1. Hukum Hewan Yang Hidup Di Laut (Air)
Semua hewan tersebut hidup di laut (selama dagingnya tidak beracun dan bermadhorot) maka hukumnya halal dan tiada diperselisihkan. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Quran :
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…" (QS. Al-Maidah : 96)
Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat masyhur, mengatakan,
“Binatang buruan laut adalah hewan laut yang diambil hidup-hidup, dan makanan dari laut adalah bangkai hewan laut.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/197).
Al-Bukhari membawakan satu riwayat dari Syuraih, salah seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau mengatakan,
“Semua yang ada di laut, statusnya sudah disembelih” (HR. Bukhari secara muallaq).
2. Hukum Memakan Al Hasyarot Yang Hidup Di Darat
Bagian inilah yang diperselisihkan ulama.
■ Pendapat pertama, al hasyarat hukumnya haram.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah. An-nawawi mengatakan,
“Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi…, madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.” (Al-Majmu’, 9/16)
Ibnu Hazm mengatakan,
“Tidak halal makan siput darat (bekicot), tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.” Kemudian Ibn Hazm menegaskan,
“Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih." (lihat Al-Muhalla, 6/76).
■ Pendapat kedua, merupakan kebalikannya yaitu hukumnya halal.
Ini adalah pendapat Malikiyah. Mereka punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah merah, tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang. Cara menyembelihnya bebas, bisa dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai mati, sambil membaca basmalah.
Dalam Al-Mudawanah dinyatakan,
Imam Malik ditanya tentang binatang yang ada di daerah maroko, namanya bekicot. Biasanya berjalan di bebatuan, naik pohon. Bolehkah dia dimakan?
Imam Malik menjawab:
“Saya berpendapat, itu seperti belalang. Jika ditangkap hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya berpendapat, Tidak masalah dimakan, namun jika ditemukn dalam keadaan mati, jangan dimakan.” (lihat Al-Mudawwanah, 1/542)
Al-Baji juga pernah menukil keterangan Imam Malik tentang bekicot,
“Cara menyembelihnya adalah dengan dimasak, atau ditusuk kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah (bismillah) ketika itu. Sebagaimana membaca bismillah ketika memutuskan kepala belalang.” (lihat Al-Muntaqa Syarh Muwatha’, 3/110)
Kesimpulan
■ Semua hewan yang hidup di laut selama dagingnya tidak beracun (madhorot) maka halal. Dalam perkara ini tiada perselisihan di kalangan ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
■ Terkait hukum makan hewan yang termasuk "al hasyarot" yang hidup di darat maka terdapat khilaf. Jumhur ulama berpendapat haram, sedang madzhab Malikiyyah berpendapat halal. Dari 2 pendapat tersebut, pendapat yang melarang makan al hasyarot insya Allah lebih mendekati kebenaran. Karena siput/bekicot darat, ungker ulat jati, cacing dan semisal termasuk hewan melata yang tidak bisa disembelih. Dan semua binatang yang matinya tidak disembelih, maka statusnya bangkai.
■ Sisi yang lain, terdapat kaidah yang kita akui bersama bahwa tidak mengkonsumsi binatang yang halal dimakan setelah disembelih, termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang itu dilarang secara syariat. Sementara membuang bekicot, cacing, ungker ulat jati, laron dan semisalnya maka tidak termasuk bentuk menyia-nyiakan harta.
■ Mengqiyaskan bekicot dan semisalnya dengan belalang (sebagaimana madzhab Malikiyah) termasuk qiyas yang tidak benar. Karena belalang dikecualikan oleh Rasulullah ﷺ dari hukum bangkai yang haram. Sementara bekicot tetap harus disembelih (menurut madzhab Malikiyah), hanya saja dengan cara yang tidak pada umumnya diterapkan. Dan disyari'atkan membaca "Bismillah" untuk membedakan dengan bangkai.
■ Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan. Bentuk wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu mengambil yang tidak meragukan.
Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah ﷺ dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah ﷺ, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)