Minggu, 10 Maret 2024

Doa Menyambut Bulan Ramadhan


 


Doa Menyambut Bulan Ramadhan


     Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: Rasulullah  mengajari kami beberapa kalimat apabila telah datang Ramadhan:

اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لرمضان، وسلم رمضان لي، وتسلمه مني مُتَقَبَّلاً

Ya Allah sampaikan aku ke ramadhan, sampaikan ramadhan kepadaku, dan terima amalku di Ramadhan.” (HR. Al-Thabrani dan al-Dailami)

     Dari penjelasan para ulama ahli hadits, isnadnya lemah. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama Abu Ja’far al-Razi. Nama aslinya Isa bin Maahaan. Ia banyak salahnya, hafalannya tidak kuat, dan kacau. Al-Fallas berkata, “Dia buruk hafalan”. Abu Zur’ah berkata, “Sering ragu-ragu (dalam meriwayatkan).”

     Doa serupa disandarkan kepada Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسَلِّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, sampaikan aku dengan selamat ke Ramadhan, sampaikan Ramadhan kepadaku, dan terimalah amalku di Ramadhan.” (lihat Hilyatul Auliya’: I/420. Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)

     Sekali lagi ini bukan doa dari Nabi . Sehingga tidak termasuk sunnah khusus berdoa dengan doa ini. Tapi kalau membacanya sebagai permintaan kepada Allah, maka dibolehkan. 

Sabtu, 24 Februari 2024

Seputar Ayyamul Bidh






Seputar Ayyamul Bidh
أيام البيض

     Ayyamul Bidh adalah hari-hari tertentu dari setiap bulan yang keutamaannya disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ. Yaitu tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas dari setiap bulan dalam tahun Hijriah.

وسميت بيضا لبياض لياليها بالقمر، لأنه يطلع فيها من أولها إلى آخرها، ولذلك قال ابن بري: الصواب أن يقال: أيام البيض، لأن البيض من صفة الليالي، أي أيام الليالي البيضاء. اهـ.

     Disebut "بيضا" karena putih (terang)nya malam-
malamnya bersama Bulan, karena Bulan terbit dari awal malam hingga akhir malam. Dan karena itu Ibnu Bari berkata : yang benar adalah mengatakan : "أيام البيض"
(ayyamul bidh), karena "al bidh" adalah sebuah shifat malam, maksudnya hari siang-malam yang putih (terang).

قال النووي في المجموع: بإضافة "أيام" إلى "البيض" وهذا هو الصواب، ووقع في كثير من كتب الفقه وغيرها وفي كثير من الكتب "الأيام البيض" بالألف واللام، وهو خطأ، لأن الأيام كلها بيض، وإنما صوابه "أيام البيض" أي أيام الليالي البيض.

     An Nawawi berkata dalam Al-Majmu' : Dengan di-idhofahkan “أيام” kepada “البيض” dan ini benar, dan hal ini terjadi dalam banyak kitab fiqih dan lainnya, dan dalam banyak kitab "الأيام البيض" (al-ayyamul bidh) dengan alif dan lam, dan itu salah, karena semua hari berwarna putih (terang), namun yang benar adalah “ayyamul bidh" yakni hari-hari yang malamnya putih (terang).

وهذه الأيام هي الثالث عشر والرابع عشر والخامس عشر من كل شهر عربي؛ وسميت هذه الأيام بذلك لأنها تبيض بطلوع القمر من أولها لآخرها لتكامل ضوء الهلال وشدة البياض فيها. انظر ((مغني المحتاج للشربيني الخطيب)) (1/ 447) و((الموسوعة الفقهية الكويتية)) (28/ 93). ويصح أن تقول (أيام البيض) أو (الأيام البيض) انظر: ((فتح الباري لابن حجر)) (4/ 226). [الموسوعة الفقهية (1/ 435- 436)].

     Hari-hari ini (ayyamul bidh) adalah tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas dari setiap bulan Arab. Disebut hari-hari ini (ayyamul bidh) karena diputihkan oleh terbitnya Bulan dari awal hingga akhir malam, karena cahaya Bulan yang sempurna dan sangat putih (terang)nya di dalamnya. Lihat ((Mughni Al-Muhtaj oleh Al-Syarbini Al-Khathib)) (1/447) dan ((Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah)) (28/93). Yang benar dikatakan (hari-hari putihnya) atau (hari-hari putihnya) Lihat: ((Fath al-Bari karya Ibnu Hajar)) (4/226). [Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah (1/435-436)].



Bagaimana Cara Mengetahui Dan Menetapkan Ayyamul Bidh?

     Puasa ayyamul bidh itu pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya. Ayyamul bidh hukum asalnya bisa diketahui dengan menghitung dari awal bulan Hijriyah. Dan awal bulan Hijriyah itu ditetapkan dengan ru’yatul hilal yang dilaksanakan setiap penghujung bulan pada tanggal 29 atau dengan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari.

     Akan tapi permasalahannya bagaimana jika tidak ada yang melakukan rukyatul hilal untuk mengetahui awal setiap bulan Hijriyah? Dari pengamatan dan pengalaman kami insya Allah tanda-tanda ayyamul bidh pada umumnya bisa diketahui dan terbedakan :
■ Tanggal 13 : Bentuk Bulan membulat, Bulan sudah terbit beberapa waktu (lebih dari 45 menit) sebelum awal Maghrib. Bulan terbenam menjelang fajar atau waktu sahur.
■ Tanggal 14 : Bentuk Bulat bulat purnama, sudah terbit sebelum (mendekati) awal Maghrib. Ba'da Shubuh Bulan masih mudah dilihat diatas ufuk langit Barat. Dibandingkan semua hari pada tanggal 14 posisi Bulan paling mudah dilihat mulai sebelum awal Maghrib sampai waktu Shubuh.
■ Tanggal 15 : bentuk Bulan bulat purnama, terbit pada awal Maghrib atau paling lambat sebelum pertengahan Maghrib Bulan tampak terbit diatas ufuk langit Timur.
■ Tanggal 16 : bentuk Bulan bulat purnama, awal Maghrib Bulan belum terbit atau baru terbit setelah pertengahan Maghrib. Sehingga awal malam gelap dan tidak termasuk Ayyamul Bidh.


     Hari-hari ini (ayyamul bidh) adalah tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas dari setiap bulan Arab. Disebut hari-hari ini (ayyamul bidh) karena diputihkan oleh terbitnya Bulan dari awal hingga akhir malam, karena cahaya Bulan yang sempurna dan sangat putih (terang)nya di dalamnya. Lihat ((Mughni Al-Muhtaj oleh Al-Syarbini Al-Khathib)) (1/447) dan ((Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah)) (28/93). Yang benar dikatakan (hari-hari putihnya) atau (hari-hari putihnya) Lihat: ((Fath al-Bari karya Ibnu Hajar)) (4/226). [Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah (1/435-436)].


Puasa Sunnah 3 Hari Pada Ayyamul Bidh

     Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah  bersabda :

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979)

     Dari Abu Dzar, Rasulullah  bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan).

     Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ

Rasulullah biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasai no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

     Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

Rasulullah biasa tidak berbuka (= berpuasa) pada ayyamul bidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2347. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

     Namun dikecualikan berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagian dari hari tasyriq). Berpuasa pada hari tersebut diharamkan.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.



 Malam Ahad, 15 Sya'ban 1445 H (24-02-2024)

Senin, 22 Januari 2024

Tahukah Engkau Apa Makna Al Ashaghir ( Orang-orang Yang Kecil/Anak Kecil ) ?


 

Tahukah Engkau Apa Makna Al Ashaghir
( Orang-orang Yang Kecil/Anak Kecil ) ?


     Al Imam Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Umayyah Al Jumahi radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah  telah bersabda :

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ اْلعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ

Sesungguhnya di antara tanda-tanda telah dekatnya Hari Kiamat itu dicarinya/dituntutnya ilmu dari ‘Al Ashaghir’" (lihat Kitab Az Zuhd karya Ibnul Mubarak, hal 20-21, hadits no. 61)

     Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para shahabat Nabi Muhammad dan dari akabir (orang-orang besar) mereka. Jika ilmu datang dari arah ashoghir (orang-orang kecil/ahlul ahwa') mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa." (Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815.)

     Jadi Ashoghir (orang kecil/orang hina) yaitu orang-orang yang berkata menurut pendapatnya sendiri  tanpa bersandar dalil dari Kitabullah dan As Sunnah sesuai faham para Shahabat Nabi . Mereka adalah para ahlul ahwa' (pengikut hawa nafsu dan shohibul bid'ah) yang lebih mendahulukan hawa nafsu, tidak bisa membedakan kebenaran dan kebatilan ataupun berkata sembarangan tanpa ilmu tapi merasa sok tahu sebagaimana seorang anak kecil yang belum mumayyiz.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Minggu, 07 Januari 2024

Menyingkap Praktek Sistem Perbudakan (Abdi) di Pondhok Pesantren Jam'iyyah Salafiyyah







 

Menyingkap Praktek Sistem Perbudakan (Abdi) di Pondhok Pesantren Jam'iyyah Salafiyyah

Khidmah Yang Sesuai Syari'at Islam


     Khidmah yang dalam bahasa Jawa disebut ngawulo, adalah mengabdikan atau mendedikasikan diri atas ilmu yang telah dimiliki kepada orang atau almamater yang pernah berjasa atau kepada masyarakat luas dengan niat yang tulus dan ikhlas tanpa pamrih apapun, kecuali karena Allah.

     Khidmah yang benar dan sesuai syari'at Islam itu dilakukan atas dasar ikhlash/ridho serta tiada unsur dipaksa. Sebagaimana Anas bin Malik pernah berkhidmah atau menjadi khodim (pembantu) Nabi ﷺ atas kehendak sendiri dan tanpa unsur dipaksa selama 10 tahun. Itupun rumah ibu Anas juga di Madinah, sehingga selain masih ada hubungan mahram juga bisa setiap saat pulang ke rumah ibunya (Ummu Sulaim binti Milhan yang masih ada hubungan mahram dengan Nabi ﷺ). Dengan kata lain khodim itu dilakukan orang merdeka, atas dasar ridho dan tidak karena diperintah/diwajibkan. Sedang mengabdi (menjadi abdi/budak) sebaliknya dan umumnya ada  persyaratan/ikatan tertentu.

     Di antara kita pun dulu juga ada yang pernah mengambil ilmu sambil khidmah selama sekitar 2 tahun dengan bantu bersih-bersih, menyapu, membantu mengasuh anak kecil dsb atas dasar suka rela dan tiada yang maksa. Jadi khidmah itu hukum asalnya mubah dan tidak wajib. Barangsiapa yang mewajibkan khidmah maka telah berbuat bid'ah sehingga wajib atasnya untuk mendatangkan burhan dan hujjah. Karena setahu kita Nabi ﷺ dan para Shahabat tak ada satupun yang mewajibkan khidmah (menjadi pembantu) ataupun "mengabdi" (yang dilakukan orang merdeka sebagaimana pengabdian yang dilakukan para budak).

Santri Dan Setiap Manusia Hukum Asalnya Merdeka,  Sehingga Jangan Diperlakukan Seperti 'Abdi/Budak

     Para ulama pakar fiqih katakan bahwa hukum asal manusia adalah merdeka (الحرّيّة) dan bukan budak (عبد) atau hamba sahaya (الرّقّ). Dari sini, maka sudah seharusnya para santri diperlakukan layaknya manusia merdeka yang memiliki hak sebagaimana manusia lainnya. Kita tidak boleh memperkerjakan, mewajibkan santri mengabdi ataupun makan keringatnya tanpa burhan dan hujjah. Nabi dan para Shahabat, para imam madzhab Ahlus Sunnah, imam Al Bukhori, imam Muslim ataupun para aimah Ahlus Sunnah wal Jama'ah setahu kami tidak ada yang mewajibkan semua muridnya menjadi khodim ataupun mengabdikan diri laksana budak.

     Akan tapi realitanya di pondhok-pondhok jam'iyyah Salafiyyah dan semisal sering kira jumpai praktek bid'ah sistem perbudakan atau bahasa halusnya "diwajibkan mengabdi" tanpa burhan dan hujjah. Santri diminta bekerja sesuai yang dikehendaki tuannya dan diperas keringatnya tanpa diberi upah. Saya sendiri pernah menyaksikan langsung atau mengalami, sehingga tak lama setelah itu memutuskan pindah pondhok. Demikian juga ada yang diwajibkan bekerja mengabdikan diri bagai budak tanpa diberi upah yang layak atau sesuai UMR. Apa mereka kira semua orang itu bisa ikhlash atas perlakuan tersebut.? Itu semua termasuk bentuk kezhaliman dan menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

     Di hadits berikut Nabi memerintahkan untuk memperlakukan secara manusia kepada budak, apalagi terhadap santri yang bukan budak :

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ، ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: «ﺇﺫا ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻤﻠﻮﻛﻪ ﻃﻌﺎﻣﺎ، ﻗﺪ ﻛﻔﺎﻩ ﻋﻨﺎءﻩ ﻭﺣﺮﻩ، ﻓﻠﻴﺪﻋﻪ، ﻓﻠﻴﺄﻛﻞ ﻣﻌﻪ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻞ، ﻓﻠﻴﺄﺧﺬ ﻟﻘﻤﺔ، ﻓﻠﻴﺠﻌﻠﻬﺎ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ»

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: "Jika kalian memiliki budak maka dekatilah mereka makanannya. Maka hal itu akan mencukupi dari kelelahannya. Ajaklah dia dan makanlah bersamanya. Jika dia tidak mau melakukan maka berilah makanan dan letakkan di tangannya." (HR Ibnu Majah)

     Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah , beliau bersabda:

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيْقُ

“Seorang budak itu berhak mendapatkan makan dan sandang (dari tuannya) dan janganlah dia dibebani atas suatu pekerjaan melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
(HR. Muslim no.3141)

     Terhadap para khodim (pembantu) saja, Nabi sering menawari agar pembantunya minta apa saja yang dikehendaki dan Rasulullah mengabulkan permintaannya meskipun permintaannya itu besar. Dari Rabi'ah bin Ka'ab Al-Aslami radhiallahu 'anhu, kebiasaan beliau yaitu menyediakan tempat wudhu Rasulullah ;

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

"Saya bermalam bersama Rasulullah , lalu aku membawakan air wudhunya dan air untuk hajatnya.
Maka beliau bersabda kepadaku, "Mintalah kepadaku."
Maka aku berkata, "Aku meminta kepadamu agar aku menemanimu di surga."
Beliau berkata, "Atau ada selain itu.?"
Aku menjawab, "Itu saja yang aku minta."
Maka beliau menjawab, "Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (shalat)."
(HR. Muslim)

     Beliau juga memerintahkan untuk memberikan gaji upah sebelum keringatnya kering atau langsung setelah mereka selesai bekerja. Disini ada beberapa cara, ada yang prosesnya harian, pekanan, bulanan. Tetapi berdasarkan hadits ini lebih baik memberikan gaji setelah selesai bertugas. Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah bersabda :

 أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه إبن ماجة والطبراني)

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani)

     Termasuk dosa besar karena berbuat zhalim jika tidak memberikan upah yang layak padahal pembantunya sudah bekerja. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi bersabda;

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ. (رواه البخاري)

Dalam hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman:
"Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdeka, lalu memakan hasil penjualannya (harganya) dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak memberi upahnya." (HR. Al-Bukhari)

     Abu Hurairah radhiallahu berkata, Rasulullah bersabda,

لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِي وَمَوْلاَيَ، وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: عَبْدِي وَأَمَتِي، وَلْيَقُلْ: فَتَايَ وَفَتَاتِي وَغُلاَمِي

“Janganlah seorang dari kalian berkata (ketika memerintahkan budaknya dengan kalimat):
‘Hidangkanlah makanan untuk rabb kamu, berilah minuman untuk rabbmu’,
Akan tapi hendaklah dia berkata (dengan kalimat):
‘sayyidku dan maulaku (pemeliharaku)’.
Dan janganlah seorang dari kalian mengatakan: ‘Abdi (hamba sahaya laki-lakiku), dan Amati (hamba sahaya perempuanku)’,
Akan tapi Katakanlah: ‘fataya (pemudaku), Fatatiy (pemudiku) dan ghulami (budakku)’.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

     Nabi bersabda:

المسلم أخو المسلم، لا يظلمه، ولا يسلمه

“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh menelantarkannya.” (HR. Muslim no. 2564).


Larangan Berbuat Zhalim

     Secara istilah, zhalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al Asfahani mengatakan:

هو: (وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه)

“Zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (lihat Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

     Perbuatan zalim terlarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi  yang mencela dan melarang perbuatan zhalim.  Allah Ta’ala berfirman:

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim." (QS. Hud: 18).

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).

     Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya Nabi bersabda:

قال الله تبارك وتعالى: يا عبادي، إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرمًا؛ فلا تظالموا

Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezhaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezhaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zhalim.’” (HR.  Muslim no. 2577).

    
Kesimpulan Dan Penutup


   
■  Nabi ﷺ dan para Shahabat, para aimah madzhab Ahlus Sunnah, imam Al Bukhori, imam Muslim ataupun para salafus sholih tidak ada yang mewajibkan seluruh muridnya untuk khidmah, menjadi khodim ataupun memperlakukan murid-muridnya laksana budak.

■  Mewajibkan manusia merdeka atau santri untuk menjadi khodim (pembantu) ataupun mengabdi laksana budak tanpa burhan dan hujjah itu termasuk bid'ah yang sesat dan kezholiman. Maka tidak usah heran jika menimbulkan banyak masalah dan kasus.

■  Nabi ﷺ bersabda: 

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“Jauhilah kezhaliman karena kezhaliman adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

■  Tulisan ini kami tulis sebagai bentuk nasihat. Dengan harapan semoga dicatat malaikat, sehingga jika mereka menghindar untuk diselesaikan di dunia insya Allah mereka tak akan mungkin bisa mengelak untuk diselesaikan di akhirat. Karena telah kami adukan kepada Rabbul 'Alamin.

■  Jika memang mampu, silahkan dibantah secara ilmiyyah atau jika perlu dibuktikan dengan mubahalah.

تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

"Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan burhan (bukti kebenaran) kalian jika kalian orang yang shodiq (benar).” (QS. Al Baqarah : 111)

     Allah Ta'ala berfirman :

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين


    

Sabtu, 06 Januari 2024

Jihad Dengan Al Qur'an ( Jihad Dengan Hujjah Dan Bayan ) Itu Lebih Utama Dari Selainnya


 

Jihad Dengan Al Qur'an ( Jihad Dengan Hujjah Dan Bayan ) Itu Lebih Utama Dari Selainnya


     Allah  Ta'ala berfirman :

وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)

Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqon : 51-52).

     Berkata Ibnu al-Qayyim dalam Miftah Dar as-Sa’adah :

وَلِهَذَا كَانَ الْجِهَاد نَوْعَيْنِ جِهَاد بِالْيَدِ والسنان وَهَذَا المشارك فِيهِ كثير وَالثَّانِي الْجِهَاد بِالْحجَّةِ وَالْبَيَان وَهَذَا جِهَاد الْخَاصَّة من اتِّبَاع الرُّسُل وَهُوَ جِهَاد الائمة وَهُوَ افضل الجهادين لعظم منفعَته وَشدَّة مُؤْنَته وَكَثْرَة اعدائه قَالَ تَعَالَى فِي سُورَة الْفرْقَان وَهِي مَكِّيَّة وَلَو شِئْنَا لبعثنا فِي كل قَرْيَة نذيرا فلاتطع الْكَافرين وجاهدهم بِهِ جهادا كَبِيرا فَهَذَا جِهَاد لَهُم بِالْقُرْآنِ وَهُوَ أكبر الجهادين
(كتاب مفتاح دار السعادة ومنشور ولاية العلم والإرادة - ط العلمية)
https://shamela.ws/book/6840/69

“ Oleh karena itu jihad ada dua bentuk pertama  : Jihad dengan tangan dan senjata. Yang ini pengikutnya banyak. Kedua : Jihad dengan hujjah dan bayan. Ini bentuk jihad khusus para pengikut para rasul, inilah jihad para imam. Jihad dalam bentuk ini lebih utama dari yang lain, karena besar manfaatnya, keras jalannya, dan banyak musuhnya. Allah berfirman di dalam QS. Al-Furqon : (وَلَو شِئْنَا لبعثنا فِي كل قَرْيَة نذيرا فلاتطع الْكَافرين وجاهدهم بِهِ جهادا كَبِيرا) (QS. Al-Furqon: 51-52). Ini surat Makkiyah. Inilah jihad dengan Al-Qur’an dan inilah jihad yang paling besar. “

Senin, 01 Januari 2024

Kewajiban Menyampaikan As Sunnah dan Membela Al Haq (Kebenaran) Serta Menjelaskan Bid'ah Dan Membantah Kebatilan






Wahai Jin Dan Manusia..! Pahamilah.. dan Jangan Salah Prasangka

Kewajiban Menyampaikan As Sunnah dan Membela Al Haq (Kebenaran) Serta Menjelaskan Bid'ah Dan Membantah Kebatilan

Kewajiban kita hanya sebatas menyampaikan nasihat dan saling menasehati dengan menunaikan amar ma'ruf nahi munkar. Allah Ta'ala berfirman :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“.  (QS. Ali Imron : 110)

Maka serulah mereka untuk menyembah Allah, dan janganlah kalian merasa kecewa (bersedih hati) terhadap orang yang sesat di antara mereka. Karena sesungguhnya bukanlah tugasmu memberi mereka petunjuk. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, dan Allah yang akan menghisab. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ} "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (Al-Qashash: 56). Allah juga berfirman : {لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ} "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 272)


الهيثم بن جميل: قلت لمالك ابن انس: الرجل يكون عالما بالسنة أيجادل عنها؟ قال: لا .. ولكن يُخبِر بالسنة فإن قُبِلتْ منه وإلا سكت

  Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah : “seseorang yang alim (berilmu) terhadap Sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”. Imam Malik menjawab: “Jangan (debat secara langsung)! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam.” (lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/94).

     Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan:

وَلَا تنصح على شَرط الْقبُول مِنْك فَإِن تعديت هَذِه الْوُجُوه فَأَنت ظَالِم لَا نَاصح وطالب طَاعَة وَملك لَا مؤدي حق أَمَانَة وأخوة وَلَيْسَ هَذَا حكم الْعقل وَلَا حكم الصداقة لَكِن حكم الْأَمِير مَعَ رَعيته وَالسَّيِّد مَعَ عبيده

“Jangan engkau menasehati orang dengan mempersyaratkan harus diterima nasehat tersebut darimu, jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah orang yang zhalim bukan orang yang menasehati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya atau majikan kepada budaknya.” (lihat Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45).


Jika diterima maka itu yang kita harapkan. Sedang jika ditolak maka kita tidak disyari'atkan untuk memaksa manusia dengan memberi hukuman, memukul atau semisal. Tapi cukup kita tinggalkan atau menjauhi. Allah Ta'ala berfirman :

وَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖۗ وَاِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرٰى مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
                   
                "Apabila engkau melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika syaithan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zhalim." (QS. Al-An'am Ayat: 68)

وَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا
             
                "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik." (QS. Al-Muzzammil Ayat: 10). Yaitu menjauhi tidak dengan cara tercela. Jangan berteman atau duduk-duduk bersama mereka agar kita tidak ikut menanggung dosanya ataupun tertular keburukannya. Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:

لاَ تُجَالِسْ أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مُمْرِضَةٌ لِلْقُلُوْبِ.

Janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena akan menyebabkan hatimu sakit.” (Lihat al-Ibaanah libni Baththah al-‘Ukbary (II/438 no. 371, 373).)


قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله- : "هذه الأمة ولله الحمد لم يزل فيها من يتفطن لما في كلام أهل الباطل من الباطل ويرده"
( مجموع الفتاوى | ٢٣٣/٩)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: " Umat ini dan segala puji hanya bagi Allah, senantiasa ada di dalamnya orang-orang yang memahami dan membantah kebatilan yang ada pada ucapan ahlu batil."
(lihat Majmu' al-Fatawa / 9 - 233)

Tujuan diriku menulis ataupun menyampaikan insya Allah semata-mata mengharap keridhaan Allah dengan menunaikan kewajiban. Agar kelak bisa menjadi hujjah bagi diriku bahwa diriku telah menyampaikan semampuku. Jika diriku tidak menyampaikan atau hanya mengingkari kemungkaran dengan hati (yang mana pengingkaran dengan hati itu termasuk selemah-lemah iman), maka ketahuilah para malaikat tidak mencatat amalan hati tapi hanya mencatat ucapan dan perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)

“(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 17-18).

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Infithar : 10-12).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Yaumul Itsnaini, 19 Jumadil Akhir 1445 H
( 01 - 01 - 2024 M )

 

Minggu, 31 Desember 2023

Hukum Jidal (Debat/Berbantahan) Ada Yang Tercela Dan Terpuji





 


Hukum Jidal (Debat/Berbantahan)
Ada Yang Tercela Dan Terpuji


     Dalam perkara jidal (berbantahan), Ahlus Sunnah Wal Jama'ah juga pertengahan antara ghuluw dan tafrith. Segala bentuk jidal (berbantahan) hukum asalnya hendaknya dijauhi atau kita tinggalkan. Kecuali jidal/debat untuk tujuan hajat syar'i dan dibenarkan syari'at dengan mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Termasuk jidal yang tercela dan dilarang syari'at, diantaranya :
- semua bentuk jidal/perdebatan yang bisa menimbulkan mafsadat lebih besar daripada mashlahatnya,
-  memperdebatkan perkara agama yang sudah jelas dan tidak butuh diperdebatkan,
- jidal tanpa dasar ilmu dan dalil,
-  jidal dalam perkara dunia atau perkara pribadi sehingga akibatnya bisa menimbulkan permusuhan,
- jidal ketika haji,
- berbantahan dengan ahlul ahwa' (orang yang lebih mendahulukan hawa nafsu daripada dalil)
- berbantahan dengan ahli kalam,
- berbantahan dengan orang yang sangat bodoh dan tidak paham terhadap syari'at,
- perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat,
- berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah)
- debat kusir yang tidak ada habisnya, sia-sia dan tiada manfaatnya,
- perdebatan dalam mutasyabih dari Al-Qur’an atau semua bentuk perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.

     Banyak dalil dan perkataan para Salaf yang melarang jidal/perdebatan dalam perkara tersebut.


Jidal Mengajak Kepada Jalan Allah, Membantah Kebatilan Dan Kesesatan Termasuk Tanda Kecintaan Terhadap Agama Allah, Disyari'atkan Dan Terpuji

     Adapun jidal (perdebatan) jika tujuannya semata-mata untuk menasihati, mengajak kepada kebaikan, membantah kebatilan, menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang yang berilmu dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’i) sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan para Salafush Sholih, maka perdebatan seperti ini terpuji. Allah Ta’ala berfirman :

{ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) }

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan al-mauzhoh al-hasanah(nasihat/pelajaran yang baik), dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."  (QS. An-Nahl :125)

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al-‘Ankabut : 46)

قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. Hud : 32)
    
     Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata:

«مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلا عَلَى النَّصِيحَةِ» [آداب الشافعي ومناقبه لابن أبي حاتم]

“Aku tidak berdebat dengan seseorang kecuali dengan niat memberi menasehati”. Beliau juga mengatakan :

وَاللَّهِ، مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا، فَأَحْبَبْتُ أَنْ يُخْطِئَ [آداب الشافعي ومناقبه لابن أبي حاتم]

“Demi Allah, tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan berharap akulah yang keliru.” (lihat Adab Asy-Syafi’iy karya Ibnu Abi Hatim)

قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله- : "هذه الأمة ولله الحمد لم يزل فيها من يتفطن لما في كلام أهل الباطل من الباطل ويرده"
( مجموع الفتاوى | ٢٣٣/٩)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: " Umat ini dan segala puji hanya bagi Allah, senantiasa ada di dalamnya orang-orang yang memahami dan membantah kebatilan yang ada pada ucapan ahlu batil".
(lihat Majmu' al-Fatawa / 9 - 233)

     Maka serulah mereka untuk menyembah Allah, dan janganlah kamu merasa kecewa (bersedih hati) terhadap orang yang sesat di antara mereka. Karena sesungguhnya bukanlah tugasmu memberi mereka petunjuk. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, dan Allah yang akan menghisab. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ}"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (Al-Qashash: 56). Allah juga berfirman : {لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ}"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 272)

Kesimpulan Dan Penutup


■  Jidal (berbantahan) hukum asalnya dilarang dan tercela, kecuali jidal yang diperintahkan syari'at seperti mengajak ke jalan Allah. Tentunya dengan adab syar'i serta pertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Sebagaimana dicontohkan para nabi.

■  Jauhi jidal secara langsung dengan ahlu ahwa' ataupun ahlu bid'ah kecuali darurat dan memiliki mashlahat lebih besar. Untuk membantah ahlu bid'ah tidak harus jidal secara langsung, tapi bisa menulis bantahan (rudud) lewat tulisan.

■  Tinggalkan segala bentuk jidal jika tanpa tujuan baik dan tidak bermanfaat.

■  Hindari jidal dalam perkara pribadi atau perkara dunia jika akibatnya bisa menimbulkan permusuhan atau menimbulkan mafsadat lebih besar daripada mashlahat. Seperti jidal terkait ilmu pertanian, ilmu peternakan dan semisal. Misal ada yang menuduh madu kita palsu, maka tidak perlu jidal sehingga sampai berseteru atau musuhan. Cukup bantah seperlunya saja dan bersabar. Karena jika kita meninggalkan jidal semacam ini dalam posisi benar dan kita milih sabar, maka janji Allah akan membangunkan kita rumah di tengah Surga. Sehingga untuk perkara dunia tidak perlu menantang berhakim kepada Allah.
Demikian juga misal ada yang komentar tentang tanaman Indigofera. Maka tidak usah banyak kita tanggapi atau mengucapkan  semisal ini : " Kamu sudah pernah menanam Indigofera? Jika nanam saja belum pernah jangan sok tahu.?"
Karena itu semua termasuk jidal yang mafsadatnya lebih besar daripada mashlahat.

■  Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwa Islam itu agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan). Allah Ta'ala berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu." (QS. Al-Baqarah: 143). Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...