Jumat, 10 Februari 2023

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah





 

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

     Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang, kelompok atau firqoh (jam'iyyah/hizbiyyah) yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah.  Sebuah pengakuan-pengakuan tanpa hujjah dan burhan. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang.

☆ Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

     Kata “Ahlus Sunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu "Ahlu" dan kata "As Sunnah". Ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. As Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.

     Ibnu Rojab al-Hambali rahimahullah berkata :

وَالسُّنَّةُ: هِيَ الطَّرِيقَةُ الْمَسْلُوكَةُ، فَيَشْمَلُ ذَلِكَ التَّمَسُّكَ بِمَا ‌كَانَ ‌عَلَيْهِ ‌هُوَ ‌وَخُلَفَاؤُهُ ‌الرَّاشِدُونَ ‌مِنَ ‌الِاعْتِقَادَاتِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَقْوَالِ، وَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ الْكَامِلَةُ

As-Sunnah adalah jalan yang diikuti; dan itu meliputi berpegang teguh dengan apa yang menjadi keyakinan, perkataan dan amalan, baik dari Rosuulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maupun para Al-Khulafa’ ar-Rosyidun. Inilah As Sunnah yang sempurna.” (lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/120, Ibnu Rojab al-Hambali wafat 795 H).

     Dengan demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Sebagaimana Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (Sunnah) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis hal.16)

     Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, Tabi'in dan para ulama yang mengamalkan As Sunnah sampai hari kiamat.

     Rasulullah  bersabda:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah.” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

     Rasulullah ﷺ juga bersabda :

عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن

Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena syaithan itu bersama orang yang bersendirian dan syaithan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min.” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)

     Dan ketahuilah tolok ukur "Al Jama'ah" itu bukan banyaknya jumlah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan al haq (kebenaran) walaupun engkau sendirian.” Dalam riwayat lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala.” (lihat Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)

     Jadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah  tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah  tentang satu golongan yang selamat :

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَاب

”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para shahabatku.”

Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

     Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala :

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” (QS. Ali ‘Imran : 106).

وقوله تعالى : { يوم تبيض وجوه وتسود وجوه } يعني : يوم القيامة ، حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة ، وتسود وجوه أهل البدعة والفرقة ، قاله ابن عباس ، رضي الله عنهما .
{ فأما الذين اسودت وجوههم أكفرتم بعد إيمانكم } قال الحسن البصري : وهم المنافقون : { فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون } وهذا الوصف يعم كل كافر .

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan furqoh (perpecahan). Demikianlah menurut tafsir Ibnu Abbas radhiyaallahu 'anhuma.
Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan), "Mengapa kalian kafir sesudah kalian beriman?"
Menurut Al-Hasan Al-Basri, mereka adalah orang-orang munafik. "Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu." Dan gambaran ini bersifat umum menyangkut semua orang kafir.
.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh para ulama generasi Tabi'in dan setelahnya.

     Imam Malik rohimahullooh berkata, saat ditanya siapa mereka “Ahlus Sunnah” itu:

الذين ‌ليس ‌لهم ‌لقب ‌يعرفون به، لا جهمي ولا رافضي ولا قدري

Mereka yang tidak memiliki julukan yang dikenal; mereka bukan Jahmy (pengikut firqoh Jahmiyyah), bukan Rofidzy (pengikut firqoh Rofidhoh), bukan pula Qodary (pengikut firqoh Qodariyyah).” (Al-Qodhi ‘Iyadh [wafat 544 H], Tartibul Madarik wa Taqribil Masali, 2/41)

     Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhum hingga pada masa sekarang ini…”

☆ Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Yang Sejati?

     Dalam hadits Iftiraaqul-Ummah disebutkan :

تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: «ما أنا عليه وأصحابي

“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2641) dan berkata :

هذا حديث حسن غريب مفسر لا نعرفه مثل هذا إلا هذا الوجه.

“Ini adalah hadits hasan ghariib mufassar (yang dijelaskan. Kami tidak mengetahui hadits yang seperti ini kecuali dari sisi ini”.

     Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para shahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. 

     Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan. Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah: ”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174). Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan Sunnah dalam setiap aspek kehidupannya. Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan As Sunnah. Jangan sampai menjadi seperti yang digambarkan dalam sebuah syair,

وَكُلٌّ يَدَّعِي وَصْلًا بِلَيْلَى        وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا

"Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila,
tetapi Laila tidak pernah mengakui hal itu."
Maknanya, sebatas pengakuan tidaklah ada artinya apabila dirinya jauh dari kenyataan.

      Allah Ta’ala berfirman :

ذٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِّنَ الْعِلْمِۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖۙ وَهُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدٰى

 ”Itulah kadar ilmu mereka. Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An Najm : 30).
Wal Allahu a'lam.

Rabu, 01 Februari 2023

Larangan Mencela Seorang Muslim Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan


 





Larangan Mencela Seorang Muslim Jika Tanpa Sebab Yang Dibenarkan

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

     Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan firman Allah: 
{وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ}
"dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." (QS. Al-Hujurat: 11). Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ}
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (An-Nisa: 29). Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

 عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِبَابُ المٌسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْر

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyaallahu 'anhu berkata, “Rasulullah   bersabda, ‘Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

     Rasulullah mengatakan bahwa mencela seorang muslim merupakan kefasikan. Di dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menggunakan kata سِبَابُ  yang artinya mencela. Dalam bahasa Arab dikenal istilah سَبٌّ  dan سِبَابٌ  dan para ulama membedakan makna keduanya. Kata سَبٌّ artinya mencela seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya. Sedangkan kata سِبَابٌ maknanya lebih parah, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak memperdulikan lagi apakah aib tersebut ada padanya atau tidak. Inilah yang merupakan kefasikan. Ini adalah pendapat Ibrahim al-Harbi. Di antara ulama ada juga yang tidak membedakan antara سب dengan سباب. (Lihat: Fath al-Bari, 1/112.)


Hukum Mencela Para Shahabat Nabi

     Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَىْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِى فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ »

Dahulu terjadi sesuatu hal antara Kholid bin Walid dan Abdur Rohman bin ‘Auf. Kemudian Khalid bin Walid mencaci Abdur Rahman bin ‘Auf”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci salah seorang dari sahabatku karena seandainya seseorang dari kalian berinfaq dengan emas seukuran Gunung Uhud maka (pahalanya) tidak dapat menyamai infaq para sahabatku dengan ukuran 1 mud (takaran untuk dua gengaman tangan normal) ataupun setengahnya” (HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim)

     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

"Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah." (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469 dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469.)

     Wasiat ini ditegaskan lagi oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمُقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ عُمْرَهُ

“Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Berdirinya salah seorang dari mereka sejam saja (dalam shalat) jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian selama hidupnya.” (HR. Ibnu Majah no. 162 dan dihasankan oleh al-Albani).

     Berdasarkan hadits di atas, hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al Qur’an, maka para ulama sepakat hukum mencela para sahabat Nabi adalah haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Maka seseorang tidak boleh mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum dan secara khusus personal mereka. Jika dia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara umum maka ia telah kafir bahkan tidaklah diragukan kafirnya orang yang meragukan kekafiran orang yang semisal ini." (lihat Syarh Aqidah Wasitiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin)


Hukum Mencela Seorang Muslim Dan Perinciannya

     Terkait mencela seorang muslim, setidaknya ada 3 golongan manusia: (1) Yang pertama ada golongan yang melampaui batas sehingga sampai mencela para Shahabat Nabi (seperti Khawarij dan Rafidhoh). (2) Kedua golongan yang melarang mencela secara mutlaq. Itu pun mereka tidak konsisten dalam pengamalan..karena tujuan mereka sebenarnya agar tidak ditahdzir. Dalam prakteknya mereka sendiri gemar mencela lawannya atau orang yang mereka benci. (3) Sedang Ahlus Sunnah pertengahan. Ahlus Sunnah meyakini yang tidak boleh dicela secara mutlaq adalah para shahabat Nabi karena telah mendapat tazkiyah dari Allah dan Nabi. Adapun selainnya maka ada perincian :

1. Hukum Mencela Orang Sholih, Orang Mukmin Yang Tidak Bersalah Dan Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Ajaran Nabi

    Berdasarkan keumuman dalil larangan mencela seorang muslim, Ahlus Sunnah sepakat bahwa mencela orang sholih, orang mukmin yang tidak bersalah ataupun mencela orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi adalah haram.

2. Hukum Mencela Orang Yang Sudah Taubat

     Kita tidak boleh mencela orang yang benar-benar sudah taubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim tentang kisah seorang perempuan pezina dari suku Ghamidiyah yang taubat. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni." Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya."

    Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.

     Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. (Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.)

     Menasihati seseorang itu beda dengan menjelek-jelekkan. Menasihati berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain. Kaum muslimin dilarang sombong, merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.

     Ketika seorang hamba telah melakukan perbuatan dosa kemudian dia memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilarang bagi kita untuk menghina dan menjadikannya bahan pembicaraan atau ghibah. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwasannya kita akan melakukan perbuatan yang sama.

     Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata :

ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin 1: 176). Bahkan, menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, dosa yang menghina lebih besar daripada orang yang melakukan dosa tersebut.

أَنْ تَعْبِيْرَكَ لِأَخِيْكَ بِذَنْبِهِ أَعْظَمُ إِثْمًا مِنْ ذَنْبِهِ وَ ٱَشَدُّ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لِمَا فٍيْهِ مَنْ صُوْلَةُ الطَّاعَةَ وَ تَزْكِيَةَ النَّفْسِ

“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan  saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” (Madarijus Salikin 1: 177-178)

     Hal senada diungkapkan oleh salah seorang tabi’in (generasi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu Hasan Al Bashri.

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ مَنْ رَّمَى أَخَاهُ بِذَنْبِ قَدْ تَابَ إِلَى اللّٰهِ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَبْتَلِيْهِ اللّٰهُ بِهِ

“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut,” (Ash-Shamt)

3. Hukum Mencela Orang Yang Bermaksiat Yang Masih Punya Rasa Malu

     Jika ada seorang muslim yang terjatuh zina, minum khamr, mencuri dan lain-lain selama masih punya rasa malu maka tidak boleh dicela berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Karena bisa jadi Allah taqdirkan mereka terkalahkan syahwat agar tidak memiliki rasa ujub pada dirinya. Lain perkara terhadap orang yang sengaja menampakkan maksiat dan telah lepas pakaian rasa malu pada diri mereka, maka boleh dicela.

4. Hukum Mencela Orang Yang Melakukan Kesalahan Karena Tidak Tahu/Tidak Disengaja
    
     Berdasarkan keumuman dalil maka hukum asal mencela seorang muslim yang melakukan kesalahan karena tidak sengaja adalah dilarang. Nabi juga bersabda :


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ  عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ  تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), dll)

5. Hukum Mencela Orang Fajir Yang Tidak Punya Rasa Malu Atau Mencela Dengan Tujuan Tahdzir Kebathilan Dan Ahlu Ahwa'

     Mencela seorang muslim hukum asalnya dilarang berdasarkan keumuman dalil larangan mencela. Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan menggembar-gemborkan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ  bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ

“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” (HR. Bukhari, no. 6069)

     Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak terhitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya.

     Demikan juga kita dibolehkan mencela dengan tujuan tahdzir. Dari Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ

Khawarij adalah anjing-anjingnya neraka. (HR. Ahmad 19415, Ibn Majah 173 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

      Yunus bin Abdul A’la rahimahullah mengatakan:

سمعت الشافعي إذا ذكر الرافضة عابهم أشد العيب, فيقول: شر عصابة

Aku pernah mendengar Imam Syafi’i, bila menyebut kelompok Syiah Rafidhah, beliau mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan: “mereka itu komplotan yang paling jahat!” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468)

Ahlus Sunnah Diwajibkan Tahdzir Kebathilan


 



Ahlus Sunnah Diwajibkan Tahdzir Kebathilan


     Tahdzir adalah memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.

     Allah Ta’ala berfirman :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran: 104). Ayat tersebut menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَلَا رَسُولُ اللَّهِ[: {هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ[: «إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ».

Dari 'Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat ini; “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata; Kami beriman kepada Al Qur’an seluruhnya dari Rabb kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal pikiran. (Ali Imran: 7). Aisyah berkata; kemudian Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, maka tahdzirlah (hindari; peringatkan orang akan bahaya) mereka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

     Syariat tahdzir akan tetap berlaku dalam setiap waktu dan tempat. Hanya saja berbeda-beda penerapannya sesuai kemampuan orangnya. Sama seperti penyikapan terhadap kemunkaran: jika mampu maka dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan. Jika tidak mampu maka dengan hati.

     Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunah-sunnah dan mengikuti perintah-perintahnya, kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan lisan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan hati melawan mereka maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan meski sebiji sawi.” (H.R Muslim dari Ibnu Mas’ud)

     Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ, يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ, وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ, وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ

“Yang membawa ilmu agama ini pada setiap zaman adalah orang-orang terbaiknya, mereka menolak penyimpangan orang-orang yang berlebihan dalam agama, (membantah) para penghapus (agama) dan (meluruskan) takwil orang-orang jahil.” (HR. Al-Baihaqi dari Ibrahim bin AbdirRahman Al-‘Udzri, Al-Misykah: 248)

     Ketika dikatakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

إنه يثقل علي أن أقول فلان كذا وفلان كذا. فقال: إذا سكت أنت وسكت أنا؛ فمتى يعرف الجاهل الصحيح من السقيم؟!

“Sesungguhnya berat atasku untuk mengatakan Fulan begini dan Fulan begitu. Maka Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: Kalau engkau diam dan aku juga diam, maka bagaimana orang jahil bisa mengetahui hadits shahih dan tidak shahih.?”  (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Dalam kesempatan yang lain juga ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :

الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَعْتَكِفُ أَحَبُّ إلَيْك أَوْ يَتَكَلَّمُ فِي أَهْلِ الْبِدَعِ؟ فَقَالَ: إذَا صامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ فَإِنَّمَا هُوَ لِنَفْسِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ فِي أَهْلِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُسْلِمِينَ هَذَا أَفْضَلُ

“Apakah orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf lebih engkau sukai ataukah yang berbicara tentang kejelekan ahlul bid’ah? Maka beliau berkata: Apabila ia berpuasa, sholat dan i’tikaf, hanyalah manfaatnya untuk dirinya sendiri, namun apabila ia berbicara tentang kejelekan ahlul bid’ah, manfaatnya untuk kaum muslimin, maka ini lebih baik.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

وَمِثْلُ أَئِمَّةِ الْبِدَعِ مِنْ أَهْلِ الْمَقَالَاتِ الْمُخَالِفَةِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوْ الْعِبَادَاتِ الْمُخَالِفَةِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؛ فَإِنَّ بَيَانَ حَالِهِمْ وَتَحْذِيرَ الْأُمَّةِ مِنْهُمْ وَاجِبٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ

“Dan semisal para imam bid’ah pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan men-tahdzir umat dari mereka adalah wajib menurut kesepakatan (ulama) kaum muslimin.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28/231)

     Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata :

الداعية الذي لا يحذر من دعاة الضلال يعتبر من الكاتمين للعلم

“Seorang da’i yang tidak men-tahdzir (mengingatkan bahaya kesesatan) para da’i sesat, termasuk orang-orang yang menyembunyikan ilmu.”

Wa Allahu a'lam.

Kamis, 05 Januari 2023

Musabaqah (Perlombaan) Dalam Islam

    


     Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas kehidupan manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):


المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام

“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.

Hukum Asal Perlombaan Jika Tanpa Hadiah Mubah

     Hukum perlombaan yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini hukum asalnya mubah (boleh), selama tanpa ada taruhan, hadiah dan bukan untuk perkara yang Allah haramkan (seperti lomba musik, membuat shuroh (gambar bernyawa), tinju, adu ayam dan semisal). Karena perlombaan merupakan perkara muamalah (bukan perkara ibadah), sebagaimana kaidah fiqhiyyah mengatakan:

الأصل في المعاملات الحِلُّ

“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.

     Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ummul Mukminin Aisyah radhiyaallahu 'anha bercerita:

سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ (5/327)).
    
     Tentunya lomba lari yang dilakukan antara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan ummul mukminin Aisyah radhiyaallahu 'anha tanpa hadiah. Dan tujuan dari lomba adalah untuk melatih fisik, untuk mengetahui siapa yang paling tangkas, atau sekedar untuk bersenang-senang. 

Hukum Lomba Dengan Taruhan Atau Hadiah

     Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

     Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:

لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ

“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).

     Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ

“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).

     Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits (lombs berkuda, balap unta dan memanah), maka jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ

“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba memanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).

     Ini adalah pendapat mu’tamad 4 madzhab dari Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah, demikian juga pendapat Zhahiriyah. 


Bolehkah Musabaqah (Pelombaan) Dalam Perkara Ibadah Dengan Tujuan Untuk Mengharapkan Dunia Atau Hadiah?

    Ada sebuah pendapat yang membolehkan perlombaan tilawah Al Qur'an (MTQ), hafalan Al Qur'an (MHQ), hafalan hadits, fiqh, adzan, ilmu yang bermanfaat atau perkara ibadah walau dengan taruhan dan hadiah dengan dikiaskan lomba berkuda dan memanah untuk kepentingan jihad fissabilillah. Benarkah pendapat tersebut?

     Sepengetahuan ilmu yang Allah berikan kepada kami maka hal tersebut tidak benar, dikarenakan :

1. Pada zaman Nabi dan para Shahabat tiada nukilan shahih adanya lomba menghafal Al Qur'an atau semisal.
     Andai itu disyari'atkan tentu akan diamalkan para Shahabat. Tapi ternyata tidak diamalkan para Shahabat Nabi walau keadaan lebih menuntut yaitu banyak penghafal Al Qur'an yang gugur terbunuh. Apa para Shahabat Nabi kemudian melakukan musabaqah hafalan Al Qur'an.?? Ternyata tidak demikian.
     Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang."
     Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Perlombaan tersebut tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.
     Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
     Dalam riwayat Muslim, disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

Tidak boleh memberi hadiah dalam perlombaan kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi, no. 1700; An-Nasai, no. 3615; Abu Daud, no. 2574; Ibnu Majah, no. 2878. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan dalam ta’liq beliau terhadap Jami’ At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 1506, 5:333 mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

4. Ibnul Qoyyim dalam Al Furusiyah menyebutkan bahwa pengikut imam Malik., imam Ahmad dan imam Asy Syafi'i melarang hal tersebut.

5. Al Qur'an itu untuk dibaca, dihafal, diajarkan, ditadabburi ataupun diamalkan. Bukan untuk dilombakan dengan tujuan dunia atau mencari nama, mencari uang, mencari nomor (juara) satu, atau mengharapkan hadiah. Hal ini sebagaimana terjadi di dalam Musabaqah Tilawah Alquran (MTQ). Belum lagi pada umumnya dalam prakteknya terdapat banyak kemungkaran seperti ikhtilath, shuroh bernyawa, tepuk tangan dan lain-lain

6. Syarat diterimanya amalan itu ada dua yaitu ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi dan para Shahabat).
     Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
     Sehingga siapa yang tilawah Al Qur'an, hafalan, ilmu dan lain-lain jika tujuannya untuk dunia, dipuji manusia, mendapatkan hadiah dan sebagainya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan (minimal riya' (syirik kecil), sum'ah ataupun ujub).
     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat? ‘ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca. Dan kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 3527)

7. Para Shahabat memahami (فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ) yaitu berlomba dalam kebaikan untuk meraih maghfirah dan Surga Allah.
     Jadi bukan berlomba kebaikan untuk tujuan dunia atau mencari hadiah dari manusia.

8. Jika musabaqah tilawatil Qur'an diqiaskan dengan lomba berkuda maka hal tidak tepat, karena hukum asal tilawah Al Qur'an adalah ibadah yang disyari'atkan sedang hukum asal berkuda adalah mubah.

9. Dalam catatan sejarah dari sekian para mujaddid mulai Umar bin Abdul Aziz mujaddid di penghujung abad ke-1, Imam Asy Syafi'i mujaddid di penghujung abad ke-2 dst..jika memang ada, siapa yang pernah menjadi peserta musabaqah tilawatil Qur'an dengan hadiah.? Tanpa ada perlombaan tersebut pun Al Qur'an dan kemurnian agama Allah, insya Allah akan tetap terjaga.

     Agama Allah dibangun di atas dalil, sehingga bagi pendapat yang membolehkan perlombaan dalam perkara tersebut untuk tujuan dunia atau hadiah maka wajib mendatangkan dalilnya. Wa Allahu a'lam.

Kamis, 29 Desember 2022

Pada Hari Jum'at Disunnahkan Membaca Surat Yasin Atau Al Kahfi?





BENARKAH MEMBACA SURAT YASIN PADA MALAM/HARI JUM'AT  LEBIH UTAMA DAN LEBIH BERHAK DIAMALKAN DARIPADA MEMBACA SURAT AL KAHFI?



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :


1. Dalil keutamaan membaca  surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at haditsnya shahih dan lebih kuat daripada hadits keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at yang dhoi'f (lemah).

Hadits pertama :
     Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah.”  (HR. Ad-Darimi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6471. Juga diriwayatkan An Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

Hadits kedua :
     Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)

     Dalam dua hadist di atas, pada hadits pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, "membaca surat Al-Kahfi di malam Jum'at". Sementara di hadits kedua, beliau menyatakan, "membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum'at".

     Al-Munawi menukil keterangan Al Hafidz Ibnu Hajar,

قال الحافظ ابن حجر في ” أماليه ” : كذا وقع في روايات ” يوم الجمعة ” وفي روايات ” ليلة الجمعة ” ، ويجمع بأن المراد اليوم بليلته والليلة بيومها

Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Amali, “Anjuran membaca al-Kahfi ada di beberapa riwayat, ada yang menyatakan ‘Hari jum’at’ dalam riwayat lain ‘Malam Jum'at’. Bisa kita kompromikan bahwa waktu yang dimaksud adalah siang dan malam Jum'at.” (Faidhul Qadir, 6/258).

     Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Umm (1: 208) mengatakan,

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai (seseorang itu) memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di setiap waktu. Dan pada hari Jumat serta malam Jumat, lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai (menganjurkan) seseorang untuk membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat dan pada hari Jumat karena terdapat dalil mengenai hal ini.”

     Sebaliknya hadits tentang keutamaan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at adalah dha'if jiddan (sangat lemah). Bahkan mereka yang mengamalkan membaca surat Yasin pada malam Jum'at juga mengakui bahwa haditsnya dha'if.

2. Kalau kita telusuri pendapat para ulama, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dha'if (menolak secara mutlak, menerima dengan syarat-syarat tertentu, menerima asal bukan hadits maudhu'/palsu).

(1) Kelompok pertama
     Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
     Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya.

(2) Kelompok kedua
     Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
     Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.
• Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
• Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

(3) Kelompok ketiga
     Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
     Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.
     Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, "Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."

     Dari ketiga pendapat tersebut, taruhlah andai yang benar yaitu boleh mengamalkan hadits dha'if terkait membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at, maka tetap tidak sepatutnya mereka lebih mengutamakan mengamalkan membaca surat Yasin (yang haditsnya dha'if) daripada membaca surat Al Kahfi yang haditsnya shahih. Yang benar mereka seharusnya lebih antusias dan lebih mendahulukan untuk mengamalkan Sunnah membaca surat Al Kahfi daripada mengamalkan membaca surat Yasin yang hanya dengan sandaran hadits dha'if ataupun sangat lemah. Terlebih lagi jika ternyata yang benar pendapat bahwa hadits dha'if (lemah) tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan.


3.  Jika amalan yang jelas-jelas diperintahkan Nabi (seperti sholat tahajjud, pelihara jenggot, membaca surat Al Kahfi pada malam/hari Jum'at dan perkara semisal) berdasarkan hadits shahih saja banyak yang tidak antusias dan enggan untuk mengamalkan, tapi mengapa sebaliknya mereka justru lebih memilih mengerjakan amalan-amalan dengan bersandarkan hadits dha'if? Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan? Yang mana kita saja tidak boleh meyaqini hadits dha'if (lemah) sebagai perkataan Nabi.

4. Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu: (1)Ikhlas karena Allah, dan (2) Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).

     Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits.
(1) Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkanBarangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”. (HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.)
(2) Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718.)
    
     Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak. Termasuk dalam perkara dzikir (takbir, tahlil, dan bertasbih) hendaknya ikhlash serta sesuai tuntunan Nabi dan para Shahabat. Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi no. 204 (1/79). Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (5/11) mengatakan bahwa hadits ini shahih)


5. Kita diperintahkan mengamalkan Islam sebagaimana yang diamalkan Nabi dan para Shahabat.
    
     Tidak ada nukilan shahih bahwa Nabi dan para Shahabat punya kebiasaan membaca surat Yasin pada setiap malam/hari Jum'at.  Demikian juga tidak ada nukilan yang shahih dari para imam 4 madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengamalkan membaca surat Yasin pada malam/hari Jum'at. Terlebih dengan ritual yang mengada-ngada seperti yang diamalkan mereka pada masa sekarang yang tidak ada contohnya dari Nabi dan para Shahabat.

Wa Allahu a'lam.

Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Kamis 5 Jumadil Akhir 1444 H (29-12-2022)


Hazim Al Jawiy








Sabtu, 24 Desember 2022

Ghibah (Menggunjing)

 



Tahukah Engkau Apa Itu Ghibah (Menggunjing)?

    
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).

   Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi  ”. Maka Nabi  pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian”. (Maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Tirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

     Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”


Hukum Ghibah

     Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

     Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).

     Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).

     Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)
    
     Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang Ghibah) sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadis Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

"Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak."  (HR Abu Dawud (4/269) No. 4876. dishahihkan syaikh Albani).
     Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)” (Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736)

Ancaman Adzab Bagi Pelaku Ghibah

     Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengGhibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.

Dalam riwayat yang lain :

قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

Rasulullah  bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (HR. Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879))

     Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadits Abu Hurairah.)


Pahala Bagi Yang Dighibah

(1) Keterangan Hasan Al Bashri
     Ada orang yang datang menemui Hasan al-Bashri, lalu orang ini memberikan info, “Bahwa si A telah meng-ghibah anda.”
Lalu Hasan al-Bashri mengirim satu kotak kurma basah ke orang itu, beliau mengatakan,

بلغني أنك أهديتَ إليَّ حسناتِك، فأردتُ أن أكافئك عليها، فاعذرني، فإني لا أقدر أن أكافئك بها على التمام

Saya dapat info bahwa anda telah menghadiahkan pahalamu untukku. Maka saya ingin untuk membalasnya kepadamu. Mohon maaf, saya tidak mampu memberikan balasan yang setimpal. (Tanbih al-Ghafilin, 1/176)

(2) Keterangan Fudhail bin Iyadh
     Ada orang yang mengatakan kepada Fudhail, "Si A telah meng-ghibahku." Lalu Fudhail bin Iyadh mengatakan,

قد جلب لك الخير جلبًا

Berarti dia telah memberikan pahala untukmu. (Hilyah al-Auliya, 8/108)

(3) Keterangan Abdurrahman bin Mahdi, beliau mengatakan,

لولا أني أكره أن يُعْصى الله، لتمنيت أن لا يبقى أحد في المصر إلا اغتابني، أي شيء أهنأ من حسنات يجدها الرجل في صحيفته لم يعمل بها؟!

“Andaikan bukan karena benci maksiat kepada Allah, (maka aku akan lakukan maksiat), dan sungguh aku ber-angan-angan andaikan semua penduduk kota ini meng-ghibahku. Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan melebihi orang yang melihat pahala yang tertulis di catatan amalnya, sementara dia tidak pernah mengamalkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5/305)

(4) Keterangan Abdullah bin Mubarak
     Beliau mengatakan,

لو كنت مغتابًا أحدًا لاغتبت والديَّ؛ لأنهما أحق بحسناتي

"Andai saya boleh meng-ghibah orang lain, tentu saya akan meng-ghibah kedua orang tuaku. Karena mereka yang paling berhak untuk mendapatkan pahala dariku."

(5) Keterangan Ibrahim bin Adham

يا مكذب، بخلت بدنياك على أصدقائك، وسخوت بآخرتك على أعدائك

Wahai manusia pembohong, kamu sangat bakhil terhadap dunia sehingga tidak kamu kasihkan ke sesama muslim, namun kalian begitu pemurah dalam memberikan pahala akhirat kalian kepada musuh kalian. (Tanbih al-Ghafilin, 1/177)
Yang beliau maksud adalah meng-ghibah orang lain.

Cara Taubat Dan Kafaroh Ghibah

     Berkata Al-Hasan Al-Bashri,
كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ

“Penebus dosa Ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau Ghibahi” (Majmu’ fatawa (18/189)
     Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengGhibah) meminta penghalalan (perelaan dosa Ghibahnya-pent) dari orang yang dia Ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia Ghibahi tersebut bahwa dia telah mengGhibahinya, maka terkadang malah orang yang diGhibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengGhibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…” (Tafsir Ibnu Katsir)
     Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Di antara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang mengGhibah) harus datang ke dia (yang diGhibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang diGhibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengGhibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya Ghibah itu, jika yang diGhibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengGhibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengGhibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadis,

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

"Kafarohnya orang yang kau Ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya."
(Syarah Riyadlus Sholihin (1/78))



Ijma' Bolehnya Ghibah Dalam 6 Perkara

     Hukum asal ghibah (menggunjing) adalah haram. Ghibah dibolehkan jika untuk tujuan yang benar/syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu. Dan para ulama sepakat (secara ijma') dibolehkan ghibah dalam 6 perkara.
     Imam An-Nawawi Rahimahullah menyebutkan Al-Adzkar, “Ketahuilah bahwasannya ghibah walaupun diharamkan akan tetapi dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu karena ada maslahat. Dan kebolehan ghibah di sini karena tujuan yang benar dan disyariatkan dan tidak mungkin untuk sampai kepada tujuan tersebut kecuali dengan ghibah.” Bahkan seorang penulis syair menyebutkan enam ghibah yang dibolehkan dalam sebuah bait syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ         مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ         وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

"Celaan bukanlah disebut ghibah pada enam perkara

(1) Pengadu/orang yang dizhalimi(seperti mengadukan kezholiman kepada imam/pemimpin atau orang yang punya wewenang ), (2) orang yang mengenalkan (seperti dengan ciri "si buta" atau sebutan yang sudah masyhur), dan (3) orang yang memperingatkan (seperti tahdzir terhadap keburukan)

Dan (4) terhadap orang yang menampakkan kefasikan (seperti orang melakukan kesyirikan, bid'ah dan maksiat secara terang-terangan), dan (5) peminta fatwa (seperti minta fatwa terhadap sebuah perkara atau kasus)

Dan (6) orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan suatu kemungkaran."

Wa Allahu a'lam.

"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...