Allah Ta’ala berfirman,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan :
Firman Allah (وَلا تَفَرَّقُوا) "Dan jangan kalian bercerai-berai." (Ali Imran: 103). Allah memenntahkan kepada mereka untuk menetapi al jamaah (kesatuan) dan melarang mereka bercerai-berai. Banyak hadits yang isinya melarang bercerai-berai dan memerintahkan untuk ijtima' (bersatu) dan tidak berselisih (berpecah belah). Seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahih Muslim melalui hadits Suhail ibnu Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian dalam tiga perkara dan murka kepada kalian dalam tiga perkara. Allah ridha kepada kalian bila kalian menyembah-Nya dan kalian tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, bila kamu sekalian berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai-berai, dan bila kalian saling menasihati dengan orang yang dikuasakan oleh Allah untuk mengurus perkara kalian. Dan Allah murka kepada kalian dalam tiga perkara, yaitu qila dan qala (banyak bicara tanpa seleksi), banyak bertanya dan menyia-nyiakan (menghambur-hamburkan) harta." Bilamana mereka hidup dalam persatuan dan kesatuan, niscaya terjaminlah mereka dari kekeliruan, seperti yang disebutkan oleh banyak hadits mengenai hal tersebut. Sangat dikhawatirkan bila mereka al iftiraq (berpecah belah) dan ikhtilaf (berselisih). Hal ini ternyata menimpa umat ini, hingga mereka iftiraq (berpecah-belah) menjadi 73 firqoh (golongan). Di antaranya terdapat satu firqatun najiyyah (golongan yang selamat) masuk surga dan diselamatkan dari siksa neraka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Rasulullah ﷺ dan para Shahabatnya.
Tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalil yang membolehkan berbilangnya jamaah dan kelompok (hizb). Bahkan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dalil yang mencelanya. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolong-golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am [6]: 159)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum [30]: 32)
Tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menafikan (meniadakan) perintah Allah Ta’ala dan bahkan bertentangan dengan apa yang dimotivasi oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 52)
Lebih-lebih ketika kalau kita melihat dampak dan pengaruh dari perpecahan dan kelompok-kelompok tersebut ketika masing-masing kelompok menghina, mencela, dan memfasikkan kelompok lainnya tanpa hujjah dan burhan.
Sebagian mereka berkata bahwa tidak mungkin bagi dakwah ini untuk kuat dan tersebar kecuali dengan adanya kelompok-kelompok tersebut? Maka kita katakan, perkataan tersebut tidaklah benar. Bahkan dakwah tersebut bisa kuat dan tersebar kalau seseorang itu semakin berpegang teguh dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah ﷺ, dan semakin mengikuti tuntunan Nabi ﷺ (ittiba’) dan khulafaur rasyidin.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah.” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Rasulullah ﷺ juga bersabda :
“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena syaithan itu bersama orang yang bersendirian dan syaithan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min.” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Dan ketahuilah tolok ukur "Al Jama'ah" itu bukan banyaknya jumlah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu :
“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan al haq (kebenaran) walaupun engkau sendirian.” Dalam riwayat lain:
“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala.” (lihat Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Jadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ dan para Shahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para Shahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Tanpa ditambah, dikurangi ataupun dirubah dengan mengadakan beragam bid'ah dalam agama yang tidak diajarkan Nabi dan para Shahabat sebagaimana ajaran 72 firqoh (golongan) yang sudah tidak murni. Ajaran Islam telah sempurna dan tidak butuh disempurnakan lagi. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan Rasulullah ﷺ tentang satu golongan yang selamat :
”yaitu orang-orang yang berada pada millah-ku dan jalannya para Shahabatku.”