Jumat, 05 Mei 2023

Benarkah Setiap Negeri Apabila Tidak Menerapkan Hukum Islam Secara Menyeluruh Maka Bisa Langsung Dihukumi Kafir ?














Benarkah Setiap Negeri Apabila Tidak Menerapkan Hukum Islam Secara Menyeluruh Maka Bisa Langsung Dihukumi Kafir ?


Haram Berhukum Dengan Selain Hukum Allah


     Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44).

     Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Ma’idah: 45).

     Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Ma’idah: 47).

     Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam kitab tafsirnya :

وَقَوْلُهُ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ قَالَ الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَحُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو مِجْلزٍ، وَأَبُو رَجاء العُطارِدي، وعِكْرِمة، وَعَبِيدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَغَيْرُهُمْ: نَزَلَتْ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ -زَادَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: وَهِيَ عَلَيْنَا وَاجِبَةٌ.
وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ(٥٧) عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَاتُ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ، وَرَضِيَ اللَّهُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ بِهَا. رَوَاهُ(٥٨) ابْنُ جَرِيرٍ.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرْنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيل، عَنْ عَلْقَمَة وَمَسْرُوقٍ(٥٩) أَنَّهُمَا سَأَلَا ابْنَ مَسْعُودٍ عَنِ الرِّشْوَةِ فَقَالَ: مِنَ السُّحْت: قَالَ: فَقَالَا وَفِي الْحُكْمِ؟ قَالَ: ذَاكَ الْكُفْرُ! ثُمَّ تَلَا ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾
وَقَالَ السُّدِّي: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ يَقُولُ: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أنزلتُ(٦٠) فَتَرَكَهُ عَمْدًا، أَوْ جَارَ وَهُوَ يَعْلَمُ، فَهُوَ مِنَ الْكَافِرِينَ [بِهِ](٦١)
وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَوْلَهُ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ قَالَ: مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَقَدْ كَفَرَ. وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ وَلَمْ يَحْكُمْ فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ. رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ.
ثُمَّ اخْتَارَ أَنَّ الْآيَةَ الْمُرَادُ بِهَا أَهْلُ الْكِتَابِ، أَوْ مَنْ جَحَدَ حُكْمَ اللَّهِ الْمُنَزَّلَ فِي الْكِتَابِ.
وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنِ الشَّعْبِيِّ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ﴾ قَالَ: لِلْمُسْلِمِينَ.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ ابْنِ أَبِي السَّفَرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ قَالَ: هَذَا فِي الْمُسْلِمِينَ، ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
قَالَ: هَذَا فِي الْيَهُودِ، ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾ قَالَ: هَذَا فِي النَّصَارَى.
وَكَذَا رَوَاهُ هُشَيْم وَالثَّوْرِيُّ، عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ.
وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَيْضًا: أَخْبَرْنَا مَعْمَر، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ(٦٢) عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ قَوْلِهِ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ [بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ] ﴾(٦٣) قَالَ: هِيَ بِهِ كُفرٌ -قَالَ ابْنُ طَاوُسٍ: وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج(٦٤) عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ: كُفْرٌ دُونَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُونَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُونَ فِسْقٍ. رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ.
وَقَالَ وَكِيع عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ طَاوُسٍ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ قَالَ: لَيْسَ بِكُفْرٍ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ.(٦٥)
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عبد الله بن يزيد المقري، حدثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَير، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ قَالَ: لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ.
وَرَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، عَنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، وَقَالَ: صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ.(٦٦)

(٥٧) في ر: "عبد الوارث". (٥٨) في ر: "ورواه". (٥٩) في ر: "عن مسروق". (٦٠) في أ: "أنزل الله". (٦١) زيادة من أ. (٦٢) في أ: "عباس". (٦٣) زيادة من أ، وفي هـ: "الآية". (٦٤) في ر: "جرير". (٦٥) تفسير الطبري (١٠/٣٥٥) . (٦٦) المستدرك (٢/٣١٣) .

Firman Allah :

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 44)
Al-Barra ibnu Azib, Huzaifah ibnul Yaman, Ibnu Abbas Abu Mijlaz, Abu Raja Al-Utaridi, Ikrimah, Ubaidillah Ibnu Abdullah, Al-Hasan Al-Bashri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab. Al-Hasan Al-Bashri menambahkan, ayat ini hukumnya wajib bagi kita (kaum muslim).
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Manshur, dari Ibrahim yang telah mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Israil, sekaligus merupakan ungkapan ridha dari Allah kepada umat yang telah menjalan­kan ayat ini; menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Salamah ibnu Kahil, dari Alqamari dan Masruq, bahwa keduanya pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas'ud tentang masalah suap (risywah). Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa risywah termasuk perbuatan yang diharamkan. Salamah ibnu Kahil mengatakan, "Alqamah dan Masruq bertanya, 'Bagaimanakah dalam masalah hukum?'." Ibnu Mas'ud menjawab, "Itu merupakan suatu kekufuran." Kemudian sahabat Ibnu Mas'ud membaca­kan firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 44)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 44); Bahwa barang siapa yang memutuskan hukum bukan dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan ia meninggalkannya dengan sengaja atau melampaui batas, sedangkan dia mengetahui, maka dia termasuk orang-orang kafir.
Ali ibnu Abu Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubung­an dengan firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 44); Bahwa barang siapa yang ingkar terhadap apa yang diturunkan oleh Allah, sesungguhnya dia telah kafir; dan barang siapa yang mengakuinya, tetapi tidak mau memutuskan hukum dengannya, maka dia adalah orang yang aniaya lagi fasik. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Ahli Kitab atau orang yang mengingkari hukum Allah yang diturunkan melalui Kitab-Nya.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Zakaria, dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan makna firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah." (QS. Al-Maidah : 44) ; Menurutnya makna ayat ini ditujukan kepada orang-orang muslim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad, telah menmenceritakan kepada kami Syu'bah,dari Ibnu Abus Safar dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44); Menurutnya ayat ini berkenaan dengan orang-orang muslim. Dan firman-Nya yang mengatakan : وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ "Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Maidah: 45) berkenaan dengan orang-orang Yahudi. Sedangkan firman-Nya yang mengatakan: ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾
"Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mana mereka itu adalah orang-orang yang fasiq." (Al-Maidah: 47) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nashrani.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim dan Ats-Tsauri, dari Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi.
Abdur Razzaq mengatakan juga, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
"Barang siapa yang tidak memutuskan." (Al-Maidah: 44), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab, orang tersebut menyandang sifat kafir.
Ibnu Thawus mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.
Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Atha' yang telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih di bawah kefasikan. Demikian­lah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Waki' telah meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Thawus sehu­bungan dengan makna firman-Nya: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44); Yang dimaksud dengan "kafir" dalam ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Thawus, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya : {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44); Makna yang dimaksud ialah bukan kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat Allah).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dan Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahnya.



Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus, meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu ‘Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya” (Lihat al-Qaul al-Ma’mun, hal. 17).

Dalam riwayat yang lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:497).

Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapa pun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, orang tersebut membenarkan dan meyakini perbuatannya berhukum terhadap hukum selain hukum Allah. Adapun orang yang melakukannya, sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7: 497).

Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya (yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah pent.), karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan, berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan (terbukanya) ampunan bagi para pelaku dosa besar” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7: 498-499).




Fatwa Ulama : Perincian Hukum Atas Penguasa Yang Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah
التفصيل في الحاكم إذا حكم بغير ما أنزل الله

السؤال:

سماحة الشيخ -لو سمحت- الحكام الذين لا يطبقون شرع الله في بلاد الله، هل هؤلاء كفار على الإطلاق مع أنهم يعلمون بذلك؟ وهل هؤلاء لا يجوز الخروج عليهم؟ وهل موالاتهم للمشركين والكفار في مشارق الأرض ومغاربها يكفرهم بذلك؟

الجواب:

هذا فيه تفصيل عند أهل العلم، وعليهم أن يناصحوهم ويوجهوهم إلى الخير، ويعلموهم ما ينفعهم، ويدعوهم إلى طاعة الله وطاعة رسوله وإلى تحكيم الشريعة، وعليهم المناصحة؛ لأن الخروج يسبب الفتن والبلاء وسفك الدماء بغير حق، ولكن على العلماء والأخيار أن يناصحوا ولاة الأمور ويوجهوهم إلى الخير، ويدعوهم إلى تحكيم شريعة الله، لعل الله يهديهم بأسباب ذلك.
والحاكم بغير ما أنزل الله يختلف، فقد يحكم بغير ما أنزل الله ويعتقد أنه يجوز له ذلك، أو أنه أفضل من حكم الله، أو أنه مساو لحكم الله، هذا كفر، وقد يحكم وهو يعرف أنه عاص ولكنه يحكم لأجل أسباب كثيرة، إما رشوة، وإلا لأن الجند الذي عنده يطيعونه، أو لأسباب أخرى، هذا ما يكفر بذلك مثل ما قال ابن عباس: كفر دون كفر وظلم دون ظلم.
أما إذا استحل ذلك ورأى أنه يجوز الحكم بالقوانين وأنها أفضل من حكم الله، أو مثل حكم الله، أو أنها جائزة، يكون عمله هذا ردة عن الإسلام حتى لو كان ليس بحاكم، حتى لو هو من أحد أفراد الناس.
لو قلت: إنه يجوز الحكم بغير ما أنزل الله فقد كفرت بذلك، ولو أنك ما أنت بحاكم، ولو أنك ما أنت الرئيس.
الخروج على الحكم محل نظر، فالنبي ﷺ قال: إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم من الله فيه برهان[1] وهذا لا يكون إلا إذا وجدت أمة قوة تستطيع إزالة الحكم الباطل. أما خروج الأفراد والناس العامة الذين يفسدون ولا يصلحون فلا يجوز خروجهم، هذا يضرون به الناس ولا ينفعونهم[2].
 
(1) أخرجه البخاري في كتاب الفتن، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: ''سترون... '' برقم 7056.
(2)من أسئلة حج عام 1408 هـ، الشريط الثالث. (مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز 28/270).
https://binbaz.org.sa/fatwas/20165/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%81%D8%B5%D9%8A%D9%84-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%A7%D9%83%D9%85-%D8%A7%D8%B0%D8%A7-%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A8%D8%BA%D9%8A%D8%B1-%D9%85%D8%A7-%D8%A7%D9%86%D8%B2%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87


Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:
Penguasa yang tidak menerapkan syariat Allah di negeri Allah apakah mereka itu kafir secara mutlak padahal mereka tahu wajibnya hal tersebut? Dan apakah boleh memberontak kepada mereka? Dan apakah loyalitas mereka kepada orang kafir musyrik di negeri timur dan barat juga membuat mereka kafir?

Jawab:
Masalah ini dirinci oleh para ulama. Mereka (para ulama) menasehati kita agar senantiasa menunjukkan kebaikan kepada penguasa, mengajarkan mereka hal-hal yang bermanfaat untuk mereka, dan mengajak mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta untuk menegakkan syariat. Yang wajib adalah menasehati mereka, (bukan memberontak). Karena pemberontakan itu menimbulkan fitnah (musibah) dan bala serta tumpahnya darah tanpa hak. Maka hendaknya para ulama dan orang-orang shalih senantiasa menasehati para penguasa, menunjukkan mereka kebaikan, serta mengajak mereka untuk berhukum kepada syariat Allah Ta’ala. Semoga Allah memberi mereka hidayah dengan sebab itu semua.
Dan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu bermacam-macam. Ada yang melakukan demikian karena menganggap bolehnya perbuatan itu. Atau ada pula yang melakukan demikian karena menganggap hukum selain hukum Allah itu lebih afdhal. Atau ada pula yang menganggap hukum selain hukum Allah itu setara dengan hukum Allah, maka yang demikian kafir. Dan terkadang juga ada berhukum dengan selain hukum Allah karena ia bermaksiat, ia melakukannya karena sebab-sebab yang banyak. Mungkin karena disogok, atau karena ia memiliki pasukan yang taat kepadanya, atau karena sebab-seba yang lain. Yang demikian ini tidak kafir. Dalam hal ini mereka semisal dengan apa yang dikatakan Ibnu Abbas :
كفر دون كفر وظلم دون ظلم
“kekufuran dibawah kekufuran, kezhaliman dibawah kezhaliman”
Adapun jika seseorang menganggap bahwa berhukum dengan undang-undang buatan manusia itu halal atau lebih afdhal dari hukum Allah, atau meyakini bolehnya melakukan hal tersebut, maka ini termasuk perbuatan murtad dari Islam. Walaupun ia bukan seorang penguasa, yaitu ia sekedar rakyat biasa. Andaikan anda  mengatakan bahwa boleh berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan maka anda bisa kafir karena sebab itu. Walaupun anda bukan seorang penguasa, walaupun anda bukan seorang pemimpin.
Masalah memberontak kepada penguasa adalah masalah yang perlu ditelaah keadaannya, oleh karena itulah Nabi bersabda:

إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان

“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari dalam kitab Al Fitan, no. 7056)
Dan ini pun jika umat memiliki kekuatan yang mampu untuk menggulingkan penguasa yang batil.
Adapun pemberontakan yang dilakukan oleh individu atau orang-orang awam yang mereka ini melakukan pengrusakan bukan perbaikan maka tidak boleh hukumnya. Ini akan membahayakan masyarakat dan tidak memberikan manfaat apa pun untuk mereka.

Beberapa Kalam Para Aimah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

     Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat). Para aimah Ahlus Sunnah telah menjelaskan makna dari ayat tersebut (Al Maidah :44) sebagai berikut :

1▪ Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Telah berkata Isma’il bin Sa’d dalam Suaalaat Ibni Haani’ (2/192) :

سألت أحمد: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾، قلت: فما هذا الكفر؟ قال: "كفر لا يخرج من الملة"

“Aku bertanya kepada Ahmad tentang firman Allah : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’. Apakah yang dimaksud kekafiran di sini ?”. Maka ia menjawab : “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama”.

2▪. Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thabariy rahimahullah. Beliau berkata :

وأولـى هذه الأقوال عندي بـالصواب, قول من قال: نزلت هذه الاَيات فـي كافر أهل الكتاب, لأن ما قبلها وما بعدها من الاَيات ففـيهم نزلت وهم الـمعِنـيون بها, وهذه الاَيات سياق الـخبر عنهم, فكونها خبرا عنهم أولـى. فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس.....

”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan ini menurutku adalah adalah, perkatan orang yang mengatakan bahwa : ”Ayat ini turun pada orang-orang kafir dari Ahli Kitab, karena sebelum dan sesudah (ayat tersebut) bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dan konteks ayat ini juga mengkhabarkan tentang mereka. Sehingga keberadaan ayat ini sebagai khabar tentang mereka lebih didahulukan”. Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan : ”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan tentang mereka bahwa dengan sebab merka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas....” (Jamii’ul-Bayaan/Tafsir Ath-Thabari, 6/166).

3▪Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :

أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق

"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" (lihat Zaadul-Masiir 2/366)

4▪Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusiy rahimahullah. Beliau berkata :

وأجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمد ذلك عالما به، رويت في ذلك آثار شديدة عن السلف، وقال الله عز وجل: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾،﴿ الظَّالِمُونَ ﴾،﴿ الْفَاسِقُونَ ﴾ نزلت في أهل الكتاب، قال حذيفة وابن عباس: وهي عامة فينا؛ قالوا ليس بكفر ينقل عن الملة إذا فعل ذلك رجل من أهل هذه الأمة حتى يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر روي هذا المعنى عن جماعة من العلماء بتأويل القرآن منهم ابن عباس وطاووس وعطاء

”Para ulama telah bersepakat bahwa kecurangan dalam hukum termasuk dosa besar bagi yang sengaja berbuat demikian dalam keadaan mengetahui akan hal itu. Diriwayatkan atsar-atsar yang banyak dari salaf tentang perkara ini. Allah ta’ala berfirman : (Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir) , (orang-orang yang dhalim), dan (orang-orang yang fasiq) ; ayat ini turun kepada Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhum telah berkata : ”Ayat ini juga umum berlaku bagi kita”. Mereka berkata : ”Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama apabila seseorang dari umat ini (kaum muslimin) melakukan hal tersebut hingga ia kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir. Diriwayatkan makna ini oleh sejumlah ulama ahli tafsir, diantaranya : Ibnu ’Abbas, Thawus, dan ’Atha’” (lihat At-Tamhiid, 5/74).

5▪Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata :

وإذا كان من قول السلف: (إن الإنسان يكون فيه إيمان ونفاق)، فكذلك في قولهم: (إنه يكون فيه إيمان وكفر) ليس هو الكفر الذي ينقل عن الملّة، كما قال ابن عباس وأصحابه في قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قالوا: كفروا كفراً لا ينقل عن الملة، وقد اتّبعهم على ذلك أحمد بن حنبل وغيره من أئمة السنة

”Ketika terdapat perkataan salaf : Sesungguhnya manusia itu terdapat padanya keimanan dan kemunafikan. Begitu juga perkataan mereka : Sesungguhnya manusia terdapat padanya keimanan dan kekufuran. (Kufur yang dimaksud) bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama. Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbas dan murid-muridnya dalam firman Allah ta’ala : ”Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” ; mereka berkata : ”Mereka telah kafir dengan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama”. Hal tersebut diikuti oleh Ahmad bin Hanbal dan selainnya dari kalangan imam-imam sunnah.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/312).

6▪Al-Imam Al-Haafizh Ibnul-Qayyim rahimahullah. Beliau berkata :

وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: "لا إيمان لمن لا أمانة له". فنفى عنه الإيمان ولا يوجب ترك أداء الأمانة أن يكون كافرا كفرا ينقل عن الملة. وقد قال ابن عباس في قوله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}: ليس بالكفر الذي يذهبون إليه. وقد قال طاووس: سئل ابن عباس عن هذه الآية فقال: هو به كفر, وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه ورسله. وقال أيضا: كفر لا ينقل عن الملة.....

“Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak beriman orang yang tidak mempunyai amanah’. Di sini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menafikkan darinya keimanan, namun tidaklah berkonsekuensi atas hal tersebut bagi orang yang tidak menunaikan amanat menjadi kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama (islam). Telah berkata Ibnu ‘Abbas atas firman Allah ta’ala ‘Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ : ‘Bahwasannya ia bukanlah kekufuran sebagaimana yang mereka (Khawarij) maksudkan’. Thaawus berkata : Ibnu ‘Abbas pernah ditanya tentang ayat ini, maka ia menjawab : ‘Itu adalah kekufurannya, namun tidak seperti halnya orang yang kufur terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya’. Ia berkata pula : ‘Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama’…” (lihat Ash-Shalaah wa Ahkaamu Taarikihaa, hal 54-55).

7▪Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah. Beliau berkata :

فالحكم بغير ما أنزل الله من أعمال أهل الكفر، وقد يكون كفرً ينقل عن الملة، وذلك إذا اعتقد حله وجوازه، وقد يكون كبيرة من كبائر الذنوب، ومن أعمال الكفر قد استحق من فعله العذاب الشديد .. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قال ابن عباس: كفر دون كفر، وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق، فهو ظلم أكبر عند استحلاله، وعظيمة كبيرة عند فعله غير مستحل له

”Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah termasuk perbuatan orang-orang kafir, kadangkala hal itu bisa mengeluarkannya dari Islam. Yang demikian itu apabila ia meyakini tentang kebolehannya. Dan kadangkala ia merupakan dosa besar, dan hal ini termasuk perbuatan orang-orang kafir yang berhak atas perbuatannya adzab yang keras..... {Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir}, telah berkata Ibnu ’Abbas : Kekufuran di bawah kekufuran (kufur ashghar), kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasiqan di bawah kefasiqan. Hal iu menjadi kedhaliman yang besar apabila menghalalkannya, dan menjadi dosa besar apabila tidak menghalalkannya” (lihat Taisir Kariimir-Rahman, 2/296-297).



Kesimpulan Dan Penutup

▪Berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah adalah haram (bisa kafir, zhalim ataupun fasiq).

Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).

Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :

فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله

“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kezhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” (lihat Al-Fishaal juz 3 hal. 234)

▪Sebuah negeri bisa berubah statusnya menjadi negeri kafir apabila pemimpin dan mayoritas rakyatnya kafir, kemudian berubah menjadi negeri Islam apabila pemimpin dan mayoritas penduduknya muslim. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

فَقَدْ تَكُونُ الْبُقْعَةُ دَارَ كُفْرٍ إذَا كَانَ أَهْلُهَا كُفَّارًا ثُمَّ تَصِيرُ دَارَ إسْلَامٍ إذَا أَسْلَمَ أَهْلُهَا

“Suatu negeri itu berubah statusnya sesuai dengan perubahan penduduknya, suatu negeri bisa menjadi negeri kafir apabila dihuni oleh orang-orang kafir, kemudian berubah statusya menjadi negeri Islam apabila penduduknya masuk Islam”. (lihat Majmu’ fatawa 27/143).

▪ Yang dimaksud negeri syirik (kafir) ialah negeri yang menampakkan syiar kekafiran dan tidak bisa ditegakkan syi'ar Islam di dalamnya secara menyeluruh seperti adzan, shalat, jamaah, shalat hari raya 'Id dan shalat Jum'at. Saya katakan menyeluruh (mayoritas wilayah) karena ada sebagian tempat yang menegakkan syi'ar Islam tapi hanya terbatas tempat tertentu, seperti yang dilakukan kaum minoritas muslim yang hidup di negeri kafir. Ini tidak bisa dikategorikan negeri Islam. Yang bisa dikatakan negeri Islam hanya negeri yang mampu menegakkan dan menghidupkan syiar Islam secara menyeluruh di (mayoritas) setiap tempat negeri tersebut. Sebagaimana dijelaskan syaikh Utasaimin dalam Syarh Tsalatsatul Ushul. Sehingga negeri kita insya Allah zhahirnya termasuk negeri muslim karena syiar Islam terutama adzan dan sholat tampak di negeri ini yang mayoritasnya muslim. Kekafiran berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan yaitu kafir ashghor yang tidak sampai keluar dari millah/agama Islam. Sehingga kewajiban kita menasihatinya.

▪ Hanya para ulama' mujtahidun yang berhak ijtihad untuk umat terkait pengkafiran sebuah negeri beserta para penguasanya. Orang-orang bodoh atau anjing-anjing yang menyembah hawa nafsu tidak berhak bicara atau ijtihad untuk umat.

Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."

Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rahman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





 

Jumat, 28 April 2023

Rukun Tauhid "Ingkar Thoghut Dan Beriman Kepada Allah"






















Revisi :


Rukun Tauhid "Ingkar Thoghut Dan Beriman Kepada Allah"
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

     Allah Ta’ala berfirman :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-Baqarah : 256).

     Dalam ayat ini terkandung rukun tauhid. Firman Allah, فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ “Siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari “Laa ilaha” rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ “dan beriman kepada Allah” adalah makna dari rukun kedua, “illallah”.

     Pada umumnya orang-orang takfiriy (= gemar mengkafirkan orang) seringkali menggunakan ayat tersebut dan ayat-ayat semisal untuk takfir mu'ayyan tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah. Dengan dalih itu termasuk rukun tauhid. Mungkin karena banyak dari mereka yang beranggapan bahwa semua thaghut yang diperintahkan untuk diingkari adalah kafir, padahal tidak semua thaghut itu kafir. Atau mungkin karena mereka menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman sendiri tanpa melihat kitab tafsir yang ditulis para aimah Ahlus Sunnah, sehingga banyak dari mereka menggunakan ayat tersebut dalil wajibnya takfir mu'ayyan tanpa bayanul hujjah ataupun iqamatul hujjah.

     Kita memang diwajibkan ingkar thaghut, yang mana termasuk thoghut adalah setiap yang menyeru kepada segala bentuk kesesatan baik berupa kesyirikan ataupun bid'ah. Dan tidak semua thoghut itu dihukumi kafir, karena dirham, dinar, pemakan risywah, dan pembesar ahlu bid'ah pun juga termasuk thaghut. Jadi jika kita mengingkari bid'ah dan pelakunya, maka itu juga termasuk bentuk ingkar kita kepada thaghut. Sehingga jika ada segolongan orang yang enggan dan melarang kita mengingkari bid'ah dan pelaku bid'ah, maka itu qorinah atau indikasi mereka tidak paham tauhid atau tauhidnya bermasalah.? Sekalipun mereka mengklaim "pahlawan muwahidun", tapi hakekatnya pada diri mereka sendiri masih melekat paham murji'ah. Wa Allahu a'lam. Laa haula wa laa quwwata illa billah.


     Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 256

     Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

وَقَوْلُهُ: ﴿فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾ أَيْ: مَنْ خَلَعَ الْأَنْدَادَ وَالْأَوْثَانَ(٧) وَمَا يَدْعُو إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ مِنْ عِبَادَةِ كُلِّ مَا يُعْبَدُ مَنْ دُونِ اللَّهِ، وَوَحَّدَ اللَّهَ فَعَبَدَهُ وَحْدَهُ وَشَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ ﴿فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى﴾ أَيْ: فَقَدْ ثَبَتَ فِي أَمْرِهِ وَاسْتَقَامَ عَلَى الطَّرِيقَةِ الْمُثْلَى وَالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ.
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو رَوْحٍ الْبَلَدِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ سَلَّامُ بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ حَسَّانَ -هُوَ ابْنُ فَائِدٍ الْعَبْسِيُّ-قَالَ: قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ الجِبت: السَّحَرُ وَالطَّاغُوتَ: الشَّيْطَانُ، وَإِنَّ الشَّجَاعَةَ وَالْجُبْنَ غَرَائِزُ تَكُونُ فِي الرِّجَالِ يُقَاتِلُ الشُّجَاعُ عَمَّنْ لَا يَعْرِفُ وَيَفِرُّ الْجَبَانُ مِنْ(٨) أُمِّهِ، وَإِنَّ كَرَمَ الرَّجُلِ دِينُهُ، وَحَسَبَهُ خُلُقُهُ، وَإِنْ كَانَ فَارِسِيًّا أَوْ نَبَطِيًّا. وَهَكَذَا رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ(٩) وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ الثَّوْرِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ حَسَّانَ بْنِ فَائِدٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ عُمَرَ فَذِكَرَهُ.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ فِي الطَّاغُوتِ: إِنَّهُ الشَّيْطَانُ قَوِيٌّ جِدًّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ كُلَّ شَرٍّ كَانَ عَلَيْهِ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ وَالتَّحَاكُمِ إِلَيْهَا وَالِاسْتِنْصَارِ بِهَا.

"Firman Allah :
{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
"Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 256)
Yakni barang siapa yang melepaskan semua tandingan dan berhala-berhala serta segala sesuatu yang diserukan oleh syaithan berupa penyembahan kepada selain Allah, lalu ia mentauhidkan Allah dan menyembah-Nya semata serta bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Dia, berarti ia seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya: فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا "maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (QS. Al-Baqarah: 256)
Yaitu berarti perkaranya telah mapan dan berjalan lurus di atas tuntunan yang baik dan jalan yang lurus.
Abul Qasim Al-Baghawi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al-Baladi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas (yaitu Salam ibnu Salim), dari Abu Ishaq, dari Hassan (yaitu Ibnu Qaid Al-Absi) yang menceritakan bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya al-jibt adalah sihir, dan taghut adalah syaithan. Sesungguhnya sifat berani dan sifat pengecut ada di dalam diri kaum lelaki; orang yang pemberani berperang membela orang yang tidak dikenalnya, sedangkan orang yang pengecut lari tidak dapat membela ibunya sendiri. Sesungguhnya kehormatan seorang lelaki itu terletak pada agamanya, sedangkan kedudukannya terletak pada akhlaknya, sekalipun ia seorang Persia atau seorang Nabat."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui riwayat As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Hassan ibnu Qaid Al-Abdi, dari Umar.
Makna ucapan Umar tentang taghut : bahwa taghut adalah syaithan yang sangat kuat, karena sesungguhnya pengertian tersebut mencakup semua bentuk keburukan yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah, seperti menyembah berhala dan meminta keputusan hukum kepadanya serta membelanya." (lihat Tafsir Ibnu Katsir)




Benarkah Setiap Thoghut Itu Dihukumi Kafir ?


     Untuk menjawabnya maka kita akan bahas lebih dahulu tentang makna dan hakekat thaghut. Para ulama mempunyai beragam perkataan diantaranya :

1▪Thaghut bisa berupa berhala/patung yang disembah, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَخْبَرَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ عَلَى ذِي الْخَلَصَةِ "، وَذُو الْخَلَصَةِ: طَاغِيَةُ دَوْسٍ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah  bersabda : “Tidak akan tegak hari kiamat hingga pantat-pantat wanita suku Daus berjoget di Dzul-Khalashah”. Dzul-Khulashah adalah thaghut (berhala) suku Daus yang mereka sembah pada masa Jaahiliyyah. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 7116).

2▪Thaghut bisa berupa syaithan. Umar bin Khaththab radhiyaallahu 'anhu berkata :

قال: الطاغوت: الشيطان

"Thaghut yaitu syaithan." (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

3▪Thoghut bisa berupa setiap yang disembah selain Allah.

قال الإمام مالك رحمه الله : "الطاغوت ما عُبد من دون الله" .

Imam Malik berkata : "Thaghut adalah setiap sesuatu yang disembah selain Allah." (lihat Fathul Majid).

4▪ Thaghut bisa berupa batu dan patung.
    
قال العلامة ابن الجوزي – رحمه الله – : " وقال ابن قتيبة : كل معبود ؛ من حجر , أو صورة , أو شيطان : فهو جبت وطاغوت . وكذلك حكى الزجاج عن أهل اللغة " ..( نـزهة الأعين النواظر ص 410 ، باب الطاغوت ).

Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata : “Ibnu Qutaibah berkata : ‘Segala sesuatu yang disembah baik berupa batu, patung, ataupun syaithan, maka ia adalah jibt dan thaghut’. Dan begitulah yang dihikayatkan oleh Az-Zujaaj dari para pakar bahasa.” (lihat Nuzhatul-A’yun An-Nawaadhir, hal. 410).

5▪Thaghut bisa berupa dukun, sebagaimana riwayat :

وجاء عن جابر بن عبد الله قال: كهان كانت تنزل عليهم الشياطين

Jabir radhiyaallahu 'anhu berkata : "Thaghut adalah para dukun yang didatangi syaithan-syaithan." (lihat Fathul Majid)

6▪Thaghut bisa berupa tukang sihir, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا دَاوُدُ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، أَنَّهُ قَالَ: " الطَّاغُوتُ: السَّاحِرُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud, dari Abul-‘Aaliyyah, bahwasannya ia berkata : “Thaghut, yaitu tukang sihir.” (lihat Tafsir Ath-Thabariy, 4/557; shahih).

7▪Thaghut yaitu segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah.
     Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahullah mencoba merangkum pendefinisian thaghut :

والصواب من القول عندي في"الطاغوت"، أنه كل ذي طغيان على الله، فعبد من دونه، إما بقهر منه لمن عبده، وإما بطاعة ممن عبده له، وإنسانا كان ذلك المعبود، أو شيطانا، أو وثنا، أو صنما، أو كائنا ما كان من شيء

“Dan yang benar menurutku tentang perkataan thaghut, bahwasannya ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah, lalu diibadahi selain dari-Nya, baik dengan adanya paksaan kepada orang yang beribadah kepadanya, atau dengan ketaatan orang yang beribadah kepadanya. Sesuatu yang diibadahi itu bisa berupa manusia, syaithan, berhala, patung, atau yang lainnya.” (lihat Tafsir Ath-Thabariy, 5/419).

8▪Thaghut bisa berupa segala sesuatu yang disembah selain Allah, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ، ثنا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ لِي مَالِكٌ " الطَّاغُوتُ: مَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : Telah menceritakan kepada kami Yunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Maalik pernah berkata kepadaku : “Thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah” (lihat Tafsir Ibni Abi Haatim, no. 2622; shahih).

9▪Beberapa ulama memutlakkannya dengan semua orang yang menyeru kepada kesesatan, sebagaimana perkataan Al-Qurthubiy rahimahullah :

قال العلامة القرطبي – رحمه الله – تحت قوله تعالى : " ولقد بعثنا في كل أمة روسلاً أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت " :
" أي : اتركوا كل معبود دون الله ؛ كالشيطان , والكاهن , والصنم , وكل من دعا إلى الضلال " .. ( تفسيره 5/75 ) .

“Ayat : dan jauhilah thaghuut’, maknanya : tinggalkanlah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, seperti syaithaan, dukun, berhala, dan semua yang menyeru kepada kesesatan” (lihat Tafsiir Al-Qurthubiy, 5/75).

10▪Thaghut yaitu setiap pemimpin kesesatan 
     Ibnul-Mandhur rahimahullah berkata :

الطاغوتُ ما عُبِدَ من دون الله عز وجل وكلُّ رأْسٍ في الضلالِ طاغوتٌ وقيل الطاغوتُ الأَصْنامُ وقيل الشيطانُ وقيل الكَهَنةُ وقيل مَرَدةُ أَهل الكتاب

Thaaghuut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla.  Dan segala pemimpin kesesatan adalah thaaghuut. Dikatakan, thaghut adalah berhala-berhala. Dikatakan pula : syaithaan dan dukun.” (Lisaanul-‘Arab, hal. 2722 – materi kata طوغ).

11▪Thaghut yaitu Laata, uzza, sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan orang-orang durhaka dari ahli kitab.

وقال الفيروز آبادي – رحمه الله – : " والطاغوت : اللات , والعزى , والكاهن , والشيطان , وكل رأس ضلال , والأصنام ، وما عبد من دون الله , ومردة أهل الكتاب " ..( القاموس المحيط ، مادة : طغا ) .

     Al-Fairuz Abadiy rahimahullah berkata :
“Dan thaghuut adalah Laata, ‘Uzza, dukun, syaithan, semua pemimpin kesesatan, berhala, sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan orang-orang durhaka dari Ahlul-Kitab” (lihat Al-Qamus Al-Muhith)

12▪Thaghut yaitu setiap orang yang memalingkan dari jalan kebaikan/kebenaran.

قال الراغب الأصفهاني – رحمه الله – : ....فعبارة عن كل متعد، ولما تقدم سمى الساحر والكاهن والمارد من الجن والصارف عن طريق الخير طاغوتا
(مفردات غريب القرآن - الراغب الأصفهانى - الصفحة ٣٠٥)
http://shiaonlinelibrary.com/
Ar-Raaghib Al-Asfahaaniy rahimahullah berkata :
"...Jadi itu adalah sebutan untuk setiap pelanggar, dan yang telah dimaksudkan dengannya yaitu tukang sihir, dukun peramal, pentolan jin yang durhaka, dan orang yang berpaling/menyimpang dari jalan kebaikan disebut thaghut." (lihat Mufrodat Ghorib Al Qur'an)

13▪Thaghut mencakup juga dinar dan dirham, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وهو اسمُ جنسٍ يدخل فيه : الشيطان والوثن والكهان والدرهم والدينار وغير ذلك

“Ia (thaghut) merupakan isim jenis yang masuk padanya : syaithan, berhala, dukun, dirham, dinar, dan yang lainnya” (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa, 16/565).

14▪Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan definisi yang lebih mencakup dengan perkataannya :

والطاغوت كل ما تجاوز به العبد حده من معبود و متبوع أو مطاع فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله أو يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة الله
( أعلام الموقعين 1/50 ) .

Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas; baik sesuatu itu dari hal yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. Maka thaghut itu setiap kaum yang berhukum kepadanya selain dari Allah dan Rasul-Nya, atau mereka menyembah selain dari Allah, atau mereka mengikutinya tanpa adanya pentunjuk dari Allah, atau mereka mentaatinya terhadap segala sesuatu yang tidak mereka ketahui bahwasannya hal itu merupakan ketaatan kepada Allah” (lihat I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/50).

15▪Thoghut yaitu orang yang menyimpang dari Al Qur'an dan As Sunnah dengan berhukum kepada selain keduanya.
     Ibnu Katsiir rahimahullah ketika menafsirkan ayat :

يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”  (QS. An-Nisaa’ : 60). Beliau berkata :

والآية أعم من ذلك كله، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة، وتحاكموا إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هاهنا

“Dan ayat tersebut lebih umum maknanya dari semua yang disebutkan itu, karena ia merupakan celaan bagi orang yang menyimpang dari Al-Qur’am dan As-Sunnah, dan mereka berhukum kepada selain keduanya, yaitu kepada kebathilan. Itulah yang dimaksudkan dengan thaaghuut pada ayat ini” (lihat Tafsir Ibni Katsiir, 2/346).

16▪ Thaghut itu mencakup orang yang memakan uang suap dan beramal tanpa ilmu.

وقال الإمام محمد بن عبد الوهاب – رحمه الله – : " والطواغيت كثيرة , والمُتبيِّـن لنا منهم خمسة : أولهم الشيطان , وحاكم الجور , وآكل الرشوة , ومن عُبدَ فرضِيَ , والعامل بغير علم " .. ( الدرر السنية 1/137 )

     Imam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata : Thaghut itu banyak jenisnya, dan yang telah kami jelaskan di antaranya ada lima, yaitu : syaithan, hakim yang curang, pemakan risywah (uang sogok), orang yang diibadahi (selain Allah) dan ia ridlaa, serta orang yang beramal tanpa ilmu.” (lihat Ad-Durarus-Saniyyah, 1/137).

17▪Mencakup pula orang yang merubah hukum Allah dan/atau tidak berhukum dengan hukum Allah, sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang lain :

والطاغوت عام، فكل ما عُبد من دون الله، ورضي بالعبادة من معبود أو متبوع أو مطاع في غير طاعة الله ورسوله، فهو طاغوت.
والطواغيت كثيرة ورؤوسهم خمسة:
(الأول): الشيطان الداعي إلى عبادة غير الله، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}.
( الثاني ): الحاكم الجائر المغير لأحكام الله تعالى، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً}.
( الثالث ): الذي يحكم بغير ما أنزل الله، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}...
( الرابع ): الذي يدعي علم الغيب من دون الله، والدليل قوله تعالى:{عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً}. وقال تعالى:{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}.
( الخامس ): الذي يعبد من دون الله وهو راض بالعبادة، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ}.

"Thoghut itu pengertiannya umum. Setiap apa yang diibadahi selain Allah dan dia ridha dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah Thoghut.
Thaghut itu banyak macamnya, dan biang-biangnya ada lima, yaitu :
Pertama, syaithan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaithaan? Sesungguhnya syaithaan itu adalah musuh yang nyata bagimu’. (QS. Yasin : 60).
Kedua, penguasa lalim yang merubah hukum-hukum Allah ta’ala, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 60).
Ketiga, orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44).
Keempat, orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, padahal itu adalah hak khusus Allah; dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala ‘(Dia adalah Rabb) yang mengetahui hal ghoib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghoib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya’ (QS. Al-Jin : 26-27); dan firman-Nya : ‘Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)’ (QS. Al-An’aam : 59).
Kelima, segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut. Adapun dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan, 'Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain daripada Allah', maka orang itu kami beri balasan dengan Jahannam, demikian kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al-Anbiyaa’ : 29)” (lihat Majmuu’ Rasaail fit-Tauhiid wal-Iimaan, hal. 377-378).

18▪Thoghut itu banyak, pemimpinnya ada 5.

والطواغيت كثيرة، ورؤوسهم خمسة: إبليس لعنه الله، ومن عبد وهو راض، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه، ومن ادعى شيئا من علم الغيب، ومن حكم بغير ما أنزل الله

Thaghut itu banyak macamnya, dan biangnya ada lima : (1) Iblis la’natullah, (2) orang yang diibadahi selain Allah dan ia ridlaa kepadanya, (3) orang yang menyeru manusia untuk meng-ibadahi dirinya, (4) orang yang mengklaim mengetahui ilmu ghaib, dan (5) orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” (lihat Tsalaatsatul-Ushuul, hal. 195).

19▪Thaghut yaitu ulama suu'.

وقال الإمام ابن عثيمين – رحمه الله – : " وعلماء السوء الذين يدعون إلى الضلال والكفر , أو يدعون إلى البدع , أو إلى تحليل ما حرم الله , أو تحريم ما أحل الله : طواغيت " .. ( شرح الأصول الثلاثة ص 151 ) .

     Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata : “Dan ‘ulama suu’ (yang jelek) yang mengajak kepada kesesatan dan kekufuran, atau mengajak kepada kebid’ahan, atau mengajak kepada menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka mereka disebut thaghut.” (lihat Syarh Ushuul Tsalatsah hal. 151).

     Dari sini kita dapat mengetahui kekeliruan orang-orang takfiriy (yang mewajibkan takfir mu'ayyan tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah). Karena tidak semua yang disebut thaghut itu adalah kafir. Sebagian thaghut memang kafir diantaranya iblis, syaithan, dukun, dan tukang sihir karena dalil-dalil secara jelas menunjukkan akan kekafirannya. Akan tapi apakah patung dan batu itu juga dihukumi kafir.?Jawabannya : Tentu tidak, karena patung dan batu adalah benda mati yang tidak bisa disifati dengan kekufuran, sebagaimana tidak bisa disifati dengan lawannya (iman dan Islam). Hal yang sama dengan dinar dan dirham yang menjadi thaghut bagi orang yang tamak kepadanya.

     Begitu juga dengan pemakan risywah/suap. Walaupun ia termasuk pelaku dosa besar, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ ". قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari pamannya (jalur ibu) Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Salamah, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Rasulullah  melaknat orang yang memberikan uang suap dan orang yang menerima uang suap” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1337, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih). Namun memakan suap bukanlah jenis dosa yang secara asal menyebabkan pelakunya terjerembab dalam kekafiran (akbar) berdasarkan kesepakatan Ahlus-Sunnah.

الإمام ابن عبد البر المالكي (ت 463هـ):
يقول: “وقد اتَّفق أهل السنة والجماعة -وهم أهل الفقه والأثر- على أن أحدًا لا يخرجه ذنبه -وإن عظم- من الإسلام، وخالفهم أهل البدع” (التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد (17/ 22)).

     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah – dan mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu dosa besar –, dan ahlu bid'ah menyelisihi mereka." (lihat At-Tamhiid).

     Begitu juga dengan ulama suu’ dan mubtadi’ atau ahlul-bid’ah yang menyeru kepada kesesatan. Mereka tidak bisa dimutlakkan kafir, karena para Ahlus-Sunnah telah memerincinya, apakah bid’ah yang didakwakannya itu merupakan bid’ah mukaffirah atau ghairu mukaffirah. Telah berkata Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakamiy dalam kitabnya Ma’aarijul Qabul (2/503-504) :

ثم البدع بحسب إخلالها بالدين قسمان: مكفرة لمنتحلها. وغير مكفرة.

فضابط البدعة المكفرة : من أنكر أمرا مجمعا عليه ، متواترا من الشرع ، معلوما من الدين بالضرورة ، من جحود مفروض ، أو فرض مالم بفرض ، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ،أو اعتقاد ماينزه الله ورسوله وكاتبه عنه...

والبدعة غير المكفرة: هي مالم يلزم منه تكذيب بالكتاب ، ولابشىء مما أرسل به، ثم مثل لذلك فقال: مثل بدع المروانية، أي – بدع حكام الدولة من بني مروان التي أنكرها عليهم فضلاء الصحابة ، ولم يقروهم عليها- ومع ذلك لم يكفروهم بشىء منها، ولم ينزعوا يدا من بيعتهم لأجلها، كتأخير بعض الصوات عن وقتها ، وتقديمهم الخطبة قبل صلاة العيد...

“Kemudian bid’ah sesuai dengan pengrusakannya terhadap agama dibagi menjadi dua : (1) Mengkafirkan pelakunya, dan (2)Tidak mengkafirkan pelakunya.

Batasan bid’ah yang mengkafirkan pelakunya adalah bila seseorang mengingkari perkara-perkara yang telah disepakati, mutawatir dalam syari’at, diketahui secara pasti termasuk bagian dari agama, mengingkari kewajiban atau mewajibabkan perkara yang tidak wajib, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau meyakini sesuatu yang telah dibersihkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta kitab-Nya...

Sedangkan bid’ah yang tidak mengkafirkan pelakunya adalah bid’ah yang tidak menjadikan seseorang mendustakan Kitab atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bid’ah Marwaniyyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang diada-adakan oleh pemerintah Bani Marwan yang diingkari oleh tokoh-tokoh shahabat. Meskipun demikian, para shahabat tidak mengkafirkan mereka dengan sebab bid’ah tersebut, dan juga tidak mencabut bai’at dari mereka akibat bid’ah tadi. Misalnya : bid’ah mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum shalat ‘Ied....” (lihat Ma'arijul Qabul)

     Demikian juga dengan penguasa zhalim, ia tidak bisa dimutlakkan dengan kekafiran. Rasulullah  pernah bersabda tentang kemunculan atsarah :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ

Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudh.”  (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 7057 dan Muslim no. 1845). An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang zhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya).” (lihat Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232).

     Perintah bersabar (dan larangan keluar dari ketaatan) merupakan nash bahwa atsarah-atsarah tersebut tidaklah dihukumi kafir (murtad). Sehingga pensifatan thaghut kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah pun demikian, yaitu tidak bisa dimutlakkan kepada kekafiran, karena ia membutuhkan perincian sebagaimana dimaklumi di kalangan Ahlus-Sunnah.

     Kesimpulannya kekafiran thaghut itu harus dikembalikan setiap jenisnya dan dalil yang menopangnya. Barangsiapa yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kita menghukuminya kafir. Demikian sebaliknya barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh seorangpun yang menghukuminya kafir. Kekafiran itu bukan semata-mata pensifatan thaghut pada sesuatu.

قاعدة أهل السنة والجماعة : “لا نكفر أحدًا من أهل القبلة بذنبٍ ما لم يستحلَّه” بيانٌ ودفع شبهة




Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Seputar Takfir 'Am (Takfir Umum) Dan Takfir Mu'ayyan


☆  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَقَرَّرْته أَيْضًا فِي أَصْلِ ” التَّكْفِيرِ وَالتَّفْسِيقِ ” الْمَبْنِيِّ عَلَى أَصْلِ الْوَعِيدِ. فَإِنَّ نُصُوصَ ” الْوَعِيدِ ” الَّتِي فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَنُصُوصَ الْأَئِمَّةِ بِالتَّكْفِيرِ وَالتَّفْسِيقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَا يُسْتَلْزَمُ ثُبُوتُ مُوجَبِهَا فِي حَقِّ الْمُعَيَّنِ إلَّا إذَا وُجِدَتْ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْأُصُولِ وَالْفُرُوعِ.

“Dan telah aku tetapkan juga pada prinsip Takfir dan Tafsiq yang dibangun di atas dasar dalil-dalil ancaman, sesungguhnya teks-teks ancaman yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah serta ucapan-ucapan (muthlaq) para imam dalam takfir, tafsiq dan yang semisalnya tidak mengharuskan adanya pengkafiran terhadap individu tertentu yang melakukan kekafiran tersebut (mu’ayyan), kecuali apabila terpenuhi syarat-syarat dan terangkat penghalang-penghalang (dalam pengkafirannya), tidak ada bedanya dalam perkara prinsip maupun cabang.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10/372)

☆  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّكْفِيرَ لَهُ شُرُوطٌ وَمَوَانِعُ قَدْ تَنْتَقِي فِي حَقِّ الْمُعَيَّنِ وَأَنَّ تَكْفِيرَ الْمُطْلَقِ لَا يَسْتَلْزِمُ تَكْفِيرَ الْمُعَيَّنِإلَّا إذَا وُجِدَتْ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ

“Bahwa takfir memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang dalam mengkafirkan individu tertentu (mu’ayyan), dan bahwa takfir secara umum (muthlaq) tidak mengharuskan takfir terhadap individu tertentu (mu’ayyan), kecuali apabila terpenuhi syarat-syarat dan terangkat penghalang-penghalang.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 12/488)

☆  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,

مَنْ نَقَصَ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ تَكَلَّمَ بِمَا يَدُلُّ عَلَى نَقْصِ الرَّسُولِ كَفَرَ؛ لَكِنَّ تَكْفِيرَ الْمُطْلَقِ لَا يَسْتَلْزِمُ تَكْفِيرَ الْمُعَيَّنِ

“Barangsiapa merendahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam atau mengatakan ucapan yang melecehkan beliau maka ia kafir, akan tetapi takfir muthlaq (umum) tidak mengharuskan takfir mu’ayyan…” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 35/99)




Pembahasan Dan Kesimpulan


Dari penjelasan para 'ulama maka bisa kita ketahui bahwa tidak semua thaghut itu kafir. Thaghut yang kafir diantaranya : iblis, para syaithan, tukang sihir, dukun, Fir'aun dan semisal. Sedang thaghut yang tidak dihukumi kafir diantaranya : dirham, dinar, patung, ahlu bid'ah, pemakan risywah dan semisal. Sehingga wajibnya ingkar thoghut yang termasuk rukun tauhid itu tidaklah sama dengan paham takfiriy yang mewajibkan takfir mu'ayyan tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah. Yang mana mereka (hizb takfiriy) zhahirnya tidak mampu sebutkan dalil beserta salafnya.

Pengingkaran kita terhadap thaghut bisa dengan perbuatan (dengan tangan atau minimal melakukan hajr tark), dengan lisan berupa ucapan dan minimal dengan hati (yang menunjukkan selemah-lemah iman). Diantara bentuk realisasi pengingkaran kita terhadap thaghut dengan lisan bisa berupa takfir 'am/takfir nau'/takfir mutlaq, tabdi' ataupun jarh secara umum meski tanpa bayanul hujjah  ataupun iqomatul hujjah. Contoh :
(1) "pelaku syirik akbar adalah musyrik dan kafir",
(2) "orang yang meninggalkan sholat adalah kafir",
(3) "para penyembah kuburan adalah musyrik dan kafir",
(4) "pelaku bid'ah adalah mubtadi'/ahlu ahwa'",
(5) "siapa yang sengaja menyelisihi satu perkara saja dari ushulus Sunnah, maka bukan termasuk ahlinya",
(6) "para penyeru kebathilan adalah syaithon pendusta",
(7) "para penyembah dirham dan dinar adalah kafir",
(8) "jam'iyyah, muassasah/yayasan adalah bid'ah hizbiyyah",
(9) "siapa yang  sengaja menghalalkan shuroh makhluk bernyawa (foto,video) yang Allah haramkan, maka kafir"
(10) "orang yang sengaja menjadi pembela bid'ah panti asuhan TN/TB adalah ahlu ahwa'."
(11) "dusta bukan tabiat seorang mukmin..tapi tabiat orang munafiq."
(12) "masjid hizbiyyah yang dibangun para pemilik jam'iyyah termasuk masjid dhiror."
(13) "orang yang enggan mengerjakan sholat Jum'at di belakang/ma'al umara' (amir yang sah/wakilnya) adalah ahlu bid'ah wal furqoh."
(14) "kelompok takfiriy dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu laksana anjing."
(15) "para penyembah ahbar/umaro'/akabir/ulama ataupun penyembah hawa nafsu..sehingga menghalalkan perkara yang Allah haramkan berarti telah berbuat syirik akbar dan dosanya tidak diampuni Allah..fitnahnya lebih besar daripada para penyembah qubur",
(16) "orang munafiq (nifaq akbar) itu jauh lebih buruk daripada orang kafir..",
(17) "orang yang berkeyakinan Allah dimana-mana ataupun meyakini di dunia ada makhluq (ayam jago dll) yang mampu melihat Allah maka kafir.."
(18) "orang yang mencerca Nabi dan para Shahabat maka kufur. Orang yang mencerca Ahlu Atsar/Ahlu hadits maka mubtadi'.."
(19) "syirik dan bid'ah itu sama-sama kesesatan. orang-orang yang melarang kita mengingkari bid'ah dan pelakunya maka termasuk paham murji'ah dan qorinah buruk tauhidnya (tauhidnya bermasalah) walau lesannya mengklaim muwahhidun.."
Insya Allah ini diantara yang membedakan paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dengan paham Murji'ah. Apa takfir dan tabdi' 'am seperti ini masih belum cukup.?? Apa hal ini masih belum jelas dan perlu ditambah.??


Kita wajib mengamalkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai paham Salaful Ummah. Dalam ayat Al Qur'an terkait kisah burung Hudhud itu hanya memberi kabar atau berita kepada nabi Sulaiman. Siapa Salaful Ummah yang memahami bahwa ayat tersebut adalah dalil wajibnya takfir mu'ayyan.?? Terlebih hewan bukan termasuk mukallaf dan tiada hak untuk menghukumi. Justru yang berhak menghukumi adalah nabi Sulaiman sehinga Hudhud diperintahkan mengirim risalah untuk membuktikan kebenarannya sebagai bentuk iqomatul hujjah sebelum takfir mu'ayyan.

➡ Dalam perkara takfir mu'ayyan dan tabdi' mu'ayyan hendaknya setelah bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah..ada dhowabith, syurut dan mawani'. Setahu kita itu yang diamalkan para Salafush Sholih dan itu termasuk ushul Ahlus Sunnah..yang diamalkan sejak zaman para Shahabat Nabi sampai 1000 tahun lebih. Di antara Shahabat Nabi ada yang mengetahui secara pasti keberadaan dan nama orang-orang munafiq yang kafir, demi kemashlahatan tetap dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Karena Nabi sendiri pun tidak menyebarluaskan keberadaan orang-orang munafiq lagi kafir tersebut secara mu'ayyan..karena mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Rasulullah menyampaikan secara rahasia nama orang-orang munafiq lagi kafir kepada Hudzaifah ibnul Yaman. Imam Adz Dzahabi menyebut Hudzaifah bin Al Yaman dalam kitabnya Siyar A’lam An Nubala dengan sebutan “Shahibus Sirri” (pemilik rahasia).
(Catatan :
Bukan hanya dalam perkara takfir mu'ayyan..dalam perkara tabdi' mu'ayyan pun insya Allah diriku jarang mengucapkan..walau hatiku kadang sudah meyakininya setelah iqomatul hujjah. Diriku mengucapkan tabdi' mu'ayyan biasanya : (1) jika sudah ada fatwa ulama, (2) darurat, atau (3) ketika iqomatul hujjah diriku dipaksa si penanya sehingga kujawab "zhohirnya bukan Ahlus Sunnah" setelah itu biasanya dia bagai syaithon yang kentut dan lari sambil menutup telinganya..dalam arti dia mengucapkan perkataan batil kemudia lari (nomorku diblokir) sebelum sempat memberi jawaban.
▪ Diriku umumnya hanya ucapkan takfir 'am atau tabdi' secara umum..itu saja sudah banyak yang membenci. Kuajak berhakim kepada Allah dengan mubahalah, pada umumnya enggan/menolak atau tidak ridho.
Jika mereka menantang gelut atau ingin diselesaikan dengan pedang..maka kusarankan ijin dulu kepada umaro'  (menteri agama dan Kapolri/kapolres).
▪Diriku insya Allah umumnya cukup takfir 'am atau tabdi' secara umum. Untuk takfir atau tabdi' mu'ayyan, maka wajib pertimbangkan mashlahat dan mafsadat..kemudian mengamalkan hajr tark dengan tujuan semoga diriku tidak tertular kejelekannya ataupun ikut menanggung dosa/adzab Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billah..)

➡ Dalam perkara takfir mu'ayyan dan tabdi' secara mu'ayyan..hendaknya kita juga pertimbangkan mashlahat dan mafsadat yang mana ini termasuk kaidah wajib dalam amar ma'ruf nahi munkar. Sekarang apa mashlahatnya mewajibkan takfir mu'ayyan tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah.? Jika memang realitanya bisa mendatangkan mashlahat lebih besar daripada mafsadatnya..maka Ahlus Sunnah tidak mengingkari perkara tersebut. Tapi jika yang terjadi justru sebaliknya yaitu tidak menjadikan pelakunya taubat dan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka hal tersebut tidak dibenarkan sehingga dalam kasus seperti ini perlu fatwa dari seorang 'alim. Terlebih jika menyangkut takfir mu'ayyan terhadap penguasa di sebuah negeri..maka orang-orang bodoh dan anjing-anjing yang menyembah hawa nafsu itu tidak berhak bicara ataupun ijtihad.

Kita memang diwajibkan ingkar thaghut dan perkara ini termasuk rukun tauhid. Setiap yang menyeru kepada segala bentuk kesesatan baik berupa kesyirikan ataupun bid'ah itu termasuk thaghut. Dan tidak semua thoghut itu dihukumi kafir..karena dirham, dinar, pemakan risywah, dan pembesar ahlu bid'ah pun juga termasuk thaghut. Jadi jika kita mengingkari bid'ah dan pelakunya, maka itu juga termasuk bentuk ingkar kita kepada thaghut. Sehingga jika ada segolongan orang yang enggan dan melarang kita mengingkari bid'ah dan pelaku bid'ah ataupun segala bentuk kemaksiatan, maka itu qorinah atau indikasi mereka tidak paham tauhid atau tauhidnya masih bermasalah.? Sekalipun mereka mengklaim "pahlawan muwahhidun", tapi hakekatnya pada diri mereka sendiri masih melekat paham murji'ah.

➡ Seorang mukmin hendaknya memiliki sifat inshof..siapa yang tidak memiliki sifat inshof maka perlu dipertanyakan keimanannya. Sehingga bagi mereka yang mewajibkan takfir mu'ayyan atas pelaku syirik akbar tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah..apabila diri mereka melakukan syirik akbar (menyembah ahbar, umara', akabir atau hawa nafsu sehingga sengaja menghalalkan berbagai bid'ah (jam'iyyah, muassasah, panti asuhan TN/TB dan semisal), maksiat (tasawwul (mengemis), shuroh makhluk bernyawa/foto/video dan perkara yang Allah haramkan) maka konsekwensinya juga wajib dikafirkan secara mu'ayyan meski tanpa iqomatul hujjah.??
Sehingga bisa-bisa orang tuanya kafir, saudaranya kafir, istrinya kafir..dst..jika terbukti melakukan syirik akbar walau karena jahl. Kemudian konsekwensinya juga apabila mayoritas orang sudah dihukumi kafir, maka jangan beli daging/makanan sembelihan di pasar/warung umum yang kafir...jika suami/istri ada melakukan syirik akbar yaitu menyembah ahbar'/hawa nafsu (menghalalkan bid'ah) maka wajib cerai..jika kakek/nenek/ortu melakukan syirik akbar maka hartanya tidak boleh diwarisi..jangan menikah dengan wanita dengan wali pelaku syirik akbar..pelaku syirik akbar tidak sah menjadi saksi karena kafir. Demikian juga pelaku syirik akbar (termasuk para penyembah ahbar/umara' atau hawa nafsu) jika mati haram disholati dan didoakan. Kemudian juga silahkan membuat kuburan sendiri..kuburan orang mukmin terpisah dari kuburan orang kafir. dst. Apa para penganut paham takfir mu'ayyan sanggup melaksanakan segala konsekwensinya.????

Jika takfir mu'ayyan tanpa iqomatul hujjah benar-benar wajib diterapkan sebagaimana paham kelompok takfiriy, mungkin tiada manusia yang bisa selamat dari kesesatan atau selamat dari takfir dan tabdi' kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlash yaitu para nabi dan para shiddiqin. Termasuk 72 firqoh ahlu bid'ah maka juga kafir.? Karena umumnya ahlu bid'ah itu berbuat syirik akbar yaitu dengan menyembah ahbar/ulama' ataupun menyembah hawa nafsu..sehingga menghalalkan perkara yang Allah haramkan. Jika 72 firqah Ahlu bid'ah dikafirkan secara mua'ayyan karena zhohirnya berbuat syirik akbar tanpa bayanul hujjah ataupun iqomatul hujjah, maka ini menyelisihi ijma' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Ingkar thaghut bisa dengan hati, dengan ucapan atau dengan perbuatan..diantaranya bisa dengan hajr tark (menjauhi para pelakunya). Hajr tark boleh diamalkan siapa saja dan kapan saja jika tahu kemungkaran (kesyirikan, bid'ah ataupun maksiat) tapi tidak mampu merubahnya. Bahkan hajr tark hukumnya bisa wajib. Beda dengan hajr uqubah..ada qaidah dan syarat-syarat yang harus terpenuhi, sehingga hajr 'uqubah tidak boleh kita amalkan secara serampangan serta perlu pertimbangkan mashlahat dan mafsadat.

➡  Orang jika aqidah dan tauhidnya memang lurus dan benar, maka manhaj ataupun madzhabnya juga akan lurus. Semakin jujur imannya, maka akan semakin jujur hatinya, semakin jujur lesannya dan semakin jujur pula amal perbuatannya. Demikian juga insya Allah akan semakin jauh dari kesyirikan, bid'ah ataupun kabairol itsmi. Sehingga jika ada orang yang mengklaim tauhidnya lurus, tapi jika realitanya dan bukti empiris menunjukkan orang tersebut zhahirnya masih gemar berbuat syirik akbar (manyembah ahbar ataupun hawa nafsu), mencintai perbuatan bid'ah dan kabairol itsmi maka itu sama saja dengan klaim dusta sebagaimana orang-orang murji'ah..wa Allahu a'lam.

➡  Sahl bin Abdillah At-Tustury rahimahullah berkata:

أعمال البِر يعملها البَر والفاجر، ولا يجتنب المعاصي إلا صديق.

“Amal-amal kebaikan bisa dikerjakan oleh orang yang baik maupun orang jahat, namun tidak akan mampu menjauhi kemaksiatan kecuali orang yang jujur imannya.”
(lihat Hilyatul Auliya’, jilid 10 halaman 211)

➡  Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah rohimahullah berkata:

الصدق...هو سيف الله في أرضه الذي ما وضع على شيء إلا قطعه ولا واجه باطلا إلا أرداه وصرعه من صال به لم ترد صولته ومن نطق به علت على الخصوم كلمته

"Kejujuran ibarat pedang Allah di muka bumi, yang tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya."  ( Madarijus Salikin ).

Jika tulisan ini bathil maka wajib ditolak dan dibuang, tapi sebaliknya jika isinya al haq (kebenaran) maka itu semata-mata berasal dari Allah sehingga siapapun wajib untuk menerima. Bagi siapa saja yang menganggap tulisan ini bathil dan tidak mampu membantah secara ilmiyah (dengan dalil sesuai faham Salaful Ummah) ataupun mengajak diriku berbuat syirik akbar (menyembah ahbar/ulama) jika memang perlu insya Allah bisa diselesaikan dengan berhakim kepada Allah atau mubahalah..sebagai kesempurnaan iqomatul hujjah. Laa haula wa laa quwwata illa billah..



Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"  (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).

     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."

     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rahman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين







"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...