Kamis, 15 September 2022

BENARKAH GAMBAR HASIL KAMERA DAN HASIL SIHIR TIDAK TERMASUK ASH SHUROH YANG DIHARAMKAN?




Baca juga :

https://hazimaljawiy.blogspot.com/2023/01/ash-shuroh-gambar-dan-larangan.html?m=1


BENARKAH GAMBAR HASIL KAMERA DAN HASIL SIHIR TIDAK TERMASUK ASH SHUROH YANG DIHARAMKAN?

https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/09/benarkah-gambar-hasil-kamera-dan-hasil.html?m=1



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا 

"Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka."  (QS. Al Ahzab: 57).
     Ikrimah berkata, "Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah mereka yang membuat  gambar-gambar."



Bab I. Hukum Ash Shuroh (Gambar) Dan Mushowwir (Pembuat Gambar) Makhluk Bernyawa

     Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً

“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)

     Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah, radhiallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ

“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)

     Sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْس يُعَذَّبُ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

“Setiap mushawwir (pembuat gambar) berada di dalam neraka, dan setiap gambar yang dibuatnya diberi nafas untuk menyiksa dirinya dalam neraka Jahannam.” (HR. Bukhari: 2225, Muslim: 2110)

     Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadits yang marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فيِ الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Barangsiapa yang membuat shuroh (seni rupa makhluk bernyawa) di dunia, maka kelak (pada hari kiamat) ia akan dibebani untuk meniupkan ruh ke dalam rupaka yang dibuatnya, namun ia tidak bisa meniupkannya.” (HR. Bukhari: 5963, Muslim:2110)

     Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Al Hayyaj, ia berkata: sesungguhnya Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku:

أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ أَنْ لاَ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Maukah kamu aku utus untuk suatu tugas sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: janganlah kamu biarkan ada shurah (sebuah rupaka) tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah kuburan yang menonjol kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim: 969).

Faidah:

1. Syari'at melarang ash shuroh dan membuat gambar makhluk bernyawa.

     Telah diriwayatkan di Sunan Tirmidzi (5/427) dari hadits Jabir Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الصورة في البيت ونهى أن يصنع ذلك

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar ke dalam rumah dan melarang membuatnya.”  (hadits shahih).
     Dan merupakan suatu hal yang maklum hukum asal larangan dalam syari’at itu adalah haram kecuali apabila terdapat dalil lain yang memalingkan keharaman itu menjadi makruh, bagaimana kalau tidak didapati dalil yang memalingkan keharaman perkara tersebut justru dibarengi dengan perintah menghapusnya bahkan laknat serta siksaan yang keras bagi pelakunya.

2. Syari'at memerintahkan menghapus ash shuroh (gambar makhluk bernyawa)

     Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari hadits Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu beliau  berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِى الْبَيْتِ لَمْ يَدْخُلْ ، حَتَّى أَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ

“Manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) di dalam Ka’bah, beliau tidak memasukinya hingga beliau memerintahkan untuk dihapus.”

     Dan dari Abil Hayyaaj Al-Asadi berkata:

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ.

“Ali bin Abi Thalib katakan kepadaku: Ingatlah sesungguhnya saya mengutusmu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mengutusku: (yaitu) Janganlah engkau meninggalkan sebuah patungpun (yang bernyawa) melainkan engkau merusaknya dan tidak pula meninggalkan sebuah kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan." (HR. Muslim (2/666))

     Dan pada riwayat lain di Muslim:

وَلاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا.

“Dan jangan pula engkau meninggalkan suatu gambarpun melainkan engkau hapus.”

     Manakala dia menyelisihi perintah tersebut maka patutlah dia mendapat laknat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Syari'at melaknat al mushowwir (para pembuat gambar bernyawa).

     Sebagaimana pada hadits Abi Juhaifah Rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ ، وَكَسْبِ الْبَغِىِّ ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing, dan upah pelacur, dan melaknat pemakan riba, dan yang memberi makan riba, pentato, dan yang minta ditato, serta al mushowwir (penggambar/pelukis).” (HR.Bukhari).

     Laknat berarti terusir dari rahmat Allah, maka tidak heran kalau mereka diancam akan mendapat siksaan yang pedih dan keras di hari kiamat bahkan berhak masuk neraka jahannam. Laknat Allah kepada seorang muslim beda dengan laknat Allah terhadap orang kafir dan Iblis.

4. Para al mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat.

     Dari ‘Abdillah berkata saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ »

“Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah di hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (HR. Bukhari).
     Dari Abdillah bin Umar Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم )

“Sesungguhnya yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada mereka hidupkanlah apa yang kalian telah ciptakan.” (HR. Bukhari).

5. Para mushowwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) di Neraka.

     Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( كل مصور في النار يجعل له بكل صورة صورها نفسا فتعذبه في جهنم ) وقال إن كنت لابد فاعلا فاصنع الشجر وما لا نفس له…

Setiap penggambar di dalam neraka, semua gambar yang sudah ia gambar diberi nyawa lalu menyiksanya di Jahannam.” Dan Ibnu ‘Abbas berkata: Apabila engkau harus melakukannya maka gambarlah pohon atau apa-apa yang tidak bernyawa…”  (HR. Muslim).
     Berkata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah: Yang diinginkan dengan ancaman tersebut adalah teguran keras (bagi pelakunya).

6. Menggambar makhluk bernyawa termasuk dosa besar.

     Setelah mengetahui hal-hal yang telah lewat di atas tahulah kita bahwa membuat gambar bernyawa itu termasuk dosa besar di mana telah datang riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya beliau bersabda:

الكبائر كل ذنب ختمه الله بنار أو غضب أو لعنة أو عذاب

“(kaidah untuk mengetahui) Dosa besar adalah semua dosa yang Allah kecam pelakunya dengan neraka, kemurkaan, laknat, ataupun siksaan.”

     Oleh karena itu Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah menggolongkan perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana pada kitab beliau “Al- ami’ush Shahih” jilid 5 kitab: Kabair. Kemudian beliau menyebutkan setelahnya hadits Abu Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تخرج عنق من النار يوم القيامة لها عينان تبصران وأذنان تسمعان ولسان ينطق يقول إني وكلت بثلاثة بكل جبار عنيد وبكل من دعا مع الله إلها آخر وبالمصورين

“Akan keluar di hari kiamat sebatang leher, memiliki dua mata yang melihat, dua telinga yang mendengar dan lisan yang berbicara seraya berkata; Saya ditugaskan menyiksa tiga jenis orang; tiap-tiap orang yang suka berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, siapa saja yang menyeru sembahan lain bersama Allah (berlaku syirik), dan para mushowwir (penggambar makhluk bernyawa)." (HR. Tirmidzi dan hadits ini di Shahihkan syaikh Al-Albani).

7. Para pembuat ash shuroh (gambar makhluk bernyawa) termasuk orang yang paling zhalim.

     Dari hadits Abi Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال الله عز و جل ومن أظلم ممن ذهب يخلق كخلقي فليخلقوا ذرة أو ليخلقوا حبة أو شعيرة

“Allah ‘Azza wa Jalla berkata: “Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat (menggambar) seperti ciptaanKu, maka hendaknya ia menciptakan biji dzarrah, atau sebutir bibit tumbuhan, atau biji gandum.” (HR. Bukhari).




Bab II. Hakekat Ash Shuroh Dan Mushowwir (Pembuat Gambar)

1. Yang dilarang dalam Islam untuk digambar adalah ash shuroh, yaitu gambar makhluk bernyawa.

     Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak terlarang untuk digambar. Diantara dalilnya adalah hadits berikut:

وعَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الحَسَنِ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ  – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ، إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي، وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ

Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata, Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, pekerjaanku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang aku akan sampaikan kepadamu adalah apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu beliau bersabda: “Siapa saja yang membuat gambar ash shurah, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa melakukannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi. Ibnu Abbas lalu berkata: “Celaka engkau, jika engkau tidak bisa meninggalkannya, maka gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki ruh (nyawa)”  (HR. Bukhari no.2225).
     Dalam hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa ash shurah yang dilarang untuk digambar adalah gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, maka tidak terlarang untuk digambar.

2. Inti ash shuroh adalah kepala.

     Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).
     Andaikan hadits ini mauquf pun, memiliki hukum marfu‘, disandarkan isinya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
     Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari ash shurah adalah kepala, jika gambar tanpa kepala maka tidak lagi disebut ash shurah

3. Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’:

      "Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Ataupun juga gambar foto. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
     Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
     Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
     Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ

orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ

barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (makhluk bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Juga hadits lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ

semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Semua hadits-hadits ini melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak.
    Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
     Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم

مجموع فتاوى اللجنة الدائمة بالسعودية - المجلد الرابع عشر (العقيدة).

(https://ar.islamway.net/fatwa/11106/ما-حكم-التصوير-في-الإسلام)

4. Semua Shuroh Makhluk Bernyawa ( Hasil Lukisan Tangan, Kamera, Mesin Pembuat Gambar, Mesin Fotocopy, Mesin Pencetak Foto Dan Patung, Ataupun Hasil Sihir) Haram Karena Tiada Dalil Yang Yang Menunjukkan Ada Perbedaan Hukum.

     Dalam banyak hadits Nabi melarang shuroh (gambar makhluk bernyawa) tanpa dirinci ataupun dikhususkan hasil lukisan tangan. Sehingga hukum asalnya semua shuroh makhluk bernyawa itu haram baik hasil lukisan tangan, kamera, mesin pencetak gambar dan patung, robot pelukis, mesin fotocopy, alat sablon, sulap ataupun gambar dengan gunakan sihir dan bantuan jin. Demikian juga baik si pembuat gambar adalah seekor monyet/simpanse, seekor gajah pelukis, anak kecil, orang dewasa, orang gila, wanita dan lain-lain. Baik dibuat mukallaf ataupun tidak mukallaf maka hukum shuroh makhluk bernyawa sama-sama haram.
     Membuat gambar dengan kamera termasuk tashwir dan hukumnya haram berdasarkan dengan keumuman dalil-dalil yang melarang tashwir dan memandang bahwa memfoto dengan kamera itu termasuk membuat ash shurah walaupun dengan bantuan alat.
     Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya masalah membuat gambar dengan fotografi, beliau menjawab:

التصوير لا يجوز، لا باليد ولا بغير اليد، التصوير كله منكر، والرسول عليه الصلاة والسلام لعن المصورين

“At tashwir tidak diperbolehkan, baik dengan tangan atau dengan (alat) selain tangan. At tashwir semuanya adalah kemungkaran. Dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat para pembuat gambar.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 28/227).
      Itu sebabnya jika ada yang menghalalkan shuroh makhluk bernyawa yang dibuat para mushowwir dengan kamera (berupa foto dan video) maka hendaknya wajib mendatangkan burhan.

5. Shuroh Makhluk Bernyawa Hasil Kamera (Foto Dan Video) Fitnahnya Lebih Besar Daripada  Lukisan Tangan

(1) Unsur keserupaan lebih banyak dan tingkat keserupaan foto/video lebih tinggi daripada gambar hasil lukisan tangan. Bahkan gambar pada video bisa bergerak dan bicara menyerupai aslinya. Yang mana ini termasuk sebab dilarangnya ash shuroh karena unsur penyerupaan makhluk ciptaan Allah.
(2)  Proses pembuatan foto dan vedeo pada umumnya lebih cepat.
(3) Pembuatan foto dan video pada umumnya lebih mudah daripada gambar dengan tangan. Bahkan banyak anak kecil yang sudah bisa memfoto.
(4) Foto dan video umumnya lebih mudah diperbanyak daripada gambar lukisan tangan.
(5) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan pada foto dan video umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.




Bab III. Malaikat Tidak Mau Masuk Rumah Yang Ada Gambar Makhluk Bernyawa

     Malaikat adalah makhluk Allah yang mulia dan senantiasa beribadah kepadaNya tanpa merasa letih, Allah Ta’ala berfirman:

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ (19) يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ (20) [الأنبياء/19، 20]

Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan (Malaikat-Malaikat) yang di sisi-Nya, tidak angkuh untuk mengibadahi-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”  (QS. Al-Anbiya’: 19-29).

     Para Malaikat juga senantiasa menaati perintah Allah dan tidak pula mendurhakaiNya. Allah berfirman:

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ 

“Mereka (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang mereka diperintahkan.”  (QS. At-Tahrim. 6).

     Sebab itu para malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang merupakan kemungkaran dan kemaksiatan bahkan termasuk dosa besar sebagaimana pada hadits Abi Tolhah Rodhiyallohu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )

“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).”  (HR. Bukhari).
     Dalam riwayat lain:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )

“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan  shuroh (gambar makhluk bernyawa).”  (HR. Bukhari).

     Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama berkata: sebab mereka (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya gambar adalah karena gambar itu adalah maksiat yang keji, dan merupakan bentuk peniruan terhadap ciptaan Allah Ta’ala, dan sebagian dari gambar itu ada yang disembah selain Allah Ta’ala, dan sebab mereka tidak mau masuk ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing adalah karena anjing sering makan yang najis-najis dan karena sebagian anjing ada yang dinamai setan sebagaimana telah datang hadits mengenai hal itu, sementara malaikat itu adalah musuh syaitan juga karena bau anjing yang sangat bau sedang malaikat tidak menyukai bau yang mengganggu, juga karena ada larangan untuk memelihara anjing maka orang yang memeliharanya diberi ganjaran yang setimpal yaitu malaikat tidak masuk rumahnya dan tidak berdoa di dalam rumahnya dan tidak pula beristigfar dan memintakan berkah untuknya dan berkah terhadap rumahnya dan meminta agar menjauhkannya dari gangguan syaithan, adapun malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan gambar adalah malaikat pembawa rahmat, pemohon berkah dan ampunan, adapun malaikat penjaga maka mereka tetap akan masuk tiap-tiap rumah (yang bergambar ataupun tidak) dan mereka tidak akan meninggalkan anak adam di setiap keadaan karena mereka ditugaskan menghitung dan menulis amalan-amalan manusia.



Bab IV. Fitnah Dan Kejelekan Shuroh/Gambar Makhluk Bernyawa

     Diantara sebab diharamkannya gambar (lukisan):
1. Mudhahah (menyerupai) ciptaan Allah, seolah-olah dia menandingi perbuatan Allah.
     Hal haram ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ : وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً، أَوْ لِيْخْلُقُوْا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً

“Allah berfirman: “Dan tiada seseorang yang lebih dzalim dari pada orang yang bermaksud menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku. (Oleh karena itu) Maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.” (HR. Bukhari: 5953, Muslim: 2111)

     Juga hadits dari Aisyah, radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ

“Manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” (HR. Bukhari: 2479, Muslim: 2107)
     Mudhahah (tasyabbuh/menyerupai) dilarang meskipun pelakunya tidak memiliki maksud.
2. Wasilah menuju kesyirikan
     Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah:

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.”  (QS. Nuh: 23).

     Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana, disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung  tersebut disembah.” (HR. Bukhari: 4920)
3. Menyerupai Ahlu kitab
     Dari Aisyah radhiallahu’anha:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].

“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).
4. Fitnah syahwat dan hawa nafsu.
5. Wasilah dan media sihir.
     Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (4: 153) berkata,

ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية

“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”
   Dari sini terlihat bahwa ‘ain insya Allah bisa ditimbulkan dengan melihat pada gambar seseorang secara langsung atau melihatnya di TV. Bahkan bisa hanya dengan mendengar, lalu dikhayalkan dan terkenalah ‘ain. Kita memohon pada Allah keselamatan.



Bab V. Hukum Ash Shuroh (Gambar Makhluk Bernyawa) Karena Terpaksa

     Adapun jika dalam keadaan terpaksa dalam arti tidak dapat mencapai mashlahat yang wajib atasnya kalau tidak menuruti kemauan mereka untuk mendatangkan shuroh (foto) maka dosanya akan ditanggung dan dipikul oleh mereka yang mengharuskan hal tersebut, tentunya disertai dengan pengingkaran dan kebencian dari orang yang dipaksa sekurang-kurangnya dalam hati terhadap kemaksiatan itu, Allah Ta’ala berfirman:

﴿ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴾ [النحل/106]

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali siapa yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi barangsiapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka baginya kemurkaan Allah dan azab yang besar.”  (QS. An-Nahl: 106).
     Dan dari hadits Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata:

«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ «لاَ مَا صَلَّوْا».

“Sungguh akan dijadikan atas kalian para penguasa, maka kalian akan dapati apa yang kalian benarkan dan apa yang kalian ingkari, maka barangsiapa yang benci (kemungkaran mereka) maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan nurut. Para sahabat berkata; Wahai Rasulullah tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat.” (HR. Muslim).
     Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata di “Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah”: “Apabila seseorang terpaksa untuk membuat paspor, baik itu untuk berhaji ataupun selainnya dari perjalanan-perjalanan yang harus atasnya, atau KTP, SIM, lisensi pekerjaan (surat keterangan/SK), ataupun uang (bergambar), maka dosanya dipikul oleh pemerintah yang mengharuskanmu (memaksamu) membuatnya.
Dan batasan darurat di sini adalah: Apabila maslahatmu yang merupakan kewajiban atasmu tak dapat diraih dengan meninggalkan foto. Adapun foto yang dituntut dari pelajar sekolahan (Kartu Tanda Pelajar), atau Tentara maka itu bukanlah suatu hal yang daruratkarena memungkinkan bagi pelajar tersebut untuk tidak belajar di sekolahan dan menuntut ilmu di depan ulama di mesjid-mesjid. Dan Tentara bisa saja dia mencari kerjaan lain dan tidak menjadi tentara."
     Juga yang perlu diingatkan adalah apabila terpaksa dan terdesak antara dua pilihan, apakah engkau yang akan mengambil gambar istrimu yang bercadar ataukah tukang foto yang mengambilnya dan membuka cadarnya di hadapan tukang foto itu?
     Maka biarlah pelaku maksiat itu (mushowwir/tukang foto) yang mengambil foto istrimu –dengan pengawasanmu (engkau temani)-, dan engkau selamat dari laknat yang diancamkan kepada pengambil gambar. Semakna ini juga fatwa Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah.



Bab VI. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat: "Sebagian orang memiliki syubhat, bahwa larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah. Adapun jika tidak bermaksud untuk menyembah gambar tersebut maka tidak mengapa."

Bantahan:
(1) hadits-hadits larangan tashwir sifatnya muthlaq tidak menyebutkan keterangan bahwa larangannya berlaku jika gambarnya akan disembah.
(2) illah (alasan) dilarangnya tashwir diantaranya 3 alasan yaitu: karena menandingi ciptaan Allah (sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, menyerupai perbuatan kaum Ahlul Kitab (sebagaimana dalam hadits Aisyah) dan merupakan sarana menuju kesyirikan (sebagaimana penjelasan Ibnu Mas’ud). Andaikan shurah yang dibuat tidak bermaksud untuk disembah maka bukankah ada 2 alasan lainnya yang tetap menjadikan tashwir hukumnya terlarang??
(3) kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika awal mula mereka membuat patung dari orang shalih yang sudah meninggal, mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu. Namun ternyata berujung kepada penyembahan dan kesyirikan. Sehingga tashwir tetap terlarang meskipun tidak bermaksud untuk menyembahnya, dalam rangka sadd adz dzari’ah (menutup celah menuju keburukan).
(4) Berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir kita tidak boleh menggambar Nabi Muhammad, malaikat Jibril ataupun Buroq sekalipun tidak untuk disembah. Bukankah kaum muslimin sepakat dalam perkara ini.?
(5) Kita juga tidak boleh menggambar kuda bersayap, manusia bersayap, makhluk-makhluk khayalan yang wujudnya perpaduan manusia dan hewan (semisal dewa ganesa, ular berkepala manusia & para dewa Yunani) ataupun makhluk jelmaan jin meski tidak disembah berdasarkan keumuman hadits larangan tashwir walau makhluk tersebut tidak pernah dilihat di dunia.

2. Syubhat: Diantara orang yang membolehkan shuroh bernyawa berhujjah dengan:
(1) Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukannya.

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي

“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440).
(2) Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud no. 4934, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani).

Bantahan:
(1) Ibnu Hajar (wafat tahun 852H) rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia (tidak utuh).”
(2) Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits. Sesungguhnya hanyalah diberikan keringanan hukum (rukhshoh) bagi ‘Aisyah terkait boneka-boneka mainannya karena pada saat itu ‘Aisyah belum baligh.”
(3) Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Aku katakan terkait adanya pemastian bahwa hal ini terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh, (sebetulnya) itu masih berupa kemungkinan, karena ‘Aisyah pada saat terjadi perang Khaibar masih berusia 14 tahun atau sekitar itu, sedangkan ketika terjadi perang Tabuk, beliau sudah dapat dipastikan telah baligh. Sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Khaibar lebih kuat (artinya, ketika itu ‘Aisyah belum baligh, pen.). Dengan demikian, dapat dikompromikan dengan apa yang disebutkan Al-Khathabi (sebelumnya) sehingga terhindar dari adanya pertentangan makna (yaitu larangan gambar atau patung makhluk bernyawa, pen.)” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, XIII/701).
(4) An-Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) rahimahullah mengatakan, “Al-Qadhi berpendapat bahwa hadits ini merupakan dalil bolehnya bermain dengan boneka. Ini merupakan pengkhususan dari dalil tentang gambar (makhluk bernyawa) yang dilarang. Beliau berdalil dengan hadits ini (untuk menyatakan) perlunya latihan bagi anak perempuan ketika masih kecil dalam rangka persiapan untuk kelak mengurusi diri mereka sendiri, rumah tangga, dan anak-anak mereka.”
Namun beliau juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan gambar (makhluk bernyawa)” (Diringkas dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).
(5) Bagaimana hakekat shuroh boneka milik ibunda Aisyah waktu kecil? Apa bisa mendatangkan burhan bahwa boneka tersebut punya mata dan wujudnya seperti aslinya? Andai bentuknya benar-benar seperti makhluk hidup, kenapa Nabi bertanya kepada ‘Aisyah, "Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’"
(6) Mainan anak itu beragam. Dunia anak kecil itu beda dengan dunia orang dewasa. Dan fakta ada mainan belalang dari daun kelapa, orang-orangan dari daun singkong atau mainan origami berbentuk burung, kupu-kupu dan hewan wujudnya beda jauh dengan aslinya. Demikian juga ada boneka salju bentuknya beda jauh dengan manusia. Bahkan buah krai (sejenis mentimun) oleh anak kecil bisa dibuat main dan digendong dianggap menggendong anak.
(7) Jumhur ulama yang membolehkan bermain boneka, tujuannya adalah untuk mendidik si anak ketika masih kecil agar kelak ketika balig sudah dapat mengurus diri sendiri, rumah, hingga anak-anaknya. Adapun boneka yang sekedar dipajang di rumah-rumah, maka hendaklah kita takut dengan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ

“Malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa)” (HR. Bukhari no. 3226 dan Muslim no. 2106).
     Sebagaimana juga hukum asal nyanyian adalah dilarang, tapi Nabi pernah membiarkan anak-anak kecil menyanyi. Itu hanya rukhshoh bagi anak kecil. Wallahu Ta’ala a’lam bi shawab.

3. Syubhat: " Mengambil gambar dengan kamera foto tidaklah termasuk dalam larangan yang ada dalam nash-nash yang mengharamkan tashwir. Karena tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah. Karena tujuan dari memfoto adalah mengambil gambar ciptaan Allah ta’ala, tidak ada unsur pengeditan dari manusia. Maka ini sama seperti gambar yang ada di cermin atau yang di air (ketika melihatnya)."
"Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."

Bantahan:
(1) Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Bahkan jika ada monyet bisa melukis, robot pelukis, gajah pelukis, simpanse pelukis ataupun tukang sihir/jin bisa membuat foto tanpa kamera maka tetap haram.
(2) Alasan yang dikemukakan mereka hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(3) Foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.
(4) Jika mereka hanya mampu gunakan logika tanpa secuil dalil (bahkan tidak mampu mendatangkan hadits dho'if yang yang secara shorih membolehkan shuroh makhluk bernyawa), maka sudah sepantasnya juga dibantah dengan akal sehat.
(5) Dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa resmi penulisan karya ilmiah, dll atapun urf, maka foto termasuk gambar. Dalam penulisan karya ilmiah pun foto dimasukkan daftar gambar.
(6) Bahasa Arab tukang foto dan pelukis juga mushowwir.
(7) Dalam seni lukis ada aliran Naturalisme dan Realisme yang lukisannya seperti aslinya seperti foto. Bahkan jika kualitas tingggi lukisan Realistis itu sulit dibedakan dengan foto atau bisa lebih mirip objeknya dari pada foto yang dihasilkan kamera kelas rendah.Apa lukisan Realistis juga mereka halalkan jika si pembuat lukisan tiada tujuan kreasi gambar baru tapi menggambar ciptaan Allah.???

4. Syubhat: "Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin."

Bantahan:
     Foto tidak bisa diqiaskan dengan bayangan pada cermin karena punya banyak perbedaan:
(1) Foto dihasilkan kamera karena ada upaya dan kehendak manusia, sedang bayangan pada cermin, air dan semisai bisa muncul tanpa kehendak manusia. Tapi karena sifat yang ada pada cermin ataupun air.
(2) Sifat bayangan pada foto antara kanan kiri atau atas bawah bisa kebalikan benda aslinya. Sedang gambar foto tidak demikian.
(3) Bayangan pada cermin dan air tidak disimpan. Jika obyeknya hilang, maka bayangannya juga ikut hilang. Sebaliknya gambar pada foto disimpan.
(4) Bayangan orang yang sudah tidak ada di muka bum(mati), maka tidak bisa dimunculkan lagi lewat cermin. Sebaliknya banyak foto orang-orang yang sudah mati tetap masih bisa tersimpan berupa foto dan video.
(5) Bayangan pada cermin telah ada ijma' tentang bolehnya bercermin. Sedang foto tiada ijma' ahlus sunnah yang membolehkan.
(6) Bayangan  pada cermin dan air tidak bisa di-edit, sedang gambar pada foto dan video bisa diedit ataupun diberi efek. Bisa diperkecil, diperbesar, diwarnai, dimunculkan, dihilangkan dan lain-lain. Bahkan foto rambut dan gaya rambut seseorang bisa diedit lewat beragam aplikasi edit foto dan video. Ada foto dan video manusia bisa terbang, menembus tanah dan dinding, manusia berkepala lebih dari 1 dan lain-lain. Bahkan sekarang ada teknologi membuat film baru dengan pemeran/aktornya orang yang sudah mati.
(7) Jika cermin pecah maka bayangan pun ikut rusak. Sebaliknya foto dan video masih bisa ada sekalipun kameranya sudah rusak.
Jika faktanya punya banyak perbedaan maka itu termasuk qias bathil.
     Adapun kacamata, lensa, mikroskop, teropong, teleskop dan alat-alat optik jika mau diqiaskan dengan cermin yang fungsinya hanya sebagai alat bantu untuk melihat dan tanpa dilengkapi kamera/alat pembuat gambar..insya Allah dibolehkan secara ijma'. Wa Allahu a'lam.

5. Syubhat: "Kamera bukan mukallaf, sehingga gambar hasil kamera dibolehkan."

Bantahan:
(1) Nabi melarang ash shuroh makhluk bernyawa itu tiada kaitan karena hasil perbuatan mukallaf. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه صورة )

“Tidak akan masuk Malaikat ke dalam rumah yang di dalamnya ada shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
     Dalam riwayat lain:

 ( لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة )

“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing dan  shuroh (gambar makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari).
(2) Kamera memang bukan mukallaf, tapi orang yang mengoperasikan kamera termasuk mukallaf.
(3) Tidak semua orang bisa memfoto ataupun mengoperasikan kamera. Demikian juga kualitas gambarnya juga tidak sama: ada yang terlihat mirip objek, lebih jelek, lebih bagus dll. Contoh: tidak semua kamera bisa untuk memfoto Bulan di langit seperti aslinya walau tanpa editan.
(4) Shuroh makhluk bernyawa hukumnya tetap haram walau pembuatnya seekor monyet, seekor gajah, anak kecil, orang gila ataupun robot pelukis berdasarkan keumuman hadits.
(5) Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga menjelaskan:

والجواب عن الأول -وهو أن التصوير بالكاميرا ليس تصويراً لأن ذلك ليس من فعل المكلف- أن يقال: هذا غير مُسَلَّـم، فإنه تصوير لغةً وعرفاً، فإنه يقال للآلة: آلة التصوير، ولمُشغِّلها: المُصور، ولفعله: التصوير، وللحاصل بها: صورة، وهذا التصوير من فعل المكلف ولكن بالوسيلة، وهو من فعل المكلَّف، ولكن بالوسيلة الحديثة ((الكاميرا ))، ومما يدل على أنه من فعل المكلَّف أن له أحكاماً، فقد يكون مباحاً وقد يكون حراماً كما تقدم

“Jawaban untuk alasan pertama, yaitu bahwa memfoto dengan kamera bukanlah tashwir karena itu bukan perbuatan mukallaf, maka kita jawab bahwa ini kurang tepat. Karena ini tetap disebut tashwir secara bahasa (lughatan) maupun secara adat (‘urfan). Karena dalam bahasa Arab, kamera disebut: aalatut tashwir. Penggunanya disebut al mushawwir. Perbuatannya disebut at tashwir. Hasilnya disebut ash shurah. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan mukallaf namun dengan perantara alat. Sehingga tetap disebut perbuatan mukallaf, namun dengan menggunakan perantara alat modern bernama kamera. Diantara yang menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan mukallaf adalah karena dia memiliki hukum syar’i, terkadang hukumnya mubah dan terkadang hukumnya haram sebagaimana telah dijelaskan” (Sumber: https://dorar.net/article/80).

6. Syubhat: "foto itu seperti fotocopy maka tulisan yang dicopy tetap dinisbatkan kepada penulis aslinya."

Bantahan:
(1) Manusia adalah ciptaan Allah, sedang foto dan video adalah ciptaan manusia. Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan bahwa foto dan video itu ciptaan Allah sebagaimana lukisan aliran Naturalisme dan Realisme juga buatan manusia walau objek yang digambar ciptaan Allah. Karena tingkat penyerupaan umumnya lebih tinggi sehingga fitnahnya pun bisa lebih besar.
(2) Insya Allah hanya ahlu bid''ah saja yang mengatakan foto dan video ciptaan Allah. Memfoto yang mana itu perbuatan makhluk dinisbatkan perbuatan Allah. Demi Allah ini paham ahlu bid'ah.
(3) Ketahuilah fotocopy walaupun isinya bukan tulisan si tukang fotocopy, akan tapi si tukang fotocopy bisa disebut sebagai pembajak kitab asli. Itu sebabnya banyak kitab yang sudah ada hak ciptanya kemudian tidak boleh dibajak/dicopy. Walau terlihat mirip bisa disebut barang palsu,, bajakan atau tidak original. Sehingga wajar jika pemilik hak cipta bisa marah dan menuntut.
(4) Manusia itu hak cipta Allah sehinga haram untuk dibajak/difoto ataupun ditiru berdasarkan keumuman larangan dari Nabi.
(5) Apa para mushowwir telah mendapat izin Allah membajak yaitu memfoto manusia dan makhluk bernyawa ciptaan Allah.?? Jika tidak mendapat izin hak cipta dari Allah, maka bisa menjadi sebab Allah murka dan melaknat para mushowwir yang berbuat zholim. Allahu a'lam, wa na'udzubillah.

7. Syubhat: "Terkait hukum foto dan video makhluk bernyawa
terdapat khilaf, karena ada yang 'alim yang membolehkan." walau tidak sebutkan dalil tapi hanya argumen dengan logika.

Bantahan:
(1) Tidak semua perkataan Shahabat Nabi itu hujjah apabila menyelisihi Kitabullah dan hadits Nabi ataupun ada Shahabat lain yang menyelisihi. Terlebih lagi perkataan selain Shahabat Nabi.
(2) Tidak semua perselisihan dalam perkara ijtihadiyah maka bisa dihukumi khilaf mu'tabar. Dihukumi khilaf mu'tabar apabila masing-masing pendapat berpegang dalil atau bisa menukilkan salafnya. Terjadi khilaf lantaran terjadi perbedaan dalam memahami dalil tersebut.
     Jika satu pihak berpegang hadits Nabi sedang pihak lawannya hanya beragumen dengan logika, maka ini bukan termasuk khilaf mu'tabar. Apa dalam hal ini ada Ahlus Sunnah yang tidak sepakat?
     Adapun jika ada orang Salafi ataupun ahlu ahwa' yang tidak sepakat insya Allah karena mereka memang sesat.
(3) Ketika ada orang yang menyelisihi hadits Nabi dan mengedepankan taqlid kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka dengan lantang syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi berkata: "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itu bukan Nabi..."
     Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi adalah guru syaikh bin Baz, syaikh Muhammad Al Utsaimin, syaikh Muqbil, syaikh Robi, syaikh Abdul Muhsin, syaikh Sholih Al Fauzan...dan tidak ada orang yang tahu pasti jumlah murid beliau karena sangat banyaknya.
     Ketika syaikh Utsaimin membolehkan foto tanpa sebutkan dalil dan hanya berdasarkan logika...jika saya katakan bahwa syaikh Utsaimin itu bukan Nabi. Apa ada Ahlus Sunnah yang merasa keberatan?
(4) Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
(5) Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)



Bab VII. Penutup

Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, 19 Shafar 1444 H (15-09-2022)


Hazim Al Jawiy














.




Kamis, 01 September 2022

TA'AFFUF (MENJAGA IFFAH) VS MINTA SHODAQOH (UNTUK DIRI SENDIRI, ORANG LAIN DAN HIZB)




بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

"Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud: 6).


Bab II. Anjuran Berusaha

     Allah Ta'ala berfirman:

 فَٱبْتَغُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ وَٱعْبُدُوهُ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥٓ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ  

"Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan." (QS al-Ankabut:17).

     Nabi bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

"Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).

     Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي

Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”(HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).


Bab II. Ta'affuf (Menjaga 'Iffah)

     Termasuk makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (QS. Al Baqarah: 273)

     Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka ketika itu,

مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِْهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala dari meminta kepada selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari no. 6470 & Muslim no. 1053).
     An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan (hal yang tidak disukai) lainnya di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145).


Bab III. Larangan  Tasawwul (Minta Sodaqoh Dan Mengemis)

     Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040)

     Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)

     Patut dipahami bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah berikut, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari, no. 1476). Orang miskin berarti bukan pengemis. Orang miskin adalah yang sudah bekerja, namun tetap belum mencukupi kebutuhan pokoknya.


Bab IV. Hukum Tasawwul /Meminta-minta/Mengemis

(1) Meminta-minta hukum asalnya terlarang.
     Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini, diantaranya:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).

Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i beliau berkata,

قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا»

Kami telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan perkataannya) dan tidak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun‘” (HR. Muslim no. 1043).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
(2) Para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
     An-Nawawi ketika menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” (larangan meminta-minta) beliau mengatakan:

مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ

“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(3) Meminta-minta dalam keadaan tidak fakir dan tidak darurat, termasuk dosa besar, karena diancam dengan azab di akhirat.
(4) Jika dalam keadaan darurat, namun tidak fakir dan mampu bekerja, ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya.
     An-Nawawi menjelaskan:

أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, dalam dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat, hukumnya haram, berdasarkan zahir hadits-hadits yang ada. Pendapat yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan, jika memenuhi tiga syarat: (1) tidak menghinakan dirinya, (2) tidak memaksa ketika meminta, dan (3) tidak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya menjadi haram dengan sepakat ulama. Wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
(5) Meminta-minta untuk memperkaya diri itu perbuatan tercela.
     Al-‘Aini mengatakan:

من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم

“Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri itu tercela” (Umdatul Qari, 9/56).
(6) Orang-orang yang dibolehkan minta-minta.
     Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (HR. Muslim).
(7) Mengemis untuk diri sendiri, orang lain ataupun untuk kelompok/hizbiyyah hukum asalnya tidak halal (haram) berdasarkan keumuman larangan Nabi untuk tidak minta-minta kepada manusia.


Bab V.  Penggalangan Dan Mengumpulkan Zakat/Shodaqoh Termasuk Wewenang Ulil Amri (Umaro' Dan Wakilnya)
    
     Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِـي بِشِدْقَيْهِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا مَالُكَ، أَنَا كَنْزُكَ، ثُمَّ تَلَا ﱡ… وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ…ﱠالْآيَـةَ.

Barangsiapa diberikan harta oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya dijelmakan kepadanya pada hari Kiamat berupa seekor ular botak kepalanya bertaring dua yang akan dikalungkan kepadanya pada hari Kiamat. Kemudian ia mengangahkan mulutnya seraya berkata, ‘Aku hartamu, aku simpananmu.’

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Dan janganlah sekali-kali orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Ali ‘Imran/3: 180).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنَّهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَارَ ، فَإِنِّـيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَـةٌ : وَمَا لَنَا ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ،وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِيْ لُبٍّ مِنْكُنَّ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّيْنِ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهٰذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِيْ رَمَضَانَ فَهٰذَا نُقْصَانُ الدِّيْنِ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar (mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Berkatalah seorang wanita yang cerdas di antara mereka, ‘Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki yang berakal dibandingkan kalian.’Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasûlullâh, apa (yang dimaksud dengan) kurang akal dan agama?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurang akal karena persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian satu orang laki-laki, inilah makna kekurangan akal. Dan seorang wanita berdiam diri selama beberapa malam dengan tidak shalat dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh), inilah makna kekurangan dalam agama.’”
(Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 79 [132]); Ahmad (II/66-67); Abu Dawud (no. 4679), Ibnu Majah (no. 4003); at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Âtsâr (no. 2727), dan al-Baihaqi (X/148)).

     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ! إِنَّ هٰذَا الْبَيْعَ يَـحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْـحَلِفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ.

“Wahai para pedagang! Sesungguhnya perniagaan ini kerap kali diiringi dengan perbuatan sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah ia dengan sedekah.” (Shahih: HR. Ahmad (IV/6, 280), Abu Dawud (no. 3326), an-Nasa-i (VII/14, 15, 247), Ibnu Majah (no. 2145), dan al-Hakim (II/5, 6). Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7974)).
     Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyyah (hal. 376) :

وقد دلت نصوص الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة أن ولي الأمر وإمام الصلاة والحاكم وأمير الحرب وعامل الصدقة – : يطاع في مواضع الاجتهاد وليس عليه أن يطيع أتباعه في موارد الاجتهاد بل عليهم طاعته في ذلك وترك رأيهم لرأيه فإن مصلحة الجماعة والإئتلاف ومفسدة الفرقة والإختلاف أعظم من أمر المسائل الجزئية ولهذا لم يجز للحكام أن ينقض بعضهم حكم بعض والصواب المقطوع به صحة صلاة بعض هؤلاء خلف بعض

"Nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ salaful ummah telah menunjukkan bahwa pemimpin, imam sholat, hakim, pemimpin pasukan perang dan ‘amil shodaqoh ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan bukan ia (pemimpin atau imam, dst) yang mentaati pengikutnya dalam masalah ijtihad. Bahkan wajib bagi pengikutnya untuk mentaatinya dalam masalah itu dan meninggalkan pendapat mereka masing-masing untuk mengikuti pendapat pemimpin. Karena maslahat dari berjama’ah dan persatuan; dan mafsadat dari perpecahan dan ikhtilaf, lebih besar daripada masalah-masalah juz-iyyah. Oleh karena itu tidak boleh bagi para hakim untuk saling membatalkan keputusan masing-masing. Yang pasti kebenarannya, masing-masing sah untuk sholat bermakmum kepada yang lain."

قال : وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ

Ia (Harb) berkata : “dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka, dan diantara perkataan mereka : ….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al kharaj (pajak, upeti), al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….” [Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Dan diwajibkan atas orang-orang kaya di negeri mana saja untuk menanggulangi secara bersama-sama terhadap fakir miskin. Sedangkan pihak penguasa boleh bercampur tangan untuk menekan mereka dalam pelaksanaannya itu, apabila harta zakat dan harta-harta kaum Muslimin yang lain tidak mencukupi untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sehingga kebutuhan pangan mereka yang tidak bisa ditunda-tunda itu dapat dipenuhi. Demikian pula halnya dengan kebutuhan sandang dan papan mereka.” (Al-Muhalla (VI/156, masalah ke 725).


Bab VI.  Larangan Mengambil Harta Dengan Jalan Bathil Dan Beragam Bentuk Mengemis

     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ ayat 29).

     Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 188).

     Allah Ta’ala berfirman “تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ” yang secara harfiah berarti “janganlah kalian memakan harta kalian sendiri di antara kalian”. Pada ayat tersebut, Allah menyamakan antara orang yang memakan harta orang lain secara batil dan orang yang memakan harta pribadi secara batil. Orang pertama merusak harta orang lain, sedangkan orang kedua merusak harta pribadinya. Meskipun demikian, kesakralan harta pada dasarnya sama.
     Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dengki, tamak, dan egois adalah faktor yang mendorong jiwa untuk berbuat melampaui batas terhadap hak-hak orang lain. Jiwa yang memandang hak orang lain sebagai hal yang sakral sebagaimana haknya sendiri, tentu akan menghormati harta orang lain sebagaimana dia menghormati harta pribadinya.
     Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap harta dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, baik dengan cara merampas, mencuri, mempraktikkan riba dan gharar, atau hal yang semisal. Hal yang paling buruk dari itu semua adalah merampas harta halal dengan trik yang melegalkan dan menggugurkan hak pemilik yang sah. Hal ini bisa terjadi entah karena ketiadaan bukti yang dimiliki oleh pemilik setelah harta itu dirampas darinya atau karena perampasan dan pengguguran hak dari pemilik yang sah dilegalkan dengan cara yang batil.
     Diantara bentuk mengambil harta dengan jalan batil dan beragam bentuk minta-minta (mengemis):
1. Merampas harta ataupun menahan barang milik orang lain tanpa hujjah dan burhan.
    Termasuk menahan hp santri tanpa hujjah sehingga pemiliknya tercegah untuk memanfaatkan hp (seperti untuk jualan pulsa). Padahal pak ustadz pun juga bisa menggunakan hp untuk maksiat seperti mendakwahkan bid'ah, menjadi mushowwir (tukang foto dan video) ataupun pacaran/selingkuh.
2. Mencuri.
3. Mempraktikan riba dan gharar.
4. Memeras.
     Termasuk juga minta uang pendaftaran tanpa hujjah dan burhan. Contoh: memungut uang pendaftaran Rp 100.000,00 padahal hanya diberi beberapa lembar kertas formulir dan map. Andai itu akadnya sebagai uang jasa/biaya administrasi..mahal amat?  Lebih parah lagi bagi calon santri yang tidak diterima atau mengundurkan diri maka uang pendaftaran hangus. Demikian juga memeras orang tua murid baru diwajibkan membayar infaq uang bangunan sebesar Rp 500.000,00 ataupun lebih.
5. Menipu dan khianat seperti yang dilakukan pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat.
     Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis. Mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia. Bahkan pada zaman sekarang banyak pengemis berjenggot ataupun berjubah untuk kepentingan pribadi, hizb, jam'iyyah ataupun muassasah seperti yang dilakukan mayoritas kelompok salafi di Indonesia.
6. Korupsi harta yang bukan haknya.
     Termasuk korupsi atas nama agama dengan melakukan mark up dana pada proposal ataupun korupsi harta kaum muslimin untuk kepentingan pribadi/golongan.
7. Menyewakan bangunan masjid, asrama dan harta padahal telah diwakafkan untuk kaum muslimin ataupun harta milik yayasan.
8. Minta shodaqoh untuk kepentingan pribadi/golongan baik secara langsung, lewat e-mail, sms, media sosial, WA dan lain-lain.
9. Mengajukan beasiswa terutama bagi orang-orang yang bukan termasuk faqir miskin.
10. Penggalangan shodaqoh (dana) untuk kepentingan pribadi atau hizb (golongan/kelompok) bukan dalam keadaan darurat (3 keadaan yang dikecualikan).
11. Dan lain-lain.


Bab VII. Tafsir Ta'awwun QS. Al Maidah Ayat 2

Allah Ta'ala berfirman:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

"Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
     Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwa­an. Allah melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
     Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang  diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan ani­aya, itulah cara menolongnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Ke­duanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:


"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"

"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun diani­aya." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku to­long bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolong­nya jika dia berbuat aniaya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu meno­longnya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi  yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar da­lam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya dari­pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan ti­dak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdul­lah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah mence­ritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi yang mengatakan:

"الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.
     Imam Tirmidzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; ke­duanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah  pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya) dengan pelaku kebaikan itu.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:

"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا"

Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mere­ka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.

قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ من الإسلام"

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah mencerita­kan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam'.'


Bab VIII. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubat: mereka mengganggap penggalangan dana dan shadaqah sebagai bentuk ta'awun. Mereka behujjah:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

"Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2).
Bantahan:
(1) Ayat tersebut adalah dalil untuk tolong menolong dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa ataupun maksiat.
(2) Ayat tersebut bukan dalil bolehnya perbuatan mengemis walau terdapat unsur tolong-menolong. Siapa salafush sholih yang memahami bahwa ayat tersebut adalah dalil bolehnya mengemis untuk diri sendiri, keluarga, orang lain ataupun kelompok hizbiyyah.??
(3) menginfaqkan harta kepada para pengemis memang termasuk menolong. Akan tapi ketahuilah perbuatan mengemis (termasuk yang dilakukan kelompok salafi) iti haram dan sangat hina.
(4) jika mengemis dikatakan ta'awun dan tidak haram..kenapa tidak sekalian mengemis di jalan-jalan, terminal dsb?
(5) Kita hendaknya bersikap jujur dan adil. Jika orang umum mengemis dianggap tercela..tapi jika pelakunya orang salafi kenapa tidak boleh dicela?
2. Syubhat: para penggemar tasawwul berhujjah dengan hadits,

حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَدِيٌّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلُ وَلَا بَعْدُ ثُمَّ مَالَ عَلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ أَنْ يَتَصَدَّقْنَ فَجَعَلَتْ الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْقُلْبَ وَالْخُرْصَ

Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami ‘Adiy dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata:
Nabi ﷺ keluar pada hari ‘Ied lalu shalat dua raka’at dan Beliau tidak shalat lain sebelum maupun sesudahnya, kemudian Beliau mendatangi jama’ah wanita bersama Bilal, lalu Beliau memberikan nasehat dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka diantara mereka ada yang memberikan gelang dan antingnya”. (HR. Bukhari 1341).
Bantahan:
(1) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin sehingga punya wewenang mengurusi shadaqah.
(2) Nabi memerintahkan para wanita bershodaqah itu bukan di setiap selesai sholat 'Id. Andai memerintahkan itu tiap selesai sholat 'Id tentu para Khulafaur Rosyidin juga akan melakukan. Tapi bagaimana faktanya?
(3) Kenapa yang diperintahkan bershodaqah hanya para wanita? Sebaliknya orang-orang salafi memerintahkan laki-laki.?
3. Syubhat:  Para penggemar dan penyeru perbuatan mengemis berhujjah dengan kisah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
     Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ، فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ المُسْلِمِينَ

“Barangsiapa yang membeli sumur “rumatun”, maka bagiannya dari air yang ia timba darinya itu seperti bagian air yang ditimba kaum muslimin.” Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pun membelinya.
     Dalam hadits Shahih Bukhari rahimahullah pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ

"Barangsiapa yang menggalikan sumur rumatun, maka baginya surga." Lalu ‘Utsman pun menggalinya.
     Dan disebutkan dalam salah satu riwayat Basyir bin Basyir Al-Aslami disebutkan bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslimin.
Bantahan:
(1) Siapa Salafush Sholih yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis  untuk diri sendiri, orang lain ataupun kepentingan hizbiyyah?
(2) Hadits tersebut itu menjelaskan keutamaan Utsman bin Affan dan kabar jaminan Jannah.
(3) Kisahnya pada itu di Madinah tidak ada sumber mata air selain sumur milik orang Yahudi. Kaum muslimin dilarang mengambil air dari sumur milik si Yahudi tersebut. Jika tanpa air maka kaum muslimin bisa mati kehausan. Karena hajat darurot..maka sebagai rosul Allah dan pemimpin kaum muslimin menyeru siapa menggalikan sumur Raumah maka masuk Jannah.
(4) Kenapa orang-orang salafi tidak sekalian membuat hadits palsu bahwa siapa yang menggali sumur maka masuk Surga.? Siapa yang membuat masjid salafiyah maka masuk Jannah.? Siapa yang membangunkan asrama atau rumah untuk ahlu shuffah maka masuk Jannah.?
(5) Harta shodaqah diharamkan untuk Nabi dan ahlu bait. Sehingga tidak mungkin Nabi minta-minta untuk kepentingan beliau dan keluarganya. Tidak seperti kebanyakan orang salafi beragam versi yang gemar makan shodaqah ataupun sedekah hasil mengemis. Salaf mereka adalah para biksu yang gemar minta sedekah dan mengharap belas kasihan dari manusia.
4. Syubhat: Diantara penyeru mengemis berhujjah dengan hadits:
Rosululloh bersabda:

(( مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ )). فَجَهَّزَهُ عُثْمَانُ

Barangsiapa yang membekali tentara ‘usrah maka baginya surga.” Maka ‘Utsman pun membekalinya. (HR. al-Bukhari) 
Bantahan:
(1) Siapa dari Salaful Ummah yang memahami itu sebagai dalil bolehnya mengemis untuk kepentingan hizbiyyah?
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan. Kemudian para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
(3) Nabi menyeru hal tersebut ketika akan berjihad. Itupun karena keadaan menuntut dan darurot. Andai baitul mal sudah mencukupi, tentu akan gunakan harta dari baitul mal.
(4) Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin melakukan itu untuk kemashlahatan umat dan bukan untuk kepentingan hizbiyah.
(5) Ahlus Shufah yang tinggal di serambi masjid Nabi meski hidup kekurangan tetap menjaga iffah dan tidak ada riwayat gemar minta-minta ataupun mengkoordinir mengemis kepada para muhsinin walau Abu Hurairoh waktu itu sering kelaparan.
5. Subhat: "Yang dilarang adalah mengemis untuk diri sendiri. Adapun jika mengemisnya untuk orang lain, hizbiyyah, jam'iyyah ataupun kelompok salafiyyah maka dibolehkan."
Bantahan:
(1) Silahkan datangkan burhan tentang bolehnya mengemis untuk orang lain, hizbiyyah ataupun jam'iyyah jika kalian memang jujur!
(2) Nabi melarang meminta-minta selain yang dikecualikan.
(3) Kemudian para ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat.
(4) Imam Ahmad -rahimahullaah- tidak memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah: seorang yang meminta untuk orang lain walaupun ada hajah (kebutuhan); karena dari hal itu akan timbul: menghinakan diri, perasaan (tidak senang) yang muncul ketika ditolak (tidak diberi), dan karena hal itu masuk dalam kategori: minta-minta kepada manusia.

ولم يُرخِّص الإمام أحمد رحمه الله في سؤال الرجل لِغيره مع وُجود الحاجة ؛ لِمَا يترتّب على ذلك مِن : إذلال نفسه ، وما يَجده في نفسه لو رُدّ ، ولأنه يَدخل في سؤال الناس .

(5) Ibnu Muflih berkata dalam “Al-Furuu’” (IV/318):

قال ابن مُفْلِح في " الفروع " : وَإِنْ سَأَلَ لِرَجُل مُحْتَاجٍ فِي صَدَقَةٍ أَوْ حَجٍّ أَوْ غَزْوٍ، فَنَقَلَ مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُد: لا يُعْجِبُنِي أَنْ يَتَكَلَّمَ لِنَفْسِهِ فَكَيْفَ لِغَيْرِهِ ؟ التَّعْرِيضُ أَعْجَبُ إلَيَّ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ وَجَمَاعَةٌ : لا ، وَلَكِنْ يُعَرّض ، ثُمَّ ذَكَرَ حَدِيثَ الَّذِينَ قَدِمُوا عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، وَحَثَّ عَلَى الصَّدَقَةِ وَلَمْ يَسْأَلْ ، زَادَ فِي رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ : رُبَّمَا سَأَلَ رَجُلا فَمَنَعَهُ فَيَكُونُ فِي نَفْسِهِ عَلَيْهِ ، وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ أَنَّهُ قَالَ لِسَائِلٍ : لَيْسَ هَذَا عَلَيْك . وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ أَنْ يَسْأَلَ . اهـ .

“Kalau seorang minta-minta untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk: shadaqah, haji, atau perang; maka Muhammad Ibnu Dawud menukil (dari Imam Ahmad): “Tidak menyenangkanku kalau dia bicara (meminta) untuk dirinya sendiri, maka apalagi (terlebih lagi) untuk orang lain? Memakai kiasan/sindiran lebih aku sukai.” Al-Marrudzi dan jama’ah menukilkan (dari Imam Ahmad): “Tidak boleh (meminta-minta), akan tetapi menggunakan kiasan/sindiran.” Kemudian beliau membawakan hadits tentang orang-orang yang datang kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan BELIAU MENDORONG UNTUK BERSEDEKAH DAN BELIAU TIDAK MEMINTA. Dalam riwayat Muhammad bin Harb ada tambahan (dari Imam Ahmad): “Terkadang seorang minta kepada orang lain dan orang itu tidak memberinya sehingga ia marah kepadanya.” Al-Marrudzi menukil (dari Imam Ahmad) bahwa ia berkata kepada orang yang minta: “Kamu tidak boleh minta.” Dan ia (Imam Ahmad) tidak memberikan rukhshah (keringanan) padanya untuk meminta.” Sekian.
(6) Minta-minta kepada manusia adalah haram. 

قال ابنُ القيمِ : مَسْأَلَةُ الْمَخْلُوقِ مُحَرَّمَةً فِي الأَصْلِ ، وَإِنَّمَا أُبِيحَتْ لِلضَّرُورَةِ . اهـ.

وربما أهان الإنسان نفسَه بسؤال الناس ، وإن كان يسأل لِغيره .
وذلك لِمَا في سُؤالِ الناسِ " مِنَ الذُّلِّ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَإِرَاقَةِ مَاءِ الْوَجْهِ لِغَيْرِ خَالِقِهِ، وَالتَّعَوُّضِ عَنْ سُؤَالِهِ بِسُؤَالِ الْمَخْلُوقِينَ " كما قال ابنُ القيم .

وربما لا يؤجَر الإنسان على جَمْع هذا المال ، بل لعلها لا تبرأ ذِمَته في بعض الأحيان .
فقد يَكون سؤال بعض الناس بقصد إرادة الخير ، إلاّ أنه لا يلبث أن تتدخّل حظوظ نفسه، مِن إرادة ثناء الناس ومَدْحِهم ؛ بأن فلانا يَفعل الخير ويَجمع التبرعات .. إلى غير ذلك مِما تتطلّع إليه النفس .

Ibnul Qayyim berkata: “Meminta-minta kepada makhluk asalnya adalah haram, dan dibolehkan hanya ketika darurat.” [Perkataan Syaikhul Islam dalam “Al-‘Ubuudiyyah” (hlm. 105)]

     Terkadang seorang menghinakan dirinya dengan meminta-minta kepada manusia walaupun dia meminta untuk diberikan kepada orang lain. Hal itu dikarenakan di dalam meminta-minta kepada manusia terdapat: “menghinakan diri kepada selain Allah, menumpahkan air di wajahnya (kehormatan dirinya) untuk selain Penciptanya, dan mengganti dari meminta kepada-Nya menjadi meminta kepada makhluk.” sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim [dalam “Madaarijus Saalikiin” (I/535 -Kairo)].

     Dan terkadang seorang tidak mendapatkan pahala atas pengumpulan harta ini, bahkan bisa jadi dia tidak lepas tanggung jawabnya -pada sebagaian waktu-. Bisa jadi sebagian orang yang minta-minta (donasi): (awalnya) dengan niat yang baik, akan tetapi tidak lama kemudian masuk ambisi-ambisi pribadi; berupa: ingin dipuji manusia bahwa fulan melakukan kebaikan dan mengumpulkan donasi..dan hal-hal lain yang diinginkan oleh hawa nafsu.

     Bisa jadi (sebagian orang yang minta-minta donasi): mencela sebagian orang ketika mereka menjanjikan untuk memberi, tapi kemudian mereka tidak memberi, sehingga perbuatan baik (orang yang minta-minta donasi) tersebut menjadi perbuatan jelek. Semata-mata janji; tidak terbangun atasnya sesuatu, tidak wajib padanya sesuatu pun. Kalau ada orang yang menjanjikannya untuk memberinya sesuatu kemudian dia tidak memberikannya; maka tidak mengapa. Maka tidak boleh mencelanya, dan tidak boleh mencelanya di tengah-tengah manusia serta membicarakannya. Ketika demikian, maka orang yang mengumpulkan harta untuk diberikan kepada orang lain: masuk dalam perkataan Ibnu Mas’ud:

كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ!

“Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!” [Sunan Ad-Darimi (I/68-69)]

     Adapun masalah terbebas dari tanggung jawab ; maka bisa jadi seorang mengumpulkan harta, terkadang dia tidak menjaganya, terkadang sebagian mereka meminjam dari harta tersebut dengan alasan bahwa hukum dia seperti amil zakat?! Maka ini tidak halal baginya, hukumnya tidak seperti hukum amil zakat. Atau terkadang dia mempergunakannya dengan ijtihadnya : untuk digunakan bukan untuk tujuan dikumpulkannya harta dan untuk digunakan selain dari segi yang diinginkan oleh orang-orang yang mengeluarkan harta tersebut.
     Cukuplah seorang diberikan sindiran/ungkapan/kiasan tentang adanya kebutuhan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. Dan tidak menyusahkan dirinya dan tidak juga orang lain; karena sesungguhnya meminta-minta kepada manusia adalah kehinaan dalam keadaan apa pun. Ibnul Qayyim berkata: “Meminta kepada manusia adalah aib dan kekurangan pada seseorang serta kehinaan yang menafikan muruah (kesopanan) kecuali dalam masalah ilmu.” Sekian [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/510)].
(7) Meminta dengan mendesak dan menyusahkan manusia adalah tercela. Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “(Meminta dengan) mendesak kepada selain Allah adalah tercela, karena Allah memuji orang yang sebaliknya, Allah berfirman:

{…لَا يَسْأَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا…}

“…mereka tidak meminta secara paksa kepada kepada orang lain...” (QS. Al-Baqarah: 274) [“At-Tamhiid” (II/286 -cet. Daarul Kutub)]
     Adapun yang terdapat dalam Shahih Muslim (no. 1017), dari hadits Jarir -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa ia berkata : Kami di sisi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pada awal siang, maka datanglah suatu kaum yang memakai kain wol bergaris atau kain ‘aba-ah dengan memanggul pedang, sebagian besar dari Mudhor, bahkan semuanya dari Mudhor. Maka wajah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berubah karena melihat kemisikinan mereka. Maka beliau masuk kemudian keluar. Beliau suruh Bilal untuk adzan dan iqamah, kemudian beliau Shalat dan berkhuthbah, beliau membaca:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ: {إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا}

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam),” sampai akhir ayat: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Dan beliau membaca ayat yang ada dalam Surat Al-Hasyr:

{…اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ…}

“…Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah...” (QS. Al-Hasyr: 18)

“Seorang bersedekah dari dinarnya, dari dirhamnya, dari pakaiannya, dari sha’ gandumnya, dan dari sha’ kurmanya.” Sampai beliau bersabda: “Walaupun sepotong kurma.” Dan seterusnya hadits.
     Hal ini dilakukan oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam- karena beliau adalah IMAM manusia. Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak meminta dari manusia setelah Allah taklukkan (negeri-negeri) bagi beliau dan harta mulai banyak. Dan tidak diriwayatkan dari Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- tentang meminta dari manusia; maka hal itu menunjukkan: tidak boleh meminta dari manusia, dan tidak boleh meminta kecuali dilakukan oleh penguasa atau wakilnya dari orang-orang yang mengetahui maslahat -hal itu jika di Baitul Mal tidak tersisa apa pun-.
Dan para ulama tidak berdalil dari kejadian ini atas bolehnya meminta kepada manusia di masjid.
     Bahkan para Salaf mengusir para pengemis dari masjid-masjid. ‘Ikrimah jika melihat para peminta-minta di masjid; maka beliau mencelanya dan berkata: Dahulu Ibnu ‘Abbas mencela mereka dan mengatakan: “Mereka tidak menghadiri Jumat dan ‘Id kecuali untuk meminta-minta dan mengganggu. Ketika manusia berharap kepada Allah; maka harapan (para pminta-minta) itu kepada manusia.” (“Tahdziibul Kamaal” (XX/276)).
(8) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- ditanya tentang meminta di masjid jami’; apakah halal, haram atau makruh? Apakah meninggalkannya lebih wajib daripada melakukannya? Maka beliau menjawab: “Asal dari meminta adalah haram, baik di masjid maupun di luar masjid; kecuali karena darurat.” Sekian. (Majmuu’ Fataawaa: XXII/206).


Bab IX. Penutup

     Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para penuntut ilmu, dan para dai agar menjaga kehormatan dirinya dengan tidak minta-minta kepada orang dan tidak mengharap sesuatu kepada manusia. Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pada jalan yang disyariatkan. Bagi mereka yang fakir, hendaklah bersabar dan memohon kecukupan kepada Allah. Dan kepada orang kaya yang tidak mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yang mencuri harta orang lain untuk kepentingan kelompoknya- hendaklah mereka takut akan siksa Allah Ta’ala.
     Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.
     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Malam Jum'at, 5 Shafar 1444 H (01-09-2022)


Hazim Al Jawiy

Jumat, 19 Agustus 2022

IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya." (QS. Al An’am/6:116).

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al A’raf/7:187).

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik." (QS. Al A’raf/7:102).
      Ibnu Mas’ud berkata:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
     Sebagian salaf mengatakan:

عليك بطريق الحق ولا تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل ولا تغتر بكثرة الهالكين

“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
     Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ سَنَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ « الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid).
     Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ »

Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
     Walau terasa asing, namun begitu indahnya jika bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.

     Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah menyebutkan bahwa umat Islam ini pasti berpecah-belah dan sudah terjadi perpecahan ditengah-tengah kaum Muslimin. Maka solusinya Nabi menyebutkan kembali kepada Al-Jama’ah yaitu kepada مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (aku dan para Shahabatku).
     Nabi memerintahkan kita untuk mengikuti cara beragamanya para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan ini hukumnya wajib. Karena para Shahabat adalah:
(1) generasi yang paling dalam ilmunya,
(2) generasi yang paling paham tentang Al-Qur’an dan Sunnah,
(3) generasi yang lebih dahulu beriman,
(4) generasi yang paling semangat mengamalkan Qur’an dan Sunnah,
(5) generasi yang telah berjihad untuk menegakkan agama ini,
(6) generasi yang menemani, menolong dan menjadi pembela Nabi,
(7) para Shahabat telah dijamin oleh Allah dengan surga.

     Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.


Berdoa Dan Berhakim Kepada Allah Dengan Mubahalah Sebagai Senjata Untuk Menghadapi Syaithon Pendusta Dan Ahlu Ahwa'

     Allah berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar"." (QS Al Baqarah: 111).
     Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
     Jika mereka tidak mampu mendatangkan burhan (dalil dari Kitabulloh, As Sunnah atau ijma' Ahlus Sunnah...serta tidak mampu nukilkan kalam Salaf) tapi dengan dusta dan angkuh mereka mengklaim benar, maka hendaknya harus siap jika diajak mubahalah.
     Allah berfirnan:

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim." (QS. Al Baqoroh: 94-95).
Allah berfirman:

قُلْ مَنْ كَانَ فِى الضَّلٰلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمٰنُ مَدًّا ەۚ حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

"Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.” (QS. Maryam: 75).
     Menurut tafsir Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah bahwa kalimat ini merupakan mubahalah terhadap orang-orang musyrik yang mengakui bahwa dirinya berada dalam jalan petunjuk. Semakna dengan mubahalah yang ditujukan terhadap orang-orang Yahudi seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}

"Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain. Maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Jumu'ah: 6)
Maksudnya, harapkanlah kematian semoga menimpa kami atau kalian, jika kalian mengaku bahwa diri kalian berada dalam jalan yang benar. Sesungguhnya doa ini tidak akan menimpakan mudarat terhadap diri kalian. Akan tetapi, mereka tidak mau mengatakannya.
     Sama juga dengan mubahalah yang ditujukan kepada orang-orang Nasrani yang disebutkan di dalam surat Ali Imran, saat mereka bertekad untuk tetap pada kekafirannya dan kesesatan serta pengakuannya yang berlebih-lebihan terhadap Isa putra Maryam. Mereka mengatakannya sebagai anak Allah, padahal Allah telah menyebutkan bukti dan hujjah-Nya yang mengatakan akan kehambaan Isa, dan bahwa dia adalah makhluk Adami. Allah berfirman mengenainya:

{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kalian), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian: kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 61)
Ternyata mereka pun menolak, tidak mau mengucapkannya.
     Mubahalah boleh dilakukan dengan sesama orang Islam yang menyeleweng, ahli bid’ah dan semacamnya, berlandaskan bahwa, ada beberapa dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dulu mengajak orang lain sesama umat Islam untuk mubahalah. Di antaranya:
(1) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘iddah (masa tunggu) wanita hamil. Dan sesungguhnya iddah itu selesai dengan lahirnya kehamilan, bukan dengan lebih dua masa.
(2) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘aul dalam faroidh (pembagian waris).


Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Jumat 21 Muharram 1444 H (19-08-2022)

Hazim Al Jawiy





.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...