Hukum Jidal (Debat/Berbantahan)
Ada Yang Tercela Dan Terpuji
Dalam perkara jidal (berbantahan), Ahlus Sunnah Wal Jama'ah juga pertengahan antara ghuluw dan tafrith. Segala bentuk jidal (berbantahan) hukum asalnya hendaknya dijauhi atau kita tinggalkan. Kecuali jidal/debat untuk tujuan hajat syar'i dan dibenarkan syari'at dengan mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Termasuk jidal yang tercela dan dilarang syari'at, diantaranya :
- semua bentuk jidal/perdebatan yang bisa menimbulkan mafsadat lebih besar daripada mashlahatnya,
- memperdebatkan perkara agama yang sudah jelas dan tidak butuh diperdebatkan,
- jidal tanpa dasar ilmu dan dalil,
- jidal dalam perkara dunia atau perkara pribadi sehingga akibatnya bisa menimbulkan permusuhan,
- jidal ketika haji,
- berbantahan dengan ahlul ahwa' (orang yang lebih mendahulukan hawa nafsu daripada dalil)
- berbantahan dengan ahli kalam,
- berbantahan dengan orang yang sangat bodoh dan tidak paham terhadap syari'at,
- perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat,
- berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah)
- debat kusir yang tidak ada habisnya, sia-sia dan tiada manfaatnya,
- perdebatan dalam mutasyabih dari Al-Qur’an atau semua bentuk perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.
Banyak dalil dan perkataan para Salaf yang melarang jidal/perdebatan dalam perkara tersebut.
Jidal Mengajak Kepada Jalan Allah, Membantah Kebatilan Dan Kesesatan Termasuk Tanda Kecintaan Terhadap Agama Allah, Disyari'atkan Dan Terpuji
Adapun jidal (perdebatan) jika tujuannya semata-mata untuk menasihati, mengajak kepada kebaikan, membantah kebatilan, menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang yang berilmu dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’i) sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan para Salafush Sholih, maka perdebatan seperti ini terpuji. Allah Ta’ala berfirman :
{ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) }
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan al-mauzhoh al-hasanah(nasihat/pelajaran yang baik), dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl :125)
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al-‘Ankabut : 46)
قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. Hud : 32)
Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata:
«مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلا عَلَى النَّصِيحَةِ» [آداب الشافعي ومناقبه لابن أبي حاتم]
“Aku tidak berdebat dengan seseorang kecuali dengan niat memberi menasehati”. Beliau juga mengatakan :
وَاللَّهِ، مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا، فَأَحْبَبْتُ أَنْ يُخْطِئَ [آداب الشافعي ومناقبه لابن أبي حاتم]
“Demi Allah, tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan berharap akulah yang keliru.” (lihat Adab Asy-Syafi’iy karya Ibnu Abi Hatim)
قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله- : "هذه الأمة ولله الحمد لم يزل فيها من يتفطن لما في كلام أهل الباطل من الباطل ويرده"
( مجموع الفتاوى | ٢٣٣/٩)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: " Umat ini dan segala puji hanya bagi Allah, senantiasa ada di dalamnya orang-orang yang memahami dan membantah kebatilan yang ada pada ucapan ahlu batil".
(lihat Majmu' al-Fatawa / 9 - 233)
Maka serulah mereka untuk menyembah Allah, dan janganlah kamu merasa kecewa (bersedih hati) terhadap orang yang sesat di antara mereka. Karena sesungguhnya bukanlah tugasmu memberi mereka petunjuk. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, dan Allah yang akan menghisab. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ}"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (Al-Qashash: 56). Allah juga berfirman : {لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ}"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 272)
Kesimpulan Dan Penutup
■ Jidal (berbantahan) hukum asalnya dilarang dan tercela, kecuali jidal yang diperintahkan syari'at seperti mengajak ke jalan Allah. Tentunya dengan adab syar'i serta pertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Sebagaimana dicontohkan para nabi.
■ Jauhi jidal secara langsung dengan ahlu ahwa' ataupun ahlu bid'ah kecuali darurat dan memiliki mashlahat lebih besar. Untuk membantah ahlu bid'ah tidak harus jidal secara langsung, tapi bisa menulis bantahan (rudud) lewat tulisan.
■ Tinggalkan segala bentuk jidal jika tanpa tujuan baik dan tidak bermanfaat.
■ Hindari jidal dalam perkara pribadi atau perkara dunia jika akibatnya bisa menimbulkan permusuhan atau menimbulkan mafsadat lebih besar daripada mashlahat. Seperti jidal terkait ilmu pertanian, ilmu peternakan dan semisal. Misal ada yang menuduh madu kita palsu, maka tidak perlu jidal sehingga sampai berseteru atau musuhan. Cukup bantah seperlunya saja dan bersabar. Karena jika kita meninggalkan jidal semacam ini dalam posisi benar dan kita milih sabar, maka janji Allah akan membangunkan kita rumah di tengah Surga. Sehingga untuk perkara dunia tidak perlu menantang berhakim kepada Allah.
Demikian juga misal ada yang komentar tentang tanaman Indigofera. Maka tidak usah banyak kita tanggapi atau mengucapkan semisal ini : " Kamu sudah pernah menanam Indigofera? Jika nanam saja belum pernah jangan sok tahu.?"
Karena itu semua termasuk jidal yang mafsadatnya lebih besar daripada mashlahat.
■ Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwa Islam itu agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan). Allah Ta'ala berfirman :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu." (QS. Al-Baqarah: 143). Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini.
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.