Jumat, 10 Februari 2023

Pemahaman Sifat Rahmah Yang Benar




 

Bersifat Rahmah




 

Jam'iyyah/Muassasah/Majmu'ah Salafiyyah Bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



 

Jam'iyyah/Muassasah/Majmu'ah Salafiyyah Bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

☆ Larangan Tafarruq (Ber-firqah-firqah)

     Allah Ta’ala berfirman :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara." (QS. Ali Imran:103).

     Al Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah berkata, "Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqoh. Diantaranya terdapat satu firqoh najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi dan para shahabat beliau." (Tafsir Al Qur'anil 'Azhim, surat Ali Imron: 103).

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rosulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih). 

☆ Waspadalah Terhadap Jam'iyyah/Muassasah/Majmu'ah Salafiyyah





     Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin rohimahullah berkata, "Jika banyak golongan-golongan (hizbiyyah), maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan seperti Khowarij, Mu'tazilah, Jahmiyyah, dan Rofidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai golongan seperti ikhwaniyyun, salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok, jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rosul shollallahu ‘alaihi wa sallam katakan: ‘Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur rosyidin."
Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya, mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh untuk mengikuti Al Qu'ran dan Sunnah Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum adalah dinul Islam.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309).

☆ Apa Dibenarkan Penisbatan Dengan Salafiyyah/Salafiyyun?

(1) Penisbatan Salafiyyah/Salafiyun, setahu kita tidak ada salafnya. Ahlus Sunnah yang berpegang kepada Aqidah Salaf ataupun manhaj Salafush Sholih, tiada nukilan menamakan diri Salafiyyah/Salafiyun. Andai itu dibolehkan maka penamaan Muhammadiyyah ataupun Ashhabiyah tentu lebih utama.?

(2) Jika ada yang berhujjah atau mengqiaskan dengan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan sebagainya..maka itu hanya digunakan dalam perkara seputar fiqh. Andai ada seorang muslim dalam perkara fiqh banyak mencocoki imam Asy Syafi'i apa kemudian boleh kita katakan Syafi'iyyah.?

(3) Istilah ikhtilaf itu ada perbedaan makna dengan iftirraq. Ahlus Sunnah memahami ikhtilaf itu rohmat sedang iftirraq itu adzab. Ikhtilaf itu termasuk rahmat Allah kepada umat ini yang diberi rukhshoh sehingga yang salah pun insya Allah tetap mendapat pahala dan ampunan. Seperti khilaf mu'tabar dalam perkara fiqh, masing-masing pendapat berpegang dalil tapi ada perbedaan pemahaman bukan karena mengikuti hawa nafsu.

اخْتِلَافُ أمَّتي رَحْمَةٌ

Walau haditsnya dho'if/maudhu' tapi insya Allah kandungan maknanya tidak batil. Telah diriwayatkan dari Umar bin Abdul Azis bahwa dia berkata :

لاَ يَسُرُّنِيْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوْا؛ لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ

“Aku tidak suka bila para sahabat Muhammad ﷺ tidak berselisih (pendapat) karena bila mereka tidak berselisih maka tidak akan ada rukhshah (keringanan).”

    Sedang iftirraq itu adzab dan tercela yang telah Allah taqdirkan terjadi pada ummat ini. Termasuk perpecahan antar hizb Salafiyyah/Salafiyyun itu iftirraq yang tercela dan insya Allah termasuk adzab akibat dosa. Wa Allahu a'lam.

(4) Setahu kita tidak ada ketua dan pengurus madzhab Syafi'iyyah. Tidak sebagaimana jam'iyyah Salafiyyah yang teroganisir dan ada kepengurusan.


☆ Ciri-ciri Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Vs Salafiyyah Wal Jam'iyyah

(1)  Bersatu Di Atas Kebenaran

     Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).

     Allah ta’ala berfirman :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).

     Ciri Ahlus Sunnah tidak berpecah belah atau berfirqah-firqah. Sedang fakta hizb Salafiyyah di Indonesia suka berpecah belah atau berkelompok-kelompok dengan mendirikan jam'iyyah, muassasah, dan semisal.

(2) Taat kepada Allah dan Nabi serta mengikuti kebenaran

     Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).

     Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).

     Allah ta’ala berfirman :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10).

    Kita lihat fakta hizb Salafiyyah di Indonesia gemar menyelisihi jalan orang-orang beriman. Mereka gemar mengadakan bid'ah jam'iyyah/muassasah, panti/pondhok asuhan, serta gemar nerjang maksiat yaitu menghalalkan shuroh bernyawa, wanita merantau tanpa mahram atau hadhinah yang sah, mencari ilmu dengan tujuan dunia ataupun ijazah, tasawwul/minta-minta untuk kepentingan hizb dan lain-lain. Tanpa bisa sebutkan dalil dan salafnya.

3. Taat Kepada Ulil Amri
    
     Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

     Ahlus Sunnah wajib taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat. Tapi fakta hizb salafiyyah banyak yang gemar membangkang dan tafarruq dengan mengadakan sholat Jum'at sendiri yang mana itu tiada salafnya serta menyilisihi Aqidah Ahlus Sunnah ataupun Ushulus Sunnah yang memerintahkan sholat Jum'at ma'al umara'.

(4)  Menjunjung tinngi tauhid

     Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)

    Kita lihat fakta hizb Salafiyyah banyak yang gemar menyembah thoghut dengan taqlid dan mentaati akabirnya dalam perkara yang Allah haramkan seperti shuroh bernyawa, tafarruq mengadakan sholat Jum'at sendiri, panti asuhan, mengemis dan lain-lain tanpa mampu sebutkan dalil serta salafnya.

(5) Ahlus Sunnah membenarkan Aqidah dan Ushulus Sunnah yang telah disepakati.

     Kita lihat fakta hizb Salafiyyah menyelisihi sebagian Aqidah Ahlus Sunnah ataupun Ushulus Sunnah. As Sunnah memerintahkan sholat Jum'at ma'al umaro' sebagaimana pengamalan salaful ummah. Tidak tafarruq mengadakan sholat Jum'at sendiri ala hizbiyyah.

(6) Meniti jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan jalan para sahabatnya, bersandar pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, yaitu generasi pertama umat ini dari kalangan sahabat, tabiin, dan generasi setelah mereka.

     Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. al-BukhariMuslim, dan Ahmad)

     Kita lihat faktanya hizb Salafiyyah/Salafiyyun gemar tafarruq mengadakan sholat Jum'at sendiri, mendirikan jam'iyyah, panti asuhan dll yang tiada dalil dan salafnya.

(7) Lebih mendahulukan ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul shallallahu alaihi wa sallam daripada ucapan selainnya.

     Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)

     Kita lihat fakta hizb Salafiyyah sering lebih mendahulukan perkataan Akabirnya dan hawa nafsu daripada mendahulukan Allah dan Nabi. Mereka juga banyak yang tidak punya rasa malu nerjang bid'ah dan maksiat bukan karena darurot ataupun hajat wajib. Di sekolah mereka diajarkan Ilmu Pengetahuan Ateisme/IPA yang jauh lebih buruk daripada PMP. Seperti alam tercipta tanpa ada sang Pencipta, teori abiogenesis dan biogenesis, teori manusia dari kera, bumi mengelilingi matahari, hukum kekekalan energi yang tidak bisa dimusnahkan dan teori-teori kufur lainnya. Nabi melarang shuroh makhluq bernyawa, tapi firqah Salafiyyah banyak yang menghalalkan tanpa secuil dalil. Nabi mengajarkan agar anak kecil dan gadis tinggal bersama hadhinah yang sah. Tapi kelompok salafiyyun banyak yang menitipkan anaknya di panti asuhan atau tempat penitipan anak. Padahal tiada dalil dan salafnya. Itu semua karena mendahulukan perkataan akabir dan hawa nafsunya.?




Bersambung...insya Allah.

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah





 

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

     Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang, kelompok atau firqoh (jam'iyyah/hizbiyyah) yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah.  Sebuah pengakuan-pengakuan tanpa hujjah dan burhan. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang.

☆ Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

     Kata “Ahlus Sunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu "Ahlu" dan kata "As Sunnah". Ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. As Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.

     Ibnu Rojab al-Hambali rahimahullah berkata :

وَالسُّنَّةُ: هِيَ الطَّرِيقَةُ الْمَسْلُوكَةُ، فَيَشْمَلُ ذَلِكَ التَّمَسُّكَ بِمَا ‌كَانَ ‌عَلَيْهِ ‌هُوَ ‌وَخُلَفَاؤُهُ ‌الرَّاشِدُونَ ‌مِنَ ‌الِاعْتِقَادَاتِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَقْوَالِ، وَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ الْكَامِلَةُ

As-Sunnah adalah jalan yang diikuti; dan itu meliputi berpegang teguh dengan apa yang menjadi keyakinan, perkataan dan amalan, baik dari Rosuulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maupun para Al-Khulafa’ ar-Rosyidun. Inilah As Sunnah yang sempurna.” (lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/120, Ibnu Rojab al-Hambali wafat 795 H).

     Dengan demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Sebagaimana Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (Sunnah) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis hal.16)

     Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, Tabi'in dan para ulama yang mengamalkan As Sunnah sampai hari kiamat.

     Rasulullah  bersabda:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah.” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

     Rasulullah ﷺ juga bersabda :

عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن

Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena syaithan itu bersama orang yang bersendirian dan syaithan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min.” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)

     Dan ketahuilah tolok ukur "Al Jama'ah" itu bukan banyaknya jumlah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan al haq (kebenaran) walaupun engkau sendirian.” Dalam riwayat lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala.” (lihat Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)

     Jadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah  tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah  tentang satu golongan yang selamat :

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَاب

”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para shahabatku.”

Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

     Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala :

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” (QS. Ali ‘Imran : 106).

وقوله تعالى : { يوم تبيض وجوه وتسود وجوه } يعني : يوم القيامة ، حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة ، وتسود وجوه أهل البدعة والفرقة ، قاله ابن عباس ، رضي الله عنهما .
{ فأما الذين اسودت وجوههم أكفرتم بعد إيمانكم } قال الحسن البصري : وهم المنافقون : { فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون } وهذا الوصف يعم كل كافر .

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan furqoh (perpecahan). Demikianlah menurut tafsir Ibnu Abbas radhiyaallahu 'anhuma.
Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan), "Mengapa kalian kafir sesudah kalian beriman?"
Menurut Al-Hasan Al-Basri, mereka adalah orang-orang munafik. "Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu." Dan gambaran ini bersifat umum menyangkut semua orang kafir.
.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh para ulama generasi Tabi'in dan setelahnya.

     Imam Malik rohimahullooh berkata, saat ditanya siapa mereka “Ahlus Sunnah” itu:

الذين ‌ليس ‌لهم ‌لقب ‌يعرفون به، لا جهمي ولا رافضي ولا قدري

Mereka yang tidak memiliki julukan yang dikenal; mereka bukan Jahmy (pengikut firqoh Jahmiyyah), bukan Rofidzy (pengikut firqoh Rofidhoh), bukan pula Qodary (pengikut firqoh Qodariyyah).” (Al-Qodhi ‘Iyadh [wafat 544 H], Tartibul Madarik wa Taqribil Masali, 2/41)

     Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhum hingga pada masa sekarang ini…”

☆ Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Yang Sejati?

     Dalam hadits Iftiraaqul-Ummah disebutkan :

تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: «ما أنا عليه وأصحابي

“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2641) dan berkata :

هذا حديث حسن غريب مفسر لا نعرفه مثل هذا إلا هذا الوجه.

“Ini adalah hadits hasan ghariib mufassar (yang dijelaskan. Kami tidak mengetahui hadits yang seperti ini kecuali dari sisi ini”.

     Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para shahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. 

     Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan. Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah: ”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174). Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan Sunnah dalam setiap aspek kehidupannya. Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan As Sunnah. Jangan sampai menjadi seperti yang digambarkan dalam sebuah syair,

وَكُلٌّ يَدَّعِي وَصْلًا بِلَيْلَى        وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا

"Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila,
tetapi Laila tidak pernah mengakui hal itu."
Maknanya, sebatas pengakuan tidaklah ada artinya apabila dirinya jauh dari kenyataan.

      Allah Ta’ala berfirman :

ذٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِّنَ الْعِلْمِۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖۙ وَهُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدٰى

 ”Itulah kadar ilmu mereka. Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An Najm : 30).
Wal Allahu a'lam.

Rabu, 01 Februari 2023

Larangan Mencela Seorang Muslim Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan


 





Larangan Mencela Seorang Muslim Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

     Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan firman Allah: 
{وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ}
"dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." (QS. Al-Hujurat: 11). Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ}
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (An-Nisa: 29). Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

 عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِبَابُ المٌسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْر

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyaallahu 'anhu berkata, “Rasulullah   bersabda, ‘Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

     Rasulullah mengatakan bahwa mencela seorang muslim merupakan kefasikan. Di dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menggunakan kata سِبَابُ  yang artinya mencela. Dalam bahasa Arab dikenal istilah سَبٌّ  dan سِبَابٌ  dan para ulama membedakan makna keduanya. Kata سَبٌّ artinya mencela seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya. Sedangkan kata سِبَابٌ maknanya lebih parah, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak memperdulikan lagi apakah aib tersebut ada padanya atau tidak. Inilah yang merupakan kefasikan. Ini adalah pendapat Ibrahim al-Harbi. Di antara ulama ada juga yang tidak membedakan antara سب dengan سباب. (Lihat: Fath al-Bari, 1/112.)


Hukum Mencela Para Shahabat Nabi

     Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَىْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِى فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ »

Dahulu terjadi sesuatu hal antara Kholid bin Walid dan Abdur Rohman bin ‘Auf. Kemudian Khalid bin Walid mencaci Abdur Rahman bin ‘Auf”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci salah seorang dari sahabatku karena seandainya seseorang dari kalian berinfaq dengan emas seukuran Gunung Uhud maka (pahalanya) tidak dapat menyamai infaq para sahabatku dengan ukuran 1 mud (takaran untuk dua gengaman tangan normal) ataupun setengahnya” (HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim)

     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

"Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah." (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469 dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469.)

     Wasiat ini ditegaskan lagi oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمُقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ عُمْرَهُ

“Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Berdirinya salah seorang dari mereka sejam saja (dalam shalat) jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian selama hidupnya.” (HR. Ibnu Majah no. 162 dan dihasankan oleh al-Albani).

     Berdasarkan hadits di atas, hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al Qur’an, maka para ulama sepakat hukum mencela para sahabat Nabi adalah haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Maka seseorang tidak boleh mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum dan secara khusus personal mereka. Jika dia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum maka ia telah kafir bahkan tidaklah diragukan kafirnya orang yang meragukan kekafiran orang yang semisal ini." (lihat Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin)


Hukum Mencela Seorang Muslim Dan Perinciannya

     Terkait mencela seorang muslim, setidaknya ada 3 golongan manusia: (1) Yang pertama ada golongan yang melampaui batas sehingga sampai mencela para Shahabat Nabi (seperti Khawarij dan Rafidhoh). (2) Kedua golongan yang melarang mencela secara mutlaq. Itu pun mereka tidak konsisten dalam pengamalan..karena tujuan mereka sebenarnya agar tidak ditahdzir. Dalam prakteknya mereka sendiri gemar mencela lawannya atau orang yang mereka benci. (3) Sedang Ahlus Sunnah pertengahan. Ahlus Sunnah meyakini yang tidak boleh dicela secara mutlaq adalah para shahabat Nabi karena telah mendapat tazkiyah dari Allah dan Nabi. Adapun selainnya maka ada perincian :

1. Hukum Mencela Orang Sholih, Orang Mukmin Yang Tidak Bersalah Dan Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Ajaran Nabi

    Berdasarkan keumuman dalil larangan mencela seorang muslim, Ahlus Sunnah sepakat bahwa mencela orang sholih, orang mukmin yang tidak bersalah ataupun mencela orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi adalah haram.

2. Hukum Mencela Orang Yang Sudah Taubat

     Kita tidak boleh mencela orang yang benar-benar sudah taubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim tentang kisah seorang perempuan pezina dari suku Ghamidiyah yang taubat. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni." Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya."

    Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.

     Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. (Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.)

     Menasihati seseorang itu beda dengan menjelek-jelekkan. Menasihati berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain. Kaum muslimin dilarang sombong, merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.

     Ketika seorang hamba telah melakukan perbuatan dosa kemudian dia memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilarang bagi kita untuk menghina dan menjadikannya bahan pembicaraan atau ghibah. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwasannya kita akan melakukan perbuatan yang sama.

     Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata :

ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin 1: 176). Bahkan, menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, dosa yang menghina lebih besar daripada orang yang melakukan dosa tersebut.

أَنْ تَعْبِيْرَكَ لِأَخِيْكَ بِذَنْبِهِ أَعْظَمُ إِثْمًا مِنْ ذَنْبِهِ وَ ٱَشَدُّ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لِمَا فٍيْهِ مَنْ صُوْلَةُ الطَّاعَةَ وَ تَزْكِيَةَ النَّفْسِ

“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan  saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” (Madarijus Salikin 1: 177-178)

     Hal senada diungkapkan oleh salah seorang tabi’in (generasi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu Hasan Al Bashri.

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ مَنْ رَّمَى أَخَاهُ بِذَنْبِ قَدْ تَابَ إِلَى اللّٰهِ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَبْتَلِيْهِ اللّٰهُ بِهِ

“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut,” (Ash-Shamt)

3. Hukum Mencela Orang Yang Bermaksiat Yang Masih Punya Rasa Malu

     Jika ada seorang muslim yang terjatuh zina, minum khamr, mencuri dan lain-lain selama masih punya rasa malu maka tidak boleh dicela berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Karena bisa jadi Allah taqdirkan mereka terkalahkan syahwat agar tidak memiliki rasa ujub pada dirinya. Lain perkara terhadap orang yang sengaja menampakkan maksiat dan telah lepas pakaian rasa malu pada diri mereka, maka boleh dicela.

4. Hukum Mencela Orang Yang Melakukan Kesalahan Karena Tidak Tahu/Tidak Disengaja
    
     Berdasarkan keumuman dalil maka hukum asal mencela seorang muslim yang melakukan kesalahan karena tidak sengaja adalah dilarang. Nabi juga bersabda :


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ  عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ  تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), dll)

5. Hukum Mencela Orang Fajir Yang Tidak Punya Rasa Malu Atau Mencela Dengan Tujuan Tahdzir Kebathilan Dan Ahlu Ahwa'

     Mencela seorang muslim hukum asalnya dilarang berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan menggembar-gemborkan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ  bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ

“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” (HR. Bukhari, no. 6069)

     Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak terhitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya.

     Demikan juga kita dibolehkan mencela dengan tujuan tahdzir. Dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ

Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibn Majah 173 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

      Yunus bin Abdul A’la rahimahullah mengatakan:

سمعت الشافعي إذا ذكر الرافضة عابهم أشد العيب, فيقول: شر عصابة

Aku pernah mendengar Imam Syafi’i, bila menyebut kelompok Syiah Rafidhah, beliau mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan: “mereka itu komplotan yang paling jahat!” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468)

Ahlus Sunnah Diwajibkan Tahdzir Kebathilan


 



Ahlus Sunnah Diwajibkan Tahdzir Kebathilan


     Tahdzir adalah memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.

     Allah Ta’ala berfirman :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran: 104). Ayat tersebut menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَلَا رَسُولُ اللَّهِ[: {هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ[: «إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ».

Dari 'Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat ini; “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata; Kami beriman kepada Al Qur’an seluruhnya dari Rabb kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal pikiran. (Ali Imran: 7). Aisyah berkata; kemudian Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, maka tahdzirlah (hindari; peringatkan orang akan bahaya) mereka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

     Syariat tahdzir akan tetap berlaku dalam setiap waktu dan tempat. Hanya saja berbeda-beda penerapannya sesuai kemampuan orangnya. Sama seperti penyikapan terhadap kemunkaran: jika mampu maka dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan. Jika tidak mampu maka dengan hati.

     Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunah-sunnah dan mengikuti perintah-perintahnya, kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan lisan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan hati melawan mereka maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan meski sebiji sawi.” (H.R Muslim dari Ibnu Mas’ud)

     Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ, يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ, وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ, وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ

“Yang membawa ilmu agama ini pada setiap zaman adalah orang-orang terbaiknya, mereka menolak penyimpangan orang-orang yang berlebihan dalam agama, (membantah) para penghapus (agama) dan (meluruskan) takwil orang-orang jahil.” (HR. Al-Baihaqi dari Ibrahim bin AbdirRahman Al-‘Udzri, Al-Misykah: 248)

     Ketika dikatakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

إنه يثقل علي أن أقول فلان كذا وفلان كذا. فقال: إذا سكت أنت وسكت أنا؛ فمتى يعرف الجاهل الصحيح من السقيم؟!

“Sesungguhnya berat atasku untuk mengatakan Fulan begini dan Fulan begitu. Maka Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: Kalau engkau diam dan aku juga diam, maka bagaimana orang jahil bisa mengetahui hadits shahih dan tidak shahih.?”  (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Dalam kesempatan yang lain juga ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :

الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَعْتَكِفُ أَحَبُّ إلَيْك أَوْ يَتَكَلَّمُ فِي أَهْلِ الْبِدَعِ؟ فَقَالَ: إذَا صامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ فَإِنَّمَا هُوَ لِنَفْسِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ فِي أَهْلِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُسْلِمِينَ هَذَا أَفْضَلُ

“Apakah orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf lebih engkau sukai ataukah yang berbicara tentang kejelekan ahlul bid’ah? Maka beliau berkata: Apabila ia berpuasa, sholat dan i’tikaf, hanyalah manfaatnya untuk dirinya sendiri, namun apabila ia berbicara tentang kejelekan ahlul bid’ah, manfaatnya untuk kaum muslimin, maka ini lebih baik.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

وَمِثْلُ أَئِمَّةِ الْبِدَعِ مِنْ أَهْلِ الْمَقَالَاتِ الْمُخَالِفَةِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوْ الْعِبَادَاتِ الْمُخَالِفَةِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؛ فَإِنَّ بَيَانَ حَالِهِمْ وَتَحْذِيرَ الْأُمَّةِ مِنْهُمْ وَاجِبٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ

“Dan semisal para imam bid’ah pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan men-tahdzir umat dari mereka adalah wajib menurut kesepakatan (ulama) kaum muslimin.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata :

الداعية الذي لا يحذر من دعاة الضلال يعتبر من الكاتمين للعلم

“Seorang da’i yang tidak men-tahdzir (mengingatkan bahaya kesesatan) para da’i sesat, termasuk orang-orang yang menyembunyikan ilmu.”

Wa Allahu a'lam.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...