Kamis, 01 September 2022

TA'AFFUF (MENJAGA IFFAH) VS MINTA SHODAQOH (UNTUK DIRI SENDIRI, ORANG LAIN DAN HIZB)




بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

"Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud: 6).


Bab II. Anjuran Berusaha

     Allah Ta'ala berfirman:

 فَٱبْتَغُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ وَٱعْبُدُوهُ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥٓ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ  

"Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan." (QS al-Ankabut:17).

     Nabi bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

"Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).

     Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي

Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”(HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).


Bab II. Ta'affuf (Menjaga 'Iffah)

     Termasuk makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (QS. Al Baqarah: 273)

     Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka ketika itu,

مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِْهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala dari meminta kepada selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari no. 6470 & Muslim no. 1053).
     An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan (hal yang tidak disukai) lainnya di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145).


Bab III. Larangan  Tasawwul (Minta Sodaqoh Dan Mengemis)

     Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040)

     Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)

     Patut dipahami bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah berikut, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari, no. 1476). Orang miskin berarti bukan pengemis. Orang miskin adalah yang sudah bekerja, namun tetap belum mencukupi kebutuhan pokoknya.


Bab IV. Hukum Tasawwul /Meminta-minta/Mengemis

(1) Meminta-minta hukum asalnya terlarang.
     Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini, diantaranya:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).

Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i beliau berkata,

قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا»

Kami telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan perkataannya) dan tidak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun‘” (HR. Muslim no. 1043).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
(2) Para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
     An-Nawawi ketika menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” (larangan meminta-minta) beliau mengatakan:

مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ

“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(3) Meminta-minta dalam keadaan tidak fakir dan tidak darurat, termasuk dosa besar, karena diancam dengan azab di akhirat.
(4) Jika dalam keadaan darurat, namun tidak fakir dan mampu bekerja, ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya.
     An-Nawawi menjelaskan:

أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, dalam dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat, hukumnya haram, berdasarkan zahir hadits-hadits yang ada. Pendapat yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan, jika memenuhi tiga syarat: (1) tidak menghinakan dirinya, (2) tidak memaksa ketika meminta, dan (3) tidak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya menjadi haram dengan sepakat ulama. Wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(5) Meminta-minta untuk memperkaya diri itu perbuatan tercela.
     Al-‘Aini mengatakan:

من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم

“Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri itu tercela” (Umdatul Qari, 9/56).
(6) Orang-orang yang dibolehkan minta-minta.
     Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (HR. Muslim).
(7) Mengemis untuk diri sendiri, orang lain ataupun untuk kelompok/hizbiyyah hukum asalnya tidak halal (haram) berdasarkan keumuman larangan Nabi untuk tidak minta-minta kepada manusia.


Bab V.  Penggalangan Dan Mengumpulkan Zakat/Shodaqoh Termasuk Wewenang Ulil Amri (Umaro' Dan Wakilnya)
    
     Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِـي بِشِدْقَيْهِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا مَالُكَ، أَنَا كَنْزُكَ، ثُمَّ تَلَا ﱡ… وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ…ﱠالْآيَـةَ.

Barangsiapa diberikan harta oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya dijelmakan kepadanya pada hari Kiamat berupa seekor ular botak kepalanya bertaring dua yang akan dikalungkan kepadanya pada hari Kiamat. Kemudian ia mengangahkan mulutnya seraya berkata, ‘Aku hartamu, aku simpananmu.’

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Dan janganlah sekali-kali orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Ali ‘Imran/3: 180).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنَّهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَارَ ، فَإِنِّـيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَـةٌ : وَمَا لَنَا ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ،وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِيْ لُبٍّ مِنْكُنَّ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّيْنِ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهٰذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِيْ رَمَضَانَ فَهٰذَا نُقْصَانُ الدِّيْنِ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar (mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Berkatalah seorang wanita yang cerdas di antara mereka, ‘Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki yang berakal dibandingkan kalian.’Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasûlullâh, apa (yang dimaksud dengan) kurang akal dan agama?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurang akal karena persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian satu orang laki-laki, inilah makna kekurangan akal. Dan seorang wanita berdiam diri selama beberapa malam dengan tidak shalat dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh), inilah makna kekurangan dalam agama.’”
(Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 79 [132]); Ahmad (II/66-67); Abu Dawud (no. 4679), Ibnu Majah (no. 4003); at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Âtsâr (no. 2727), dan al-Baihaqi (X/148)).

     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ! إِنَّ هٰذَا الْبَيْعَ يَـحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْـحَلِفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ.

“Wahai para pedagang! Sesungguhnya perniagaan ini kerap kali diiringi dengan perbuatan sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah ia dengan sedekah.” (Shahih: HR. Ahmad (IV/6, 280), Abu Dawud (no. 3326), an-Nasa-i (VII/14, 15, 247), Ibnu Majah (no. 2145), dan al-Hakim (II/5, 6). Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7974)).
     Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyyah (hal. 376) :

وقد دلت نصوص الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة أن ولي الأمر وإمام الصلاة والحاكم وأمير الحرب وعامل الصدقة – : يطاع في مواضع الاجتهاد وليس عليه أن يطيع أتباعه في موارد الاجتهاد بل عليهم طاعته في ذلك وترك رأيهم لرأيه فإن مصلحة الجماعة والإئتلاف ومفسدة الفرقة والإختلاف أعظم من أمر المسائل الجزئية ولهذا لم يجز للحكام أن ينقض بعضهم حكم بعض والصواب المقطوع به صحة صلاة بعض هؤلاء خلف بعض

"Nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ salaful ummah telah menunjukkan bahwa pemimpin, imam sholat, hakim, pemimpin pasukan perang dan ‘amil shodaqoh ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan bukan ia (pemimpin atau imam, dst) yang mentaati pengikutnya dalam masalah ijtihad. Bahkan wajib bagi pengikutnya untuk mentaatinya dalam masalah itu dan meninggalkan pendapat mereka masing-masing untuk mengikuti pendapat pemimpin. Karena maslahat dari berjama’ah dan persatuan; dan mafsadat dari perpecahan dan ikhtilaf, lebih besar daripada masalah-masalah juz-iyyah. Oleh karena itu tidak boleh bagi para hakim untuk saling membatalkan keputusan masing-masing. Yang pasti kebenarannya, masing-masing sah untuk sholat bermakmum kepada yang lain."

قال : وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ

Ia (Harb) berkata : “dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka, dan diantara perkataan mereka : ….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al kharaj (pajak, upeti), al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….” [Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Dan diwajibkan atas orang-orang kaya di negeri mana saja untuk menanggulangi secara bersama-sama terhadap fakir miskin. Sedangkan pihak penguasa boleh bercampur tangan untuk menekan mereka dalam pelaksanaannya itu, apabila harta zakat dan harta-harta kaum Muslimin yang lain tidak mencukupi untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sehingga kebutuhan pangan mereka yang tidak bisa ditunda-tunda itu dapat dipenuhi. Demikian pula halnya dengan kebutuhan sandang dan papan mereka.” (Al-Muhalla (VI/156, masalah ke 725).


Bab VI.  Larangan Mengambil Harta Dengan Jalan Bathil Dan Beragam Bentuk Mengemis

     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ ayat 29).

     Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 188).

     Allah Ta’ala berfirman “تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ” yang secara harfiah berarti “janganlah kalian memakan harta kalian sendiri di antara kalian”. Pada ayat tersebut, Allah menyamakan antara orang yang memakan harta orang lain secara batil dan orang yang memakan harta pribadi secara batil. Orang pertama merusak harta orang lain, sedangkan orang kedua merusak harta pribadinya. Meskipun demikian, kesakralan harta pada dasarnya sama.
     Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dengki, tamak, dan egois adalah faktor yang mendorong jiwa untuk berbuat melampaui batas terhadap hak-hak orang lain. Jiwa yang memandang hak orang lain sebagai hal yang sakral sebagaimana haknya sendiri, tentu akan menghormati harta orang lain sebagaimana dia menghormati harta pribadinya.
     Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap harta dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, baik dengan cara merampas, mencuri, mempraktikkan riba dan gharar, atau hal yang semisal. Hal yang paling buruk dari itu semua adalah merampas harta halal dengan trik yang melegalkan dan menggugurkan hak pemilik yang sah. Hal ini bisa terjadi entah karena ketiadaan bukti yang dimiliki oleh pemilik setelah harta itu dirampas darinya atau karena perampasan dan pengguguran hak dari pemilik yang sah dilegalkan dengan cara yang batil.
     Diantara bentuk mengambil harta dengan jalan batil dan beragam bentuk minta-minta (mengemis):
1. Merampas harta ataupun menahan barang milik orang lain tanpa hujjah dan burhan.
    Termasuk menahan hp santri tanpa hujjah sehingga pemiliknya tercegah untuk memanfaatkan hp (seperti untuk jualan pulsa). Padahal pak ustadz pun juga bisa menggunakan hp untuk maksiat seperti mendakwahkan bid'ah, menjadi mushowwir (tukang foto dan video) ataupun pacaran/selingkuh.
2. Mencuri.
3. Mempraktikan riba dan gharar.
4. Memeras.
     Termasuk juga minta uang pendaftaran tanpa hujjah dan burhan. Contoh: memungut uang pendaftaran Rp 100.000,00 padahal hanya diberi beberapa lembar kertas formulir dan map. Andai itu akadnya sebagai uang jasa/biaya administrasi..mahal amat?  Lebih parah lagi bagi calon santri yang tidak diterima atau mengundurkan diri maka uang pendaftaran hangus. Demikian juga memeras orang tua murid baru diwajibkan membayar infaq uang bangunan sebesar Rp 500.000,00 ataupun lebih.
5. Menipu dan khianat seperti yang dilakukan pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat.
     Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis. Mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia. Bahkan pada zaman sekarang banyak pengemis berjenggot ataupun berjubah untuk kepentingan pribadi, hizb, jam'iyyah ataupun muassasah seperti yang dilakukan mayoritas kelompok salafi di Indonesia.
6. Korupsi harta yang bukan haknya.
     Termasuk korupsi atas nama agama dengan melakukan mark up dana pada proposal ataupun korupsi harta kaum muslimin untuk kepentingan pribadi/golongan.
7. Menyewakan bangunan masjid, asrama dan harta padahal telah diwakafkan untuk kaum muslimin ataupun harta milik yayasan.
8. Minta shodaqoh untuk kepentingan pribadi/golongan baik secara langsung, lewat e-mail, sms, media sosial, WA dan lain-lain.
9. Mengajukan beasiswa terutama bagi orang-orang yang bukan termasuk faqir miskin.
10. Penggalangan shodaqoh (dana) untuk kepentingan pribadi atau hizb (golongan/kelompok) bukan dalam keadaan darurat (3 keadaan yang dikecualikan).
11. Dan lain-lain.


Bab VII. Tafsir Ta'awwun QS. Al Maidah Ayat 2

Allah Ta'ala berfirman:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

"Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
     Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwa­an. Allah melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
     Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang  diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan ani­aya, itulah cara menolongnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Ke­duanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:


"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"

"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun diani­aya." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku to­long bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolong­nya jika dia berbuat aniaya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu meno­longnya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi  yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar da­lam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya dari­pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan ti­dak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdul­lah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah mence­ritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi yang mengatakan:

"الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.
     Imam Tirmidzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; ke­duanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah  pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya) dengan pelaku kebaikan itu.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:

"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا"

Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mere­ka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.

قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ من الإسلام"

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah mencerita­kan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam'.'


Bab VIII. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubat: mereka mengganggap penggalangan dana dan shadaqah sebagai bentuk ta'awun. Mereka behujjah:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

"Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
Bantahan:
(1) Ayat tersebut adalah dalil untuk tolong menolong dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa ataupun maksiat.
(2) Ayat tersebut bukan dalil bolehnya perbuatan mengemis walau terdapat unsur tolong-menolong. Siapa salafush sholih yang memahami bahwa ayat tersebut adalah dalil bolehnya mengemis untuk diri sendiri, keluarga, orang lain ataupun kelompok hizbiyyah.??
(3) menginfaqkan harta kepada para pengemis memang termasuk menolong. Akan tapi ketahuilah perbuatan mengemis (termasuk yang dilakukan kelompok salafi) iti haram dan sangat hina.
(4) jika mengemis dikatakan ta'awun dan tidak haram..kenapa tidak sekalian mengemis di jalan-jalan, terminal dsb?
(5) Kita hendaknya bersikap jujur dan adil. Jika orang umum mengemis dianggap tercela..tapi jika pelakunya orang salafi kenapa tidak boleh dicela?
2. Syubhat: para penggemar tasawwul berhujjah dengan hadits,

حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَدِيٌّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلُ وَلَا بَعْدُ ثُمَّ مَالَ عَلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ أَنْ يَتَصَدَّقْنَ فَجَعَلَتْ الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْقُلْبَ وَالْخُرْصَ

Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami ‘Adiy dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata:
Nabi ﷺ keluar pada hari ‘Ied lalu shalat dua raka’at dan Beliau tidak shalat lain sebelum maupun sesudahnya, kemudian Beliau mendatangi jama’ah wanita bersama Bilal, lalu Beliau memberikan nasehat dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka diantara mereka ada yang memberikan gelang dan antingnya”. (HR. Bukhari 1341).
Bantahan:
(1) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin sehingga punya wewenang mengurusi shadaqah.
(2) Nabi memerintahkan para wanita bershodaqah itu bukan di setiap selesai sholat 'Id. Andai memerintahkan itu tiap selesai sholat 'Id tentu para Khulafaur Rosyidin juga akan melakukan. Tapi bagaimana faktanya?
(3) Kenapa yang diperintahkan bershodaqah hanya para wanita? Sebaliknya orang-orang salafi memerintahkan laki-laki.?
3. Syubhat:  Para penggemar dan penyeru perbuatan mengemis berhujjah dengan kisah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
     Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ، فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ المُسْلِمِينَ

“Barangsiapa yang membeli sumur “rumatun”, maka bagiannya dari air yang ia timba darinya itu seperti bagian air yang ditimba kaum muslimin.” Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pun membelinya.
     Dalam hadits Shahih Bukhari rahimahullah pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ

"Barangsiapa yang menggalikan sumur rumatun, maka baginya surga." Lalu ‘Utsman pun menggalinya.
     Dan disebutkan dalam salah satu riwayat Basyir bin Basyir Al-Aslami disebutkan bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslimin.
Bantahan:
(1) Siapa Salafush Sholih yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis  untuk diri sendiri, orang lain ataupun kepentingan hizbiyyah?
(2) Hadits tersebut itu menjelaskan keutamaan Utsman bin Affan dan kabar jaminan Jannah.
(3) Kisahnya pada itu di Madinah tidak ada sumber mata air selain sumur milik orang Yahudi. Kaum muslimin dilarang mengambil air dari sumur milik si Yahudi tersebut. Jika tanpa air maka kaum muslimin bisa mati kehausan. Karena hajat darurot..maka sebagai rosul Allah dan pemimpin kaum muslimin menyeru siapa menggalikan sumur Raumah maka masuk Jannah.
(4) Kenapa orang-orang salafi tidak sekalian membuat hadits palsu bahwa siapa yang menggali sumur maka masuk Surga.? Siapa yang membuat masjid salafiyah maka masuk Jannah.? Siapa yang membangunkan asrama atau rumah untuk ahlu shuffah maka masuk Jannah.?
(5) Harta shodaqah diharamkan untuk Nabi dan ahlu bait. Sehingga tidak mungkin Nabi minta-minta untuk kepentingan beliau dan keluarganya. Tidak seperti kebanyakan orang salafi beragam versi yang gemar makan shodaqah ataupun sedekah hasil mengemis. Salaf mereka adalah para biksu yang gemar minta sedekah dan mengharap belas kasihan dari manusia.
4. Syubhat: Diantara penyeru mengemis berhujjah dengan hadits:
Rosululloh bersabda:

(( مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ )). فَجَهَّزَهُ عُثْمَانُ

Barangsiapa yang membekali tentara ‘usrah maka baginya surga.” Maka ‘Utsman pun membekalinya. (HR. al-Bukhari) 
Bantahan:
(1) Siapa dari Salaful Ummah yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis untuk kepentingan hizbiyyah?
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan. Kemudian para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
(3) Nabi menyeru hal tersebut ketika akan berjihad. Itupun karena keadaan menuntut dan darurot. Andai baitul mal sudah mencukupi, tentu akan gunakan harta dari baitul mal.
(4) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin melakukan itu untuk kemashlahatan umat dan bukan untuk kepentingan hizbiyah.
(5) Ahlus Shufah yang tinggal di serambi masjid Nabi meski hidup kekurangan tetap menjaga iffah dan tidak ada riwayat gemar minta-minta ataupun mengkoordinir mengemis kepada para muhsinin walau Abu Hurairoh waktu itu sering kelaparan.
5. Subhat: "Yang dilarang adalah mengemis untuk diri sendiri. Adapun jika mengemisnya untuk orang lain, hizbiyyah, jam'iyyah ataupun kelompok salafiyyah maka dibolehkan."
Bantahan:
(1) Silahkan datangkan burhan tentang bolehnya mengemis untuk orang lain, hizbiyyah ataupun jam'iyyah jika kalian memang jujur!
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan.
(3) Kemudian para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
(4) Imam Ahmad -rahimahullaah- tidak memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah: seorang yang meminta untuk orang lain walaupun ada hajah (kebutuhan); karena dari hal itu akan timbul: menghinakan diri, perasaan (tidak senang) yang muncul ketika ditolak (tidak diberi), dan karena hal itu masuk dalam kategori: minta-minta kepada manusia.

ولم يُرخِّص الإمام أحمد رحمه الله في سؤال الرجل لِغيره مع وُجود الحاجة ؛ لِمَا يترتّب على ذلك مِن : إذلال نفسه ، وما يَجده في نفسه لو رُدّ ، ولأنه يَدخل في سؤال الناس .

(5) Ibnu Muflih berkata dalam “Al-Furuu’” (IV/318):

قال ابن مُفْلِح في " الفروع " : وَإِنْ سَأَلَ لِرَجُل مُحْتَاجٍ فِي صَدَقَةٍ أَوْ حَجٍّ أَوْ غَزْوٍ، فَنَقَلَ مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُد: لا يُعْجِبُنِي أَنْ يَتَكَلَّمَ لِنَفْسِهِ فَكَيْفَ لِغَيْرِهِ ؟ التَّعْرِيضُ أَعْجَبُ إلَيَّ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ وَجَمَاعَةٌ : لا ، وَلَكِنْ يُعَرّض ، ثُمَّ ذَكَرَ حَدِيثَ الَّذِينَ قَدِمُوا عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، وَحَثَّ عَلَى الصَّدَقَةِ وَلَمْ يَسْأَلْ ، زَادَ فِي رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ : رُبَّمَا سَأَلَ رَجُلا فَمَنَعَهُ فَيَكُونُ فِي نَفْسِهِ عَلَيْهِ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ أَنَّهُ قَالَ لِسَائِلٍ : لَيْسَ هَذَا عَلَيْك . وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ أَنْ يَسْأَلَ . اهـ .

“Kalau seorang minta-minta untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk: shadaqah, haji, atau perang; maka Muhammad Ibnu Dawud menukil (dari Imam Ahmad): “Tidak menyenangkanku kalau dia bicara (meminta) untuk dirinya sendiri, maka apalagi (terlebih lagi) untuk orang lain? Memakai kiasan/sindiran lebih aku sukai.” Al-Marrudzi dan jama’ah menukilkan (dari Imam Ahmad): “Tidak boleh (meminta-minta), akan tetapi menggunakan kiasan/sindiran.” Kemudian beliau membawakan hadits tentang orang-orang yang datang kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan BELIAU MENDORONG UNTUK BERSEDEKAH DAN BELIAU TIDAK MEMINTA. Dalam riwayat Muhammad bin Harb ada tambahan (dari Imam Ahmad): “Terkadang seorang minta kepada orang lain dan orang itu tidak memberinya sehingga ia marah kepadanya.” Al-Marrudzi menukil (dari Imam Ahmad) bahwa ia berkata kepada orang yang minta: “Kamu tidak boleh minta.” Dan ia (Imam Ahmad) tidak memberikan rukhshah (keringanan) padanya untuk meminta.” Sekian.
(6) Minta-minta kepada manusia adalah haram. 

قال ابنُ القيمِ : مَسْأَلَةُ الْمَخْلُوقِ مُحَرَّمَةً فِي الأَصْلِ ، وَإِنَّمَا أُبِيحَتْ لِلضَّرُورَةِ . اهـ.

وربما أهان الإنسان نفسَه بسؤال الناس ، وإن كان يسأل لِغيره .
وذلك لِمَا في سُؤالِ الناسِ " مِنَ الذُّلِّ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَإِرَاقَةِ مَاءِ الْوَجْهِ لِغَيْرِ خَالِقِهِ، وَالتَّعَوُّضِ عَنْ سُؤَالِهِ بِسُؤَالِ الْمَخْلُوقِينَ " كما قال ابنُ القيم .

وربما لا يؤجَر الإنسان على جَمْع هذا المال ، بل لعلها لا تبرأ ذِمَته في بعض الأحيان .
فقد يَكون سؤال بعض الناس بقصد إرادة الخير ، إلاّ أنه لا يلبث أن تتدخّل حظوظ نفسه، مِن إرادة ثناء الناس ومَدْحِهم ؛ بأن فلانا يَفعل الخير ويَجمع التبرعات .. إلى غير ذلك مِما تتطلّع إليه النفس .

Ibnul Qayyim berkata: “Meminta-minta kepada makhluk asalnya adalah haram, dan dibolehkan hanya ketika darurat.” [Perkataan Syaikhul Islam dalam “Al-‘Ubuudiyyah” (hlm. 105)]

     Terkadang seorang menghinakan dirinya dengan meminta-minta kepada manusia walaupun dia meminta untuk diberikan kepada orang lain. Hal itu dikarenakan di dalam meminta-minta kepada manusia terdapat: “menghinakan diri kepada selain Allah, menumpahkan air di wajahnya (kehormatan dirinya) untuk selain Penciptanya, dan mengganti dari meminta kepada-Nya menjadi meminta kepada makhluk.” sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim [dalam “Madaarijus Saalikiin” (I/535 -Kairo)].

     Dan terkadang seorang tidak mendapatkan pahala atas pengumpulan harta ini, bahkan bisa jadi dia tidak lepas tanggung jawabnya -pada sebagaian waktu-. Bisa jadi sebagian orang yang minta-minta (donasi): (awalnya) dengan niat yang baik, akan tetapi tidak lama kemudian masuk ambisi-ambisi pribadi; berupa: ingin dipuji manusia bahwa fulan melakukan kebaikan dan mengumpulkan donasi..dan hal-hal lain yang diinginkan oleh hawa nafsu.

     Bisa jadi (sebagian orang yang minta-minta donasi): mencela sebagian orang ketika mereka menjanjikan untuk memberi, tapi kemudian mereka tidak memberi, sehingga perbuatan baik (orang yang minta-minta donasi) tersebut menjadi perbuatan jelek. Semata-mata janji; tidak terbangun atasnya sesuatu, tidak wajib padanya sesuatu pun. Kalau ada orang yang menjanjikannya untuk memberinya sesuatu kemudian dia tidak memberikannya; maka tidak mengapa. Maka tidak boleh mencelanya, dan tidak boleh mencelanya di tengah-tengah manusia serta membicarakannya. Ketika demikian, maka orang yang mengumpulkan harta untuk diberikan kepada orang lain: masuk dalam perkataan Ibnu Mas’ud:

كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ!

“Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!” [Sunan Ad-Darimi (I/68-69)]

     Adapun masalah terbebas dari tanggung jawab ; maka bisa jadi seorang mengumpulkan harta, terkadang dia tidak menjaganya, terkadang sebagian mereka meminjam dari harta tersebut dengan alasan bahwa hukum dia seperti amil zakat?! Maka ini tidak halal baginya, hukumnya tidak seperti hukum amil zakat. Atau terkadang dia mempergunakannya dengan ijtihadnya : untuk digunakan bukan untuk tujuan dikumpulkannya harta dan untuk digunakan selain dari segi yang diinginkan oleh orang-orang yang mengeluarkan harta tersebut.
     Cukuplah seorang diberikan sindiran/ungkapan/kiasan tentang adanya kebutuhan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. Dan tidak menyusahkan dirinya dan tidak juga orang lain; karena sesungguhnya meminta-minta kepada manusia adalah kehinaan dalam keadaan apa pun. Ibnul Qayyim berkata: “Meminta kepada manusia adalah aib dan kekurangan pada seseorang serta kehinaan yang menafikan muruah (kesopanan) kecuali dalam masalah ilmu.” Sekian [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/510)].
(7) Meminta dengan mendesak dan menyusahkan manusia adalah tercela. Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “(Meminta dengan) mendesak kepada selain Allah adalah tercela, karena Allah memuji orang yang sebaliknya, Allah berfirman:

{…لَا يَسْأَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا…}

“…mereka tidak meminta secara paksa kepada kepada orang lain...” (QS. Al-Baqarah: 274) [“At-Tamhiid” (II/286 -cet. Daarul Kutub)]
     Adapun yang terdapat dalam Shahih Muslim (no. 1017), dari hadits Jarir -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa ia berkata : Kami di sisi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pada awal siang, maka datanglah suatu kaum yang memakai kain wol bergaris atau kain ‘aba-ah dengan memanggul pedang, sebagian besar dari Mudhor, bahkan semuanya dari Mudhor. Maka wajah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berubah karena melihat kemisikinan mereka. Maka beliau masuk kemudian keluar. Beliau suruh Bilal untuk adzan dan iqamah, kemudian beliau Shalat dan berkhuthbah, beliau membaca:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ: {إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا}

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam),” sampai akhir ayat: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Dan beliau membaca ayat yang ada dalam Surat Al-Hasyr:

{…اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ…}

“…Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah...” (QS. Al-Hasyr: 18)

“Seorang bersedekah dari dinarnya, dari dirhamnya, dari pakaiannya, dari sha’ gandumnya, dan dari sha’ kurmanya.” Sampai beliau bersabda: “Walaupun sepotong kurma.” Dan seterusnya hadits.
     Hal ini dilakukan oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam- karena beliau adalah IMAM manusia. Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak meminta dari manusia setelah Allah taklukkan (negeri-negeri) bagi beliau dan harta mulai banyak. Dan tidak diriwayatkan dari Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- tentang meminta dari manusia; maka hal itu menunjukkan: tidak boleh meminta dari manusia, dan tidak boleh meminta kecuali dilakukan oleh penguasa atau wakilnya dari orang-orang yang mengetahui maslahat -hal itu jika di Baitul Mal tidak tersisa apa pun-.
Dan para ulama tidak berdalil dari kejadian ini atas bolehnya meminta kepada manusia di masjid.
     Bahkan para Salaf mengusir para pengemis dari masjid-masjid. ‘Ikrimah jika melihat para peminta-minta di masjid; maka beliau mencelanya dan berkata: Dahulu Ibnu ‘Abbas mencela mereka dan mengatakan: “Mereka tidak menghadiri Jumat dan ‘Id kecuali untuk meminta-minta dan mengganggu. Ketika manusia berharap kepada Allah; maka harapan (para pminta-minta) itu kepada manusia.” (“Tahdziibul Kamaal” (XX/276)).
(8) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- ditanya tentang meminta di masjid jami’; apakah halal, haram atau makruh? Apakah meninggalkannya lebih wajib daripada melakukannya? Maka beliau menjawab: “Asal dari meminta adalah haram, baik di masjid maupun di luar masjid; kecuali karena darurat.” Sekian. (Majmuu’ Fataawaa: XXII/206).


Bab IX. Penutup

     Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para penuntut ilmu, dan para dai agar menjaga kehormatan dirinya dengan tidak minta-minta kepada orang dan tidak mengharap sesuatu kepada manusia. Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pada jalan yang disyariatkan. Bagi mereka yang fakir, hendaklah bersabar dan memohon kecukupan kepada Allah. Dan kepada orang kaya yang tidak mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yang mencuri harta orang lain untuk kepentingan kelompoknya- hendaklah mereka takut akan siksa Allah Ta’ala.
     Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.
     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Malam Jum'at, 5 Shafar 1444 H (01-09-2022)


Hazim Al Jawiy

Jumat, 19 Agustus 2022

IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya." (QS. Al An’am/6:116).

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al A’raf/7:187).

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik." (QS. Al A’raf/7:102).
      Ibnu Mas’ud berkata:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
     Sebagian salaf mengatakan:

عليك بطريق الحق ولا تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل ولا تغتر بكثرة الهالكين

“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
     Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ سَنَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ « الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid).
     Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ »

Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
     Walau terasa asing, namun begitu indahnya jika bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.

     Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah menyebutkan bahwa umat Islam ini pasti berpecah-belah dan sudah terjadi perpecahan ditengah-tengah kaum Muslimin. Maka solusinya Nabi menyebutkan kembali kepada Al-Jama’ah yaitu kepada مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (aku dan para Shahabatku).
     Nabi memerintahkan kita untuk mengikuti cara beragamanya para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan ini hukumnya wajib. Karena para Shahabat adalah:
(1) generasi yang paling dalam ilmunya,
(2) generasi yang paling paham tentang Al-Qur’an dan Sunnah,
(3) generasi yang lebih dahulu beriman,
(4) generasi yang paling semangat mengamalkan Qur’an dan Sunnah,
(5) generasi yang telah berjihad untuk menegakkan agama ini,
(6) generasi yang menemani, menolong dan menjadi pembela Nabi,
(7) para Shahabat telah dijamin oleh Allah dengan surga.

     Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.


Berdoa Dan Berhakim Kepada Allah Dengan Mubahalah Sebagai Senjata Untuk Menghadapi Syaithon Pendusta Dan Ahlu Ahwa'

     Allah berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar"." (QS Al Baqarah: 111).
     Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
     Jika mereka tidak mampu mendatangkan burhan (dalil dari Kitabulloh, As Sunnah atau ijma' Ahlus Sunnah...serta tidak mampu nukilkan kalam Salaf) tapi dengan dusta dan angkuh mereka mengklaim benar, maka hendaknya harus siap jika diajak mubahalah.
     Allah berfirnan:

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim." (QS. Al Baqoroh: 94-95).
Allah berfirman:

قُلْ مَنْ كَانَ فِى الضَّلٰلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمٰنُ مَدًّا ەۚ حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

"Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.” (QS. Maryam: 75).
     Menurut tafsir Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah bahwa kalimat ini merupakan mubahalah terhadap orang-orang musyrik yang mengakui bahwa dirinya berada dalam jalan petunjuk. Semakna dengan mubahalah yang ditujukan terhadap orang-orang Yahudi seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}

"Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain. Maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Jumu'ah: 6)
Maksudnya, harapkanlah kematian semoga menimpa kami atau kalian, jika kalian mengaku bahwa diri kalian berada dalam jalan yang benar. Sesungguhnya doa ini tidak akan menimpakan mudarat terhadap diri kalian. Akan tetapi, mereka tidak mau mengatakannya.
     Sama juga dengan mubahalah yang ditujukan kepada orang-orang Nasrani yang disebutkan di dalam surat Ali Imran, saat mereka bertekad untuk tetap pada kekafirannya dan kesesatan serta pengakuannya yang berlebih-lebihan terhadap Isa putra Maryam. Mereka mengatakannya sebagai anak Allah, padahal Allah telah menyebutkan bukti dan hujjah-Nya yang mengatakan akan kehambaan Isa, dan bahwa dia adalah makhluk Adami. Allah berfirman mengenainya:

{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kalian), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian: kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 61)
Ternyata mereka pun menolak, tidak mau mengucapkannya.
     Mubahalah boleh dilakukan dengan sesama orang Islam yang menyeleweng, ahli bid’ah dan semacamnya, berlandaskan bahwa, ada beberapa dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dulu mengajak orang lain sesama umat Islam untuk mubahalah. Di antaranya:
(1) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘iddah (masa tunggu) wanita hamil. Dan sesungguhnya iddah itu selesai dengan lahirnya kehamilan, bukan dengan lebih dua masa.
(2) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘aul dalam faroidh (pembagian waris).


Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Jumat 21 Muharram 1444 H (19-08-2022)

Hazim Al Jawiy





.

Rabu, 17 Agustus 2022

HADHINAH YANG SAH Vs. RUMAH/PANTI ASUHAN (Bagian 2)





Bab VIII. Kemungkaran Panti Asuhan Tarbiyatun Nisa' (TN)

     Kemungkaran yang bisa timbul akibat panti asuhan TN diantaranya:
(1) Menyelisihi perintah Allah kepada wanita supaya tinggal di dalam rumah.
     Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَه_ [الأحزاب : 33]

“Dan hendaklah kalian(wahai para wanita) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan Rasul-Nya."  (QS. Al Ahzab 33).
     Ayat ini umum mencakup seluruh wanita, Asy-Syaukani berkata di "Fathul Qadir (3/266): "Maksudnya Allah memerintahkan para wanita untuk berdiam dan menetapi rumah-rumah mereka",
     Berkata Al-Qurthubi di Al-Jami' (4/179): makna ayat tersebut adalah perintah supaya menetapi rumah, walaupun yang diajak bicara adalah istri-istri Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam tapi masuk juga selain mereka pada perintah tersebut secara makna meskipun tidak datang dalil yang mengkhususkan seluruh wanita, bagaimana sedangkan syari'at dipenuhi dengan keharusan wanita menetapi rumahnya dan menahan diri dari keluar darinya kecuali karena daruroh."
     Dan inilah yang ma'ruf dari salaf rahmatullahi 'alaihim Apabila itu manhaj dan jalan mereka padahal keadaan mereka bagus, keimanan kuat serta aqidah mereka benar, maka bagaimana anggapanmu dengan masa sekarang ini di zaman bergejolaknya fitnah dan kerusakan yang sangat banyak.
     Apabila kita telah memahami hal ini tentu akan jelas bagi kita bahwa tinggalnya perempuan di panti asuhan TN, di luar rumahnya di mana perempuan tersebut tidak kembali ke rumahnya kecuali setelah beberapa waktu lebih dari hari yang ia keluar padanya, sama saja apakah itu jarak safar ataukah tidak, dari apa yang tidak diketahui pengamalannya dari kalangan salaf serta perbuatan tersebut menyelisihi nash ayat 33 QS Al Ahzab. Wa Allahu a'lam.
(2) Menyelisihi perkataan Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون من وجه ربها وهي في قعر بيتها

"Perempuan adalah aurat, apabila ia keluar syaitan membuatnya merasa mulia (di sisinya dan di sisi laki-laki yang memandangnya) dan keberadaannya yang paling dekat dari wajah Rabbnya manakala ia berada di rumahnya yang paling dalam." (HR. Tirmidzi (1172) dan selain beliau dari hadits ibnu Mas'ud diriwayatkan secara mauquf dan marfu' dan dishahihkan oleh jama'ah dari ahli ilmu di antaranya ibnu Khuzaimah (2685) dan ibnu Hibban (5570)).
(3) Menyelisihi perkataan Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن

"Janganlah kalian melarang para wanita untuk pergi ke mesjid dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka." HR. Abu Daud (567)
     Dalil-dalil ini dengan apa yang telah lewat menunjukkan wajibnya seorang wanita menetapi rumahnya dan diharamkan baginya keluar dari rumahnya kecuali karena keperluan yang mendesak, bersama mahramnya yang menjaganya dan tinggal bersamanya hingga ia pulang ke tempat menetapnya yaitu rumahnya sebagaimana Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam dahulu melakukannya bersama istri-istrinya ketika berhaji dan perang demikian pula para sahabat ridwanAllohu 'alaihim.
     Apabila kita telah mengetahui ini maka kita akan setuju: bahwa keluarnya perempuan ke panti asuhan TN adalah keluar yang tidak syar'i karena dia dengan keadaan yang demikian tidak menetap di dalam rumahnya bahkan tempat menetapnya dalam keadaan tadi di selain rumahnya ditambah lagi keluar ke pasar, rumah sakit dan selainnya, kadang-kadang temannya mengajaknya ke rumahnya dan seterusnya dari apa yang telah dimaklumi bersama.
      Ibnu 'Abdil Barr rahimahullah menyebutkan di kitab beliau "At-Tamhid" dari Ats-Tsaury rahimahullah bahwasanya beliau berkata: "Tiada yang lebih baik bagi seorang wanita daripada rumahnya meskipun dia sudah tua".
(4) Telah diketahui bersama kelemahan perempuan maka keluarnya ke panti asuhan TN bisa mengantarnya kepada musibah dan malapetaka yang kadang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
      Di Shahihain Al-Bukhori (6211) dan Muslim (2222) dari jalan Qatadah dari Anas radhiyAllahu 'anhu beliau berkata: Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam pernah punya pengemudi onta dengan suara namanya Anjasyah, merdu suaranya maka Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "pelan-pelan wahai anjasyah jangan kamu rusak botol-botol" berkata Qatadah: yakni para wanita yang lemah.
     Ini dalam keadaan mereka bersama kerabat dekat dan wali mereka bagaimana kiranya dengan perempuan yang jauh dari wali dan kampungnya bukankah akan lebih lemah dan lebih ditakutkan atas mereka.
(5) Telah diketahui bersama kurangnya akal para wanita, sementara jauhnya mereka dari kampung mereka selama itu tidaklah kita merasa aman atas mereka.
     Di Shahih Bukhari (304) dan Muslim (80) dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyAllohu 'anhu berkata, berkata Rosululloh shallAllohu 'alaihi wa sallam:

ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن

"Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya, lebih mampu mempengaruhi akal laki-laki yang teguh pendiriannya dari salah seorang dari kalian (wahai para wanita)."
     Dan hadits ini di Muslim dari hadits ibnu 'Umar semisalnya. Sebagian ulama berkata: "manakala wanita itu sifatnya kurang akal kecuali siapa yang Alloh rahmati, maka mereka itu kurang memikirkan akibat suatu perkara, sering bertindak sembrono ketika terjadi musibah, cepat marah dan bertengkar, sering berubah-ubah sikap dan maunya."
     Maka karena kurangnya akalnya dan jauhnya mahram dan kampungnya yang kadang dia malu kalau ia berada dikampungnya dan bersama mahramnya untuk melakukan apa yang ia tidak malu melakukannya kalau berada di luar kampungnya dan jauh dari mahramnya, sementara fitan telah meluas dikhawatirkan ia melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji sekarang atau nanti, wAllohul Musta'an.
(6) Keluarnya wanita adalah sebab fitnah.
     Syaikh Al-Islam rahimahullah berkata sebagaimana di Al-Majmu' (10/297): "Seorang wanita itu wajib untuk dijaga dan dilindungi dengan cara yang tidak wajib sepertinya pada laki-laki … maka wajib bagi perempuan menutupi dirinya dengan pakaian dan rumah yang tidak wajib bagi laki-laki. Karena keluarnya wanita adalah sebab fitnah sementara kaum laki-laki adalah pemimpin bagi mereka".
     Dan berkata Syaikh bin Baaz rahimahullah di risalahnya "Hukmu As-sufur wa Al-Hijab": "Apabila Allah melarang ummahatul mukminin dari perkara-perkara keji ini bersamaan dengan kebaikan, keimanan, dan kesucian mereka maka selain mereka (dari para wanita) itu lebih pantas untuk dilarang, diingkari dan ditakutkan bagi mereka sebab-sebab fitnah".
(7) Wanita dilarang safar atau merantau tanpa mahrom.
     Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا، وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا

Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya”. Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”. Nabi bersabda: “temanilah istrimu berhaji” (HR. Bukhari no. 1862, Muslim no. 1341).
     Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا، إلَّا وَمعهَا أَبُوهَا، أَوِ ابنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ أَخُوهَا، أَوْ ذُو مَحْرَمٍ منها

Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh melakukan safar selama 3 hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya, atau anaknya, atau suaminya, atau saudara kandungnya, atau mahramnya” (HR. Muslim no. 1340).
     Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أَنْ لاَ تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا

Seorang wanita tidak boleh bersafar selama 2 hari tanpa ditemani suaminya.” (HR. Al Bukhari no.1864, Muslim no. 827).
     Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya” (HR. Muslim no.1339).
     Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إلَّا وَمعهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ منها

Tidak halal bagi seorang wanita Muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR. Muslim no.1339).
(8) Anak gadis disyari'atkan dipingit di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali untuk hajat wajib atau darurot.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ – نُسَيْبَةَ الأَنْصَارِيَّةِ – قَالَتْ : (( أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ , وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ)) .

وَفِي لَفْظٍ : (( كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ , حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا , حَتَّى تَخْرُجَ الْحُيَّضُ , فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ , يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ)) .

العواتق : جمع “عاتق” المرأَة الشابة أَول ماتبلغ.

Dari Ummu Athiyyah Nusaibah Al-Anshariah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami pada hari raya untuk menyuruh gadis remaja keluar, dan wanita yang dipingit dalam rumah. Beliau memerintahkan bagi wanita haidh agar menjauh dari tempat shalat kaum muslimin.”
     Dalam lafazh lain, “Kami diperintahkan supaya menyuruh keluar para wanita yang dipingit dalam ruah untuk keluar pada hari raya, bahkan wanita yang sedang haidh. Mereka mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti doanya kaum laki-laki dengan mengharap berkah dan kesucian hari raya tersebut.” (HR. Bukhari, no. 971 dan Muslim, no. 890).
     Al-‘awatiq, merupakan bentuk jamak dari ‘atiq, artinya wanita gadis yang baru di awal baligh.
(9) Adanya banyak kasus seperti pacaran sesama santri, pak ustadz pacaran dengan wanita yang diajarnya, anak kyai berzina dengan santriwati dll.
Wa Allahu A'lam.


Bab IX. Kemungkaran Menitipkan Anak di Panti Asuhan Tarbiyatul Banin Wal Banat

Diantara kemungkaran akibat menitipkan anak kecil di panti Asuhan:
(1) Anak kecil tidak tinggal bersama hadhinah yang sah ini menyelisihi manhaj salaf.
(2) Memisahkan anak dengan ibunya.
     Ketika anak belum dewasa, sebaiknya ia tidak jauh dari ibunya. Beberapa hadits telah menyinggung hal ini seperti.

عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ أَبِى أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه ، يقول : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول الله إلى متى ؟ قال : « حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية »

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
    Hadits-hadits di atas sebenarnya membicarakan tentang hadhonah yaitu pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut. Namun hadits itu mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya. Dan jika anak terus dididik oleh orang tua, itu lebih manfaat dibanding dengan menyerahkannya ke panti asuhan TB. Sehingga tidak tepat ketika anak belum dewasa, anak sudah dipondokkan dan jauh dari orang tua. Pilihan terbaik adalah anak tetap dekat orang tua dan ia belajar (mengambil ilmu) di sekitar rumahnya dengan tetap orang tua memperhatikan pendidikan agamanya. Wallahu a’lam.
(3) Orang tua khianat dengan menitipkan anak kepada orang yang tidak berhak menjadi hadhinah bagi anak tersebut.


Bab X. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat: "Kami tinggal di asrama penampungan dan itu rumah kami."
Bantahan:
(1) Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan asrama pondhok sebagai rumahnya.
(2) Siapa yang bisa menjadi saksi bahwa asrama pondhok itu rumahnya?
(3)  Mana bukti kepemilikan bahwa asrama tersebut adalah miliknya?  Mungkin bisa berupa surat kepemilikan, sertifikat tanah dll. Terlebih jika asrama tersebut hasil wakaf ataupun harta yayasan.
(4) Andai asrama itu rumahnya tentu pemilik rumah berhak mengaturnya dan bukan malah diatur.? Jika benar itu rumahnya, apa boleh mahromnya masuk dan menginap disitu.?
(5) Asrama penampungan wanita dan anak secara bahasa memang tempat tinggal. Tapi termasuk rumah bid'ah yang tiada salafnya. Rumah yang tidak boleh digunakan untuk berkeluarga maka secara istilah tidak berhak disebut rumah.
(6) Jika masih tetap bersikukuh/ngeyel..silahkan mereka bersumpah bahwa asrama tersebut adalah rumahnya!!!
(7) Silahkan tanya anak kecil yang masih baik fithrohnya: apa asrama tersebut rumahnya.?
2. Syubhat: "Kami bukan musafir ataupun tinggal di perantauan, tapi muqim."
Bantahan:
(1) Andai benar itu muqim, maka anak kecil atau anak gadis walau boleh tidak tinggal bersama walinya tapi tetap wajib/ disyari'atkan tinggal bersama hadhinah yang sah.
(2) Nabi tidak memberi batas waktu seseorang dihukumi musafir dan faktanya mayoritas mereka statusnya merantau dan ada niat untuk pulang.
(3) Silahkan tanya rumah mereka di mana? Jika mereka jujur dan akalnya masih sehat tentu akan menjawab rumah mereka yaitu rumah orang tua mereka.
(4) Secara urf rumah mereka itu sebagaimana yang ada di KK atau KTP bagi yang sudah punya KTP.
3. Syubhat: "Diantara pembela panti asuhan TN berhujjah dengan hadits:
Dari Abi Sa’id rodhiallohu ‘anhu berkata:

جاءت امرأة إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك ، فاجعل لنا من نفسك ، يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله . فقال ” اجتمعن فى يوم كذا وكذا فى مكان كذا وكذا ” . فاجتمعن فأتاهن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فعلمهن مما علمه الله ثم قال ” ما منكن امرأة تقدم بين يديها من ولدها ثلاثة ، إلا كان لها حجابا من النار ” . فقالت امرأة منهن يا رسول الله اثنين قال فأعادتها مرتين ثم قال ” واثنين واثنين واثنين ” [رواه البخارى – (7310)].

Ada seorang perempuan mendatangi rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  sembari berkata: Wahai rosululloh para lelaki mereka menimba ilmu darimu maka luangkanlah barang sehari dari waktumu untuk mengajari kami dengan apa yang telah Alloh ajarkan kepadamu.
Maka beliaupun menyambutnya dengan baik seraya berkata:” Kumpullah kalian pada hari ini dan itu ditempat ini dan itu.”
Maka berkumpullah mereka dan rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  pun mendatangi mereka dan mengajari mereka dengan apa yang Alloh ajarkan kepadanya, diantara apa yang diajarkan beliau adalah : “Tidaklah diantara kalian yang didahului oleh tiga anaknya kecuali mereka akan menjadi penghalang dari neraka.”
Maka ada salah seorang diantara mereka yang menyela: Bagaimana kalau dua anak wahai Rosululloh, dia ulang ipertanyaannya dua kali, maka beliau menjawab : “Iya, walaupun dua, walaupun dua, walaupun dua.”  (Muttafaqun ‘Alaih).
Bantahan: pengambilan dalil di atas tidak tepat karena:
(1) Para shohabiyah hanya menghadirinya beberapa saat dalam sepekan. Adapun panti asuhan TN tidak cuma dua atau tiga hari dalam sepekan akan tetapi ada yang sampai bertahun-tahun tidak pulang.
(2) Mereka berkumpul di rumah salah seorang shohabiyah dan tidak ada istilah menginap, apabila telah usai mereka pulang kerumah masing-masing. Adapun panti asuhan TN mereka bisa tinggal di asrama sepuasnya.
(3) Setelah mereka berkumpul, maka Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  mengajari mereka setelah itu bubar. Adapun panti asuhan TN mereka kondisinya tidak sama dengan kondisi zaman rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam , bahkan ada yang mengkoordinasi siapa yang bakal ngajari mereka .
(4) Mereka berkumpul tidak ada pendaftarannya, adapun panti asuhan TN mereka banyak syarat dan aturan yang tidak syar’i.
(5) Mereka berkumpul atas kesadaran pribadi masing-masing karena butuhnya terhadap ilmu, adapun panti asuhan TN mereka ada yang datangnya karena aturan asrama, atau karena kabur dari rumah orang tuanya atau karena menghindari problema keluarga, bahkan ada yang sekedar menunggu calon suami, dan yang lebih parahnya karena ingin menjadi mudiroh .
(6) Tidak ada dikalangan shohabiyah yang berkumpul di salah satu rumah mereka untuk ta’lim dengan memakai istilah mudiroh, bendahara, sekretaris dan seksi-seksi lainnya, adapun di panti asuhan TN mereka itu semua merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi, karena adanya perkumpulan orang banyak kalau tidak ada pengkordinir akan amburadul,.
(7) Metode yang dilakukan Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  dan para shohabiyat tidak ada takalluf sama sekali, tidak perlu bangunan khusus, tidak perlu asrama, tidak perlu menyediakan ini dan itu, dimanapun mereka mendapatkan tempat yang layak untuk belajar bagi wanita mereka berkumpul disana. Adapun panti asuhan TN mereka terlalu membebani diri, baik beban bagi para pengurus, atau beban bagi orang tua santriwati.
(8) Yang diajarkan Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam dan yang diminta oleh para shohabiyah adalah ilmu akherat, ilmu yang Alloh ajarkan kepada nabiNya Shallallahu Alaihi Wasallam. Adapun mata pelajaran panti asuhan TN mereka disisipi dengan banyak ilmu dunia, ilmu masak, ilmu menjahit, dll, bahkan ada diantara panti asuhan TN yang mengajarkan ilmu senam aerobik model barat (karena tasyabbuh dengan orang kafir). Adapun ilmu dien kadang anjurannya agar untuk mencapai rangking.
(9) Shohabiyah yang belajar bersama Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  tidak tertentu umurnya, bahkan rata-rata para ummahat karena kalau masih gadis mereka dipingit, adapun panti asuhan TN sebaliknya, mayoritas para gadis, sedangkan kalau sudah menjadi ummahat maka sudah pensiun dari belajar untuk ngurusi anak-anak, kecuali kalau menjadi mudiroh atau ustadzah, kecuali yang Alloh rohmati.
     Dari perbedaan-perbedaan tersebut jelaslah bahwa argumentasi mereka dengan dalil hadits diatas untuk bolehnya mendirikan panti asuhan TN adalah sangat jauh dari kebenaran. Bahkan lebih tepatnya hadits tersebut justru sebagai bantahan atas bolehnya mendirikan panti asuhan TN.
4. Syubhat: "Wanita boleh mengerjakan haji wajib walau tanpa mahrom berdasarkan  ayat:

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

"Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. Ali Imron: 97)."
Bantahan:
(1) Taruhlah pendapat tersebut yang benar, bagaimana haji wajib bisa diqiaskan dengan safarnya wanita untuk tafaqquh fiddin yang tidak wajib bagi wanita.?
(2) Untuk haji sunnah terdapat ijma' wanita tidak boleh safar tanpa mahrom. Jika untuk haji sunnah saja terdapat ijma' tidak boleh safar tanpa mahrom, maka lebih haram lagi jika safarnya untuk urusan bid'ah panti asuhan.
(3) Wanita jika mengerjakan haji wajib apabila tidak punya mahrom, hendaknya berangkat bersama rombongan yang dipimpin amir/orang yang ditunjuk ulil amri. Sehingga tidak bisa diqiaskan dengan keluarnya wanita ke panti asuhan.
5. Syubhat: "Anas bin Malik menjadi pelayan Nabi."
BantahanAnas bin Malik menjadi pelayan Nabi itu bukan dalil bolehnya panti asuhan anak TB dikarenakan:
(1) Ummu Sulaim menghadiahkan Anas kecil kepada Nabi karena tidak punya sesuatu yang bisa dihadiahkan untuk Nabi.
(2) Nabi selain punya kedudukan sebagai rosul Allah juga sebagai pemimpin ummat dan punya hak memutuskan siapa yang lebih layak menjadi hadhin.
(3) Ummu Sulaim (ibu Anas) dan ummu Harom keduanya dengan Nabi masih ada hubungan mahrom, sehingga Nabi pun biasa masuk ke rumah ummu Sulaim.
(4) Anas kecil dalam keadaan muqim dan bisa menemui ibunya sewaktu-waktu. Sehingga andai Anas sakit bisa dirawat ibunya.
(5) Kisah Anas bin Malik tersebut justru dalil bahwa Nabi tidak punya panti asuhan.
6. Syubhat: "Diantara pak ustadz pembela panti asuhan di Sugihan berhujjah dengan hadits:
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذُوْا عَنِّي خُذُوْا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar. (Apabila berzina) jejaka dengan gadis (maka haddnya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang sudah menikah (maka hadd-nya) dicambuk seratus kali dan dirajam.” (HR. Muslim, no. 1690)
Bantahan:
(1) Apa putrinya pak ustadz Abu Mas'ud dan  putri para pendukung TN yang tinggal di panti asuhan mau jika statusnya kita samakan seperti pezina yang belum nikah.?
(2) Pezina yang belum nikah itu diasingkan dengan tujuan sebagai hukuman tambahan. Kenapa putri pak ustadz Abu Mas'ud dkk tidak dicambuk dulu akibat bermaksiat  kemudian diasingkan di panti asuhan.??  Jika main qias dan mengambil hukum jangan setengah-setengah.
(3) Setahu kita penerapan hukuman pengasingan bagi pezina yang belum nikah itu ditemani mahrom. Jika tiada mahrom yang menemani maka cukup dengan hukuman cambuk 100 kali. Itu yang diamalkan salaf. Wa Allahu a'lam.
7. Syubhat: Diantara mereka berhujjah dengan kisah wanita budak boleh tinggal dan tidur di Masjid.

وَعَنْهَا: أَنَّ وَلِيدَةً سَوْدَاءَ كَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ، فَكَانَتْ تَأْتِيني، فَتَحَدَّثُ عِنْدِي… الْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam mempunyai tenda di dalam masjid, ia sering datang kepadaku dan bercakap-cakap kepadaku. Al-Hadits. (Muttafaqun ‘alaih).
Bantahan:
(1) Budak wanita tersebut berkulit hitam dan sudah tua (tidak haid) menurut keterangan ulama. Bagaimana bisa disamakan dengan gadis merdeka dan masih muda?
(2) Ummahatul mukminin lebih berhak diteladani daripada wanita budak tersebut. Siapa yang tidak sepakat sehingga lebih mengidolakan dan mengikuti wanita budak hitam dan tua tersebut?
(3) Hadits tersebut sama sekali bukan dalil bolehnya panti asuhan. Jika ingin mengikuti jejak wanita budak tersebut..apabila sudah tua dan tidak haidh, maka silahkan jika mau tinggal di masjid kampung. Jangan gemar merantau tanpa mahrom seperti wanita liar yang tidak punya malu dan tidak punya muru'ah ataupun harga diri.
Wa Allahu a'lam.


Bab XI. Penutup

Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"  (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين







Blora,  19 Muharrom 1444 H (17-08-2022)





Hazim Al Jawiy







"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...