Puasa Bukan Ibadah Jama'i (Sebagaimana Dzikir Ba'da Sholat)
Berpuasalah Jika Kalian Melihat Hilal Dan
Kerjakan Sholat 'Id Berjamaah Bersama Umara'
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala :
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
وَقَوْلُهُ: ﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ هَذَا إِيجَابُ حَتْمٍ عَلَى مَنْ شَهِدَ اسْتِهْلَالَ الشَّهْرِ -أَيْ كَانَ مُقِيمًا فِي الْبَلَدِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ، وَهُوَ صَحِيحٌ فِي بَدَنِهِ -أَنْ يَصُومَ لَا مَحَالَةَ.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan :
"Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185). Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa." (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان
“Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).
Cara Menentukan Awal Bulan Dengan Ru'yat, Bukan Dengan Hisab Dan Tidak Memerlukan Koreksi Dengan Hasil Hisab Yang Tidak Ilmiah
Ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ :
صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
Nabi ﷺ juga bersabda:
لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka (berhari raya) hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)
Nabi kita ﷺ yang menjadi uswah dalam kita beragama telah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.)
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Atau dengan kata lain, ini bukanlah perkara khilafiyah di kalangan para ulama. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Perbedaan Mathla' Dalam Tinjauan Syari'at
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan sampai delapan madzhab (lihat Ad-Daroril Mudiyyah 2/172). Akan tapi secara garis besar ada 4 pendapat yang masyhur dan kuat dalam masalah ini :
(1) Pendapat pertama: Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukany, Ibnu Baz dan Al-Albany Rahimahumullohu Ta’ala
(2) Pendapat kedua: Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah. Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’ adalah tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan mereka dapat melihat hilal.
(3) Pendapat ketiga : Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq.
Negeri-negeri yang berdekatan dalam waktu terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. Ini adalah Mazhab Syafi’iyyah, salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin, Muqbil dan lainnya Rahimahumullohu Ta’ala. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dinukil dua pendapat dari beliau. Dalam Majmu’ul Fatawa dengan pendapat pertama dan dalam Al-Ikhtiyaarot dengan pendapat kedua.
(4) Pendapat keempat : Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa. Ini adalah pendapatnya Ibnu Majisyun Rahimahullah.
Sebab terjadinya silang pendapat ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah pada penetapan awal bulan. Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (silakan lihat Majmu’ Fatawa (XXV/105), Asy Syaukani (silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210), Syaikh Al Albani (Silahkan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398)) dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya (hilal Syawwal). Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari." (HR Bukhory-Muslim)
Dan hadits:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih qurban."
Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari’at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.
Kemudian penting untuk ditekankan di sini, bahwa ketika seseorang mengambil pendapat pertama dan menyelisihi pemerintah, bukan berarti mereka keluar dari manhaj Ahlus Sunnah karena tidak taat pada pemerintah. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa ketaatan kepada pemerintah terbatas pada perkara-perkara yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul Nya. Apabila seseorang telah yakin tentang masuknya bulan Ramadhan berdasarkan ru’yah sehingga kemudian puasa demi mentaati Allah dan RasulNya, bagaimana mungkin harus meninggalkannya dengan alasan taat pemerintah?
Puasa Ramadhan Bukan Ibadah Jama'i Sebagaimana Dzikir Ba'da Sholat Bukan Ibadah Jama'i
Puasa Ramadhon bukan ibadah jama'i sehingga puasa bisa dikerjakan sendiri-sendiri walau tiada imam, sebagaimana dzikir ba'da sholat bukan ibadah jama'i. Tidak seperti anggapan sebagian hizb Salafiyyah, banyak dari mereka mengatakan puasa adalah ibadah jama'i yang mana konsekwensinya makan sahur dan buka puasanya pun wajib bersama umara' dengan ditandai komando bid'ah imsakiyah.
Ibadah puasa kita tetap sah andai umara' tiada yang puasa. Pada zaman Nabi pun ketika berangkat jihad bulan Ramadhan, sebagian shahabat berpuasa dan sebagian lainnya tidak puasa itu tiada dipermasalahkan. Sebagaimana kisah dalam riwayat Muslim
عن قزعة قال : أتيت أبا سعيد الخدري رضي الله عنه وهو مكسور عليه. فلما تفرق الناس عنه، قلت: إني لا أسألك عما يسألك هؤلاء عنه. سألته عن الصوم في السفر ؟ فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى مكة ونحن صيام. قال: فنزلنا منزلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إنكم قد دنوتم من عدوكم والفطر أقوى لكم”. فكانت رخصة. فمنا من صام ومنا من أفطر. ثم نزلنا منزلا آخر. فقال: “إنكم مصبحوا عدوكم. والفطر أقوى لكم، فأفطروا” وكانت عزمة. فأفطرنا. ثم قال: رأيتنا نصوم، مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد ذلك، في السفر.
Dari Faza’ah ia berkata, “Aku pernah datang kepada Abu Said Al-Khudri ketika ia sedang menerima tamu yang banyak. Setelah para tamu sudah bubar, aku katakan kepada Abu Said, ‘Aku tidak menanyakan kepadamu apa yang ditanyakan oleh mereka tadi. Aku menanyakan perihal puasa ketika safar’.
Maka Abu Said berkata, “Kami pernah melakukan safar menuju Makkah bersama Rasulullah ﷺ ketika kami sedang berpuasa. Lalu kami berhenti di suatu tempat. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda :
‘"Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh kalian dan berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian."
Hal itu merupakan rukhshah (keringanan). Sebagian dari kami ada yang berpuasa, dan sebagian yang lain ada yang berbuka. Kemudian kami berhenti lagi di tempat lain. Beliau ﷺ kembali bersabda,
‘Sungguh, kalian besok pagi akan menghadapi musuh, dan berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian. Oleh karena itu, berbukalah kalian !’.
Lalu kami pun berbuka. Setelah peristiwa itu, aku ketahui bahwa kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ ketika safar” (HR. Muslim no. 1120)
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang kasus orang yang melihat hilal sendiri. Beliau mengatakan:
إذَا رَأَى هِلَالَ الصَّوْمِ وَحْدَهُ أَوْ هِلَالَ الْفِطْرِ وَحْدَهُ فَهَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَوْ يُفْطِرَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَمْ لَا يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ هِيَ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ عَنْ أَحْمَد : أَحَدُهَا : أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ وَأَنْ يُفْطِرَ سِرًّا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ . وَالثَّانِي : يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبَ أَحْمَد وَمَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ . وَالثَّالِثُ : يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ
“Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan sendirian, atau melihat hilal Syawal sendirian, apakah dia wajib berpuasa atau berbuka karena telah melihat hilal? Ataukah dia berpuasa sendiri, namun dia tidak boleh berhari raya kecuali bersama masyarakat? Dalam hal ini ada 3 pendapat, dan semunya merupakan 3 keterangan yang berbeda yang pernah disampaikan Imam Ahmad. “
Pertama, dia wajib puasa dan berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal) dengan diam-diam. Ini adalah madzhab Imam As-Syafi’i.
Kedua, dia wajib berpuasa diam-diam, namun dia tidak boleh berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal), kecuali bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Abu Hanifah.
Ketiga, dia hanya boleh berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat paling kuat. … (Majmu’ Fatawa, 6:65)
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut. Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut. Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits :
إنما الطاعة في المعروف
"Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan." dan hadits :
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
" Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah."
Jadi realitanya dalam perkara puasa sudah ada silang pendapat di zaman Salafush Sholih. Tidak sebagaimana dalam perkara sholat Jum'at dan sholat Id di belakang umara'. Dalam perkara ibadah jama'i yang dipimpin seorang imam, maka tidak cukup hanya waktu (hari) pelaksanaan yang bersamaan. Karena jika hanya harinya saja yang bersamaan, berarti hizb Salafiyyah pernah jima' atau mandi Jum'at ma'al umara'.??
Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa puasa bersama umara' atau tidak itu tiada kaitan dengan perpecahan dan persatuan umat yang mana perkara tersebut sudah terjadi pada zaman Salafush Sholih. Lain hal perkara sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah maka wajib dikerjakan di belakang umara' untuk menjaga persatuan umat. Sehingga jika ada hizh Salafiyyah yang menuduh kita yang mengamalkan pendapat satu mathla' dikatakan "khawarij" maka si penuduh yang tidak taat mengerjakan sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah di belakang umaraa' itu lebih berhak disebut "mbahe Khawarij". Laa haula wa laa quwwata illa billah..
Kerjakanlah Sholat 'Id Berjamaah Dan Sholat Jum'at Di Belakang/Ma'al Umara'
Jangan Tafarruq/Berpecah-Belah Mengadakan Sendiri Sebagaimana Ahlul Bid'ah Wal Furqah
Sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah hukum asalnya disyari'atkan dikerjakan di belakang/ma'al umaro' sebagaimana kalam dan pengamalan salafush sholih yang tertera di kitab-kitab Aqidah Ahlus Sunnah dan ushulus Sunnah. Di antara dalil dari As Sunnah (hadits) yang menunjukkan tetap diperintahkan sholat di belakang pemimpin yang fajir :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يُصَلُّونَ لكم، فإن أصابوا فلكم، وإن أخطأوا فلكم وعليهم". [صحيح] - [رواه البخاري]
الشرح
أخبر النبي صلى الله عليه وسلم أن هناك أئمة يعني أمراء يصلون لكم، فإن أحسنوا فلكم ولهم الأجر، وإن أساءوا فلكم الأجر على الصلاة وعليهم وزر الإساءة فيها، وهذا وإن كان في الأمراء فإنه يشمل أيضًا أئمة المساجد، كل منهم على حسب إحسانه للصلاة أو إساءتها، وفي الحديث إشارة إلى أنه يجب الصبر على ولاة الأمر وإن أساءوا في الصلاة وإن لم يصلوها على وقتها، فإن الواجب ألا نشذ عنهم وأن نؤخر صلاة الجماعة كما يؤخرون، وحينئذ يكون تأخيرنا للصلاة عن أول وقتها يكون تأخيرًا بعذر لأجل موافقة الجماعة وعدم الشذوذ ويكون بالنسبة لنا كأننا صلينا في أول الوقت، والتأخير مشروط بألا يخرج وقت الصلاة، وأن الشذوذ عن الناس وعن ولاة الأمور والبعد عنهم وإثارة الناس عليهم ونشر مساوئهم كل هذا مجانب للدين الإسلامي.
https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/4931
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Mereka (para penguasa) mengimami salat kalian. Jika (salat) mereka benar, kalian (dan mereka) mendapatkan bagian pahalanya. Namun jika mereka salah, maka kalian tetap mendapatkan pahala dan mereka mendapatkan dosa." (Hadits shahih - Diriwayatkan oleh Bukhari)
Nabi ﷺ mengabarkan bahwa akan ada para imam, yaitu para penguasa yang mengimami salat kalian. Jika mereka salat dengan baik maka pahalanya untuk kalian dan mereka. Jika mereka salat dengan buruk maka bagi kalian pahala salat dan bagi mereka dosa keburukan dalam salat. Meskipun hadis ini tertuju pada para penguasa, namun ia juga mencakup para imam masjid. Masing-masing mereka mendapatkan balasan sesuai dengan baik dan buruknya salatnya. Hadis ini mengandung isyarat untuk sabar terhadap para pemimpin meskipun mereka salat dengan buruk dan walaupun mereka tidak melaksanakan salat tepat pada waktunya. Adapun kewajiban kita adalah tidak menyelisihi mereka dan hendaknya mengakhirkan salat berjamaah sebagaimana mereka mengakhirkannya, karena pada saat itu tindakan kita mengakhirkan salat dari awal waktunya merupakan penangguhan karena ada uzur untuk tetap bersama jamaah dan tidak menyelisihinya, sehingga bagi kita seakan-akan tetap melaksanakan salat di awal waktu. Tentunya syarat pengakhiran atau penundaan ini adalah tidak boleh keluar dari waktu salat. Adapun menyelisihi amalan orang banyak dan para pemimpin, menjauh dari mereka, memprovokasi manusia terhadap mereka, dan menyebarkan keburukan-keburukan mereka, maka itu merupakan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari Abu Dzarr rodhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya kepada Nabi ﷺ tentang sholat di belakang pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya, maka Nabi ﷺ bersabda:
صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي
“Sholatlah pada waktunya. Jika Engkau menjumpai sholat bersama mereka (di luar waktu), maka sholatlah. Dan jangan katakan, “Sesungguhnya aku sudah sholat, maka aku tidak sholat (bersama kalian).” (HR. Muslim no. 648).
وقال الحسن - في الأمراء: "هم يَلُون من أمورنا خمسًا: الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود، واللّه ما يستقيمُ الدِّيُن إلا بهم، وإن جارُوا وظلموا؛ واللّه لَمَا يُصْلِحُ اللّه بهم أكثرُ مما يُفْسِدُون، مع أن واللّه إن طاعتَهم لغيظٌ، وإنَّ فُرْقَتَهُمْ لكُفْرٌ؟! ".
Al Hasan berkata tentang umaro' (para pemimpin) : "Mereka mengelola lima urusan kita yaitu sholat Jum'at, sholat berjama'ah, sholat 'Id, tsughur (tapal perbatasan), dan hudud. Demi Allah agama tidak tegak kecuali dengan mereka, kendati mereka melampaui batas dan zholim. Demi Allah apa yang diperbaiki Allah melalui mereka itu lebih banyak daripada apa yang mereka rusak. Demi Allah taat kepada penguasa tirani pasti menjengkelkan tetapi keluar dari mereka adalah kekafiran." (lihat Jami'ul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab syarh hadits ke-28 2/768).
Berkata Sufyan Ats Tsauri rohimahullah (wafat 161 H) dalam kitab Syarhu Ushul I’tiqod Ahlussunnah Wa Al-Jama'ah Min Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Ijma’ Ash-Shohabah Wa At-Tabi’in Min Ba’dihim oleh Imam Al-Lalikai (wafat 418 H) :
يَا شُعَيْبُ لا يَنْفَعُكَ مَا كَتَبْتُ حَتَّى تَرَى الصَّلاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ، وَالْحَجَّ وَالْجِهَادَ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالصَّبْرَ تَحْتَ لِوَاءِ السُّلْطَانِ؛ جَائِرٌ أَمْ عَدْلٌ.
قَالَ شُعَيْبٌ: قُلْتُ لِسُفْيَانَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الصَّلاةُ كُلَّهَا؟
قَالَ: لا؛ وَلَكِنْ صَلاةُ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ؛ صَلِّ خَلْفَ مَنْ أَدْرَكْتَ، وَأَمَّا سَائِرُ ذَلِكَ فَأَنْتَ مُخَيَّرٌ، لَا تُصَلِّيَ إِلا خَلْفَ مَنْ تَثِقُ بِهِ، وَتَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
"Wahai Syu’aib, tidak bermanfaat bagimu apa yang engkau tulis hingga engkau berpendapat (diwajibkannya) shalat di belakang (pemimpin) yang baik maupun yang fajir. Berjihad (di belakang pemimpin kaum muslimin) berlaku sampai hari kiamat serta bersabar di bawah bendera sulthon (penguasa) yang zhalim maupun yang adil.
Syu’aib berkata: Kemudian aku bertanya pada Sufyan: Wahai Abu Abdillah, apakah semua sholat?
Sufyan berkata: Tidak, melainkan sholat Jum'at dan sholat 'Id pada dua hari raya. Sholatlah di belakang (pemimpin) yang engkau jumpai. Adapun sholat yang lainnya, maka terserah kepadamu. Dan jangan engkau sholat melainkan di belakang orang yang engkau percayai dan engkau mengetahui bahwa dia dari Ahlus Sunnah wal Jamaah."
Imam Ahmad rohimahullah (wafat 241 H) dalam Ushulus Sunnah berkata:
وَصَلاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُ، وَخَلْفَ مَنْ وَلَّاهُ جَائِزَةٌ بَاقِيَةٌ تَامَّةٌ رَكْعَتَيْنِ، مَنْ أَعَادَهُمَا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، تَارِكٌ لِلآثَارِ، مُخَالِفٌ لِلسُّنَّةِ، لَيْسَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الجُمُعَةِ شَيءٌ؛ إِذَا لَمْ يَرَ الصَّلاةَ خَلْفَ الأَئِمَّةِ مَنْ كَانُوا: بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ فَالسُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَهُمْ رَكْعَتَيْنِ وَيَدِينُ بِأَنَّهَا تَامَّتٌ،لايَكُنْ فِي صَدْرِكَ مِنْ ذَلِكَ شَكٌّ،
"Melaksanakan sholat Jum’at di belakang mereka dan di belakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin (ditunjuk oleh pemimpin) hukumnya boleh dan sempurna dilakukan dua raka’at. Barangsiapa yang mengulangi sholatnya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah. Tidak ada baginya sedikitpun dari keutamaan sholat Jum’at apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat di belakang para imam/pemimpin, baik pemimpin itu baik maupun buruk. Karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan sholat bersama mereka dua raka’at dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. Tanpa ada keraguan terhadap hal itu di dalam hatimu."
Imam Al-Muzani rohimahullah (wafat 264 H) dalam kitab Syarhus Sunnah berkata:
وَلاَ نَتْرُكُ حُضُوْرَ الجُمُعَةِ وَ صَلاَةٌ مَعَ بَرِّ هَذِهِ الأُمَّةِ وَفَاجِرِهَا لاَزِمٌ , مَا كَانَ مِنَ البِدْعَةِ بَرِيْئًا فَإِنِ ابْتَدَعَ ضَلاَلاً فَلاَ صَلاَةَ خَلْفَهُ وَالجِهَادُ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ عَدْلٍ أَوْجَائِرٍ وَالحَجُّ
"Kita tidaklah meninggalkan menghadiri sholat Jum'at. Akan tetapi, hendaklah melakukan sholat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa), selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan. Jika ia melakukan kebid’ahan yang sesat (yang menyebabkan kekafiran), tidaklah boleh sholat di belakangnya. Jihad dilakukan bersama pemimpin yang adil atau tidak adil, demikian halnya dengan haji."
Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni (wafat tahun 449 H ) dalam kitab Aqidah Salaf Ashabil Hadits berkata :
ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات ، خلف كل إِمام ، برا كان أو فاجراً ، ويرون جهاد الكفرة معهم ، وإِن كانوا جَوَرة فجرة ، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح ، وبسط العدل في الرعية
“Dan Ashabul hadits memandang sholat Jumat, Iedain, dan sholat-sholat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendoakan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilah terhadap rakyat.”
Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah dinyatakan:
وأَهل السنة والجماعة :يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ، والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو فجارا
"Ahlus sunah wal jamaah memiliki prinsip : Shalat (di masjid jami' umara'), sholat Jum'at, sholat 'Id harus dilakukan di belakang umara' (pemimpin) dan para penguasa. Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama mereka. Baik dia pemimpin yang abror maupun pemimpin yang fajir…" (lihat Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah:
و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا
"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)."
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah berkata:
"Jika ada yang bertanya : "Mengapa kita mesti sholat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam Haji, Jihad, (sholat) Jum'at, dan '(sholat) Id?" Kita katakan karena mereka imam kita yang kita beragama dengan mendengar dan mentaati mereka, karena perintah Allah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' : 59).
Dan perintah Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku kezholiman-kezholiman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalaminya dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikan hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian." (HR. Muslim).
Yang dimaksud hak mereka (penguasa) yaitu ketaatan kepada mereka selain bermaksiat kepada Allah."
Syaikh Sholih Al Fauzan ketika menjelaskan ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah berkata:
و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا
"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)." . Artinya: Ahlus Sunnah berkeyaqinan syi'ar-syi'at ini wajib dikerjakan bersama para penguasa kaum muslimin. Mereka abror (benar) atau tidak sholih. Yaitu: apakah mereka orang yang sholih atau fasiq (pendosa), orang yang kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama (Islam)."
رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
Berpuasalah Jika Kalian Melihat Hilal Dan
Kerjakan Sholat 'Id Berjamaah Bersama Umara'
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala :
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
وَقَوْلُهُ: ﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ هَذَا إِيجَابُ حَتْمٍ عَلَى مَنْ شَهِدَ اسْتِهْلَالَ الشَّهْرِ -أَيْ كَانَ مُقِيمًا فِي الْبَلَدِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ، وَهُوَ صَحِيحٌ فِي بَدَنِهِ -أَنْ يَصُومَ لَا مَحَالَةَ.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan :
"Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185). Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa." (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان
“Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).
Cara Menentukan Awal Bulan Dengan Ru'yat, Bukan Dengan Hisab Dan Tidak Memerlukan Koreksi Dengan Hasil Hisab Yang Tidak Ilmiah
Ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ :
صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
Nabi ﷺ juga bersabda:
لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka (berhari raya) hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)
Nabi kita ﷺ yang menjadi uswah dalam kita beragama telah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.)
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Atau dengan kata lain, ini bukanlah perkara khilafiyah di kalangan para ulama. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Perbedaan Mathla' Dalam Tinjauan Syari'at
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan sampai delapan madzhab (lihat Ad-Daroril Mudiyyah 2/172). Akan tapi secara garis besar ada 4 pendapat yang masyhur dan kuat dalam masalah ini :
(1) Pendapat pertama: Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukany, Ibnu Baz dan Al-Albany Rahimahumullohu Ta’ala
(2) Pendapat kedua: Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah. Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’ adalah tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan mereka dapat melihat hilal.
(3) Pendapat ketiga : Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq.
Negeri-negeri yang berdekatan dalam waktu terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. Ini adalah Mazhab Syafi’iyyah, salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin, Muqbil dan lainnya Rahimahumullohu Ta’ala. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dinukil dua pendapat dari beliau. Dalam Majmu’ul Fatawa dengan pendapat pertama dan dalam Al-Ikhtiyaarot dengan pendapat kedua.
(4) Pendapat keempat : Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa. Ini adalah pendapatnya Ibnu Majisyun Rahimahullah.
Sebab terjadinya silang pendapat ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah pada penetapan awal bulan. Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (silakan lihat Majmu’ Fatawa (XXV/105), Asy Syaukani (silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210), Syaikh Al Albani (Silahkan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398)) dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya (hilal Syawwal). Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari." (HR Bukhory-Muslim)
Dan hadits:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih qurban."
Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari’at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.
Kemudian penting untuk ditekankan di sini, bahwa ketika seseorang mengambil pendapat pertama dan menyelisihi pemerintah, bukan berarti mereka keluar dari manhaj Ahlus Sunnah karena tidak taat pada pemerintah. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa ketaatan kepada pemerintah terbatas pada perkara-perkara yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul Nya. Apabila seseorang telah yakin tentang masuknya bulan Ramadhan berdasarkan ru’yah sehingga kemudian puasa demi mentaati Allah dan RasulNya, bagaimana mungkin harus meninggalkannya dengan alasan taat pemerintah?
Puasa Ramadhan Bukan Ibadah Jama'i Sebagaimana Dzikir Ba'da Sholat Bukan Ibadah Jama'i
Puasa Ramadhon bukan ibadah jama'i sehingga puasa bisa dikerjakan sendiri-sendiri walau tiada imam, sebagaimana dzikir ba'da sholat bukan ibadah jama'i. Tidak seperti anggapan sebagian hizb Salafiyyah, banyak dari mereka mengatakan puasa adalah ibadah jama'i yang mana konsekwensinya makan sahur dan buka puasanya pun wajib bersama umara' dengan ditandai komando bid'ah imsakiyah.
Ibadah puasa kita tetap sah andai umara' tiada yang puasa. Pada zaman Nabi pun ketika berangkat jihad bulan Ramadhan, sebagian shahabat berpuasa dan sebagian lainnya tidak puasa itu tiada dipermasalahkan. Sebagaimana kisah dalam riwayat Muslim
عن قزعة قال : أتيت أبا سعيد الخدري رضي الله عنه وهو مكسور عليه. فلما تفرق الناس عنه، قلت: إني لا أسألك عما يسألك هؤلاء عنه. سألته عن الصوم في السفر ؟ فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى مكة ونحن صيام. قال: فنزلنا منزلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إنكم قد دنوتم من عدوكم والفطر أقوى لكم”. فكانت رخصة. فمنا من صام ومنا من أفطر. ثم نزلنا منزلا آخر. فقال: “إنكم مصبحوا عدوكم. والفطر أقوى لكم، فأفطروا” وكانت عزمة. فأفطرنا. ثم قال: رأيتنا نصوم، مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد ذلك، في السفر.
Dari Faza’ah ia berkata, “Aku pernah datang kepada Abu Said Al-Khudri ketika ia sedang menerima tamu yang banyak. Setelah para tamu sudah bubar, aku katakan kepada Abu Said, ‘Aku tidak menanyakan kepadamu apa yang ditanyakan oleh mereka tadi. Aku menanyakan perihal puasa ketika safar’.
Maka Abu Said berkata, “Kami pernah melakukan safar menuju Makkah bersama Rasulullah ﷺ ketika kami sedang berpuasa. Lalu kami berhenti di suatu tempat. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda :
‘"Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh kalian dan berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian."
Hal itu merupakan rukhshah (keringanan). Sebagian dari kami ada yang berpuasa, dan sebagian yang lain ada yang berbuka. Kemudian kami berhenti lagi di tempat lain. Beliau ﷺ kembali bersabda,
‘Sungguh, kalian besok pagi akan menghadapi musuh, dan berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian. Oleh karena itu, berbukalah kalian !’.
Lalu kami pun berbuka. Setelah peristiwa itu, aku ketahui bahwa kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ ketika safar” (HR. Muslim no. 1120)
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang kasus orang yang melihat hilal sendiri. Beliau mengatakan:
إذَا رَأَى هِلَالَ الصَّوْمِ وَحْدَهُ أَوْ هِلَالَ الْفِطْرِ وَحْدَهُ فَهَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَوْ يُفْطِرَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَمْ لَا يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ هِيَ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ عَنْ أَحْمَد : أَحَدُهَا : أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ وَأَنْ يُفْطِرَ سِرًّا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ . وَالثَّانِي : يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبَ أَحْمَد وَمَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ . وَالثَّالِثُ : يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ
“Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan sendirian, atau melihat hilal Syawal sendirian, apakah dia wajib berpuasa atau berbuka karena telah melihat hilal? Ataukah dia berpuasa sendiri, namun dia tidak boleh berhari raya kecuali bersama masyarakat? Dalam hal ini ada 3 pendapat, dan semunya merupakan 3 keterangan yang berbeda yang pernah disampaikan Imam Ahmad. “
Pertama, dia wajib puasa dan berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal) dengan diam-diam. Ini adalah madzhab Imam As-Syafi’i.
Kedua, dia wajib berpuasa diam-diam, namun dia tidak boleh berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal), kecuali bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Abu Hanifah.
Ketiga, dia hanya boleh berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat paling kuat. … (Majmu’ Fatawa, 6:65)
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut. Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut. Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits :
إنما الطاعة في المعروف
"Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan." dan hadits :
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
" Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah."
Jadi realitanya dalam perkara puasa sudah ada silang pendapat di zaman Salafush Sholih. Tidak sebagaimana dalam perkara sholat Jum'at dan sholat Id di belakang umara'. Dalam perkara ibadah jama'i yang dipimpin seorang imam, maka tidak cukup hanya waktu (hari) pelaksanaan yang bersamaan. Karena jika hanya harinya saja yang bersamaan, berarti hizb Salafiyyah pernah jima' atau mandi Jum'at ma'al umara'.??
Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa puasa bersama umara' atau tidak itu tiada kaitan dengan perpecahan dan persatuan umat yang mana perkara tersebut sudah terjadi pada zaman Salafush Sholih. Lain hal perkara sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah maka wajib dikerjakan di belakang umara' untuk menjaga persatuan umat. Sehingga jika ada hizh Salafiyyah yang menuduh kita yang mengamalkan pendapat satu mathla' dikatakan "khawarij" maka si penuduh yang tidak taat mengerjakan sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah di belakang umaraa' itu lebih berhak disebut "mbahe Khawarij". Laa haula wa laa quwwata illa billah..
Kerjakanlah Sholat 'Id Berjamaah Dan Sholat Jum'at Di Belakang/Ma'al Umara'
Jangan Tafarruq/Berpecah-Belah Mengadakan Sendiri Sebagaimana Ahlul Bid'ah Wal Furqah
Sholat Jum'at dan sholat 'Id berjama'ah hukum asalnya disyari'atkan dikerjakan di belakang/ma'al umaro' sebagaimana kalam dan pengamalan salafush sholih yang tertera di kitab-kitab Aqidah Ahlus Sunnah dan ushulus Sunnah. Di antara dalil dari As Sunnah (hadits) yang menunjukkan tetap diperintahkan sholat di belakang pemimpin yang fajir :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يُصَلُّونَ لكم، فإن أصابوا فلكم، وإن أخطأوا فلكم وعليهم". [صحيح] - [رواه البخاري]
الشرح
أخبر النبي صلى الله عليه وسلم أن هناك أئمة يعني أمراء يصلون لكم، فإن أحسنوا فلكم ولهم الأجر، وإن أساءوا فلكم الأجر على الصلاة وعليهم وزر الإساءة فيها، وهذا وإن كان في الأمراء فإنه يشمل أيضًا أئمة المساجد، كل منهم على حسب إحسانه للصلاة أو إساءتها، وفي الحديث إشارة إلى أنه يجب الصبر على ولاة الأمر وإن أساءوا في الصلاة وإن لم يصلوها على وقتها، فإن الواجب ألا نشذ عنهم وأن نؤخر صلاة الجماعة كما يؤخرون، وحينئذ يكون تأخيرنا للصلاة عن أول وقتها يكون تأخيرًا بعذر لأجل موافقة الجماعة وعدم الشذوذ ويكون بالنسبة لنا كأننا صلينا في أول الوقت، والتأخير مشروط بألا يخرج وقت الصلاة، وأن الشذوذ عن الناس وعن ولاة الأمور والبعد عنهم وإثارة الناس عليهم ونشر مساوئهم كل هذا مجانب للدين الإسلامي.
https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/4931
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Mereka (para penguasa) mengimami salat kalian. Jika (salat) mereka benar, kalian (dan mereka) mendapatkan bagian pahalanya. Namun jika mereka salah, maka kalian tetap mendapatkan pahala dan mereka mendapatkan dosa." (Hadits shahih - Diriwayatkan oleh Bukhari)
Nabi ﷺ mengabarkan bahwa akan ada para imam, yaitu para penguasa yang mengimami salat kalian. Jika mereka salat dengan baik maka pahalanya untuk kalian dan mereka. Jika mereka salat dengan buruk maka bagi kalian pahala salat dan bagi mereka dosa keburukan dalam salat. Meskipun hadis ini tertuju pada para penguasa, namun ia juga mencakup para imam masjid. Masing-masing mereka mendapatkan balasan sesuai dengan baik dan buruknya salatnya. Hadis ini mengandung isyarat untuk sabar terhadap para pemimpin meskipun mereka salat dengan buruk dan walaupun mereka tidak melaksanakan salat tepat pada waktunya. Adapun kewajiban kita adalah tidak menyelisihi mereka dan hendaknya mengakhirkan salat berjamaah sebagaimana mereka mengakhirkannya, karena pada saat itu tindakan kita mengakhirkan salat dari awal waktunya merupakan penangguhan karena ada uzur untuk tetap bersama jamaah dan tidak menyelisihinya, sehingga bagi kita seakan-akan tetap melaksanakan salat di awal waktu. Tentunya syarat pengakhiran atau penundaan ini adalah tidak boleh keluar dari waktu salat. Adapun menyelisihi amalan orang banyak dan para pemimpin, menjauh dari mereka, memprovokasi manusia terhadap mereka, dan menyebarkan keburukan-keburukan mereka, maka itu merupakan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari Abu Dzarr rodhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya kepada Nabi ﷺ tentang sholat di belakang pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya, maka Nabi ﷺ bersabda:
صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي
“Sholatlah pada waktunya. Jika Engkau menjumpai sholat bersama mereka (di luar waktu), maka sholatlah. Dan jangan katakan, “Sesungguhnya aku sudah sholat, maka aku tidak sholat (bersama kalian).” (HR. Muslim no. 648).
وقال الحسن - في الأمراء: "هم يَلُون من أمورنا خمسًا: الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود، واللّه ما يستقيمُ الدِّيُن إلا بهم، وإن جارُوا وظلموا؛ واللّه لَمَا يُصْلِحُ اللّه بهم أكثرُ مما يُفْسِدُون، مع أن واللّه إن طاعتَهم لغيظٌ، وإنَّ فُرْقَتَهُمْ لكُفْرٌ؟! ".
Al Hasan berkata tentang umaro' (para pemimpin) : "Mereka mengelola lima urusan kita yaitu sholat Jum'at, sholat berjama'ah, sholat 'Id, tsughur (tapal perbatasan), dan hudud. Demi Allah agama tidak tegak kecuali dengan mereka, kendati mereka melampaui batas dan zholim. Demi Allah apa yang diperbaiki Allah melalui mereka itu lebih banyak daripada apa yang mereka rusak. Demi Allah taat kepada penguasa tirani pasti menjengkelkan tetapi keluar dari mereka adalah kekafiran." (lihat Jami'ul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab syarh hadits ke-28 2/768).
Berkata Sufyan Ats Tsauri rohimahullah (wafat 161 H) dalam kitab Syarhu Ushul I’tiqod Ahlussunnah Wa Al-Jama'ah Min Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Ijma’ Ash-Shohabah Wa At-Tabi’in Min Ba’dihim oleh Imam Al-Lalikai (wafat 418 H) :
يَا شُعَيْبُ لا يَنْفَعُكَ مَا كَتَبْتُ حَتَّى تَرَى الصَّلاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ، وَالْحَجَّ وَالْجِهَادَ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالصَّبْرَ تَحْتَ لِوَاءِ السُّلْطَانِ؛ جَائِرٌ أَمْ عَدْلٌ.
قَالَ شُعَيْبٌ: قُلْتُ لِسُفْيَانَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الصَّلاةُ كُلَّهَا؟
قَالَ: لا؛ وَلَكِنْ صَلاةُ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ؛ صَلِّ خَلْفَ مَنْ أَدْرَكْتَ، وَأَمَّا سَائِرُ ذَلِكَ فَأَنْتَ مُخَيَّرٌ، لَا تُصَلِّيَ إِلا خَلْفَ مَنْ تَثِقُ بِهِ، وَتَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
"Wahai Syu’aib, tidak bermanfaat bagimu apa yang engkau tulis hingga engkau berpendapat (diwajibkannya) shalat di belakang (pemimpin) yang baik maupun yang fajir. Berjihad (di belakang pemimpin kaum muslimin) berlaku sampai hari kiamat serta bersabar di bawah bendera sulthon (penguasa) yang zhalim maupun yang adil.
Syu’aib berkata: Kemudian aku bertanya pada Sufyan: Wahai Abu Abdillah, apakah semua sholat?
Sufyan berkata: Tidak, melainkan sholat Jum'at dan sholat 'Id pada dua hari raya. Sholatlah di belakang (pemimpin) yang engkau jumpai. Adapun sholat yang lainnya, maka terserah kepadamu. Dan jangan engkau sholat melainkan di belakang orang yang engkau percayai dan engkau mengetahui bahwa dia dari Ahlus Sunnah wal Jamaah."
Imam Ahmad rohimahullah (wafat 241 H) dalam Ushulus Sunnah berkata:
وَصَلاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُ، وَخَلْفَ مَنْ وَلَّاهُ جَائِزَةٌ بَاقِيَةٌ تَامَّةٌ رَكْعَتَيْنِ، مَنْ أَعَادَهُمَا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، تَارِكٌ لِلآثَارِ، مُخَالِفٌ لِلسُّنَّةِ، لَيْسَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الجُمُعَةِ شَيءٌ؛ إِذَا لَمْ يَرَ الصَّلاةَ خَلْفَ الأَئِمَّةِ مَنْ كَانُوا: بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ فَالسُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَهُمْ رَكْعَتَيْنِ وَيَدِينُ بِأَنَّهَا تَامَّتٌ،لايَكُنْ فِي صَدْرِكَ مِنْ ذَلِكَ شَكٌّ،
"Melaksanakan sholat Jum’at di belakang mereka dan di belakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin (ditunjuk oleh pemimpin) hukumnya boleh dan sempurna dilakukan dua raka’at. Barangsiapa yang mengulangi sholatnya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah. Tidak ada baginya sedikitpun dari keutamaan sholat Jum’at apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat di belakang para imam/pemimpin, baik pemimpin itu baik maupun buruk. Karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan sholat bersama mereka dua raka’at dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. Tanpa ada keraguan terhadap hal itu di dalam hatimu."
Imam Al-Muzani rohimahullah (wafat 264 H) dalam kitab Syarhus Sunnah berkata:
وَلاَ نَتْرُكُ حُضُوْرَ الجُمُعَةِ وَ صَلاَةٌ مَعَ بَرِّ هَذِهِ الأُمَّةِ وَفَاجِرِهَا لاَزِمٌ , مَا كَانَ مِنَ البِدْعَةِ بَرِيْئًا فَإِنِ ابْتَدَعَ ضَلاَلاً فَلاَ صَلاَةَ خَلْفَهُ وَالجِهَادُ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ عَدْلٍ أَوْجَائِرٍ وَالحَجُّ
"Kita tidaklah meninggalkan menghadiri sholat Jum'at. Akan tetapi, hendaklah melakukan sholat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa), selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan. Jika ia melakukan kebid’ahan yang sesat (yang menyebabkan kekafiran), tidaklah boleh sholat di belakangnya. Jihad dilakukan bersama pemimpin yang adil atau tidak adil, demikian halnya dengan haji."
Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni (wafat tahun 449 H ) dalam kitab Aqidah Salaf Ashabil Hadits berkata :
ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات ، خلف كل إِمام ، برا كان أو فاجراً ، ويرون جهاد الكفرة معهم ، وإِن كانوا جَوَرة فجرة ، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح ، وبسط العدل في الرعية
“Dan Ashabul hadits memandang sholat Jumat, Iedain, dan sholat-sholat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendoakan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilah terhadap rakyat.”
Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah dinyatakan:
وأَهل السنة والجماعة :يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ، والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو فجارا
"Ahlus sunah wal jamaah memiliki prinsip : Shalat (di masjid jami' umara'), sholat Jum'at, sholat 'Id harus dilakukan di belakang umara' (pemimpin) dan para penguasa. Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama mereka. Baik dia pemimpin yang abror maupun pemimpin yang fajir…" (lihat Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah:
و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا
"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)."
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah berkata:
"Jika ada yang bertanya : "Mengapa kita mesti sholat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam Haji, Jihad, (sholat) Jum'at, dan '(sholat) Id?" Kita katakan karena mereka imam kita yang kita beragama dengan mendengar dan mentaati mereka, karena perintah Allah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' : 59).
Dan perintah Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku kezholiman-kezholiman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalaminya dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikan hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian." (HR. Muslim).
Yang dimaksud hak mereka (penguasa) yaitu ketaatan kepada mereka selain bermaksiat kepada Allah."
Syaikh Sholih Al Fauzan ketika menjelaskan ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah berkata:
و يرون إقامة الحج و الجهاد والجمع و الٱعياد مع الٱمرا
"Dan mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat pelaksanaan Haji, Jihad, Sholat Jum'at, dan Sholat 'Id bersama para amir (penguasa)." . Artinya: Ahlus Sunnah berkeyaqinan syi'ar-syi'at ini wajib dikerjakan bersama para penguasa kaum muslimin. Mereka abror (benar) atau tidak sholih. Yaitu: apakah mereka orang yang sholih atau fasiq (pendosa), orang yang kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama (Islam)."
رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar