Jumat, 19 Agustus 2022

IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya." (QS. Al An’am/6:116).

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al A’raf/7:187).

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik." (QS. Al A’raf/7:102).
      Ibnu Mas’ud berkata:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
     Sebagian salaf mengatakan:

عليك بطريق الحق ولا تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل ولا تغتر بكثرة الهالكين

“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
     Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ سَنَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ « الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid).
     Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ »

Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
     Walau terasa asing, namun begitu indahnya jika bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.

     Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah menyebutkan bahwa umat Islam ini pasti berpecah-belah dan sudah terjadi perpecahan ditengah-tengah kaum Muslimin. Maka solusinya Nabi menyebutkan kembali kepada Al-Jama’ah yaitu kepada مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (aku dan para Shahabatku).
     Nabi memerintahkan kita untuk mengikuti cara beragamanya para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan ini hukumnya wajib. Karena para Shahabat adalah:
(1) generasi yang paling dalam ilmunya,
(2) generasi yang paling paham tentang Al-Qur’an dan Sunnah,
(3) generasi yang lebih dahulu beriman,
(4) generasi yang paling semangat mengamalkan Qur’an dan Sunnah,
(5) generasi yang telah berjihad untuk menegakkan agama ini,
(6) generasi yang menemani, menolong dan menjadi pembela Nabi,
(7) para Shahabat telah dijamin oleh Allah dengan surga.

     Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.


Berdoa Dan Berhakim Kepada Allah Dengan Mubahalah Sebagai Senjata Untuk Menghadapi Syaithon Pendusta Dan Ahlu Ahwa'

     Allah berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar"." (QS Al Baqarah: 111).
     Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
     Jika mereka tidak mampu mendatangkan burhan (dalil dari Kitabulloh, As Sunnah atau ijma' Ahlus Sunnah...serta tidak mampu nukilkan kalam Salaf) tapi dengan dusta dan angkuh mereka mengklaim benar, maka hendaknya harus siap jika diajak mubahalah.
     Allah berfirnan:

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim." (QS. Al Baqoroh: 94-95).
Allah berfirman:

قُلْ مَنْ كَانَ فِى الضَّلٰلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمٰنُ مَدًّا ەۚ حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

"Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.” (QS. Maryam: 75).
     Menurut tafsir Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah bahwa kalimat ini merupakan mubahalah terhadap orang-orang musyrik yang mengakui bahwa dirinya berada dalam jalan petunjuk. Semakna dengan mubahalah yang ditujukan terhadap orang-orang Yahudi seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}

"Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain. Maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Jumu'ah: 6)
Maksudnya, harapkanlah kematian semoga menimpa kami atau kalian, jika kalian mengaku bahwa diri kalian berada dalam jalan yang benar. Sesungguhnya doa ini tidak akan menimpakan mudarat terhadap diri kalian. Akan tetapi, mereka tidak mau mengatakannya.
     Sama juga dengan mubahalah yang ditujukan kepada orang-orang Nasrani yang disebutkan di dalam surat Ali Imran, saat mereka bertekad untuk tetap pada kekafirannya dan kesesatan serta pengakuannya yang berlebih-lebihan terhadap Isa putra Maryam. Mereka mengatakannya sebagai anak Allah, padahal Allah telah menyebutkan bukti dan hujjah-Nya yang mengatakan akan kehambaan Isa, dan bahwa dia adalah makhluk Adami. Allah berfirman mengenainya:

{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kalian), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian: kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 61)
Ternyata mereka pun menolak, tidak mau mengucapkannya.
     Mubahalah boleh dilakukan dengan sesama orang Islam yang menyeleweng, ahli bid’ah dan semacamnya, berlandaskan bahwa, ada beberapa dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dulu mengajak orang lain sesama umat Islam untuk mubahalah. Di antaranya:
(1) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘iddah (masa tunggu) wanita hamil. Dan sesungguhnya iddah itu selesai dengan lahirnya kehamilan, bukan dengan lebih dua masa.
(2) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘aul dalam faroidh (pembagian waris).


Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Jumat 21 Muharram 1444 H (19-08-2022)

Hazim Al Jawiy





.

Rabu, 17 Agustus 2022

HADHINAH YANG SAH Vs. RUMAH/PANTI ASUHAN (Bagian 2)





Bab VIII. Kemungkaran Panti Asuhan Tarbiyatun Nisa' (TN)

     Kemungkaran yang bisa timbul akibat panti asuhan TN diantaranya:
(1) Menyelisihi perintah Allah kepada wanita supaya tinggal di dalam rumah.
     Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَه_ [الأحزاب : 33]

“Dan hendaklah kalian(wahai para wanita) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan Rasul-Nya."  (QS. Al Ahzab 33).
     Ayat ini umum mencakup seluruh wanita, Asy-Syaukani berkata di "Fathul Qadir (3/266): "Maksudnya Allah memerintahkan para wanita untuk berdiam dan menetapi rumah-rumah mereka",
     Berkata Al-Qurthubi di Al-Jami' (4/179): makna ayat tersebut adalah perintah supaya menetapi rumah, walaupun yang diajak bicara adalah istri-istri Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam tapi masuk juga selain mereka pada perintah tersebut secara makna meskipun tidak datang dalil yang mengkhususkan seluruh wanita, bagaimana sedangkan syari'at dipenuhi dengan keharusan wanita menetapi rumahnya dan menahan diri dari keluar darinya kecuali karena daruroh."
     Dan inilah yang ma'ruf dari salaf rahmatullahi 'alaihim Apabila itu manhaj dan jalan mereka padahal keadaan mereka bagus, keimanan kuat serta aqidah mereka benar, maka bagaimana anggapanmu dengan masa sekarang ini di zaman bergejolaknya fitnah dan kerusakan yang sangat banyak.
     Apabila kita telah memahami hal ini tentu akan jelas bagi kita bahwa tinggalnya perempuan di panti asuhan TN, di luar rumahnya di mana perempuan tersebut tidak kembali ke rumahnya kecuali setelah beberapa waktu lebih dari hari yang ia keluar padanya, sama saja apakah itu jarak safar ataukah tidak, dari apa yang tidak diketahui pengamalannya dari kalangan salaf serta perbuatan tersebut menyelisihi nash ayat 33 QS Al Ahzab. Wa Allahu a'lam.
(2) Menyelisihi perkataan Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون من وجه ربها وهي في قعر بيتها

"Perempuan adalah aurat, apabila ia keluar syaitan membuatnya merasa mulia (di sisinya dan di sisi laki-laki yang memandangnya) dan keberadaannya yang paling dekat dari wajah Rabbnya manakala ia berada di rumahnya yang paling dalam." (HR. Tirmidzi (1172) dan selain beliau dari hadits ibnu Mas'ud diriwayatkan secara mauquf dan marfu' dan dishahihkan oleh jama'ah dari ahli ilmu di antaranya ibnu Khuzaimah (2685) dan ibnu Hibban (5570)).
(3) Menyelisihi perkataan Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن

"Janganlah kalian melarang para wanita untuk pergi ke mesjid dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka." HR. Abu Daud (567)
     Dalil-dalil ini dengan apa yang telah lewat menunjukkan wajibnya seorang wanita menetapi rumahnya dan diharamkan baginya keluar dari rumahnya kecuali karena keperluan yang mendesak, bersama mahramnya yang menjaganya dan tinggal bersamanya hingga ia pulang ke tempat menetapnya yaitu rumahnya sebagaimana Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam dahulu melakukannya bersama istri-istrinya ketika berhaji dan perang demikian pula para sahabat ridwanAllohu 'alaihim.
     Apabila kita telah mengetahui ini maka kita akan setuju: bahwa keluarnya perempuan ke panti asuhan TN adalah keluar yang tidak syar'i karena dia dengan keadaan yang demikian tidak menetap di dalam rumahnya bahkan tempat menetapnya dalam keadaan tadi di selain rumahnya ditambah lagi keluar ke pasar, rumah sakit dan selainnya, kadang-kadang temannya mengajaknya ke rumahnya dan seterusnya dari apa yang telah dimaklumi bersama.
      Ibnu 'Abdil Barr rahimahullah menyebutkan di kitab beliau "At-Tamhid" dari Ats-Tsaury rahimahullah bahwasanya beliau berkata: "Tiada yang lebih baik bagi seorang wanita daripada rumahnya meskipun dia sudah tua".
(4) Telah diketahui bersama kelemahan perempuan maka keluarnya ke panti asuhan TN bisa mengantarnya kepada musibah dan malapetaka yang kadang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
      Di Shahihain Al-Bukhori (6211) dan Muslim (2222) dari jalan Qatadah dari Anas radhiyAllahu 'anhu beliau berkata: Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam pernah punya pengemudi onta dengan suara namanya Anjasyah, merdu suaranya maka Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "pelan-pelan wahai anjasyah jangan kamu rusak botol-botol" berkata Qatadah: yakni para wanita yang lemah.
     Ini dalam keadaan mereka bersama kerabat dekat dan wali mereka bagaimana kiranya dengan perempuan yang jauh dari wali dan kampungnya bukankah akan lebih lemah dan lebih ditakutkan atas mereka.
(5) Telah diketahui bersama kurangnya akal para wanita, sementara jauhnya mereka dari kampung mereka selama itu tidaklah kita merasa aman atas mereka.
     Di Shahih Bukhari (304) dan Muslim (80) dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyAllohu 'anhu berkata, berkata Rosululloh shallAllohu 'alaihi wa sallam:

ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن

"Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya, lebih mampu mempengaruhi akal laki-laki yang teguh pendiriannya dari salah seorang dari kalian (wahai para wanita)."
     Dan hadits ini di Muslim dari hadits ibnu 'Umar semisalnya. Sebagian ulama berkata: "manakala wanita itu sifatnya kurang akal kecuali siapa yang Alloh rahmati, maka mereka itu kurang memikirkan akibat suatu perkara, sering bertindak sembrono ketika terjadi musibah, cepat marah dan bertengkar, sering berubah-ubah sikap dan maunya."
     Maka karena kurangnya akalnya dan jauhnya mahram dan kampungnya yang kadang dia malu kalau ia berada dikampungnya dan bersama mahramnya untuk melakukan apa yang ia tidak malu melakukannya kalau berada di luar kampungnya dan jauh dari mahramnya, sementara fitan telah meluas dikhawatirkan ia melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji sekarang atau nanti, wAllohul Musta'an.
(6) Keluarnya wanita adalah sebab fitnah.
     Syaikh Al-Islam rahimahullah berkata sebagaimana di Al-Majmu' (10/297): "Seorang wanita itu wajib untuk dijaga dan dilindungi dengan cara yang tidak wajib sepertinya pada laki-laki … maka wajib bagi perempuan menutupi dirinya dengan pakaian dan rumah yang tidak wajib bagi laki-laki. Karena keluarnya wanita adalah sebab fitnah sementara kaum laki-laki adalah pemimpin bagi mereka".
     Dan berkata Syaikh bin Baaz rahimahullah di risalahnya "Hukmu As-sufur wa Al-Hijab": "Apabila Allah melarang ummahatul mukminin dari perkara-perkara keji ini bersamaan dengan kebaikan, keimanan, dan kesucian mereka maka selain mereka (dari para wanita) itu lebih pantas untuk dilarang, diingkari dan ditakutkan bagi mereka sebab-sebab fitnah".
(7) Wanita dilarang safar atau merantau tanpa mahrom.
     Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا، وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا

Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya”. Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”. Nabi bersabda: “temanilah istrimu berhaji” (HR. Bukhari no. 1862, Muslim no. 1341).
     Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا، إلَّا وَمعهَا أَبُوهَا، أَوِ ابنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ أَخُوهَا، أَوْ ذُو مَحْرَمٍ منها

Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh melakukan safar selama 3 hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya, atau anaknya, atau suaminya, atau saudara kandungnya, atau mahramnya” (HR. Muslim no. 1340).
     Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أَنْ لاَ تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا

Seorang wanita tidak boleh bersafar selama 2 hari tanpa ditemani suaminya.” (HR. Al Bukhari no.1864, Muslim no. 827).
     Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya” (HR. Muslim no.1339).
     Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إلَّا وَمعهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ منها

Tidak halal bagi seorang wanita Muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR. Muslim no.1339).
(8) Anak gadis disyari'atkan dipingit di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali untuk hajat wajib atau darurot.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ – نُسَيْبَةَ الأَنْصَارِيَّةِ – قَالَتْ : (( أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ , وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ)) .

وَفِي لَفْظٍ : (( كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ , حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا , حَتَّى تَخْرُجَ الْحُيَّضُ , فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ , يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ)) .

العواتق : جمع “عاتق” المرأَة الشابة أَول ماتبلغ.

Dari Ummu Athiyyah Nusaibah Al-Anshariah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami pada hari raya untuk menyuruh gadis remaja keluar, dan wanita yang dipingit dalam rumah. Beliau memerintahkan bagi wanita haidh agar menjauh dari tempat shalat kaum muslimin.”
     Dalam lafazh lain, “Kami diperintahkan supaya menyuruh keluar para wanita yang dipingit dalam ruah untuk keluar pada hari raya, bahkan wanita yang sedang haidh. Mereka mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti doanya kaum laki-laki dengan mengharap berkah dan kesucian hari raya tersebut.” (HR. Bukhari, no. 971 dan Muslim, no. 890).
     Al-‘awatiq, merupakan bentuk jamak dari ‘atiq, artinya wanita gadis yang baru di awal baligh.
(9) Adanya banyak kasus seperti pacaran sesama santri, pak ustadz pacaran dengan wanita yang diajarnya, anak kyai berzina dengan santriwati dll.
Wa Allahu A'lam.


Bab IX. Kemungkaran Menitipkan Anak di Panti Asuhan Tarbiyatul Banin Wal Banat

Diantara kemungkaran akibat menitipkan anak kecil di panti Asuhan:
(1) Anak kecil tidak tinggal bersama hadhinah yang sah ini menyelisihi manhaj salaf.
(2) Memisahkan anak dengan ibunya.
     Ketika anak belum dewasa, sebaiknya ia tidak jauh dari ibunya. Beberapa hadits telah menyinggung hal ini seperti.

عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ أَبِى أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه ، يقول : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول الله إلى متى ؟ قال : « حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية »

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
    Hadits-hadits di atas sebenarnya membicarakan tentang hadhonah yaitu pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut. Namun hadits itu mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya. Dan jika anak terus dididik oleh orang tua, itu lebih manfaat dibanding dengan menyerahkannya ke panti asuhan TB. Sehingga tidak tepat ketika anak belum dewasa, anak sudah dipondokkan dan jauh dari orang tua. Pilihan terbaik adalah anak tetap dekat orang tua dan ia belajar (mengambil ilmu) di sekitar rumahnya dengan tetap orang tua memperhatikan pendidikan agamanya. Wallahu a’lam.
(3) Orang tua khianat dengan menitipkan anak kepada orang yang tidak berhak menjadi hadhinah bagi anak tersebut.


Bab X. Syubhat Dan Bantahan

1. Syubhat: "Kami tinggal di asrama penampungan dan itu rumah kami."
Bantahan:
(1) Orang yang berakal sehat insya Allah tidak mungkin mengatakan asrama pondhok sebagai rumahnya.
(2) Siapa yang bisa menjadi saksi bahwa asrama pondhok itu rumahnya?
(3)  Mana bukti kepemilikan bahwa asrama tersebut adalah miliknya?  Mungkin bisa berupa surat kepemilikan, sertifikat tanah dll. Terlebih jika asrama tersebut hasil wakaf ataupun harta yayasan.
(4) Andai asrama itu rumahnya tentu pemilik rumah berhak mengaturnya dan bukan malah diatur.? Jika benar itu rumahnya, apa boleh mahromnya masuk dan menginap disitu.?
(5) Asrama penampungan wanita dan anak secara bahasa memang tempat tinggal. Tapi termasuk rumah bid'ah yang tiada salafnya. Rumah yang tidak boleh digunakan untuk berkeluarga maka secara istilah tidak berhak disebut rumah.
(6) Jika masih tetap bersikukuh/ngeyel..silahkan mereka bersumpah bahwa asrama tersebut adalah rumahnya!!!
(7) Silahkan tanya anak kecil yang masih baik fithrohnya: apa asrama tersebut rumahnya.?
2. Syubhat: "Kami bukan musafir ataupun tinggal di perantauan, tapi muqim."
Bantahan:
(1) Andai benar itu muqim, maka anak kecil atau anak gadis walau boleh tidak tinggal bersama walinya tapi tetap wajib/ disyari'atkan tinggal bersama hadhinah yang sah.
(2) Nabi tidak memberi batas waktu seseorang dihukumi musafir dan faktanya mayoritas mereka statusnya merantau dan ada niat untuk pulang.
(3) Silahkan tanya rumah mereka di mana? Jika mereka jujur dan akalnya masih sehat tentu akan menjawab rumah mereka yaitu rumah orang tua mereka.
(4) Secara urf rumah mereka itu sebagaimana yang ada di KK atau KTP bagi yang sudah punya KTP.
3. Syubhat: "Diantara pembela panti asuhan TN berhujjah dengan hadits:
Dari Abi Sa’id rodhiallohu ‘anhu berkata:

جاءت امرأة إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك ، فاجعل لنا من نفسك ، يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله . فقال ” اجتمعن فى يوم كذا وكذا فى مكان كذا وكذا ” . فاجتمعن فأتاهن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فعلمهن مما علمه الله ثم قال ” ما منكن امرأة تقدم بين يديها من ولدها ثلاثة ، إلا كان لها حجابا من النار ” . فقالت امرأة منهن يا رسول الله اثنين قال فأعادتها مرتين ثم قال ” واثنين واثنين واثنين ” [رواه البخارى – (7310)].

Ada seorang perempuan mendatangi rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  sembari berkata: Wahai rosululloh para lelaki mereka menimba ilmu darimu maka luangkanlah barang sehari dari waktumu untuk mengajari kami dengan apa yang telah Alloh ajarkan kepadamu.
Maka beliaupun menyambutnya dengan baik seraya berkata:” Kumpullah kalian pada hari ini dan itu ditempat ini dan itu.”
Maka berkumpullah mereka dan rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  pun mendatangi mereka dan mengajari mereka dengan apa yang Alloh ajarkan kepadanya, diantara apa yang diajarkan beliau adalah : “Tidaklah diantara kalian yang didahului oleh tiga anaknya kecuali mereka akan menjadi penghalang dari neraka.”
Maka ada salah seorang diantara mereka yang menyela: Bagaimana kalau dua anak wahai Rosululloh, dia ulang ipertanyaannya dua kali, maka beliau menjawab : “Iya, walaupun dua, walaupun dua, walaupun dua.”  (Muttafaqun ‘Alaih).
Bantahan: pengambilan dalil di atas tidak tepat karena:
(1) Para shohabiyah hanya menghadirinya beberapa saat dalam sepekan. Adapun panti asuhan TN tidak cuma dua atau tiga hari dalam sepekan akan tetapi ada yang sampai bertahun-tahun tidak pulang.
(2) Mereka berkumpul di rumah salah seorang shohabiyah dan tidak ada istilah menginap, apabila telah usai mereka pulang kerumah masing-masing. Adapun panti asuhan TN mereka bisa tinggal di asrama sepuasnya.
(3) Setelah mereka berkumpul, maka Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  mengajari mereka setelah itu bubar. Adapun panti asuhan TN mereka kondisinya tidak sama dengan kondisi zaman rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam , bahkan ada yang mengkoordinasi siapa yang bakal ngajari mereka .
(4) Mereka berkumpul tidak ada pendaftarannya, adapun panti asuhan TN mereka banyak syarat dan aturan yang tidak syar’i.
(5) Mereka berkumpul atas kesadaran pribadi masing-masing karena butuhnya terhadap ilmu, adapun panti asuhan TN mereka ada yang datangnya karena aturan asrama, atau karena kabur dari rumah orang tuanya atau karena menghindari problema keluarga, bahkan ada yang sekedar menunggu calon suami, dan yang lebih parahnya karena ingin menjadi mudiroh .
(6) Tidak ada dikalangan shohabiyah yang berkumpul di salah satu rumah mereka untuk ta’lim dengan memakai istilah mudiroh, bendahara, sekretaris dan seksi-seksi lainnya, adapun di panti asuhan TN mereka itu semua merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi, karena adanya perkumpulan orang banyak kalau tidak ada pengkordinir akan amburadul,.
(7) Metode yang dilakukan Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  dan para shohabiyat tidak ada takalluf sama sekali, tidak perlu bangunan khusus, tidak perlu asrama, tidak perlu menyediakan ini dan itu, dimanapun mereka mendapatkan tempat yang layak untuk belajar bagi wanita mereka berkumpul disana. Adapun panti asuhan TN mereka terlalu membebani diri, baik beban bagi para pengurus, atau beban bagi orang tua santriwati.
(8) Yang diajarkan Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam dan yang diminta oleh para shohabiyah adalah ilmu akherat, ilmu yang Alloh ajarkan kepada nabiNya Shallallahu Alaihi Wasallam. Adapun mata pelajaran panti asuhan TN mereka disisipi dengan banyak ilmu dunia, ilmu masak, ilmu menjahit, dll, bahkan ada diantara panti asuhan TN yang mengajarkan ilmu senam aerobik model barat (karena tasyabbuh dengan orang kafir). Adapun ilmu dien kadang anjurannya agar untuk mencapai rangking.
(9) Shohabiyah yang belajar bersama Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam  tidak tertentu umurnya, bahkan rata-rata para ummahat karena kalau masih gadis mereka dipingit, adapun panti asuhan TN sebaliknya, mayoritas para gadis, sedangkan kalau sudah menjadi ummahat maka sudah pensiun dari belajar untuk ngurusi anak-anak, kecuali kalau menjadi mudiroh atau ustadzah, kecuali yang Alloh rohmati.
     Dari perbedaan-perbedaan tersebut jelaslah bahwa argumentasi mereka dengan dalil hadits diatas untuk bolehnya mendirikan panti asuhan TN adalah sangat jauh dari kebenaran. Bahkan lebih tepatnya hadits tersebut justru sebagai bantahan atas bolehnya mendirikan panti asuhan TN.
4. Syubhat: "Wanita boleh mengerjakan haji wajib walau tanpa mahrom berdasarkan  ayat:

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

"Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. Ali Imron: 97)."
Bantahan:
(1) Taruhlah pendapat tersebut yang benar, bagaimana haji wajib bisa diqiaskan dengan safarnya wanita untuk tafaqquh fiddin yang tidak wajib bagi wanita.?
(2) Untuk haji sunnah terdapat ijma' wanita tidak boleh safar tanpa mahrom. Jika untuk haji sunnah saja terdapat ijma' tidak boleh safar tanpa mahrom, maka lebih haram lagi jika safarnya untuk urusan bid'ah panti asuhan.
(3) Wanita jika mengerjakan haji wajib apabila tidak punya mahrom, hendaknya berangkat bersama rombongan yang dipimpin amir/orang yang ditunjuk ulil amri. Sehingga tidak bisa diqiaskan dengan keluarnya wanita ke panti asuhan.
5. Syubhat: "Anas bin Malik menjadi pelayan Nabi."
BantahanAnas bin Malik menjadi pelayan Nabi itu bukan dalil bolehnya panti asuhan anak TB dikarenakan:
(1) Ummu Sulaim menghadiahkan Anas kecil kepada Nabi karena tidak punya sesuatu yang bisa dihadiahkan untuk Nabi.
(2) Nabi selain punya kedudukan sebagai rosul Allah juga sebagai pemimpin ummat dan punya hak memutuskan siapa yang lebih layak menjadi hadhin.
(3) Ummu Sulaim (ibu Anas) dan ummu Harom keduanya dengan Nabi masih ada hubungan mahrom, sehingga Nabi pun biasa masuk ke rumah ummu Sulaim.
(4) Anas kecil dalam keadaan muqim dan bisa menemui ibunya sewaktu-waktu. Sehingga andai Anas sakit bisa dirawat ibunya.
(5) Kisah Anas bin Malik tersebut justru dalil bahwa Nabi tidak punya panti asuhan.
6. Syubhat: "Diantara pak ustadz pembela panti asuhan di Sugihan berhujjah dengan hadits:
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذُوْا عَنِّي خُذُوْا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar. (Apabila berzina) jejaka dengan gadis (maka haddnya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang sudah menikah (maka hadd-nya) dicambuk seratus kali dan dirajam.” (HR. Muslim, no. 1690)
Bantahan:
(1) Apa putrinya pak ustadz Abu Mas'ud dan  putri para pendukung TN yang tinggal di panti asuhan mau jika statusnya kita samakan seperti pezina yang belum nikah.?
(2) Pezina yang belum nikah itu diasingkan dengan tujuan sebagai hukuman tambahan. Kenapa putri pak ustadz Abu Mas'ud dkk tidak dicambuk dulu akibat bermaksiat  kemudian diasingkan di panti asuhan.??  Jika main qias dan mengambil hukum jangan setengah-setengah.
(3) Setahu kita penerapan hukuman pengasingan bagi pezina yang belum nikah itu ditemani mahrom. Jika tiada mahrom yang menemani maka cukup dengan hukuman cambuk 100 kali. Itu yang diamalkan salaf. Wa Allahu a'lam.
7. Syubhat: Diantara mereka berhujjah dengan kisah wanita budak boleh tinggal dan tidur di Masjid.

وَعَنْهَا: أَنَّ وَلِيدَةً سَوْدَاءَ كَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ، فَكَانَتْ تَأْتِيني، فَتَحَدَّثُ عِنْدِي… الْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam mempunyai tenda di dalam masjid, ia sering datang kepadaku dan bercakap-cakap kepadaku. Al-Hadits. (Muttafaqun ‘alaih).
Bantahan:
(1) Budak wanita tersebut berkulit hitam dan sudah tua (tidak haid) menurut keterangan ulama. Bagaimana bisa disamakan dengan gadis merdeka dan masih muda?
(2) Ummahatul mukminin lebih berhak diteladani daripada wanita budak tersebut. Siapa yang tidak sepakat sehingga lebih mengidolakan dan mengikuti wanita budak hitam dan tua tersebut?
(3) Hadits tersebut sama sekali bukan dalil bolehnya panti asuhan. Jika ingin mengikuti jejak wanita budak tersebut..apabila sudah tua dan tidak haidh, maka silahkan jika mau tinggal di masjid kampung. Jangan gemar merantau tanpa mahrom seperti wanita liar yang tidak punya malu dan tidak punya muru'ah ataupun harga diri.
Wa Allahu a'lam.


Bab XI. Penutup

Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"  (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Maha Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين







Blora,  19 Muharrom 1444 H (17-08-2022)





Hazim Al Jawiy







HADHINAH YANG SAH Vs. RUMAH/PANTI ASUHAN (Bagian 1)



بسم الله الرحمن الرحيم



الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ  لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Baqoroh: 233).
      Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
     Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).


Bab I. Hadhonah (Kepengasuhan) dan Hadhinah

     Hadhonah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya hingga mencapai usia baligh.
     Hadhonah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan. Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu mandiri. Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifayah.
     Hadhonah sangat terkait dengan tiga hak:
(1) Hak wanita yang mengasuh
(2) Hak anak yang diasuh
(3) Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada hak yang lainnya.
     Hadhonah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhun) juga orang yang mengasuh (al-hadhin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhun) ditinjau dari hak penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan si anak sengsara.
     Hadhonah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-hadhin). Ini jika ditinjau dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau menggugurkan hak tersebut selama sang anak bisa diasuh oleh selainnya.


Bab II. Mahdhun Disyari'atkan Tinggal Bersama Hadhinah/Hadhin

     Anak (mahdhun) disyari'atkan tinggal bersama hadhinah sebagaimana pengamalan Salafush Sholih. Jika si anak tidak memiliki orang tua ataupun kerabat yang berhak menjadi hadhinah bagi si anak, maka ulil amri yang berhak memutuskan dengan siapa anak itu diamanahkan.
     Mazhab Malikiyyah berpendapat berakhirnya hadhonah anak laki-laki yaitu ketika ia baligh, sedangkan terhadap anak perempuan yaitu hingga ia dicampuri suaminya, kecuali jika ada sesuatu yang ditakutkan setelah baligh. Ibnu Hazm berkata, bahwa seorang ibu berhak melakukan hadhonah terhadap anak laki-laki atau perempuan hingga haid atau bermimpi, disertai dengan mumayyiz dan kesehatan badan.
     Selanjutnya di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:
(1)Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
(3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
    Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan karena perceraian, maka: 
(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang member keputusan.
(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
     Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
     Kita wajib taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat. Jadi pemeliharaan anak akan terus menjadi tanggung jawab orang tua selama belum berakhirnya masa hadhonah. Hadhanah berakhir apabila anak tersebut telah mandiri atau mampu menghidupi dirinya sendiri.


Bab III. Siapa Yang Berhak Menjadi Hadhinah/Hadhin (Pengasuh)

     Yang paling berhak menjadi hadhinah adalah ibu dan bapak. Hadhonah anak wajib dikerjakan kedua orang tuanya.Akan tapi jika ada udzur, cerai atau meninggal dunia maka bisa juga diberikan kepada orang tua susuan, kerabat dari ibu, kerabat dari bapak ataupun yang punya hubungan mahrom. Dari sanak kerabat yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika sanak kerabat tidak ada sama sekali, maka hadhonah terhadap mahdhun wajib dikerjakan ulil amri atau salah satu jama'ah dari kaum muslimin.
     Hadhonah tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menjadi hadhinah, walau bergelar kyai, ustadz, syaikh, profesor dan lain-lain.
     Jika terjadi perpiasahan antara suami istri karena talaq, atau meninggal dunia, maka yang paling berhak pengasuhan anak adalah ibunya jika ia belum menikah lagi. Karena Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil darinya:

أنت أحق به ما لم تنكحي

"Engkau lebih berhak atas anakmu,selagi engkau belum menikah lagi." ( Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan Al Hakim).
     Jika ibunya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ibu karena nenek dari jalur ibu adalah seperti ibu bagi anak kecil tersebut dan jika nenek dari pihak ibu tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah bibi dari jalur ibunya karena bibi dari jalur ibu ialah ibarat ibu bagi anak kecil tersebut. Rosulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الخالة بمنزلة الأم

"Bibi dari jalur ibu itu seperti ibu." (HR. Bukhori dan Muslim).
     Jika bibi dari jalur ibu tidak ada, maka orang yang paling berhak meng-hadhonah anak tersebut adalah nenek dari jalur ayahnya. Jika nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah saudara perempuan anak kecil tersebut. Jika saudara perempuannya tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah bibi dari jalur ayahnya. Dan jika bibi dari jalur ayah tidak ada, maka yang paling berhak meng-hadhonah adalah anak perempuan dari saudara ayah. Jika semua orang di atas tidak ada, maka hak hadhonah kembali kepada ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian saudara ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian pamannya dari jalur ayahnya, kemudian keluarga yang paling dekat dan keluarga lainnya sesuai dengan urutan kekerabatan. Saudara kandung lebih didahulukan untuk meng-hadhonah anak kecil tersebut daripada saudara seayah, dan saudara perempuan sekandung juga lebih didahulukan untuk meng-hadhonah darpada saudara perempuan seayah.


Bab IV. Syarat Menjadi Hadhin/Hadhinah

     Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan para Ulama.
     Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah:
(1) Berakal sehat. Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat.
(2) Amanah dalam agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban kepengasuhan ini.
(3) Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya. Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka.
(4) Pengasuh tidak memiliki penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh.
(5) Tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.
(6) Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak maka hak hadhonah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu pada anaknya bila telah menikah lagi. (Al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir, hlm. 79. Lihat al-Mughni 9/298-299).
     Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Wahai Rosulullah! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HHR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 2/225).
     Diantara syarat-syarat yang masih diperselisihkan adalah:
(1) Islam.
     Para Ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian dari Ulama yang bermadzhab Syafi’iyah juga madzhab Zhahiriyah menyatakan bahwa Islam bukan syarat dalam hak Hadhonah. Sedangkan madzhab al-Hanabilah dan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa Islam adalah syarat dalam Hadhonah.
     Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menjadikan Islam sebagai syarat untuk memperoleh hak hadhonah. Karena dikhawatirkan sang anak akan terfitnah dalam urusan agamanya sebagai akibat dari pengajaran dan pembinaan yang dilandasi ajaran kekufuran. Ini jelas menjadi madharat (bahaya) yang sangat besar. Apalagi dipancang secara umum bahwa orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Ini adalah bahaya terbesar yang mengancam sang anak jika diasuh oleh yang kafir.
     Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. [HR. Al-Bukhori dan Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
(2) Merdeka bukan budak.
     Ada dua pendapat Ulama dalam masalah ini. Madzhab Mayoritas Ulama diantaranya madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat pengasuh adalah orang yang merdeka, bukan budak. Sedangkan menurut pendapat madzhab Malikiyah dan Zhohiriyah, merdeka bukan termasuk syarat.
(3) Ar-Rusyd.
     Maksudnya, dia memiliki kemampuan untuk beraktifitas dan mampu menjaga harta dengan baik. Madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah menetapkan bahwa pengasuh (hadhin) dalam hadhonah harus memiliki sifat rusyd. Karena dikhawatirkan dia akan menghabiskan atau menyia-nyiakan harta sang anak yang sedang diasuhnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah dan Hanabilah memandangnya bukan syarat.
     Dengan demikian jelaslah bahwa syarat-syarat ini harus diberlakukan dalam memberikan hak kepengasuhan (hadhonah) kepada pihak-pihak yang berhak memiliki hak tersebut. Sehingga bisa menjadi sarana menyaring mereka yang berhak dan tidak berhak agar hak kepengasuhan diberikan kepada orang yang paling tepat mengurus anak-anak tersebut hingga mandiri ketika usia mumayyiz. Wallahu a’lam.


Bab V. Larangan Khianat Terhadap Amanah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58).
     Anak (mahdhun) temasuk amanah dari Allah kepada orang tuanya, sehingga wajib ditunaikan ibu bapaknya dan tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak berhak menjada hadhinah.


Bab VI. Tholabul 'Ilmi dan Tafaqquh fiiddin

     Safar seorang wanita untuk menuntut ilmu bersama wali/mahrom/hadhin-nya yang tinggal bersamanya adalah perkara yang boleh kalau tidak ditakutkan fitnah bahkan bisa jadi safar tersebut menjadi wajib hukumnya apabila ilmu yang hendak ia tuntut adalah ilmu wajib yag tidak boleh untuk tidak diketahui seperti ilmu tauhid, 'aqidah, shalat dan semisalnya, dari ilmu yang wajib bagi seorang hamba laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari apa yang dengannya dia menegakkan agamanya.
     Dan sebuah hadits:
طلب العلم فريضة على كل مسلم

"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim".
Maksudnya adalah ilmu yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari ilmu-ilmu yang telah lewat sebagian penyebutannya.
     Dan Imam Al-Aajurri telah mengkhususkan pembahasan ini dengan sebuah makalah berjudul "Fardhu Thalabil 'Ilm" yaitu apa yang wajib bagi seorang hamba untuk mempelajarinya laki-laki atau perempuan, dan menuntut ilmu yang semacam ini masuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan menuntut ilmu seperti firman Allah Ta'ala:

﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ [طه/114].

"Dan katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah untukku ilmu." (QS. Thoha: 114)
Dan Allah berfirman:

﴿يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ [المجادلة/11].

"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. dan Alloh Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11).
Dan Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda:

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

"Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Alloh akan mudahkan baginya jalan menuju jannah." (HR. Muslim (7028) dari hadits Abu Hurairah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ucapannya shallAllahu 'alaihi wa sallam:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

"Barangsiapa yang Allah hendaki baginya kebaikan, Ia akan pahamkan dia dalam agama." (Muttafaqun 'alahi dari hadits Mu'awiyyah radhiyAllohu 'anhu).
Dan ini mencakup laki-laki dan perempuan, Imam Bukhori menyebutkan dalam Shahihnya di Kitab Al-'Ilm dengan mendatangkan sanadnya dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyAllahu 'anhu para wanita berkata kepada Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam:

غلبنا عليك الرجال فاجعل لنا يوما من نفسك فوعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن... الحديث

"Para lelaki telah melampaui kami karena mereka selalu belajar bersamamu, maka luangkanlah untuk kami suatu hari, untuk engkau mengajari kami, maka beliau menjanjikan mereka suatu hari untuk menemui mereka, maka beliaupun menasihati dan memerintahkan mereka …" al-hadits di Shahih Bukhori bab: Apakah di tetapkan untuk wanita satu hari khusus mengajari mereka.
     Maka dapat diketahui dari semua dalil-dalil ini dan selainnya akan syar'inya menuntut ilmu bagi laki-laki dan perempuan baik itu di rumah dan itu lebih afdhol (baik) bagi seorang wanita atau di luar rumah dengan syarat-syarat yang teranggap ketika keluarnya.
     Ketahuilah bahwa keluar seorang wanita dari rumahnya untuk menuntut ilmu ada dua bentuk: (1) keluar ke tempat dekat bukan safar dan (2) keluar menempuh jarak safar.
     Dan keluarnya seorang wanita dari rumahnya bagaimanapun bentuknya harus memenuhi syarat-syarat yang dipahami dari nash-nash syar'i yang mulia:
(1) Izin wali dari kerabat dekatnya dari segi nasab atau sebab seperti suami atau para wali kerabat dekatnya seperti paman dari pihak ibu atau pemerintah kalau tidak didapati seorangpun dari yang telah lewat penyebutannya.
Dalilnya di Shahihain dari hadits ibni 'Umar radhiyAllohu 'anhu beliau berkata: Rosululloh shallAllahu 'alaihi wa sallam berkata:

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته       

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan ditanya pertanggung jawabannya."
(2) Memakai pakaian syar'i yang menutupi seluruh jasad, bukan hiasan, tidak tipis hingga tampak apa yang di dalamnya, tidak sempit atau ketat yang membentuk tubuh.
Allah Ta'ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾ [الأحزاب/59]

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan tidak di ganggu."  (QS. Al-Ahzab: 59).
(3) Aman dari fitnah terhadap agama, harga diri, badan, kesucian, dan kehormatannya mulai keluarnya sampai kembalinya, dan ini tentu dengan tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, tidak campur baur dengan mereka, dan tidak merendahkan (melemah lembutkan) ucapan dengan mereka, disertai dengan menundukkan pandangan, dan beradab dalam berjalan, akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Allah.
(4) Apabila jarak yang ia tempuh adalah jarak safar, mesti bersama mahram yang menjaganya saat safar dan kembalinya, hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil sahih di antaranya apa yang di Shahihain dari hadits ibnu 'Abbas:

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم

"Tidak boleh bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan safar kecuali bersama mahramnya."
Dan telah dinukil ijma' (kesepakatan ulama) tentang hal ini.
     Oleh karenanya tafaqquh fiddin dengan safar  tidak diwajibkan bagi wanita dan anak kecil. Tafaqquh fiddin hukum asalnya fardhu kifayyah bagi laki-laki yang sudah baligh sebagaimana juga jihad. Allah Ta'ala berfirman:

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

"Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At Taubah: 122).
     Berdasarkan pendapat bahwa ayat ini menunjukkan syar'inya menuntut ilmu (dan itulah yang benar) maka kata Thaifah (kelompok) dalam bahasa adalah untuk jama'ah dan terkadang untuk lebih sedikit dari itu hingga mencapai dua orang dan satu atas makna thaifah itu sendiri. Sebagaimana itu perkataan Al-Qurthubi di "Jami' Li Ahkamil Qur'an (8/266).
     Dan tidaklah diketahui dalam sejarah salaf keluarnya perempuan tanpa mahram atau tinggal di suatu negeri berjarak safar tanpa mahram untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama, itu dan semacamnya dari jarak safar hanyalah untuk para lelaki saja atau wanita yang bersama mahramnya.


Bab VII. Panti Asuhan Bid'ah Yang Tiada Salafnya Dan Solusinya
    
     Panti Asuhan TN dan TB tidak ada pada zaman Salafush Sholih. Seandainya itu benar dan baik, tentunya mereka para muhajirot orang yang paling berhak untuk dibangunkan asrama sebagai tempat sementara yang aman sampai datang mahromnya atau orang meminangnya. Akan tetapi itu semua tidak terjadi dan tidak ada, padahal tuntutan dan kondisi butuhnya salaf serta kemungkinan berdirinya TN dimasa itu sangat kuat karena banyak faktor pendukung yang mengantar kesana seperti:
(1) Adanya wanita yang paling alimah yakni Ummul Mu'minin ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha dan para Shohabiyyah lain, tentunya modal satu ini sudah cukup untuk mendirikan panti asuhan TN di zaman itu karena semua butuh kepada ilmunya.
(2) Banyaknya wanita yang perlu mendapat perhatian , baik dari sisi ilmu atau lainnya seperti para muhajiroh, para janda syuhada, anak-anak yatim mereka, atau selain mereka dari para wanita shohabat yang sangat butuh ilmu baik dari kalangan Muhajirin atau Anshor.
(3) Dari sisi biaya, sarana dan prasarana, di zaman mereka sangat memungkinkan untuk mendirikannya diantaranya bersumber dari ghonimah(rampasan perang), zakat, shodaqoh dari para muhsinin yang tidak perlu di minta, dan lain-lain. Terlebih pada zaman Kholifah Umar bin Khoththob di mana banyak negeri telah takluk.
(4) Bersihnya jiwa mereka dari kekotoran-kekotoran akhlaq yang membuat keamanan panti asuhan TN mereka terjaga.
(5) Keadaan baik secara politik atau sosial semua mendukung berdirinya panti asuhan TN di zaman itu.
Akan tetapi semua faktor pendukung tersebut tidak sedikitpun membawa mereka untuk bertindak lebih jauh dari tuntunan dan perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam maka jelas pengadaan panti asuhan TN merupakan penyelisihan terhadap dalil dan manhaj salaf.
     Demikian juga Tarbiyatun Banin yang mana anak tidak pulang dan tidak tinggal bersama orang tua, walinya, ibu susuan ataupun mahrom yang berhak menjadi hadhinah yang sah itu juga tiada Salafnya. Terlebih anak kecil itu lebih butuh penjagaan daripada wanita dewasa.

     Kemudian solusi untuk mandapatkan ilmu nafi' insya Allah ada banyak cara dan sebab, diantaranya:
(1) Tawakkal, berdoa dan minta kepada Allah.
Hendaknya menguatkan dan memantapkan pendekatan diri mereka kepada ” العليم ” Al-‘Aliim” Dzat Yang Maha Mengetahui”, karena Dialah yang memiliki semua ilmu, dan Dia juga yang akan membagi kepada yang berhak mendapat bagian, dan Allah telah perintahkan kita untuk mengharap ilmu dan tambahan ilmu kepadaNya, Allah berfirman :

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا_ [طه : 114]

"Dan katakanlah : “Ya Rob, tambahilah aku ilmu.” (QS : Thoha 114).
Dan juga Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita untuk memohon ilmu kepada Allah ilmu yang bermanfaat dengan sabdanya:

عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم سلوا الله علما نافعا وتعوذوا بالله من علم لا ينفع . [رواه ابن ماجة (ج 8 / ص 343 )تحقيق الألباني :وقال حسن ، وانظر الصحيحة ( 1511 )]

Dari Jabir berkata : bersabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam: Mintalah kepada Alloh ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Alloh dari ilmu yang tidak bermanfaat.[ HSR Ibnu Majah lihat As- Shohihah :1511]
Dan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sendiri memraktekannya dalam doa beliau:

عن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول إذا صلى الصبح حين يسلم اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا .[ صحيح ابن ماجة – (ج 1 / ص 67)]

Dari Umi Salamah bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam  apabila selesai sholat Shubuh sehabis salam mengatakan : Ya Alloh , sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat dan rejeki yang baik, serta amalan yang diterima. (HSR Ibnu Majah dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani).
(2) Meminta diajari oleh wali-walinya atau mahrom-nya apabila mereka memiliki dan mampu mengajarinya seperti ayah dan ibunya, suaminya, kakak atau adiknya baik laki-laki atau perempuan, dan tidak perlu merasa malu belajar kepada yang lebih kecil atau muda selama mereka memiliki yang tidak kita miliki.
Kalau itu bisa terpraktekkan maka sungguh kehidupan ilmiyah dalam keluarga yang penuh barokah dan kesejukkan jiwa yang tiada tara sebagaimana kehidupan para salaf.
(3) Jika bukan dari keluarga yang mampu untuk menyampaikan ilmu, karena semua masih pemula atau sebab yang lain, maka hendaknya mereka menyediakan perlengkapan-perlengkapan belajar semampunya. Seperti : Kitab-kitab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang bermanfaat dan bersih dari kesesatan, kaset-kaset dan CD ilmiyah dari para ulama Ahlus Sunnah dan perlengkapan lainnya, dimana Allah subhaanah pada zaman kita ini telah membuka kemudahan yang sangat banyak untuk memperoleh ilmu. Itu semua kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk mencari ilmu.
(4) Berupaya menghadiri majelis ilmu Ahlus Sunnah di sekitarnya jika itu ada dan tanpa harus safar.
(5) Dengan bertanya kepada ahli ilmu atau orang yang dipandang bisa ditanya dari kalangan Ahli Sunnah, lewat surat, sms , email , atau lewat telpon, dalam perkara-perkara rumit yang tidak bisa dipecahkan sendiri atau untuk meyakinkan kebenaran yang kita telah berusaha untuk mencarinya.
(6) kalau memang belum dibuka ini dan itu maka hendaknya menseriuskan diri dengan hafalan Al-Qur’an sampai benar-benar hafal, yang Insya Allah dengan menghafalkan Al-Qur’an akan terbuka jalan lebar lainnya, karena Al-Qur’an adalah kitab yang penuh barokah.

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ_ [الأنعام : 155]

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan yang penuh barokah , maka ikutilah kitab tersebut dan bertaqwalah kalian agar kalian mendapatkan rohmahNya."  (QS. Al-An’am 155).
(7) Mengamalkan ilmu.
Semakin ilmu kita amalkan, maka akan semakin banyak manfaatnya dan semakin kuat pula kita memahami ilmu tersebut. Karena boleh jadi ilmu yang masih sedikit yang kita miliki tersebut, justru akan semakin lengkap manakala kita mengamalkannya. Kita akan semakin mengerti sisi-sisi mana saja yang masih belum kita ketahui pada ilmu tersebut. Allah juga akan menguatkan iman dan diberi petunjuk jalan yang lurus. Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا (67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69) ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)

"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian," niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka); dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid. dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (QS. An Nisa': 66 - 70).





Bersambung...Bagian 2.

https://teguhakhirblora.blogspot.com/2022/08/hadhinah-yang-sah-vs_2.html?m=1


"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...