Senin, 15 Juli 2024

Hukum An-Na'yu ( Mengumumkan Berita Kematian )






 

Hukum An-Na'yu ( Mengumumkan Berita Kematian )


Makna An Na'yu


     An-na’yu artinya mengumumkan kematian seseorang.

قال ابن الأثير رحمه الله : "يقال: نعى الميت ينعاه نَعْياً ونَعِيّاً، إذا أذاع موته ، وأخبر به ، وإذا ندبه " انتهى من "النهاية في غريب الحديث" (5 / 85).

      Ibnu Atsir rahimahullah, beliau mengatakan:
“na’al mayyit artinya diumumkan kematiannya, dikabarkan kepada orang-orang dan memotivasi orang-orang untuk bertakziyah.” (lihat An Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/85).

     Umumnya an-na’yu disertai dengan nida’ (panggilan dengan suara yang keras). Oleh karena itu At Tirmidzi mendefinisikan an-na’yu:

والنعي عندهم أن ينادى في الناس أن فلاناً مات ليشهدوا جنازته

“An na’yu menurut para ulama adalah mengumumkan dengan suara yang keras kepada orang-orang bahwa si fulan telah meninggal dan diajak untuk menghadiri pemakamannya.” (lihat Jami’ At Tirmidzi, hal. 239).


Larangan An-Na'yu ( Mengumumkan Berita Kematian ) Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan Syari'at


✍🏻  Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ وَ قَالَ إِيَاكُمْ وَ النَّعْيَ فَإِنَّهُ مِنْ عَمَلِ الجَاهِلِيَةِ

Bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang dari na’yu (mengumumkan kematian seseorang). Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Janganlah kalian mengumumkan kematian karena itu termasuk amalan jahiliyah.”
(HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) 

✍🏻  Atsar dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا مَاتَ لَهُ مَيِّتٌ قَالَ: لَا تُؤَذِنُوا بِهِ أَحَدًا، إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا،  إِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَنْهَى عَنْ النَعْيِ

Dahulu apabila ada seseorang yang meninggal beliau berkata: “Janganlah kalian beritahu kepada seorangpun, karena sesungguhnya aku khawatir itu termsuk na’yu (jahiliyah) yang mana aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ melarang dari na’yu.” (HR. Ahmad dalam musnadnya (38/443), At Tirmidzi dalam Sunannya 1/503 dan beliau berkata: hadits hasan shahih, serta Ibnu Majah dalam Sunannya (1/474).) 

✍🏻  Atsar Hudzaifah ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (3/117). Sebelumnya beliau berkata: “Terkadang didapati sebagian ulama salaf melarang keras perbuatan ini (yakni na’yu).” Lalu beliau  membawakan atsar Hudzaifah di atas. Di antara ulama lain yang memegangi pendapat ini sebagaimana yang disebutkan oleh al Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (4/74), beliau berkata: “Yang meriwayatkan tentang pelarangan na’yu adalah hadits dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Abu Sa’id. Kemudian dari kalangan para tabi’in adalah ‘Alqomah, Ibnul Musayyib, Rabi’ bin Khaitsam, dan Ibrahim An Nakha’i.”


Bolehnya An-Na'yu Untuk Hajat Yang Dibenarkan Syari'at


     Adapun untuk sekedar mengumumkan kematian, mayoritas ulama Hanafi, Maaliki, Syafa'i, Hanbali dan lain-lainnya berpandangan bahwa boleh saja mengumumkan kematian tanpa mengeraskan suara, agar dapat ditunaikan shalat jenazah atas orang yang meninggal.

انظر : فتح القدير (2/127) ، حاشية الدسوقي (1/24) ، نهاية المحتاج (3/20) ، الإقناع (1/331) ، تحفة الأحوذي (4/61) ، السيل الجرار (1/339) .

( Lihat: Fath al-Qadiir, 2/127; Haasyiyah al-Dasuqi, 24/1; Nihaayah al-Muhtaaj, 20/3; al-Iqnaa', 1/331; Tuhfah al-Ahwadhi, 4/61; as-Sayl al-Jaraar, 1/339). Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa hal itu mustahab.

انظر : البناية شرح الهداية (3/267) ، الخرشي على مختصر خليل (2/139) ، الأذكار للنووي ص (226) .

(Lihat al-Binaayah Syarh al-Hidaayah, 3/267; al-Khurasyi 'ala Mukhtasar Khalil, 2/139; al-Adhkaar oleh al-Nawawi, hal. 226.)

   Rasulullah ﷺ mengumumkan berita kematian seseorang untuk tujuan syar’i di antaranya :
 
✍🏻  Hadits dari Abu Hurairah tentang kisah meninggalnya Najasyi:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: «نَعَى النبيُّ صلى الله عليه وسلم النَّجَاشِيَّ في اليوم الذي مات فيه، خرج بهم إلى المصلَّى، فصفَّ بهم، وكَبَّرَ أَرْبَعاً».  (صحيح - متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiyaallahu 'anhu ia berkata, "Nabi menyiarkan kematian Najasyi di hari kematiannya. Beliau keluar bersama para shahabat ke tempat shalat, mengatur shaf mereka dan bertakbir empat kali."  
(Hadits shahih - Muttafaq 'alaih)

✍🏻  Hadits dari Jabir radhiyaallahu 'anhu

عن جابر بن عبدالله قَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حِينَ مَاتَ النَّجَاشِيُّ : مَاتَ اليومَ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقُومُوا فَصَلُّوا علَى أخِيكُمْ أصْحَمَةَ.

Dari Jabir radliyallaahu ’anhu : Telah berkata Nabi pada waktu raja Najasyi meninggal dunia : ”Sesungguhnya pada hari ini seorang laki-laki yang shalih meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan shalatkanlah saudaramu Ashhamah (nama dari Najasyi).” (HR. Bukhari no. 3877 dan Muslim no. 952)

     Pada hadits ini terdapat anjuran untuk mengumumkan berita kematian seseorang, akan tetapi bukan dengan cara-cara kaum jahiliah. (Maka ketentuan na’yu diperbolehkan adalah dengan tujuan):
(1) Hanya sekedar mengumumkan untuk menyolatinya dan mengurus jenazahnya
(2) Memberi semangat dan meneguhkan hati keluarganya
(3) Agar segera tertunaikan tanggungan-tanggungan si mayit (berupa utang dan yang semisalnya)
(4) Tidak diiringi dengan penyebutan kemuliannya dan yang semisalnya dari pujian yang berlebihan.


Kalam Para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah


أخرجه الترمذي ، وابن ماجه بإسناد حسن، قَالَ اِبْنُ الْعَرَبِيِّ : يُؤْخَذُ مِنْ مَجْمُوعِ الأَحَادِيثِ ثَلاثُ حَالاتٍ : الأُولَى إِعْلامُ الأَهْلِ وَالأَصْحَابِ وَأَهْلِ الصَّلاحِ فَهَذَا سُنَّةٌ , الثَّانِيَةُ : دَعْوَةُ الْحَفْلِ لِلْمُفَاخَرَةِ فَهَذِهِ تُكْرَهُ , الثَّالِثَةُ : الإِعْلامُ بِنَوْعٍ آخَرَ كَالنِّيَاحَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا يُحَرَّمُ " انتهى

✍🏻  Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan isnad hasan. Ibnul Arabi berkata : Dari beberapa hadits yang menerangkan tentang na'yi (memberitakan kematian) bisa disimpulkan bahwa macam na'yi itu ada 3 keadaan :
(1) Memberitakan kematian kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang mempunyai kebaikan. Hukumnya adalah sunnah.
(2) Memberitakan kematian agar tampak seperti tokoh yang berpengaruh. Hukumnya adalah makruh.
(3) Memberitakan kematian dengan disertai ratapan atau pujian pengagungan dan semisalnya. Hukumnya adalah haram.

قال النووي في "شرح مسلم" : " فِيهِ : اِسْتِحْبَاب الإِعْلام بِالْمَيِّتِ لا عَلَى صُورَة نَعْي الْجَاهِلِيَّة , بَلْ مُجَرَّد إِعْلَام للصَّلَاة عَلَيْهِ وَتَشْيِيعه وَقَضَاء حَقّه فِي ذَلِكَ , وَاَلَّذِي جَاءَ مِنْ النَّهْي عَنْ النَّعْي لَيْسَ الْمُرَاد بِهِ هَذَا , وَإِنَّمَا الْمُرَاد نَعْي الْجَاهِلِيَّة الْمُشْتَمِل عَلَى ذِكْر الْمَفَاخِر وَغَيْرهَا " انتهى .

✍🏻  An-Nawawi rahimahullah (ulama besar Syafi’iyah) di Syarh Muslim mengatakan :
“Dianjurkan mengumumkan kematian jika bukan dengan cara kaum Jahiliyah. Namun sekedar mengumumkan agar bisa menghadiri salat jenazah, memberitahukan info kepada orang lain, dan untuk menunaikan hak mayit. An na’yu yang dilarang oleh Nabi bukanlah an na’yu dengan tujuan ini, namun an na’yu ala kaum Jahiliyah yang disertai dengan menyebutkan pujian-pujian berlebihan terhadap mayit dan menyebutkan perkara lainnya.” (lihat Syarah Shahih Muslim, 7: 21).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Minggu, 07 Juli 2024

1 Muharram 1446 H Bertepatan Hari Ahad 07-07-2024 M

 1 Muharram 1446 H Bertepatan Hari Ahad 07-07-2024 M







     Ini sekaligus sebagai bukti empiris hisab Imkanur Rukyat yang menetapkan 1 Muharram 1446 H bertepatan Senin, 08-07-2024 M itu tidak benar.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين
     

Selasa, 02 Juli 2024

Pembagian Tauhid Dan Asal Usulnya Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah






 


Pembagian Tauhid Dan Asal Usulnya Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Tidak Mewajibkan Pembagian Tauhid Menjadi Dua, Tiga Ataupun Empat. Yang Penting Bisa Memahami Hakikat Tauhid Dengan Benar Dan Tepat, Sesuai Pemahaman Para Shahabat..


✍🏻  Sebelum adanya pembagian tauhid oleh para ulama, pada mulanya tidak disebutkan pembagian tauhid dalam beberapa bagian. Karena kaum Muslimin pada zaman itu sudah sangat mengerti makna dan hakikat tauhid sehingga penjelasan tentang pembagiannya belum diperlukan.

✍🏻  Pembagian tauhid ini hanya dimaksudkan untuk mengenali Allah dengan sebenar-benarnya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Para ulama membuat nama-nama itu sebagai sarana untuk memudahkan pemahaman yang benar tentang tauhid, karena semua kekhususan Allah tidak boleh diberikan pada selainNya. Sehingga tauhid mau dibagi empat, tiga, dua ataupun tidak dibagi maka itu bukan masalah, yang penting selama bisa paham tauhid dengan baik dan benar. Sebagaimana jika ada orang sudah bisa paham bahasa Arab dengan baik dan benar, maka tiada masalah orang tersebut tidak belajar ilmu nahwu dan tidak diwajibkan belajar ilmu nahwu. Sebagaimana juga jika ada orang mampu membaca Al Qur'an dengan baik dan benar, maka orang tersebut pun tidak diwajibkan belajar ilmu tajwid.

✍🏻  Dahulu para ulama membagi tauhid hanya dua jenis saja, dengan beberapa perbedaan nama yang mereka sebutkan, namun memiliki maksud yang sama. Apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Abi al-Izz -rahimahullah- ini misalnya.

قال ابن أبي العز الحنفي في شرحه على العقيدية الطحاوية: ثم التوحيد الذي دعت إليه رسل الله، ونزلت به كتبه نوعان: (١) توحيد في الإثبات والمعرفة، (٢) وتوحيد في الطلب والقصد.

Imam Ibnu Abi Al-'Izz rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah berkata:

ثم التوحيد الذي دعت به رسل الله ونزلت به كتبه نوعان توحيد في الإثبات والمعرفة وتوحيد في الطلب والقصد

"Kemudian, tauhid yang didakwakan oleh para Rasul Allah dan yang termuat dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan adalah Tauhid al-Itsbat wal ma’rifah dan tauhid ath-Thalab wal Qashd." (lihat Syarh Aqidah Thahawiyah: 1/141)

Disebut sebagai tauhid ma’rifah wa al-istbat karena untuk mengetahui Allah adalah dengan cara mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya, serta kewajiban manusia adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diriNya sendiri. Tauhid ini, saat ini lebih dikenal dengan istilah tauhid Rububiyah dan tauhid Asma Wasifat.

✍🏻  Ibnu Jarir Ath Thabari (w.310) ketika menafsirkan firman Allah –Ta`ala- dalam surat Muhammad, ayat 19:

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” Beliau menjelaskan berkata :

“فاعلم يا محمد، أنه لا معبود تنبغي أو تصلح له الألوهية، ويجوز لك وللخلق عبادته إلا الله الذي هو خالق الخلق، ومالك كل شيء، يدين له بالربوبية ما دونه”

“Maka ketahuilah, wahai Muhammad, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang pantas atau layak mendapatkan sifat uluhiyah, serta boleh disembah olehmu dan seluruh makhluk kecuali hanya Allah Pencipta seluruh makhluk, dan Pemilik segala sesuatu, semuanya tunduk

✍🏻  Tauhid terbagi menjadi 3 (Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shfat) berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3: Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. Terkumpul 3 jenis tauhid ini di dalam sebuah firman Allah:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً. (مريم : 65)

Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (QS. Maryam/19 : 65)

✍🏻  Ibnu Baththah Al-‘Akbary (wafat th. 387 H), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah (5 / 475)

وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه

"Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada 3 perkara:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah (kekuasaan Allah) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah (keesaan Allah dalam peribadatan) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Ketiga: Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), hikmah (kebijaksanaan), dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitab-Nya."

أبو بكر الطرطوشي المالكي (ت: 520هـ) في سراج الملوك، حيث قال: (وأشهد له بالربوبية والوحدانية، وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى، والصفات العلى، والنعت الأوفى، ألا له الخلق والأمر، تبارك الله رب العالمين)

✍🏻  Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi (wafat th. 520 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk (1/1), beliau berkata : "Dan aku bersaksi atas rububiyyah-Nya dan uluhiyyah-Nya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna. Sesungguhnya kepunyaan-Nyalah ciptaan dan perintah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam."

✍🏻  Imam Al-Qurthuby rahimahullah (wafat th. 671 H), di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah (الله) di dalam Al-Fatihah :

فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.

"Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah), yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berkuasa), yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya."

✍🏻  Untuk zaman akhir-akhir ini, ada pula ulama yang membagi tauhid menjadi empat yaitu tauhid uluhiyah, rububiyah, asma wa shifat dan mutaba’ah. Tauhid mutaba’ah maksudnya, ketika kita mentauhidkan Allah maka harus dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.


Kesimpulan


✍🏻  Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mewajibkan pembagian tauhid menjadi dua, tiga ataupun empat. Yang terpenting bisa memahami makna dan hakikat tauhid dengan benar dan tepat sesuai pemahaman para Shahabat.

✍🏻  Pembagian tauhid sebenarnya telah ada di zaman para Salafush Sholih. Kitab-kitab para ulama salaf sebelumnya telah menyebutkan pembagian tauhid ini, baik menyebutkan secara tegas atau menyebutkan secara isyarat. Misalnya imam Abu Hanifah.

قال الإمام أبو حنيفة (ت١٥٠هـ) في كتابه الفقه الأبسط (ص٥١) : "والله يدعى من أعلى لا من أسفل؛ لأنَّ الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء".

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 150 H) di kitab Al-Fiqh Al-Absath (hal. 51) berkata :
“Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah. Karena posisi bawah bukanlah bagian dari sifat rububiyyah dan uluhiyyah sedikit pun.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Minggu, 30 Juni 2024

Jangan Engkau Tinggalkan Saudara ( Temanmu ) Yang Berbuat Dosa, Tapi Nasihatilah



 

Jangan Engkau Tinggalkan Saudara ( Temanmu ) Yang Berbuat Dosa, Tapi Nasihatilah


عن أبي الدرداء رضي الله عنه أنه كان يقول: إذا تغيّر أحدُ إخوانِكم وأذنب فلا تتركوه وﻻ تنبذوه وعِظوه أحسن الوعظ واصبروا عليه فإن اﻷخ يعوّج تارة و يستقيم أخرى. روه أبو نعيم في الحلية (٢٣٢/٤).

Dari Abu Ad-Dardaa - رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ - : "Apabila salah satu dari saudara kalian berubah dan berbuat dosa maka jangan kalian tinggalkan dia, dan jangan kalian campakkan dia,

namun hendaknya kalian nasehati dia dengan sebaik-baik nasehat dan bersabarlah atasnya karena sesungguhnya seorang saudara terkadang bisa bengkok dan terkadang bisa lurus."

📖  Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (4/232).



Bencilah Maksiat Dan Kesalahan Tapi Jangan Engkau Membenci Pelakunya Melebihi Kadarnya


Wahai saudaraku… Ratusan masalah mempersatukan kita, apa hanya karena beberapa masalah kita berpisah.?

Wahai kawanku.. janganlah engkau berusaha menjadi pemenang dalam setiap perselisihan, debat dan berbeda pendapat!
Karena meraih hati lebih utama dari pada meraih kedudukan (kemenangan) di setiap saat..

Wahai saudaraku.. janganlah engkau robohkan jembatan yang telah kita bangun dan telah kita lalui.. karena bisa jadi jembatan itu akan engkau butuhkan lagi untuk kembali di suatu saat nanti.

Bencilah terhadap perbuatan salah tapi janganlah engkau membenci orang yang berbuat salah melebihi kadar kesalahannya.. selama orang tersebut masih muslim.

Bencilah terhadap perbuatan maksiat dengan sepenuh hatimu tapi maafkanlah dan kasihanilah orang yang berbuat maksiat ataupun berbuat kesalahan..

Karena sesungguhnya tujuan kita yaitu memberantas "penyakit", mengobati "orang yang sakit" dan bukan membunuh "orang-orang sakit"…


Kamis, 27 Juni 2024

Siapa Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Menurut Syaikh Sholih Al Fauzan ?



 

Siapa Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Menurut Syaikh Sholih Al Fauzan ?

Sebagai Bantahan Atas Orang-orang Berpaham Khowarij Yang Mensyaratkan Berhukum Dengan Hukum Allah, Dengan Bertameng Fatwa Syaikh Sholih Al Fauzan


من هو ولي الأمر الذي يُطاع ؟

السؤال
هل هذا التأصيل خاصٌ بولاة الأمر الذين يحكمون بالشريعة كما في هذه البلاد المباركة ، أم هو عام في جميع ولاة أمور المسلمين حتى الذين لا يحكمون بشرع الله ويبدلون الشريعة بالقوانين الوضعية ، أفيدونا ؟

الاحابة
 الله جل وعلا قال : (وأولي الأمر منكم ) [النساء:59]، أي من المسلمين ، فإذا كان ولي الأمر مسلماً لم يكفر بالله ولم يرتكب ناقضاً من نواقض الإسلام فإنه ولي أمر للمسلمين تجب طاعته . نعم .

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?”

Beliau menjawab: “Allah ‘Azza Wajalla berfirman : (وأولي الأمر منكم ) [النساء:59] Dan ulil amri di antara kalian” [QS An Nisa 59]. Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.

Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289


Dalil Wajibnya Taat Kepada Ulil Amri ( Al-Umaro' ) Beserta Kalam Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah





















Dalil Wajibnya Taat Kepada Ulil Amri ( Al-Umaro' ) Beserta Kalam Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Dalil Wajibnya Taat Kepada Ulil Amri Dari Al Qur'an, As Sunnah Dan Ijma'


     Dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma para ulama menunjukkan dengan tegas wajibnya mendengar dan taat kepada ulil amri Muslim walaupun mereka zhalim. Diantara dalilnya :

     Allah Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} [النساء]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا 

"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)." (QS. An Nisa' : 83).


Dalil Dari As Sunnah

Hadits 1

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi  ia bersabda:

من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني

Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku.” (HR. Muslim no. 1835).

Hadits 2

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Rasulullah  bersabda:

على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة

Wajib bagi setiap Muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpinnya baik dalam perkara yang ia sukai atau yang ia benci. Kecuali jika ia memerintahkan suatu maksiat. Jika ia memerintahkan suatu maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1839).

Hadits 3

Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

إن خليلي أوصاني إن أسمع وأطيع وإن كان عبداً مجدع الأطراف

“Sesungguhnya kekasihku (yaitu Rasulullah mewasiatkan aku untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia seorang budak yang terpotong jari-jarinya” (HR. Muslim no. 1837).

Hadits 4

Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah ﷺ :

يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

“Wahai Nabi Allah bagaimana menurutmu bila diangkat bagi kami pemimpin-pemimpin yang menuntut segala hak mereka, tetapi mereka tidak menunaikan hak-hak kami? apa perintahmu untuk kami wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah berpaling darinya, sampai ia tanyakan tiga kali namun Rasulullah tetap berpaling darinya. Kemudian Al Asy’ats bin Qais menariknya dan berkata: “Kewajibanmu hanya mendengar dan taat, sesungguhnya mereka akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas mereka, dan kalian juga akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas kalian” (HR. Muslim no. 1846).

Hadits 5

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah  bersabda:

من خرجَ من الطاعةِ ، وفارقَ الجماعةَ ، ثم ماتَ ، ماتَ ميْتةً جاهليةً . ومن قُتِلَ تحتَ رايةٍ عميةٍ ، يغضبُ للعصبةِ ، ويُقاتِل للعصبةِ ، فليسَ من أمّتي . ومن خرجَ من أمّتي على أمّتي ، يضربُ برّها وفاجرها ، لا يتحاش من مؤْمنها ، ولا يفي بذي عهدها ، فليسَ مني

Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan meninggalkan jama’ah, kemudian meninggal, maka ia mati jahiliyah. Barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatik buta, ia mengajak pada ashabiyyah (fanatik golongan), atau membantu untuk ashabiyah, maka ia bukan bagian dari umatku. Barangsiapa dari umatku yang memberontak melawan umatku juga, ia memerangi orang yang baik dan jahat semuanya, ia tidak menjauhkan diri dari memerangi orang mukmin, dan tidak memenuhi perjanjian, maka ia bukan bagian dari umatku” (HR. Muslim no. 1848).

Hadits 6

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah bersabda:

من كَرِه من أميرِهِ شيئا فليصْبِرْ عليهِ . فإنّه ليسَ أحدٌ من الناسِ خرج من السلطانِ شِبْرا ، فماتَ عليهِ ، إلا ماتَ ميتةً جاهليةً

Barang siapa yang tidak suka terhadap suatu hal dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena tidak ada yang memberontak kepada penguasa satu jengkal saja, kemudian ia mati, kecuali ia mati jahiliyah” (HR. Bukhari no. 7054, Muslim no. 1849).

Hadits 7

Dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, Rasulullah bersabda:

ستكونُ أمراءُ . فتعرفونَِ وتُنْكرونَ . فمن عَرِف بَرِئ . ومن نَكِرَ سَلِمَ . ولكن من رَضِي وتابعَ قالوا : أفلا نقاتلهُم ؟ قال : لا . ما صلوا

Akan ada para pemimpin kelak. Kalian mengenal mereka dan mengingkari perbuatan mereka. Siapa yang membenci kekeliruannya, maka ia terlepas dari dosa. Siapa yang mengingkarinya, maka ia selamat. Namun yang ridha dan mengikutinya, itulah yang tidak selamat”. Para shahabat bertanya: “Apakah kita perangi saja pemimpin seperti itu?”. Nabi menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat” (HR. Muslim no. 1854).

Hadits 8

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah bersabda:

اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة

Mendengar dan taatlah. Walaupun yang menjadi pemimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah yang kepalanya seakan seperti kismis” (HR. Bukhari no. 6723).

Hadits 9

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu’anhu, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Wahai Rasulullah, dulu kami dalam keburukan. Lalu Allah mendatangkan kebaikan. Dan sekarang kami berada di dalamnya. Apakah setelah ini akan datang keburukan? Beliau berkata: ‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan?’. Beliau berkata: ‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan lagi?’. Beliau berkata: ‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apa hal itu?’. Beliau berkata: ‘Akan datang sepeninggalku, para pemimpin yang tidak berjalan di atas petunjukku, tidak mengamalkan sunnahku, dan di tengah-tengah mereka akan berdiri orang-orang yang berhati setan dengan jasad manusia’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Lalu apa yang harus diperbuat wahai Rasulullah jika aku mendapati masa itu?’. Beliau berkata: ‘Engkau mendengar dan taat kepada amir (pemimpin) walau punggungmu di pukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat’.” (HR Muslim no.1847)

Hadits 10

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah  bersabda,

السمعُ والطاعةُ على المرءِ المسلمِ فيما أحبَّ وكرهَ ، ما لم يُؤمَرُ بمعصيةٍ ، فإذا أُمِرَ بمعصيةٍ فلا سمع ولا طاعةَ

Wajib mendengar dan ta’at (kepada penguasa) bagi setiap Muslim, dalam perkara yang ia setujui ataupun yang ia benci (dari pemimpinnya). Jika pemimpinnya memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan tidak boleh ta’at.” (HR. Bukhari no. 2955, 7144).

Hadits 11

Dari Irbadh bin Sariyyah radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ «أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا…

“Suatu hari Rasulullah  shalat bersama kami. Selesai shalat, beliau menghadap kami lalu memberikan ceramah yang sangat mendalam, membuat mata berlinang dan menggetarkan hati. Hingga ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasehat dari orang yang akan pergi. Lalu apa yang engkau tetapkan bagi kami?’. Beliau bersabda: ‘Aku nasehatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, serta mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia seorang budak Habasyah…’” (HR. Abu Daud 4607, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Hadits 12

Dari Auf bin Malik dari Rasulullah  ia bersabda,

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 1855).

Hadits 13

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu ia berkata,

:قَامْ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا، فَكَانَ مِنْ خُطْبَتِهِ أَنْ قَالَ
أَلَا إِنِّي أُوشِكُ أَنْ أُدْعَى فَأُجِيبَ فَيَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِي، يَقُولُونَ بِمَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ بِم يَعْرِفُونَ، وَطَاعَةُ أُولَئِكَ طَاعَةٌ، فَيَلْبَثُونَ كَذَلِكَ دَهْرًا، ثُمَّ يَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِهِمْ، يَقُولُونَ مَا لَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ مَا لَا يَعْرِفُونَ، فَمَنْ نَاصَحَهُمْ، وَوَازَرَهُمْ، وَشَدَّ عَلَى أَعْضَادِهِمْ فَأُولَئِكَ قَدْ هَلَكُوا، خَالِطُوهُمْ بِأَجْسَادِكُمْ، وَزَايِلُوهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ، وَاشْهَدُوا عَلَى الْمُحْسِنِ بِأَنَّهُ مُحْسِنٌ، وَعَلَى الْمُسِيءِ بِأَنَّهُ مُسِيءٌ

Rasulullah  suatu ketika berdiri di tengah-tengah kami untuk berkhutbah. Diantara khutbah beliau ialah sabdanya: “Ketahuilah, aku hampir dipanggil dan aku akan menjawabnya. Sehingga datang pemimpin-pemimpin setelah kalian yang berkata dan beramal dengan ilmu. Mentaati mereka merupakan ketaatan kepada Allah. Lalu waktu berselang. Hingga sepeninggal mereka, datanglah kepada kalian pemimpin-pemimpin yang mereka berkata dan beramal tanpa ilmu. Barangsiapa yang membantunya, menjadi pendampingnya, dan kuat membelanya, mereka akan binasa dan membuat kebinasaan. Maka pergauilah pemimpin yang demikian dengan raga kalian, namun selisihilah dalam amal-amal kalian. Dan bersaksilah bahwa yang baik itu baik, serta bersaksilah bahwa yang buruk itu buruk” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath 6984, Al Baihaqi dalam Az Zuhd Al Kabir 1/22. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/820).

Hadits 14

Dari Abu Bakrah Nafi bin Al Harits Ats Tsaqafi, Rasulullah bersabda:

مَنْ أَكرم سُلطانَ اللهِ أَكرمَه اللهُ ، ومَنْ أهانَ سُلطانَ اللهِ أهانه اللهُ

Barangsiapa yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barangsiapa yang menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia” (HR. Tirmidzi no. 2224, Ahmad no. 20433, dihasankan Al Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah li Abi Ashim no. 1017).

Hadits 15

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah bersabda:

ثلاثة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم رجل كان له فضل ماء بالطريق فمنعه من بن السبيل ورجل بايع إماماً لا يبايعه إلا لدنيا فإن أعطاه منها رضي وإن لم يعطه منها سخط ورجل أقام سلعته بعد العصر فقال والله الذي لا إله غيره لقد أعطيت بها كذا وكذا فصدقه رجل ثم قرأ هذه الآية إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلاً

Ada tiga orang yang tidak dilihat Allah di hari kiamat, dan Allah tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih. Pertama, seorang yang punya kelebihan air di jalan, namun ia menahan air tersebut sehingga orang yang dalam perjalanan tidak bisa mengambilnya. Kedua, seorang yang berbaiat kepada pemimpin Muslim semata-mata karena perkara duniawi. Jika ia diberikan manfaat dunia, ia ridha. Jika tidak diberikan, ia pun benci. Ketika, orang yang menawarkan barang dagangannya setelah Ashar. Lalu ia berkata: “demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Ia, sungguh aku telah membelinya sekian dan sekian”, kemudian ada orang yang tertarik membeli barang tersebut. Nabi kemudian membaca ayat (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit” (QS. Al Imran: 77)” (HR. Bukhari no. 2230, Muslim no. 108).

Hadits 16

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Rasulullah bersabda:

ثم إنها ستكون بعدي أثرة وأمور تنكرونها قالوا يا رسول الله كيف تأمر من أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم وتسألون الله الذي لكم

Akan datang banyak kezaliman sepeninggalku. Dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa nasehatmu bagi orang yang mendapat masa itu?”. Lalu beliau bersabda: “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah kepada Allah sesuatu yang baik untuk kalian” (HR. Muslim no. 1843).

Hadits 17

Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:

دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ

“Nabi pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709).

Hadits 18

Dari Ummul Hushain radhiallahu’anha, ia berkata:

حججت مع رسول الله حجة الوداع قالت فقال رسول الله قولا كثيرا ثم سمعته يقول إن أمر عليكم عبد حبشي مجدع أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا

“Aku berhaji Wada’ bersama Rasulullah . Ketika itu Rasulullah  bersabda tentang banyak hal. Diantaranya beliau mengatakan: “Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak yang pincang dan hitam, ia memerintah dengan kitabullah, maka mendengar dan taatlah“” (HR. Muslim no. 1838).

✍🏼  Sebagian orang yang enggan taat, membangkang ataupun melakukan pemberontakan kepada ulil amri Muslim dengan dalih hadits ini. Yaitu mereka berdalil dengan mafhum mukhalafah dari يقودكم بكتاب الله (“ia memerintah dengan kitabullah“). Menurut mereka, berarti jika tidak memerintah dengan kitabullah, tidak wajib mendengar dan taat. Ini pemahaman keliru. Perkataan “yang memimpinmu dengan kitabullah” tidak bisa difahami bahwa syarat ulil amri itu harus berhukum dengan hukum Allah seratus persen. Karena pemimpin yang berhukum dengan hukum Allah seratus persen telah hilang semenjak sistem pemerintahan berubah menjadi sistem kerajaan dan bukan khilafah ala minhajin nubuwah.

✍🏼  Di zaman imam Ahmad bin Hambal ada para pemimpin yang berkeyakinan kufur dengan mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Bahkan menyiksa dan membunuhi para ulama untuk mengikutinya. Namun imam Ahmad melarang untuk memberontak dengan berdasarkan hadits hadits yang melarang memberontak kepada ulil amri.

✍🏼 Kita lihat penjelasan para ulama :

     Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

ما دام يقودنا بكتاب الله تعالى ، قال العلماء : معناه ما داموا متمسكين بالإسلام والدعاء إلى كتاب الله تعالى على أي حال كانوا في أنفسهم وأديانهم وأخلاقهم ، ولا يشق عليهم العصا ، بل إذا ظهرت منهم المنكرات وعظوا وذكروا

“-selama ia memerintah dengan Kitabullah-, para ulama menjelaskan maknanya: selama ia berpegang pada agama Islam dan menyeru pada Al Qur’an. Bagaimana pun keadaan diri mereka, keadaan agama mereka, keadaan akhlak mereka, tetap tidak boleh melepaskan ketaatan. Bahkan, walaupun nampak kemungkaran dari diri mereka. Maka hendaknya mereka dinasehati dan diingatkan.” (Syarah Shahih Muslim, 9/47).

     As Sindi mengatakan :

وفي قوله يقودكم بكتاب الله اشاره الى أنه لا طاعة له فيما يخالف حكم الله

“Dalam sabda beliau "selama ia memerintah dengan Kitabullah" mengisyaratkan tidak bolehnya taat dalam perkara yang menyelisihi hukum Allah.” (Hasyiyah As Sindi, 7/154).

     Dan masih banyak dalil-dalil dari hadits shahih yang lainnya.

Dalil Ijma Ulama'

✍🏼  Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

أجمع العلماء على وجوب طاعة الأمراء في غير معصية

“Para ulama ijma akan wajibnya taat kepada al umara' selama bukan dalam perkara maksiat.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222). Beliau juga mengatakan:

وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة على أنه لا ينعزل السلطان بالفسق

“Adapun memberontak kepada ulil amri dan memerangi ulil amri, hukumnya haram berdasarkan ijma ulama. Walaupun ulil amri tersebut fasiq dan zalim. Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sangat jelas dan ahlussunnah sudah sepakat tentang tidak bolehnya memberontak kepada penguasa yang fasiq.” (Syarah Shahih Muslim, 12/228).

✍🏼  Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

قال ابن بطال رحمه الله تعالى: في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء. (فتح الباري ج13/ص7) والحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى إذ لم يعقّب عليه دلّ على موافقته له وإقراره بهذا الإجماع.

“Ibnu Bathal mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat hujjah terhadap haramnya memberontak kepada as sulthon (penguasa Muslim) walaupun ia zhalim. Dan ulama telah ijma akan wajibnya taat kepada penguasa yang berhasil menguasai pemerintahan. Serta wajibnya berjihad bersama dia. Dan taat kepadanya lebih baik daripada memberontak. Karena taat kepadanya akan menjaga darah dan menstabilkan keamanan masyarakat.” (lihat Fathul Bari, 13/7).

✍🏼  Imam Abul Hasan Al Asy’ari mengatakan:

وأجمعوا – أي العلماء – على السمع والطاعة لأئمة المسلمين

“Para ulama ijma wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum Muslimin” (lihat Risalah ila Ahlits Tsughur, 296).


Kalam Para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terkait Kewajiban Taat Kepada Umara'


✍🏼 Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلْأَئِمَّةِ وَأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ , وَمَنْ وَلِيَ الْخِلَافَةَ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ. وَمَنْ غَلَبَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً وَسُمِّيَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ.

“Wajib mendengar dan taat kepada imam dan amirul mukminin, baik pemimpin tersebut adalah pemimpin yang baik atau pemimpin yang jahat (fajir). Siapa saja yang memegang kepemimpinan (khilafah), manusia pun bersepakat dan meridhai, (maka wajib ditaati). Atau siapa saja yang berhasil mengalahkan (pemimpin sebelumnya yang sah, pen.) dengan pedang sehingga berhasil diangkat sebagai khalifah dan disebut sebagai amirul mukminin, (maka wajib untuk ditaati).” (Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah li Laalikaai, 1/161)

✍🏼  Imam Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله فريضة ما لم يأمروا بمعصية وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Kami berpandangan tidak diperbolehkan memberontak pada para imam dan ulil amri walaupun mereka zalim. Dan tidak boleh mendoakan keburukan atas mereka. Dan tidak boleh melepaskan ketaatan dari mereka. Dan kami berpendapat bahwa taat kepada ulil amri merupakan bentuk taat kepada Allah dan hukumnya wajib. Selama bukan dalam perkara maksiat. Dan kita hendaknya mendoakan kebaikan dan kesehatan kepada ulil amri” (Matan Al Aqidah Ath Thahawiyah).

✍🏼  Imam Al Barbahari rahimahullah mengatakan:

من خرج على إمام من أئمة المسلمين فهو خارجي قد شق عصا المسلمين وخالف الآثار وميتته ميتة جاهلية ، ولا يحل قتال السلطان ولا الخروج عليه وإن جار

“Orang yang memberontak kepada pemimpin kaum Muslimin, maka ia adalah seorang Khawarij yang telah merusak tonggak Islam dan menyelisihi atsar dan jika ia mati, ia mati jahiliyyah. Dan tidak halal memerangi penguasa, dan juga tidak boleh memberontak walaupun penguasa tersebut zalim.” (lihat Matan Syarhus Sunnah).

✍🏼  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ، وَلَا قُدْرَةٌ (9) عَلَى شَيْءٍ أَصْلًا

“Sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk mentaati pemimpin yang diketahui keberadaannya dan diketahui (siapakah dia orangnya), yaitu yang memiliki kekuasaan (power) untuk mengatur urusan manusia. Beliau  tidak memerintahkan untuk mentaati ulil amri yang wujudnya saja tidak ada, atau tidak diketahui (siapakah dia dan di manakah keberadannya), dan juga tidak memiliki kekuasaan dan power sama sekali.” (lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1/115)

✍🏼  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:

الصبر على جور الأئمة أصل من أصول أهل السُنة والجماعة

“Sabar terhadap kezhaliman penguasa adalah salah satu pokok Ahlussunnah wal Jama’ah” (lihat Majmu’ Al Fatawa, 28/179).

✍🏼  Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di berkata :

ثم أمر بطاعته وطاعة رسوله وذلك بامتثال أمرهما، الواجب والمستحب، واجتناب نهيهما. وأمر بطاعة أولي الأمر وهم: الولاة على الناس، من الأمراء والحكام والمفتين، فإنه لا يستقيم للناس أمر دينهم ودنياهم إلا بطاعتهم والانقياد لهم، طاعة لله ورغبة فيما عنده، ولكن بشرط ألا يأمروا بمعصية الله، فإن أمروا بذلك فلا طاعة لمخلوق في معصية الخالق. ولعل هذا هو السر في حذف الفعل عند الأمر بطاعتهم وذكره مع طاعة الرسول، فإن الرسول لا يأمر إلا بطاعة الله، ومن يطعه فقد أطاع الله، وأما أولو الأمر فشرط الأمر بطاعتهم أن لا يكون معصية.

"59. Kemudian Allah memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, yaitu dengan melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang Sunnah, serta menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat kepada ulil amri (para pemimpin), mereka itu adalah orang-orang yang memegang kekuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para hakim, dan para ahli fatwa (mufti), sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan mengharap apa yang ada di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja “taat” pada perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang taat kepadanya, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, adapun para pemimipin, maka syarat taat kepada mereka adalah bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan." (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman QS. An Nisa' : 59)

✍🏼  Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف ، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع ، ولكن الطريقة المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم وبين السلطان ، والكتابة إليه ، أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير

“Bukan termasuk manhaj salaf, menyebarkan aib-aib pemerintah dan menyebutkannya di mimbar-mimbar. Karena hal ini akan membawa pada chaos (kekacauan) dan akan hilangnya ketaatan pada pemerintah dalam perkara-perkara yang baik. Dan akan membawa kepada perdebatan yang bisa membahayakan dan tidak bermanfaat. Adapun metode yang digunakan para salaf adalah dengan menasehati penguasa secara privat. Dan menulis surat kepada mereka. Atau melalui para ulama yang bisa menyampaikan nasehat kepada mereka, hingga mereka bisa diarahkan kepada kebaikan” (lihat Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 8/194).


Pengertian "Imam" Sebagai Ulil Amri Menurut Ahlus Sunnah


     Imam atau ulil amri menurut Ahlus Sunnah adalah siapa saja yang bisa mewujudkan maksud kepemimpinan dan kekuasaan. Maksudnya, dia memiliki power dan kekuasaan, sehingga dia memaksa orang lain untuk mentaatinya dan mentaati perintahnya, serta untuk melaksanakan keputusan-keputusannya. Juga terwujud dengannya maslahat banyak orang, dan juga tugas-tugas kepemimpinan yang lain.

     Dalam riwayat Ishaq bin Manshur rahimahullah, Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak memiliki imam, maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.”

(Imam Ahmad ditanya), apa makna hadits tersebut?”

Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala berkata,

تَدْرِي مَا الْإِمَامُ؟ الْإِمَامُ الَّذِي يُجْمِعُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ، كُلُّهُمْ يَقُولُ: هَذَا إِمَامٌ؛ فَهَذَا مَعْنَاهُ

“Tahukah kalian, siapakah imam itu? Imam adalah orang disepakati oleh kaum muslimin (untuk diangkat sebagai imam), semua mereka mengatakan, “Inilah imam (pemimpin) kami.” Inilah makna hadits tersebut.” (lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1/527)

     Maka pemimpin adalah siapa saja yang ketika masyarakat (rakyat) ditanya, “Siapakah pemimpin kalian?” Maka rakyat siapa pun dia akan menyebut nama tertentu, semua orang mengetahui dan mengakui dia adalah seorang pemimpin.


Dalil Wajibnya Taat Kepada Al Umara' Walau Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah


     Nabi mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda:

يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس
قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك? قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع

Nanti setelah aku akan ada aimah (pemimpin-pemimpin) yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada amir (pemimpinmu), walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).

1.  Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri.
2.  Perkataan “yang memimpinmu dengan kitabullah” dalam hadits lain tidak bisa difahami bahwa syarat ulil amri itu harus berhukum dengan hukum Allah seratus persen. Karena pemimpin yang berhukum dengan hukum Allah seratus persen telah hilang semenjak sistem pemerintahan berubah menjadi sistem kerajaan dan bukan khilafah ala minhajin nubuwah.
3.  Di zaman imam Ahmad bin Hambal ada para pemimpin yang berkeyakinan kufur dengan mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Bahkan menyiksa dan membunuhi para ulama untuk mengikutinya. Namun imam Ahmad melarang untuk memberontak dengan berdasarkan hadits hadits yang melarang memberontak kepada ulil amri.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.





"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...