Rabu, 29 November 2023

Apa Hukum Memakan Hewan ( Siput, Cacing, Ungker Ulat Jati, Serangga Dan Semisal) Yang Tidak Memiliki Leher Untuk Disembelih ?







Apa Hukum Memakan Hewan ( Siput, Cacing, Ungker Ulat Jati, Serangga Dan Semisal) Yang Tidak Memiliki Leher Untuk Disembelih ?


1. Hukum Hewan Yang Hidup Di Laut (Air)

     Semua hewan tersebut hidup di laut (selama dagingnya tidak beracun dan bermadhorot) maka hukumnya halal dan tiada diperselisihkan. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Quran :

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…" (QS. Al-Maidah : 96)

     Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat masyhur, mengatakan,

ما أخذ منه حيًا {وَطَعَامُهُ} ما لفظه ميتًا {صيده}

“Binatang buruan laut adalah hewan laut yang diambil hidup-hidup, dan makanan dari laut adalah bangkai hewan laut.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/197).

     Al-Bukhari membawakan satu riwayat dari Syuraih, salah seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau mengatakan,

كُلُّ شَيءٍ فِي الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ

“Semua yang ada di laut, statusnya sudah disembelih” (HR. Bukhari secara muallaq).

2.  Hukum Memakan Al Hasyarot Yang Hidup Di Darat

     Bagian inilah yang diperselisihkan ulama.

■  Pendapat pertama, al hasyarat hukumnya haram.

     Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah. An-nawawi mengatakan,

مذاهب العلماء في حشرات الأرض …. مذهبنا أنها حرام ، وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود . وقال مالك : حلال

“Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi…, madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.” (Al-Majmu’, 9/16)

     Ibnu Hazm mengatakan,

ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها : كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كله – طيارة وغير طيارة – والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى : (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى (إلا ما ذكيتم)

“Tidak halal makan siput darat (bekicot), tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.” Kemudian Ibn Hazm menegaskan,

وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛ لامتناع أكله ، إلا ميتة غير مذكى

“Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih." (lihat Al-Muhalla, 6/76).

■  Pendapat kedua, merupakan kebalikannya yaitu hukumnya halal.

     Ini adalah pendapat Malikiyah. Mereka punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah merah, tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang. Cara menyembelihnya bebas, bisa dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai mati, sambil membaca basmalah.

     Dalam Al-Mudawanah dinyatakan,

“سئل مالك عن شيء يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟ قال : أراه مثل الجراد ، ما أخذ منه حيّاً فسلق أو شوي : فلا أرى بأكله بأساً , وما وجد منه ميتاً : فلا يؤكل

Imam Malik ditanya tentang binatang yang ada di daerah maroko, namanya bekicot. Biasanya berjalan di bebatuan, naik pohon. Bolehkah dia dimakan?
Imam Malik menjawab:
“Saya berpendapat, itu seperti belalang. Jika ditangkap hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya berpendapat, Tidak masalah dimakan, namun jika ditemukn dalam keadaan mati, jangan dimakan.” (lihat Al-Mudawwanah, 1/542)

     Al-Baji juga pernah menukil keterangan Imam Malik tentang bekicot,

ذكاته بالسلق ، أو يغرز بالشوك والإبر حتى يموت من ذلك ، ويسمَّى الله تعالى عند ذلك ، كما يسمى عند قطف رءوس الجراد

“Cara menyembelihnya adalah dengan dimasak, atau ditusuk kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah (bismillah) ketika itu. Sebagaimana membaca bismillah ketika memutuskan kepala belalang.” (lihat Al-Muntaqa Syarh Muwatha’, 3/110)

Kesimpulan


■  Semua hewan yang hidup di laut selama dagingnya tidak beracun (madhorot) maka halal. Dalam perkara ini tiada perselisihan di kalangan ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
■  Terkait hukum makan hewan yang termasuk "al hasyarot" yang hidup di darat maka terdapat khilaf. Jumhur ulama berpendapat haram, sedang madzhab Malikiyyah berpendapat halal. Dari 2 pendapat tersebut, pendapat yang melarang makan al hasyarot insya Allah lebih mendekati kebenaran. Karena siput/bekicot darat, ungker ulat jati, cacing dan semisal termasuk hewan melata yang tidak bisa disembelih. Dan semua binatang yang matinya tidak disembelih, maka statusnya bangkai.
■  Sisi yang lain, terdapat kaidah yang kita akui bersama bahwa tidak mengkonsumsi binatang yang halal dimakan setelah disembelih, termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang itu dilarang secara syariat. Sementara membuang bekicot, cacing, ungker ulat jati, laron dan semisalnya maka tidak termasuk bentuk menyia-nyiakan harta.
■  Mengqiyaskan bekicot dan semisalnya dengan belalang (sebagaimana madzhab Malikiyah) termasuk qiyas yang tidak benar. Karena belalang dikecualikan oleh Rasulullah ﷺ dari hukum bangkai yang haram. Sementara bekicot tetap harus disembelih (menurut madzhab Malikiyah), hanya saja dengan cara yang tidak pada umumnya diterapkan. Dan disyari'atkan membaca "Bismillah" untuk membedakan dengan bangkai.
■  Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan. Bentuk wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu mengambil yang tidak meragukan.

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقاَلَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.)

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah ﷺ dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah ﷺ, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Selasa, 28 November 2023

Batasan Toleransi Dan Berbuat Birr ( Ihsan/Kebaikan ) Kepada Orang Kafir ( Non Muslim ), Orang Munafiq Ataupun Ahlul Ahwa' ( Pengikut Hawa Nafsu )





 

Batasan Toleransi Dan Berbuat Birr ( Ihsan/Kebaikan ) Kepada Orang Kafir ( Non Muslim ), Orang Munafiq Ataupun Ahlul Ahwa' ( Pengikut Hawa Nafsu )

     Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwa Islam itu agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan). Allah Ta'ala berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu." (QS. Al-Baqarah: 143). Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini.

     Dalam perkara ini pun Ahlus Sunnah Wal Jama'ah juga pertengahan antara ghuluw dan tafrith. Berbuat baik dan berlaku adil itu tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut.


Berbuat Baik Itu Berbeda dengan Wala’ (Loyalitas Dan Kecintaan)


    Allah Ta’ala berfirman :

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9(

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

     Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) dan berlaku adil terhadap orang kafir, orang munafiq, orang fasiq ataupun ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah wala' (loyalitas dan kecintaan) kepada mereka. Itu semua sebagai bentuk rahmat kepada mereka, walau ada permusuhan dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa kaum muslimin boleh berbuat baik (birr) kepada orang musyrik. Tapi dalam hal wala' (loyal dan kecintaan) kepada mereka tidak dibolehkan.

     Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan :

أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً، في عَهْدِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَسَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: آصِلُهَا؟ قالَ: نَعَمْ قالَ ابنُ عُيَيْنَةَ: فأنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا: {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ في الدِّينِ} [الممتحنة: 8].
الراوي : أسماء بنت أبي بكر | المحدث : البخاري | المصدر : صحيح البخاري | الصفحة أو الرقم : 5978 | خلاصة حكم المحدث : [صحيح]

“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)” (HR. Bukhari no. 5798)

     Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang). Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al Mujadilah : 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.” (lihat Fathul Bari, 5: 233)

     Dengan kata lain terhadap siapapun (termasuk kepada orang kafir atau non muslim) kita diperintahkan untuk bersikap adil.  Kita juga diperintahkan tolong-menolong selama dalam perkara kebaikan dan taqwa serta tidak boleh tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Allah Ta'ala berfirman :

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ2

"... Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya." (QS. Al Maidah : 2)


والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


Rabu, 22 November 2023

Kenapa Setiap Muslim Harus Belajar Bahasa Arab ?




 


Kenapa Setiap Muslim Harus Belajar Bahasa Arab ?


     Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّا أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)

     Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan bahasa Arab beliau berkata menafsirkan ayat ini,

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس؛ فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل، بسفارة (8) أشرف الملائكة، وكان ذلك في أشرف بقاع الأرض، وابتدئ إنزاله في أشرفشهور السنة وهو رمضان، فكمل من كل الوجوه

“Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusiaOleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”  (lihat Tafsirul Qur’an Al-Adzim 4/366)

     Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

“فعلى كلِّ مُسْلمٍ أن يتعلمَ من لسانِ العربِ ما بَلَغَهُ جَهْدهُ, حتَّى يَشْهَدَ بهِ أن لا إله إلاَّ اللهُ, وأنَّ مُحمداً عبدُهُ ورسولهُ, ويَتْلُوَ بِهِ كتابَ الله, وينطق بالذكر فيما افْتُرِضَ عليه من التكبير, وأُمِرَ به من التسبيح والتشهدِ وغير ذلك.”

“Maka wajib atas setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab sekuat kemampuannya. Sehingga dia bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan dengannya dia bisa membaca kitabullah, dan mengucapkan dzikir atas apa yang diwajibkan padanya, seperti takbir, dan perintah mengerjakan dengannya seperti tasbih, tasyahud, dan sebagainya." (lihat Ar Risalah)

     Imam Asy Syafi’i rahimahulloh juga  berkata :

سمى الله الطالبين من فضله في الشراء والبيع تجاراً، ولم تزل العرب تسميهم التجار ثم سماهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بما سمى الله به من التجارة بلسان العرب، والسماسرة اسم من أسماء العجم، فلا نحب أن يسمى رجل يعرف العربية تاجراً، إلا تاجراً، ولا ينطق بالعربية فيسمي شيئاً بأعجمية، وذلك أن اللسان الذي أختاره الله عز وجل لسان العرب، فأنزل به كتابه العزيز وجعله لسان خاتم أنبيائه محمد صلى الله عليه وسلم، ولهذا نقول: ينبغي لكل أحد يقدر على تعلم العربية أن يتعلمها، لأنها اللسان الأولى، بأن يكون مرغوباً فيه من غير أن يحرم على أحد أن ينطق بأعجمية.

“Allah  menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah  melalui jual-beli (berdagang) dengan nama tujjar  (para pedagang-pent), kemudian Rasululah  ﷺ juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah  telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa Arab. Sedangkan “samaasiroh” adalah nama dari bahasa ‘ajam (selain Arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa Arab menamai para pedagang kecuali dengan nama “tujjar” dan janganlah seseorang yang berbahasa Arab lalu ia menamakan sesuatu dengan bahasa ‘ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah , sehingga Allah  menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa penuntup para nabi, yaitu Muhammad  Oleh karena itu, kami katakan sepantasnya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain.”

فقد كره الشافعي لمن يعرف العربية، أن يسمى بغيرها، وأن يتكلم بها خالطاً لها بالعجمية

Imam Syafi’i membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia menamakan dengan selain bahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa ‘ajam .” (lihat Iqtidho’ shiratal mustaqim hal 521-522 jilid I).

     Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan tentang hukum mempelajari bahasa Arab,

وأيضا فإن نفس اللغة العربية من الدين ، ومعرفتها فرض واجب، فإن فهم الكتاب والسنة فرض، ولا يفهم إلا بفهم اللغة العربية، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .

“Dan juga perlu dipahami bahwa bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama. Mempelajarinya adalah fardhu wajib. Karena untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu wajib. Memahaminya tidaklah bisa kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sedangkan kaedah menyatakan, ‘Sesuatu yang wajib yang tidak bisa terpenuhi kecuali dengannya, maka itu dihukumi wajib.’ Kemudian untuk mempelajarinya tadi, ada yang hukumnya fardhu ‘ain dan ada yang hukumnya fardhu kifayah.” (lihat Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1: 527)

     Ada beberapa riwayat yang juga dibawakan oleh Ibnu Taimiyah. Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, ‘Umar pernah menulis pada Abu Musa,

أما بعد: فتفقهوا في السنة ، وتفقهوا في العربية وأعربوا القرآن، فإنه عربي

“Pelajarilah As-Sunnah dan pelajarilah bahasa Arab, serta i’rablah Al-Qur’an. Ingatlah Al-Qur’an itu dengan bahasa Arab.”

‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata,

تعلموا العربية فإنها من دينكم، وتعلموا الفرائض فإنها من دينكم

“Pelajarilah bahasa Arab karena ia bagian dari agama kalian. Pelajarilah hukum waris, ia juga bagian dari agama kalian.”

     Mempelajari bahasa Arab -kata Ibnu Taimiyah- bertujuan agar faqih dalam ucapan. Sedangkan menurut beliau, mempelajari sunnah Nabi bertujuan supaya faqih dalam amalan. Sedangkan dalam diin itu terdiri dari ucapan dan amalan. (lihat bahasan Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1: 527-528)

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
    


Selasa, 21 November 2023

Dosa Maksiat Bisa Memisahkan Persahabatan ( Persaudaraan ) Dan Sebab Perselisihan Hati



 

Dosa Maksiat Bisa Memisahkan Persahabatan
( Persaudaraan ) Dan Sebab Perselisihan Hati

الذنوبُ منْ أسبابِ الفرقةِ بينَ الأحبةِ و اختلافِ القلوبِ


     Persahabatan atau pertemanan yang awalnya saling mengasihi.., akrab dan begitu dekat.., lantas timbul perselisihan, pertengkaran dan permusuhan.., tahukah engkau apa penyebabnya? Diantara penyebabnya adalah karena dosa yang dilakukan oleh salah seorang diantara keduanya. Dan tiada cara lain untuk menyatukan kembali persahabatan yang telah terkoyak agar kembali akrab seperti dahulu serta langgeng di dunia dan Akhirat, kecuali dengan taubat kepada Allah dan banyak mengerjakan amalan-amalan ketaatan. 

روى أحمد في المسند عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : "والذي نفس محمد بيده ما تواد اثنان ففرق بينهما، إلا بذنب يحدثه أحدهما" صححه الألباني رحمه الله في صحيح الترغيب و الترهيب (2219).

     Rasulullah bersabda : “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya (Allah) tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya”. (HR. Ahmad. At Targhib Wa Tarhib (2219))

و للبخاري في الأدب المفرد عن أنس، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : "ما تواد اثنان في الله جل وعز أو في الإسلام، فيفرق بينهما إلا بذنب يحدثه أحدهما" صححه الألباني رحمه الله في صحيح الأدب المفرد (401) و في الصحيحة (637).

     Rasulullah bersabda : “Tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi karena Allah ‘azza wa jalla atau karena Islam lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya”. (HR. Bukhari di Adabul Mufrod. Shahih Adabul Mufrod (401), Shahihah (637).

قال المناوي رحمه الله في فيض القدير شرح الجامع الصغير (5/437) : "(ما تواد) بالتشديد (اثنان في الله فيفرق بينهما إلا بذنب يحدثه أحدهما) فيكون التفريق عقوبة لذلك الذنب و لهذا قال موسى الكاظم : "إذا تغير صاحبك عليك فاعلم أن ذلك من ذنب أحدثته فتب من كل ذنب يستقيم لك وده" و قال المزني : "إذا وجدت من إخوانك جفاء فتب إلى الله فإنك أحدثت ذنبا، و إذا وجدت منهم زيادة ود فذلك لطاعة أحدثتها فاشكر الله تعالى".

     Berkata Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir Syarhul Jami’ Ash-Shaghir” (5/437) : “Lafazh (maa tawaadda (tidaklah ada yang saling mengasihi)) dibaca dengan tasydid, (antara dua orang karena Allah lalu saling berpisah antara keduanya, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya), maka terjadinya perpisahan ini merupakan hukuman atas dosa tersebut.
Oleh karenanya berkata Musa al-Kazhimi : “Jika telah berubah sikap sahabatmu kepadamu, maka ketahuilah bahwa hal itu disebabkan karena dosa yang telah engkau perbuat. Maka bertaubatlah dari segala dosa niscaya akan langgeng kasih sayang sahabatmu”.
Berkata al-Muzany rahimahullah : “Jika engkau dapati sikap keras/antipati dari saudara-saudaramu maka bertaubatlah kepada Allah, karena sesungguhnya engkau telah berbuat suatu dosa. Dan jika engkau dapati dari mereka bertambah sikap kasih sayang maka hal itu disebabkan amalan ketaatan yang engkau kerjakan, oleh karenanya bersyukurlah kepada Allah Ta'ala.”

و قال الأمير الصنعاني في التنوير شرح الجامع الصغير (9/379) : "(ما تواد اثنان في الله فيفرق بينهما) بعد التواد (إلا بذنب يحدثه أحدهما) فعوقب من الله تعالى بسلب الأخوة فيه التي أجرها عظيم عند الله فإن المعاصي تسلب بركات الطاعات، قال موسى الكاظم : "إذا تغير صاحبك عليك فاعلم أن ذلك من ذنب أحدثته فتب من كل ذنب يستقيم لك وده".

     Berkata Al-Amir Ash-Shon’ani rahimahullah dalam At-Tanwir Syarhu Al-Jami’ Ash-Shaghir” (9/379) :
“(Tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi karena Allah lalu keduanya berpisah) setelah tadinya mereka berdua saling kasih-mengasihi, (melainkan disebabkan oleh dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya). Maka ia mendapat hukuman dari Allah dengan terenggutnya hubungan persaudaraan yang ganjarannya amat besar di sisi Allah, karena sesungguhnya kemaksiatan-kemaksiatan itu akan merenggut barokahnya ketaatan."
Berkata Musa al-Kazhimi rahimahullah : ”Jika telah berubah sikap sahabatmu kepadamu, maka ketahuilah bahwa hal itu disebabkan karena dosa yang telah engkau perbuat. Maka bertaubatlah dari segala dosa niscaya akan langgeng kasih sayang sahabatmu”. 

Senin, 20 November 2023

Tanggapan Sebuah Syubhat "Hanya Allah Yang Tahu Kebenaran"





 

Tanggapan Sebuah Syubhat "Hanya Allah Yang Tahu Kebenaran"

    
     Maka sebagai tanggapan, kita katakan :

(1) Sebutkan dalilnya jika hanya Allah yang tahu kebenaran? Adakah para Shahabat Nabi ketika dikritik dengan hujjah, kemudian mengatakan bahwa hanya Allah yang tahu kebenaran.??

(2)  Nabi mengetahui kebenaran. Allah Ta'ala berfiman :

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

"Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. Ash-Shaf/61 : 9). Allah juga berfirman :

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuuraa: 52).

(3) Jin dan manusia juga bisa mengetahui kebenaran. Allah berfirman :

قَالُوْا يٰقَوْمَنَآ اِنَّا سَمِعْنَا كِتٰبًا اُنْزِلَ مِنْۢ بَعْدِ مُوْسٰى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّ وَاِلٰى طَرِيْقٍ مُّسْتَقِيْمٍ

"Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus." ( QS. Al-Ahqaaf: 30)

     Ibnu Mas’ud, ketika mengomentari orang yang salah dalam memberi fatwa, berkata :

مَنْ عَلِمَ فَلْيَقُلْ ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ

"Siapa yang tahu, silahkan dia bicara. Dan siapa yang tidak tahu, maka ucapkan, ‘Allahu a’lam’." (HR. Bukhari 4774)

     Apa itu semua tidak cukup sebagai dalil dan bukti bahwa manusia dan jin pun bisa mengetahui kebenaran?

(4) Jika mereka katakan manusia tidak ada yang mengetahui kebenaran, maka demi Allah itu dusta. Karena Allah Ta'ala berfirman :

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

"Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (QS. Al Baqarah : 42)

(5) Al Qur'an dan As Sunnah itu sumber kebenaran. Allah Ta'ala berfirman :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

     Nabi Muhammad bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).

     Dari Abu Darda, Rasulullah bersabda.

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ الْحَقُّ وَعَلَى الْقُرْآنِ مَنَارٌ كَأَعْلاَمِ الطَّرِيْقِ

"Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian, adalah kesalahan orang yang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan Al Qur’an. Sementara Al Qur’an adalah sebuah kebenaran, di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan." (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu wa Fadlihi)

(6)  Seorang yang berilmu wajib menjelaskan dan memperlihatkan kebenaran. Dan wajib baginya amar ma'ruf nahi munkar. Dalilnya sangat banyak dan terdapat ijma'.

     Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?" (QS. Ali-‘Imran : 71)

     Nabi memerintahkan 7 perkara kepada Abu Dzar diantaranya :

وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

"... Dan beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit, ..." (HSR. Ahmad)

     Andai manusia tidak ada yang tahu kebenaran, kenapa kita diperintahkan menyampaikan kebenaran.??

(7)  Memegang kebenaran itu sebuah keharusan. Allah memerintahkan kita untuk yaqin dan melarang ragu terhadap ajaran Islam. Allah Ta'ala berfirman :

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari  Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah: 147). Sehingga siapa yang pemikirannya, aktivitasnya, ucapannya, disesuaikan dengan ajaran Nabi , berarti dia di posisi sesuai kebenaran.

     Sebaliknya, siapa yang tidak mengikuti ajaran beliau, menyimpang dari prinsip agama yang beliau sampaikan, maka dia sesat. Allah berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa : 115)

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.



Catatan :
Bagi mereka yang punya keyakinan "Hanya Allah Yang Tahu Kebenaran" jika mereka itu jujur (bukan pendusta), maka lebih baik diri mereka diam dan jangan bicara sebagai konsekwensi diri mereka tidak tahu kebenaran sehingga jangan merasa sok tahu. Kemudian harusnya mereka juga ridho jika kita ajak berhakim kepada Allah Al Haqq dengan mubahalah. Tapi bagaimana realitanya.?? Mereka umumnya gemar bicara ngawur tanpa dalil dan enggan jika diajak berhakim kepada Allah..bagai syaithan yang takut mendapat adzab Allah tapi tetap membangkang dan angkuh diatas kebatilan. Mereka tidak mau mengikuti Al Qur'an dan Hadits Shahih karena sifat kibr (angkuh) dan merasa sok tahu serta mengedepankan hawa nafsunya. Jika mereka tidak mau diajak berhakim kepada Allah..lantas mereka ingin berhakim kepada siapa.?? Laa haula wa laa quwwata illa billah..


Minggu, 19 November 2023

Benarkah Kita Tidak Boleh "Mengklaim Diri Kita Benar Dan Di Atas Al Haq" ?





 


Benarkah Kita Tidak Boleh "Mengklaim Diri Kita Benar Dan Di Atas Al Haq" ?


     Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwa Islam itu agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan). Allah Ta'ala berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu." (QS. Al-Baqarah: 143). Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini.

     Dalam perkara "mengklaim" maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah juga pertengahan antara ghuluw dan tafrith. Apabila kita mengklaimnya berdasarkan burhan (bukti) dan hujjah, maka hal itu dibenarkan dan terpuji bahkan bisa wajib. Sebaliknya yang tidak boleh dan tercela yaitu apabila ada orang yang sekedar mengklaim tapi tanpa hujjah dan burhan ataupun bukti. Lebih tercela lagi jika realitanya orang yang mengklaim tersebut menolak ketika kita tantang berhakim kepada Allah Rabbul 'Alamin dengan sumpah atau doa mubahalah untuk membuktikan kebenaran.

     Allah Ta'ala berfirman :

وَقَالُوا۟ لَن يَدْخُلَ ٱلْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَٰرَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (QS. Al Baqarah : 111)

     Dan hal ini insya Allah juga tak bertentangan dengan akal sehat.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
    




Tanggapan Atas Syubhat "Jangan Merasa Paling Benar"

     Seringkali di dunia nyata ataupun di dunia maya kita menjumpai orang yang berkata “Jangan merasa paling benar” atau “Jangan merasa benar sendiri” dan ucapan-ucapan semisal itu. Maka sebagai tanggapan kita katakan :

(1) Apakah perkataan mereka tersebut berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah yang tak beralasan pada dalil yang menunjukkan kepada kebingungan? Apakah ada ayat (al-Qur'an) atau hadits Nabi ﷺ atau pendapat para ‘ulama yang mengatakan dengan perkataan tersebut.??

(2) Yang menjadikan semua manusia merasa benar itu karena memang Allah Ta’ala menjadikan semua manusia merasa di atas kebenaran. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam Firman-Nya :

كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ

“Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerja’an mereka”. (QS. Al-An’am: 108). Bahkan manusia sezhalim  Fir’aun pun mengklaim yang dilakukannya adalah baik dan dia merasa diatas kebenaran. Itu sebabnya jika berselisih hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rosul-Nya. Allah تعالىٰ berfirman :

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر

Maka jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian (Kiamat).”
(QS. An-Nisaa  : 59).
     Ayat tersebut dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah تعالىٰ  tidak mengatakan; jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau kembalikan pada pendapat masing-masing. Akan tetapi Allah  تعالىٰ memerintahkan kita untuk mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ini menunjukkan bahwa yang benar hanyalah yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

(3) Para Shahabat Nabi ﷺ senantiasa menyalahkan orang-orang yang mereka pandang salah dan tidak pernah di antara mereka yang mengatakan : “Jangan merasa benar sendiri!”

(4) Orang-orang yang enggan mengembalikan perselisihan kepada Al Qur'an dan As Sunnah, justru itulah yang hakekatnya "mereka merasa paling benar" sehingga kibr (angkuh) tidak mau mengikuti Al Qur'an dan Hadits Shahih. Ketika kita ajak berhakim kepada Allah dengan mubahalah, maka mereka menolak bagai syaithan yang takut mendapat adzab Allah, tapi tetap membangkang di atas kebatilan.

(5)  Kebenaran itu sudah jelas dan terang sebagaimana terangnya sinar matahari di siang hari. Nabi bersabda :

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌٌ

“Sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas”. (Muttafaqun ‘alaih).

(6) Kebenaran itu hanya satu. Imam Malik rahimahullah berkata :

لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا ؟ ما الحق والصواب إلا واحد

“Tidak, demi Allah hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu”.

(7) Kebenaran diperintahkan untuk disampaikan. Abu Ali Ad-Daqqoq berkata :

السَّاكِتُ عَن الحَقِّ شَيْطَانٌ أُخْرِسُ

“Orang yang diam dari kebenaran adalah setan bisu”.

     Sebagai penutup realitanya kami sering mengucapkan :

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.



Tanggapan Syubhat "Hanya Allah Yang Tahu Kebenaran"

    
     Maka sebagai tanggapan, kita katakan :

(1) Sebutkan dalilnya jika hanya Allah yang tahu kebenaran? Adakah para Shahabat Nabi ketika dikritik dengan hujjah, kemudian mengatakan bahwa hanya Allah yang tahu kebenaran.??

(2) Nabi mengetahui kebenaran. Allah berfirman :

إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya kamu berada di atas petunjuk yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 67).

(3) Ibnu Mas’ud, ketika mengomentari orang yang salah dalam memberi fatwa, berkata :

مَنْ عَلِمَ فَلْيَقُلْ ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ

"Siapa yang tahu, silahkan dia bicara. Dan siapa yang tidak tahu, maka ucapkan, ‘Allahu a’lam’." (HR. Bukhari 4774)
Apa itu semua bukan bukti bahwa manusia pun bisa mengetahui kebenaran?

(4) Seorang yang berilmu wajib menjelaskan dan memperlihatkan kebenaran. Dan wajib baginya mengingkari kebatilan. Dalilnya sangat banyak dan terdapat ijma'. Andai manusia tidak ada yang tahu kebenaran, kenapa kita diperintahkan menyampaikan kebenaran.??

(5) Memegang kebenaran itu sebuah keharusan. Allah memerintahkan kita untuk yaqin dan melarang ragu terhadap ajaran Islam. Allah berfirman :

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. al-Baqarah: 147). Sehingga siapa yang pemikirannya, aktivitasnya, ucapannya, disesuaikan dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia di posisi sesuai kebenaran.

     Sebaliknya, siapa yang tidak mengikuti ajaran beliau, menyimpang dari prinsip agama yang beliau sampaikan, maka dia sesat. Allah berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa : 115)

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Kamis, 16 November 2023

Apa Hukumnya Memboikot Produk Yahudi (Bani Israil), Orang Kafir Ataupun Ahlul Ahwa'?



 

Apa Hukumnya Memboikot Produk Yahudi (Bani Israil), Orang Kafir Ataupun Ahlul Ahwa'?


     Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwa Islam itu adalah agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan). Allah Ta'ala berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu." (QS. Al-Baqarah: 143). Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini.

     Dalam perkara hajr 'uqubah yaitu memboikot Yahudi, orang kafir ataupun ahlul ahwa' maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah juga pertengahan antara ghuluw dan tafrith. Yang terpenting hendaknya perlu dipahami :

1. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya bermuamalah dengan orang kafir begitu banyak, baik dengan orang Yahudi, Nashrani maupun orang musyrik. Bahkan karena sebuah hajat, Nabi pernah menggadaikan baju perang beliau (baju besi) kepada seorang Yahudi. Sehingga yang terlarang adalah muamalah dengan kafir harbi (yang sedang berperang dengan kaum muslimin).

2. Melakukan pemboikotan ataukah tidak terhadap orang kafir ataupun ahlul bid'ah adalah hak negara, bukan hak individu.

3. Ajakan hajr (memboikot) disuarakan oleh negara, dan bukan individu/kelompok.

4. Jika ulil amri (penguasa/negara) ingin melakukan pemboikotan terhadap orang kafir ataupun ahlul ahwa' maka hendaklah dilakukan pengkajian pertimbangkan mashlahat dan mafsadat.

5. Jika yang dimaksud adalah boikot produk Yahudi yaitu produk negara bani Israel, maka pemboikotan seperti ini benar jika negara bani Israel memang termasuk kafir harbi (yang sedang berperang dengan kaum muslimin). Perlu diketahui bahwa Kerajaan Saudi Arabia dan negara jazirah Arab sudah sejak lama -yang aku ketahui- telah melakukan pemboikotan terhadap negara bani Israel. Yang kami ketahui hal itu masih berlaku seperti itu hingga saat ini. Bangsa Arab umumnya tidak mau berkunjung ke negara bani Israil termasuk ke Baitul Maqdis di Yerusalem. Sehingga sebuah kedustaan jika banyak orang menuduh Saudi mendukung/pro negara bani Israel.

6. Hajr tark itu beda dengan hajr 'uqubah.Tidak dibenarkan sebuah kelompok atau jam'iyyah menerapkan hajr 'uqubah (boikot) sendiri-sendiri baik terhadap orang kafir atau ahlul ahwa'. Seperti halnya yang diterapkan sebagian kelompok Salafi melakukan hajr 'uqubah tanpa perhatikan kaidah hajr 'uqubah. Contoh : "jangan muamalah dengan si fulan.."

7. Jika ulil amri atau pemerintah yang sah (untuk di Indonesia adalah presiden) apabila menyeru untuk melakukan hajr 'uqubah semisal memboikot atau melarang muamalah dengan negara bani Israel, maka hendaknya wajib ditaati. Sehingga muamalah dengan Yahudi (negara bani Israil) yang asalnya mubah (boleh), maka bisa berubah menjadi haram. Barangsiapa tidak mentaatinya maka berhak mendapat dosa.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


Catatan :
Diriku ketika berselisih dengan seseorang, seingatku tidak pernah menyeru "jangan muamalah dengan fulan", walau orang tersebut pernah melarang orang lain agar tidak muamalah denganku. Jika aku melakukan hal yang sama dengan mereka, maka itu artinya diriku sepert mereka.? Wa na'udzubillah.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...