa itu semua masih belum cukup.??
7. Syubhat: "Kami sudah mengerjakan sholat Jum'at dan 'Id bersama pemerintah karena hari dan waktunya bersamaan".
Bantahan:
(1) jika hanya hari dan waktunya yang bersamaan maka orang-orang Khowarij dan mayoritas ahlu bid'ah juga demikian. Sekarang apa bedanya?
(2) Jika makna ma'a ditakwil yang penting waktunya bersamaan..berarti apa mereka pernah mandi ma'al umaro..makan ma"al umaro'..tidur ma'al umaro' ataupun jima' ma'al umaro'.??
(3) Apabila hanya waktunya saja yang bersamaan..maka demi Allah ini pemahaman bathil! Apa ada ahlu bid'ah yang mengadakan sholat Jum'at pada hari selain Jum'at.??
8. Syubhat: "Masjid jami' jaraknya jauh."
Bantahan:
(1) jauhnya berapa km? Apa lebih dari setengah hari jika ditempuh berjalan kaki atau sudah termasuk jarak safar? Andai memang benar seperti itu sehingga memberatkan maka insya Allah kewajiban sholat Jum'at bisa gugur dan diganti dengan sholat Dhuhur.
(2)  Lebih jauh mana masjid jami' dengan pasar?  Jika belanja ke pasar saja mampu, apa ke masjid jami' tidak mampu. Padahal kebanyakan tidak jauh dari pasar inya Allah ada masjid Jami'.
9. Syubhat : "Sholat Jum'at di belakang umaro' itu bukan pemahaman ahlu ilmi."
Bantahan :
(1) Silahkan datangkan burhan jika sholat Jum'at di belakang umaro' bukan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah!! Jika tidak ingin mendapat laqob "syaithon pendusta".
(2) Mereka itu menolak sholat Jum'at bersama umaro' karena tidak mencocoki hawa nafsu pak ustadz Salafi beragam versi. Mereka mayoritas punya sejarah hitam..mulai laskar jahat, mengemis, mendirikan yayasan, dusta, khianat dst. Demikian juga banyak dari mereka yang dulunya pernah ikut kelompok/jam'iyyah shohibul bid'ah yang ada di Indonesia..berlumuran dengan bid'ah dan jatuh bangun serta tersungkur. Apa seperti itu orang yang memiliki ilmu nafi'.??
(3) Jika mereka memang jujur dan bukan syaithon pendusta..apa ridho jika aku ajak berhakim kepada Allah untuk menampakkan Al haqq??? Dan aku berlindung kepada Allah dari sifat dusta dan kejelekan para syaithon pendusta.

     Jawablah dengan jujur: "Jika dalam perkara sholat Jum'at saja banyak yang gemar berpecah-belah dan enggan bersatu di belakang ulil amri atau orang yang ditunjuk oleh pemerintah..sekarang ingin bersatu dalam perkara apa.?? Apa ada amal ibadah jama'i yang lebih utama dari pada sholat Jum'at?"


Bab V. Ancaman Atas Orang Yang Enggan Mengamalkan Ilmu

     Terdapat banyak dalil yang menunjukkan ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Orang yang berilmu akan ditanya tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan dari ilmunya tersebut. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ilmunya sia-sia dan akan menjadi penyesalan baginya.
     Allah berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“ Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? “ (QS. Al Baqorah : 44)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“ Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (QS. Ash Shof : 2-3)

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“ Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.“ (QS. Huud : 88).
     Dari Usamah bin Zaid, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhori no. 3267 dan Muslim no. 2989).
     Kemudian Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu berkata:

من تعلم علما لم يعمل به لم يزده إلا كبرا

Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Al Kabair, hal. 75).

Mari kita perhatikan:
     Betapa banyak manusia yang mendakwahkan : (1) melarang syirik,(2) melarang menyembah akabir dan thoghut, (3) melarang bid'ah, (4) melarang dusta dan khianat, (5) memeritahkan taat kepada umaro' selama bukan maksiat, mengharamkan shuroh bernyawa, (6) melarang paham Ateisme, (7) melarang tasawwul/minta-minta, (8) mengatakan sholat Jum'at, sholat Id, Haji dan jihad ma'al umaro', (9) melarang taqlid, ta'ashub dan tahazub, (10) wala' wal baro karena Allah, (11) mengajak zuhud dan qona'ah, (12) melarang mengikuti hawa nafsu, (13) melarang mengambil ilmu dari ahlu ahwa' dan pelaku dosa besar, (14) melarang meminta imaroh dan wilayah kepada penguasa, (15) anak hendaknya diasuh hadhinah yang sah, (16) tidak mencari ilmu dengan tujuan dunia, (17) melarang makan sampai kenyang atau dengan 7 usus, (18) melarang syahadatuz zur, (19) amar ma'ruf nahi munkar dan lain-lain..tapi bagaimana pengamalannya.?? Justru banyak dari mereka yang enggan mengamalkan apa yang mereka dakwahkan. Laa haula wa laa quwwata illa billah..


Bab VI. Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"  (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين







Blora, 27 Dzulhijjah 1444 H


Hazim Al Jawiy



 

Selasa, 19 Juli 2022

WAHAI SAUDARAKU..MENGAPA KALIAN MEMILIH SALAFIYYAH?

WAHAI SAUDARAKU..MENGAPA KALIAN MEMILIH SALAFIYYAH?




بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara." (QS. Ali Imran:103).
     Al Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah berkata, "Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqoh. Diantaranya terdapat satu firqoh najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat beliau." (Tafsir Al Qur'anil 'Azhim, surat Ali Imron: 103).

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rosulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih). 


Mengapa Kalian Memilih Salafiyyah?

     Tulisan ini saya tujukan khususnya untuk orang-orang Salafiyyah beragam versi di Indonesia beserta para simpatisannya.

     
     Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin rohimahullah berkata, "Jika banyak golongan-golongan (hizbiyyah), maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan seperti Khowarij, Mu'tazilah, Jahmiyyah, dan Rofidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai golongan seperti ikhwaniyyun, salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok, jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rosul shollallahu ‘alaihi wa sallam katakan: ‘Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur rosyidin."
Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya, mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh untuk mengikuti Al Qu'ran dan Sunnah Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum adalah dinul Islam.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309).
     Sekitar 19 tahun lamanya Allah Taqdirkan diriku kenal dan pernah bersama orang-orang Salafiyyah beragam Versi..sehingga akhirnya dengan tawakkal kepada Allah, kemudian diriku memutuskan "SALAFI: Salafiyyah Aku Lepas, Ahlus Sunnah Fahamku InsyaAllah". Karena setahuku "Manhaj Salaf dan Aqidah Salaf" itu berbeda dengan jam'iyyah/muassasah/majmu'ah Salafiyyah dan Aqidah Salafiyyah..sebagaimana Muhammad dan Ashhab berbeda dengan Muhammadiyyah dan Ashhabiyyah.
     Salaf itu berbeda dengan Salafiyyah. Istilah Salafiyyah tidak digunakan pada zaman 3 generasi terbaik dari ummat ini yaitu generasi Shohabat, Tabi'in dan  Tabi'ut Tabi'in. Para Salafush Sholih ketika muncul shohibul bid'ah maka menggunakan istilah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Adapun penggunaan istilah Salafiyyah itu ijtihad sebagian ulama mutaakhirin karena ketika beliau masih hidup menyangka bahwa semua shohibul bid'ah atau ahlu ahwa' tidak mungkin akan mengklaim Salafiyyah. Akan tapi bagaimana faktanya.? Bukankah pada zaman sekarang terbukti banyak golongan yang mengklaim Salafiyyah? Termasuk mereka yang melakukan pengeboman atas nama jihad, teroris dan orang-orang Sururiyyah.

     Jika ini dianggap sebagai syubhat maka silahkan bantah secara jujur, adil dan ilmiyah:
1. Di Indonesia terdapat golongan Salafiyyah lebih dari 7 versi atau hizb..masing-masing pak ustadz Salafiyyah beragam versi (hizb) ada yang alumni Makkah, Jami'ah Islamiyyah Madinah, Unaizah, Darul Hadits Dammaj, Pakistan dan lain-lain. Antar hizb atau versi terjadi saling tahdzir dan baro' mulai dari akabir sampai kroco-kroconya..padahal sama-sama mengklaim berilmu, mengklaim murid dan bersama ulama, mengklaim sebagai wali Allah, mengklaim merasa lebih paham ajaran Salafiyyah, mengklaim wala' wal baro' karena Allah dst. Kemudian saling menyesatkan lawan, main blokir karena merasa diri mereka di atas petunjuk sedang lawannya sesat..sama-sama mengamalkan bid'ah yang tiada contohnya dari Salaful Ummah, sama-sama nerjang dan menghalalkan bid'ah/maksiat, serta mayoritas sama-sama menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah dan Ushulus Sunnah..wa Allahu a'lam. Kenapa bisa terjadi seperti itu?
2. Apa orang-orang Salafiyyah punya hak istimewa sehingga dihalalkan menerjang kesyirikan, bid'ah dan maksiat, cinta dunia serta boleh menyembah akabir-nya dengan melakukan taqlid? Taqlid kepada akabir yang perkataannya bukan hujjah dan tidak bersama hujjah.
3. Apa makna khilaf mu'tabar dan syarat-syarat khilaf dikatakan termasuk khilaf mu'tabar? Bukankah suatu perkara dikatakan khilaf mu'tabar apabila masing-masing pendapat berpegang dalil serta ada salafnya.? Kemudian terjadi khilaf  hanya karena perbedaan memahami dalil tersebut dan bukan karena mengikuti hawa nafsunya.
4. Apa perbedaan perkara ijtihadiyyah dengan khilaf mu'tabar? Apa setiap perkara ijtihadiyah (seperti demokrasi, pemilu, shuroh bernyawa media foto/video, jam'iyyah, muassasah, majmu'ah/group/geng, panti asuhan TN dan TB, tasawwul/mengemis untuk golongannya, mengkonsumsi bibit penyakit/vaksin, transfusi/mengkonsumsi darah untuk obat, mengambil ilmu dari sekolah mubtadi' untuk tujuan dunia yaitu gelar, toleransi terhadap Ilmu Pengetahuan Ateisme/IPA dan lain-lain) maka termasuk khilaf mu'tabar.? Hanya karena ada sebagian ulama mutaakhirin yang membolehkan.
5.Apa setiap perkara yang ada khilaf Salafiyyah maka termasuk khilaf mu'tabar? Apa benar khilaf Salafiyyah punya kedudukan lebih tinggi dari perkara khilaf mu'tabar sehingga wajib tasamuh dan tidak boleh saling mengingkari.? Sedang hukum asal khilaf mu'tabar saja maka kita boleh saling membantah ataupun mengingkari dengan batasan tidak boleh sampai menjadi sebab hajr atau taqothu'.
6. Apa orang-orang Salafiyyah punya hak khusus sehingga boleh melakukan amalan yang menyelisihi ijma' aqidah Ahlus Sunnah dan Ushulus Sunnah.? Seperti misal terkait sholat Jum'at bersama umaro'..sebagaimana juga jihad disyari'atkan ma'al umaro'.
Sedang imam Ahmad rohimahullah berkata barang siapa menyelisihi salah satu atau sebagian dari pokok-pokok As Sunnah maka bukan termasuk ahlinya.
7.Apa tolok ukur Salafiyyah dan atas dasar apa seseorang dikeluarkan dari Salafiyyah? Supaya jelas dan tidak samar, maka tulislah Ushulus Salafiyyah yang disepakati..sehingga bagi siapa yang menyelisihi Ushul Salafiyyah maka telah keluar dari Salafiyyah.?
     Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan terdapat ibroh yang bermanfaat.


Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Mâidah: 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين






Blora, 19 Dzulhijjah 1443H



Hazim Al Jawiy

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...