Senin, 07 Agustus 2023

Siapa Manusia Yang Paling Tinggi Kedudukannya Dan Paling Afdhal ?


 

Siapa Manusia Yang Paling Tinggi Kedudukannya Dan Paling Afdhal ?

     Imam Asy Syafi'i Rahimahullah berkata :

أرفع الناس قدرًا من لا يرى قدره، وأكثرهم فضلاً من لا يرى فضله

"Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah seorang yang tidak memandang dirinya memiliki kedudukan..
Manusia yang paling banyak keutamaannya di kalangan mereka adalah yang tidak memandang dirinya punya keutamaan."

(lihat Siyar A'lam An Nubalaa 10/99)

Selasa, 01 Agustus 2023

Tahukah Engkau Ghibah Yang Wajib Dan Mubah?






Tahukah Engkau Ghibah Yang Wajib Dan Mubah?
"أقسام الغِيبة" Pembagian Ghibah


للغيبة ثلاثة أقسام:
1- الغِيبة المحرمة:
وهي ذكرك أخاك المسلم في غيبته بما يكره بعيب فيه مخفي، سواء كان هذا العيب خَلْقي أم خُلُقي، في دينه أو دنياه، ولا شك أنَّه محرم في الكتاب، والسنة، والإجماع، للأدلة الواردة سلفًا في هذا الباب.
قال ابن القيم -وهو يتحدث عن الغِيبة-: (وإذا وقعت على وجه ذم أخيك، وتمزيق عرضه، والتفكه بلحمه، والغض منه، لتضع منزلته من قلوب الناس، فهي الداء العضال، ونار الحسنات التي تأكلها كما تأكل النار الحطب)
2- الغِيبة الواجبة:
هي الغِيبة التي بها يحصل للفرد نجاة مما لا يحمد عقباه، أو مصيبة كانت محتملة الوقوع به، مثل التي تطلب للنصيحة عند الإقبال على الزواج لمعرفة حال الزوج، أو كأن يقول شخص لآخر محذرًا له من شخص شرير: إن فلان يريد قتلك في المكان الفلاني، أو يريد سرقة مالك في الساعة الفلانية، وهذا من باب النصيحة.
3- الغِيبة المباحة:
كما أن الغِيبة محرمة لما فيها من أضرار تمس الفرد، إلا أنَّها مباحة بضوابطها لغرض شرعي صحيح، لا يمكن الوصول لهذا الغرض إلا بهذه الغِيبة، وبدون هذه الضوابط تصبح محرمة.
قال النووي: (اعلم أنَّ الغِيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها وهو ستة أبواب:
الأول: التظلم، فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما مما له ولاية أو قدرة على إنصافه من ظالمه، فيقول: ظلمني فلان كذا.
الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر ورد المعاصي إلى الصواب، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر: فلان يعمل كذا، فازجره عنه.
الثالث: الاستفتاء، فيقول: للمفتي: ظلمني أبي، أو أخي، أو زوجي، أو فلان بكذا.
الرابع: تحذير المسلمين من الشر ونصيحتهم.
الخامس: أن يكون مجاهرًا بفسقه أو بدعته، كالمجاهر بشرب الخمر ومصادرة الناس وأخذ المكس وغيرها.
السادس: التعريف، فإذا كان الإنسان معروفًا بلقب الأعمش، والأعرج والأصم، والأعمى والأحول، وغيرهم جاز تعريفهم بذلك.
فهذه ستة أسباب ذكرها العلماء وأكثرها مجمع عليها، دلائلها من الأحاديث الصحيحة مشهورة)
https://dorar.net/akhlaq/2536/%D8%A3%D9%82%D8%B3%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%BA%D9%8A%D8%A8%D8%A9

Ghibah (Menggunjing) Dibagi 3

1- Ghibah (Menggunjing) Yang Diharamkan :

     Yaitu menyebutkan saudaramu Muslim dalam ketidakhadirannya tentang apa yang dia benci tentang cacat tersembunyi dalam dirinya, apakah cacat itu bawaan atau moral, dalam agamanya atau di dunianya, dan tidak ada keraguan bahwa itu diharamkan dalam Al Kitab (Al Qur'an), As Sunnah, dan ijma dengan dalil-dalil yang disebutkan sebelumnya dalam bab ini.
   
     Ibnul Qayyim mengatakan - saat berbicara tentang ghibah - : (Dan jika jatuh pada wajah saudaramu fitnah, merobek kehormatannya, merobek dagingnya, dan menutup mata terhadapnya, untuk menurunkan statusnya dari hati orang, itu adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan api yang memakan amal kebaikannya seperti api yang memakan kayu).

2- Ghibah (Menggunjing) Yang Wajib :

     Ini adalah ghibah yang dengannya seseorang dapat diselamatkan dari akibat yang tidak terduga, atau malapetaka yang mungkin menimpanya, seperti meminta nasihat ketika akan menikah untuk mengetahui kondisi suami, atau seolah-olah satu orang berkata kepada yang lain memperingatkannya tentang orang jahat: Si fulan ingin membunuhmu di tempat ini dan itu, Atau dia ingin mencuri uangmu pada jam sekiaan, dan ini masalah nasihat.

3- Ghibah (Menggunjing) Yang Mubah/Diperbolehkan :

     Seperti ghibah dilarang karena bahaya yang ditimbulkannya yang mempengaruhi individu, tetapi ghibah diperbolehkan dengan tujuan sah yang sah, dan tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan ghibah ini, dan tanpa kontrol ini menjadi dilarang.

     Al-Nawawi berkata: (Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah yang tidak dapat dicapai tanpa itu, dan itu adalah enam bab:
■  Yang pertama: pengaduan, maka dibolehkan bagi yang terzhalimi untuk mengadu kepada Sulthan (penguasa), Qodhi (hakim), dan orang lain yang memiliki yurisdiksi atau kemampuan untuk menebusnya dari kezhalimannya, dengan mengatakan: Saya dizhalimi oleh fulan demikian.
■  Yang kedua: mencari bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan kemaksiatan ke jalan yang benar, maka dia berkata kepada mereka yang berharap bahwa dia akan dapat menghilangkan kemungkaran (kejahatan) : Ini-dan-itu melakukan ini dan itu, maka tegurlah dia untuk itu.
■  Yang ketiga: minta fatwa, dan dia berkata: kepada mufti: Ayah saya, atau saudara laki-laki saya, atau suami saya, atau fulan demikian (menzhalimi saya dengan ini).
■  Keempat : Tahdzir/memperingatkan umat Islam terhadap keburukan (kejahatan) dan menasihati mereka.
■  Kelima: Bahwa dia terang-terangan menyatakan kemaksiatan atau kebid'ahan (kesesatan)nya, seperti terang-terangan meminum miras, menyita orang, memungut pajak, dan sebagainya.
■ Keenam: Memperkenalkan, maka jika seseorang dikenal dengan gelar Al-A’mash, lumpuh, tuli, buta, juling, dan lain-lain, maka diperbolehkan mengenalkannya.
     Ini adalah enam alasan yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besar disepakati secara bulat, dalilnya adalah dari hadits-hadits shahih.


 

Kamis, 27 Juli 2023

Sang Merah Putih (Sang Dwi Warna) Bendera Negeriku Indonesia









 

Sang Merah Putih (Sang Dwi Warna)
Bendera Negeriku Indonesia


Allah taqdirkan diriku sebagai muslim dan menjadi warga negara Indonesia..sehingga satu-satunya bendera yang kuakui hanya Sang Merah Putih..
Sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, maka diriku tidak mengakui bendera ISIS, bendera Jam'iyyah, bendera partai, bendera ormas dan semua bendera selain bendera pemerintah yang sah di negeri ini..


Hukum Mengibarkan Bendera


     Panji atau bendera adalah sepotong kain atau kertas berbentuk segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul:sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Hal ini sering juga digunakan untuk identitas atau melambangkan suatu negara untuk menunjukkan kedaulatannya.

     Keberadaan bendera telah menjadi 'urf suatu bangsa atau negara dan ini juga digunakan kaum muslimin di zaman Nabi Muhammad, sehingga hukum asal memasang atau mengibarkan bendera adalah mubah (boleh) jika tujuannya bukan untuk ibadah atau menjadikan sesembahan selain Allah. Karena kita dilarang menyembah malaikat, langit, bumi, matahari, bintang, pohon, api, bulan, orang sholih, panji/bendera dan semua bentuk penyembahan kepada selain Allah.


Apa Hukumnya Hormat Bendera?


■  Menghormati atau memuliakan bendera selama dalam batas yang wajar dan tidak bertentangan dengan syari'at Islam, maka hukumnya mubah. Seperti menggunakan bendera untuk identitas atau lambang kedaulatan sebuah bangsa, tidak menghinakan, tidak membakarnya serta menjaga bendera untuk tetap berkibar dan tidak jatuh ke tanah. Hal ini sebagaimana diamalkan pada zaman Nabi, karena menjadikan bendera sebagai simbol kedaulatan.

■  Bapak Muhammad Hatta dan bapak Jusuf Kalla pun tidak mengangkat tangan ketika bendera dikibarkan, tapi cukup dengan berdiri sikap sempurna. Jika sekedar berdiri untuk menghormati bendera sebagaimana berdirinya kita menghormati jenazah atau menyambut tamu, maka itu insya Allah dibolehkan dengan catatan tidak mengganggap perkara tersebut wajib serta tidak mencela orang yang duduk.

■  Adapun jika hormat bendera secara berlebihan (ghuluw) atau dalam batas tidak wajar, mewajibkan berdiri dan mengangkat tangan, diagungkan sebagaimana/dengan niat ibadah..yang mana perkara tersebut tidak pernah dilakukan Nabi dan para Shahabat, maka kami khawatir itu termasuk perkara bid'ah. Rasulullah ﷺ setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan :

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)

■  Fatwa ulama yang melarang adalah fatwa Al-Lajnah :

 ما حكم تحية العلم في الجيش وتعظيم الضباط وحلق اللحية فيه؟

Pertanyaan: Apa hukum hormat bendera yang dilakukan oleh tentara, menghormati komandan dan mencukur jenggot?

 لا تجوز تحية العلم، بل هي بدعة محدثة

Jawab: Tidak boleh menghormati bendera, bahkan ini termasuk bid’ah yang dibuat-buat … (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 1/236)

■  Insya Allah sebenarnya banyak kaum muslimin di berbagai dunia yang punya keyakinan seperti kami, akan tapi diantara mereka banyak yang takut untuk menyampaikannya. Setahu kami demikian juga pendapat pribadi Ketua MUI pusat (bukan fatwa MUI).
     "Salah satu ketua MUI, Cholil Ridwan, menyatakan bahwa menghormati bendera dan lagu kebangsaan hukumnya haram. Ia melandaskan pendapatnya ini dengan fatwa yang dikeluarkan sejumlah ulama asal Arab Saudi. Dalam fatwa itu, dikatakan bahwa menghormati bendera dan lagu kebangsaan sama hukumnya dengan menyembah benda-benda dan dikategorikan sebagai perbuatan musyrik Cholil menyatakan pendapatnya ini dalam sebuah forum tanya jawab di sebuah media Islam."


Bagaimana Sikapku Jika Dituntut Memasang/Mengibarkan Bendera?


(1)  Sebagai Ahlus Sunnah maka insya Allah akan saya sampaikan keyakinanku secara jujur dan terang-teranganan. 'Id atau hari raya umat Islam hanya ada 2 yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Nabi dan para Shahabat mengingkari semua hari raya yang ada di Madinah pada waktu itu..sehingga setiap tahun tidak ada nukilan mengadakan hari raya semisal perayaan Fathul Makkah (hari pembebasan kota Makkah), Maulid Nabi dsb. Yang menghalangiku untuk mengkhususkan hari pengibaran bendera insya Allah tiada lain karena diriku takut kepada Allah, karena perkara tersebut tidak diamalkan Nabi dan para Shahabat.

     Anas radhiyallahu ‘anhu berkata :

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

(2)  Kita diperintahkan taat kepada umaro' (pemerintah) selama bukan dalam perkara bermaksiat kepada Allah.
    
     Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36).

     Ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang ma’ruf. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

     Adapun terkait bukti ketaatan dan loyalitas insya Allah diriku selalu mengajak kaum muslimin untuk mengerjakan sholat Jum'at dan sholat 'Id bersama umaro' (pemerintah yang sah), tidak berpecah belah mengadakan sendiri, serta berupaya selalu taat kepada pemerintah selama bukan dalam perkara maksiat kepada Allah ataupun mengandung unsur maksiat. Demikian juga melarang mencela penguasa, memberontak ataupun demo. Dan alhamdulillah sejak kecil kemudian SDN s.d PTN tidak pernah tercatat sebagai pelajar/mahasiswa yang bermasalah. Belum pernah terkena tilang lalu lintas, tidak pernah terlibat tindakan arnakis, tidak pernah sengaja merusak tanaman orang lain ataupun tindakan kriminal. Apa itu masih belum cukup untuk dikatakan loyal kepada pemerintah yang sah?

(3)  Bendera bangsa Indonesia yang kuakui pemerintah yang sah hanya Sang Merah Putih. Sehingga jika diriku tidak mengibarkan bendera Merah Putih, maka itu artinya tidak ada satupun bendera di muka bumi yang akan kukibarkan. Karena yang menjadi masalah bukan yang dikibarkan bendera Merah Putih atau tidak. Bahkan andai ada duplikat bendera Nabi pun juga tidak kukibarkan.

(4)  Sebagai warga negara walau diriku tiap tahun diwajibkan membayar pajak dsb, insya Allah belum pernah menuntut apapun kepada pemerintah :
-  Sejak SDN sampai kuliah di perguruan tinggi Negeri, diriku tidak pernah menuntut hak atau demo kepada pemerintah. Bahkan ketika OSPEK Maba dan dilatih demo "Turunkan SPP" ke Rektorat, diriku juga diizinkan tidak ikut demo.
-  Diriku tidak pernah minta bantuan atau mengajukan beasiswa, walau IPK diatas 3.
-  Diriku belum pernah menuntut listrik subsidi, BBM subsidi, LPG subsidi, pupuk subsidi dan segala bentuk subsidi. Bahkan sudah 3 th ini diriku berupaya menjauhi barang-barang bersubsidi. Diriku lebih sering bersepeda pancal, jika memasak pakai kompor listrik non subsidi dan sudah tidak membeli pupuk subsidi untuk memupuk tanamanku.
-  Diriku tidak pernah menuntut bantuan sembako, minta sepeda ke bapak presiden, bantuan WC dan semisal.
-  Diriku tidak pernah menuntut perbaikan jalan, pembangunan dsb. Bahkan diriku pernah menolak ketika ditawari mendapat bantuan sembako dari desa. Ataupun ditawari bantuan WC (karena rumahku belum ada WC-nya) tapi diriku tetap menolak dan kusarankan jatah tersebut agar diberikan kepada orang lain saja. Biar tidak ada omongan yang tidak mengenakkan.

(5)  Saya mengucapkan terima kasih (wa jazahumullah khoira) kepada pemerintah daerah kabupaten Blora terutama kepada bapak kepala dusun Tanjung dan bapak kepala desa Geneng atas perhatian dan niat baiknya untuk memberi sembako waktu wabah Covid-19. Sama sekali bukannya diriku tak menghargai maksud baik bapak-bapak semua. Sebenarnya di antara sebab diriku tidak mau menerima bantuan, karena diriku tidak ingin menimbulkan fitnah seperti :
-  diriku sudah daftar haji. Gimana jika ada omongan "mampu daftar haji, ternyata masih mau menerima bantuan?"
-  jika diriku menerima bantuan tapi tidak mau diajak demo..gimana jika ada tuduhan "pantas saja gak mau menyampaikan kebenaran, karena mulutnya telah disumpal sembako.?" (sebagaimana pernah ada warga yang mengajak demo terkait pembagian sembako, pembangunan dll tapi kutolak mentah-mentah. Sehingga diriku kemudian "disatru" dan ini realita)
-  syari'at Islam mengajarkan untuk menjaga iffah dan tidak minta-minta kecuali minta hak serta dengan sebab yang dibenarkan.
-  dsb.

(6)  Diriku meyakini bahwa mengkhususkan mengkibarkan bendera pada setiap perayaan itu termasuk bid'ah, karena tidak pernah diamalkan Nabi dan para Shahabat padahal pada zaman tersebut sudah ada bendera. Jadi rasa takutku kepada Allah yang mencegah untuk mengkibarkan bendera,  karena ketika kita mati kelak akan ditanya pada hari kiyamat tentang hujjah kita. Diriku juga tidak ingin menginfakan atau membelanjakan harta untuk membeli bendera atau perkara yang tidak Allah syari'atkan.

     Andai diriku tetap dituntut untuk memasang bendera, maka pemerintah punya kewajiban memberi bendera (beserta tiang bendera) bagi warga yang tidak memiliki bendera. Dalam ajaran Islam pun, rakyat insya Allah berhak meminta sesuatu/haknya kepada pemerintah jika dengan sebab yang dibenarkan syari'at. Apalagi selama ini diriku belum pernah meminta sesuatu kepada pemerintah yang manfaatnya untuk diriku. Adapun terkait bendera dan tiangnya, insya Allah diriku punya hak untuk menuntut atau meminta kepada pemerintah. Terlebih pasang bendera manfaatnya bukan untuk diriku dan ada aturan bahwa pemda hendaknya memberi bendera bagi warga yang di rumahnya tidak memiliki bendera.

(7) Jika memasang bendera dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur loyalitas kita kepada penguasa yang sah, maka silahkan saja pasang bendera di 3 lokasi yaitu depan rumahku, sawah dan kebunku..setiap hari dan sepanjang tahun. Di sepanjang jalan dekat rumahku andai dipasang 1 juta bendera pun, diriku juga gak mungkin merusak atau menurunkan. Insya Allah hanya sebatas kuingkari dalam hati.
    
     Kemudian jika di depan rumahku dipasang bendera, gimana jika pada hari-hari tersebut diriku lebih milih mengungsi tinggal di kandang kambing yang tidak ada benderanya? Atau hanya masuk ke rumah ketika sudah tidak ada bendera (pada malam hari setelah bendera turun).

Jumat, 07 Juli 2023

Kenapa Diriku Lebih Suka Bersepeda Dan Jarang Naik Kendaraan Bermotor?



Kenapa Diriku Lebih Suka Bersepeda Dan Jarang Naik Kendaraan Bermotor?


1. Allah Ta'ala berfirman :

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan (kesyirikan, kemaksiatan,kezhaliman) di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS al-Baqarah : 11-12). Kita juga tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺقَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدًا، وَرَوَاهُ مَالِكٌ فِي المُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺفَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ، وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain)

2.  Adanya kendaraan bermotor tentu memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitas. Namun sayangnya, asap knalpot yang dihasilkan oleh kendaraan justru bisa menyebabkan pencemaran udara hingga mengganggu kesehatan sebagaimana asap rokok.

3.  Gas buang (emisi) dari kendaraan, atau yang lebih dikenal sebagai asap knalpot, adalah produk sisa dari pembakaran mesin kendaraan. Produk buang ini mengandung gas dan partikel halus (particulate matter) yang bisa membahayakan kesehatan, seperti: 
• benzena,
• arsenik,
• formaldehyde,
• karbon monoksida,
• nitrogen oksida,
• sulfur dioksida,
• 1, 3-butadiene,
• polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH),
• dan karbon hitam.

4.  Efek paparan asap knalpot sesuai lama waktunya. Pada jangka pendek, paparan asap knalpot dengan konsentrasi tinggi bisa menimbulkan iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Adapun hal ini bisa menimbulkan pusing, batuk, munculnya dahak, hingga mual. Sementara pada penderita asma dan alergi, paparan jangka pendek juga bisa memicu gejala.
Bukan cuma jangka pendek, paparan asap kendaraan jangka panjang bisa menimbulkan berbagai bahaya yang lebih serius (seperti kanker, syaraf dll)

5.  Asap kendaraan dan asap rokok itu sama-sama beracun dan bahaya. Bedanya kendaraan bermotor memiliki manfaat yang nyata, sedang rokok tidak ada kebaikan yang nyata. Sehingga diriku juga membenci berkendaraan bermotor. Yang mana di antara para Shahabat Nabi kadang menggunakan kata "makruh" bisa bermakna haram tapi hanya lantaran tidak ada nash yang secara shorih mengharamkannya maka gunakan istilah benci. Walau mungkin tidak termasuk dosa besar dan bisa terhapus dengan istighfar dan amal sholih, tapi diriku sebagai seorang mukmin tidak boleh meremehkan dosa kecil dengan menjadikannya kebiasaan.

Catatan : Diriku sejak kecil kemudian sekolah sampai kuliah di kampus biasa bersepeda. Demikian juga di pondhok pun dulu juga biasa bersepeda. Sampai sekarang pun insya Allah tiap hari lebih rutin naik sepeda karena lebih ramah terhadap lingkungan ataupun zhalim terhadap makhluk di sekitar. Sedang naik kendaraan bermotor hanya kadang-kadang saja (sangat jarang) dengan pertimbangkan mashlahat dan mafsadat. Jadi intinya diriku tidak menjadikan berkendaraan bermotor itu sebagai kebiasaan..walau diriku punya SIM. Wa Allahu a'lam.
 

Selasa, 04 Juli 2023

Makna Hadits : "Jika Seseorang Menikah, Maka Telah Menyempurnakan Separuh Agamanya ...."




 

Makna Hadits  : "Jika Seseorang Menikah, Maka Telah Menyempurnakan Separuh Agamanya ...."

Hadits Ini Jangan Dipahami Para Nabi, Shiddiqin Dan Orang-Orang Sholih Yang Allah Taqdirkan Tidak Menikah Di Dunia Maka Agamanya Tidak Sempurna


وعن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من رزقه الله امرأة صالحة فقد أعانه على شطر دينه فليتق الله في الشطر الباقي. (رواه الطبراني في الأوسط والحاكم ومن طريقه للبيهقي وقال الحاكم صحيح الإسناد)

     Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Siapa yang diberi karnia oleh Allah seorang istri yang sholihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya."

     Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Status Hadits :

     Ulama berbeda pendapat dalam menilai keabsahan hadis ini.  Banyak ulama yang menilai hadits ini sebagai hadits yang dhaif. Diantaranya al-Haitsami, Ibnul Jauzi dan al-Iraqi. Sementara itu, ada juga ulama yang menilainya hasan li ghairihi, seperti yang disebutkan dalam Shahih Targhib wa Tarhib ( 2/192).


Makna Hadits

     Syahwat manusia dikendalikan 2 hal : perutnya dan kemaluannya. Dalam hadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pengaruh rakus manusia karena memenuhi kebutuhan perutnya,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Dua serigala lapar yang dilepas di kandang kambing, tidaklah lebih merusak dibandingkan ketamakan seseorang terhadap dunia dan jabatan, yang bisa merusak agamanya. (Ahmad 16198, Turmudzi 2550, Ibn Hibban 3228 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

     Sementara syahwat biologis mendorong manusia untuk berbuat zina. Karena itu, apabila orang yang sudah memenuhi kebutuhan biologisnya dengan menikahi wanita sholihah, berarti dia menyempurnakan setengah agamanya.

     Imam Al-Qurthubi memberikan penjelasan maksud hadits. Beliau mengatakan:

وقال : ( من تزوج فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الثاني ){[9417]} . ومعنى ذلك أن النكاح يعف عن الزنى ، والعفاف أحد الخصلتين اللتين ضمن رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهما الجنة فقال : ( من وقاه الله شر اثنتين ولج الجنة ما بين لحييه وما بين رجليه ) خرجه الموطأ وغيره
(الجامع لأحكام القرآن للقرطبي - القرطبي .سورة  الرعد آية 38)  

“Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadits ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannya.’   (lihat Tafsir al-Qurthubi Surat Ar Ro'd : 38).


Catatan Penting Dan Kesimpulan

■  Makna hadits menikah menyempurnakan setengah agama, karena manusia umumnya memiliki/dikendalikan 2 syahwat yaitu syahwat perut (mulut) dan kemaluannya. Dengan menikahi wanita sholihah maka diharapkan bisa membantu atau melindungi dari zina. Ini hukum asal. Akan tapi jika dengan menikah justru bisa menjadi sebab menerjang perkara haram (seperti tasawwul, menghalalkan bid'ah panti asuhan, syirik dalam perkara mahabbah (cinta), dll) maka hukumnya bisa haram karena merusak agama.

■  Hadits ini jangan dipahami "Para Nabi, Shiddiqin Dan Orang-Orang Sholih Yang Allah Taqdirkan Tidak Menikah Di Dunia Maka Agamanya Tidak Sempurna". Selama manusia bisa menjaga syahwat perut dan kemaluan serta bertaqwa maka insya Allah agamanya bisa sempurna.

■  Orang yang belum/tidak menikah di dunia karena udzur (seperti tidak mampu menikah, tidak menemukan wanita sholihah, sibuk dengan jihad dan semisal) selama tidak karena membenci Sunnah Nabi serta tidak terjerumus ke dalam perkara haram (kabairol itsmi) seperti zina, liwath/homoseks, menggauli binatang..maka tidak tercela. Diantara para nabi, Shiddiqin dan orang sholih ada yang Allah taqdirkan terhalang menikah seperti nabi Isa, nabi Yahya, Maryam Ash Shiddiqah, sebagian kecil para Shahabat Nabi, imam Thobari, imam An Nawawi, syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dll.

■  Iblis, Fir'aun, orang kafir, orang musyrik, ahlul ahwa' dan para syaithon banyak yang menikah atau punya pasangan. Dan itu tidak menunjukkan agama mereka sempurna.

■  Menikah bukan tolok ukur kemuliaan di sisi Allah, akan tapi tolok ukurnya taqwa. Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13). Imam Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (lihat Tafsir Ath Thobari)

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.

Rabu, 21 Juni 2023

Awal Bulan (Hilal), Lailatul Qodr, Idul Fithr, Hari 'Arofah, Dan Idul Adha Itu Yang Benar Hanya 1 Hari (Tidak Berbilang)


Awal Bulan (Hilal), Lailatul Qodr, Idul Fithr, Hari 'Arofah, Dan Idul Adha Itu Yang Benar Hanya 1 Hari (Tidak Berbilang)

     Puasa itu bukan ibadah jama'i sebagaimana dzikir setelah sholat bukan ibadah jama'i. Puasa bisa dikerjakan sendiri-sendiri walau tanpa imam atau tidak bersama penguasa. Yang menjadi tolok ukur adalah hilal telah terlihat. Ini pendapat jumhur dan yang lebih kuat.

     Silahkan dibaca tulisan "Puasa Bukan Ibadah Jama'i (Sebagaimana Dzikir Ba'da Sholat) Berpuasalah Jika Kalian Melihat Hilal Dan Kerjakan Sholat 'Id Berjamaah Bersama Umara'" di https://teguhakhirblora.blogspot.com/2023/03/blog-post.html?m=1
dan https://teguhakhirblora.blogspot.com/2023/04/taati-penguasa-dalam-tujuh-perkara.html?m=1

     Adapun terkait sholat Jum'at dan sholat 'Id maka hendaknya dikerjakan di belakang umaro' untuk menjaga persatuan kaum muslimin di sebuah negeri.

Bagaimana Jika Umara' Tidak Mengadakan Sholat Tepat Pada Waktunya?

     Insya Allah kita bisa mengerjakan sholat sendiri di rumah kemudian ikut sholat jama'ah ma'al umaro' sebahai nafilah untuk menjaga persatuan ummat.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ

Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat naafilah (sunnah).” (HR. Muslim)

     An-Nawawiy rahimahullah berkata :

وَفِيهِ : أَنَّ الْإِمَام إِذَا أَخَّرَهَا عَنْ أَوَّل وَقْتهَا يُسْتَحَبّ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُصَلِّيهَا فِي أَوَّل الْوَقْت مُنْفَرِدًا ، ثُمَّ يُصَلِّيهَا مَعَ الْإِمَام فَيَجْمَع فَضِيلَتَيْ أَوَّل الْوَقْت وَالْجَمَاعَة

“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa apabila imam mengakhirkan shalat dari awal waktunya, disunnahkan bagi makmum untuk mengerjakan shalat di rumah pada awal waktunya sendirian (munfarid), kemudian setelah itu shalat bersama imam sehingga ia mengumpulkan dua keutamaan, yaitu awal waktu dan jama’ah” (lihat Syarh Shahiih Muslim, 5/148).

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين


Ilmu Nafi', Mengamalkan Ilmu, Mendakwahkan Dan Bersabar "Menjadi Umat Terbaik Dengan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar"










Ilmu Nafi', Mengamalkan Ilmu, Mendakwahkan Dan Bersabar
"Menjadi Umat Terbaik Dengan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar"


Muqodimah Al-Ushul Ats-Tsalatsah

     Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَعِ مَسَائِلَ
(الأُولَى) الْعِلْمُ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ، وَمَعْرِفَةُ دِيْنِ الْإِسْلَامِ بِالْأَدِلَّة.
(الثَّانِيَة) الْعَمَلُ بِهِ.
(الثَّالِثَة) الدَّعْوَةُ إِلَيْهِ.
(الرَّابِعَةُ) الصَّبْرُ عَلَى الأَذَى فِيهِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
قال الشافعي رحمه اله تَعَالَى: لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلا هَذِهِ السُّورَةَ لَكَفَتْهُمْ.
وَقَالَ البُخَارِيُّ رحمه الله تعالى (بَابُ) ” العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ}
فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ.

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketahuilah semoga Allah merahmatimu sesungguhnya wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara:
Pertama adalah ilmu, yaitu mengenal Allah , mengenal nabi-Nya dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalinya.
Kedua adalah beramal dengan ilmu tersebut.
Ketiga adalah berdakwah kepada apa yang telah diilmuinya.
Keempat adalah bersabar dalam gangguan yang menimpa tatkala berdakwah di jalan Allah .
Adapun dalilnya adalah firman Allah ,
Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ‘Seandainya Allah tidak menurunkan bagi manusia satu argumentasi pun selain ayat ini, maka sudah cukup bagi mereka’.
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, ‘Bab tentang ilmu sebelum berkata dan beramal’ dan dalilnya adalah firman Allah ,
“Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah yang patut untuk disembah kecuali Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Maka, Allah  memulai dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.”



Ilmu Nafi' (Ilmu Yang Bermanfaat)


     Ilmu mencakup tiga perkara, di antaranya adalah : (1) mengenal Allah (مَعْرِفَةُ اللهِ), (2) mengenal Nabi Muhammad (وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ), (3) mengenal agama Islam (وَمَعْرِفَةُ دِيْنِ الْإِسْلَامِ) dengan dalil (بِالْأَدِلَّة) artinya untuk mengetahui segala ilmu tersebut harus dengan dalil.

     Ilmu adalah ibadah yang sangat agung. Karena seseorang itu tidak bisa taqwa kecuali dengan ilmu.  Terdapat banyak dalil yang menjelaskan tentang agungnya ilmu, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana hal itu dibahas dalam bab keutamaan ilmu. Di dalam surat az-Zumar ayat 9 Allah berfirman :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran." Selanjutnya dalam surat Fathir ayat 28 Allah berfirman :

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا

“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama,”

     Tatkala kita belajar, kita harus sadar bahwasanya menuntut ilmu itu ibadah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah bersabda‘Mencari ilmu kewajiban atas setiap orang Islam.” (HR. Ibnu Majah)

     Untuk mendapar ilmu nafi' bisa dilakukan dengan banyak cara diantaranya dengan berdoa minta kepada Allah, mengamalkan ilmu sehingga Allah akan menambah ilmu ataupun dengan berguru ataupun menempuh jalan mencari ilmu. Rasulullah bersabda :

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

     Termasuk menempuh jalan mencari ilmu ialah menempuh jalan hakiki yaitu berjalan kaki menghadiri majelis para ulama dan menempuh jalan maknawi (abstrak) yang menyebabkan seseorang mendapatkan ilmu seperti mebghafalnya, mempelajarinya, mendiskusikannya, menulisnya, memahaminya dan jalan-jalan abstrak lainnya yang menyebabkan seseorang mendapatkan ilmu. (lihat Jami'ul Ulum Wal Hikam syarh hadits ke-36)



Mengamalkan Ilmu (Amal Sholih)


     Setelah seseorang memiliki ilmu, maka hendaknya dia mengamalkannya. Karena buah dari ilmu adalah amal sholih. Sejatinya ada dua kelompok yang tercela, yaitu :
(1) "orang-orang yang tersesat’"  (الضَّالَّيْن) yaitu orang-orang Nasrani, di mana mereka beramal tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi orang-orang yang tersesat.
(2) "orang-orang yang dimurkai" (الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِم) yaitu orang-orang Yahudi, di mana mereka berilmu tapi tidak beramal, sehingga mereka menjadi golongan yang dimurkai oleh Allah ﷻ.

     Kedua kelompok ini adalah kelompok tercela. Oleh karenanya, barang siapa yang semangat beribadah tanpa ilmu, maka dia tidak jauh berbeda dengan orang-orang Nasrani. Sebaliknya barangsiapa yang memiliki ilmu tapi tidak diamalkan, maka dia seperti orang-orang Yahudi.

     Semoga kita terlindungi dari bahayanya belajar agama namun enggan mengamalkan ilmu tersebut.  Dari Usamah bin Zaid, Nabi bersabda :

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)

     Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :

من تعلم علما لم يعمل به لم يزده إلا كبرا

“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Al Kabair, hal. 75)



Mendakwahkan Ilmu Dengan Amar Ma'ruf Nahi Munkar


     Barang siapa yang telah berilmu dan mengamalkan ilmunya, maka hendaknya dia mendakwahkannya. Karena konsekuensi dari ilmu dan amal adalah mendakwahkan, agar orang lain pun tahu akan indahnya ilmu dan amal yang merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat." (HR. Bukhari no. 3461.)

     Adapun ayat yang memotivasi untuk berdakwah adalah firman Allah :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33).

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚعَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖوَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Berdakwah di atas bashirah dalam ayat ini maksudnya adalah berdakwah dengan ilmu dengan mengetahui: (1) syariat, (2) keadaan orang yang didakwahi, (3) cara untuk mencapai tujuan.

     Mengenai besarnya pahalanya disebutkan dalam hadits :

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

     Luqman al-Hakim memberi nasihat kepada anaknya adalah sebagaimana firman Allah ﷻ :

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17)



Bersabar

     Allah Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS.Ali ‘Imran : 200)

     Sabar ada tiga macam:
(1) Sabar dalam ketaatan kepada Allah dengan dilaksanakan.
(2) Sabar dalam maksiat dengan menjauhi maksiat.
(3) Sabar dalam menghadapi taqdir Allah.

     Ketahuilah bahwa orang yang mendakwahkan ilmu atau memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar termasuk mujahid di jalan Allah. Jika dirinya disakiti atau hartanya dizholimi, hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala di sisi Allah. Sebagaimana hal inilah yang harus dilakukan seorang mujahid pada jiwa dan hartanya. Hendaklah ia melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam rangka ibadah dan taat kepada Allah serta mengharap keselamatan dari siksa Allah, juga ingin menjadikan orang lain baik. Janganlah ia melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk tujuan mencari kedudukan mulia atau kekuasaan. Janganlah ia melakukannya karena bermusuhan atau benci di hatinya pada orang yang diajak amar ma’ruf nahi mungkar ataupun dengan tujuan semisal ini.

     Hendaknya orang yang mendakwahkan ilmunya selalu bersabar.  Keempat perkara (berilmu, mengamalkan ilmu, berdakwah, dan bersabar) terkumpul di dalam surah Al-‘Ashr. Allah ﷻ berfirman :

وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

     Karena dalam dakwah pada umumnya selalu ada tantangan dan gangguan, maka jadikan ayat berikut sebagai renungan :

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 34)
    


Menjadi Umat Terbaik Dengan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Dan Beriman Kepada Allah


     Allah Ta’ala berfirman :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

     Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

يُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ بِأَنَّهُمْ خَيْرُ الْأُمَمِ فَقَالَ: ﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ﴾ .
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَيْسَرة، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: ﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ﴾ قَالَ: خَيْرَ النَّاسِ لِلنَّاسِ، تَأْتُونَ(١) بِهِمْ فِي السَّلَاسِلِ فِي أَعْنَاقِهِمْ حَتَّى يَدْخُلُوا فِي الْإِسْلَامِ(٢) .
وَهَكَذَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، ومُجاهد، وعِكْرِمة، وعَطاء، وَالرَّبِيعُ بْنُ أَنَسٍ، وَعَطِيَّةُ العَوْفيّ: ﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ﴾ يَعْنِي: خَيْرَ النَّاسِ لِلنَّاسِ.
وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ خَيْرُ الْأُمَمِ وَأَنْفَعُ النَّاسِ لِلنَّاسِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: ﴿تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ(٣) بِاللَّهِ﴾
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ سِماك، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَيرة عن زوج [ذُرّةَ](٤) بِنْتِ أَبِي لَهَب، [عَنْ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ](٥) قَالَتْ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ فَقَالَ: "خَيْرُ النَّاسِ أقْرَؤهُمْ وَأَتْقَاهُمْ للهِ، وآمَرُهُمْ بِالمعروفِ، وأنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ"(٦) .

     "Allah memberitahukan kepada umat Nabi Muhammad bahwa mereka adalah sebaik-baik umat. Untuk itu Allah berfirman : {كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ}"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS. Ali Imran: 110)
     Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Sufyan ibnu Maisarah, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS. Ali Imran: 110) Abu Hurairah mengatakan, makna yang dimaksud ialah sebaik-baik manusia untuk umat manusia, kalian datang membawa mereka dalam keadaan terbelenggu pada lehernya dengan rantai, selanjutnya mereka masuk Islam.
     Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Atiyyah Al-Aufi, Ikrimah, Ata, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS. Ali Imran: 110), Yakni umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.
     Dengan kata lain, mereka adalah sebaik-baik umat dan manusia yang paling bermanfaat buat umat manusia. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

{تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ}

"menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ سِماك، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَيرة عن زوج [ذُرّةَ] بِنْتِ أَبِي لَهَب، [عَنْ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ] قَالَتْ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ فَقَالَ: "خَيْرُ النَّاسِ أقْرَؤهُمْ وَأَتْقَاهُمْ للهِ، وآمَرُهُمْ بِالمعروفِ، وأنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ"

     Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Sammak, dari Abdullah ibnu Umairah, dari Durrah binti Abu Lahab yang menceritakan: Seorang lelaki berdiri menunjukkan dirinya kepada Nabi yang saat itu berada di atas mimbar, lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?" Nabi menjawab, "Manusia yang terbaik ialah yang paling pandai membaca Al-Qur'an dan paling bertakwa di antara mereka kepada Allah, serta paling gencar dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar terhadap mereka, dan paling gemar di antara mereka dalam bersilaturahmi."
(lihat Tafsir Ibnu Katsir)

     Sebaliknya apabila amar makruf nahi munkar ditinggalkan bisa menjadi sebab mendapat laknat Allah. Allah berfirman :

لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ 

"Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka (bermaksiat) dan selalu melampauhi batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (QS. Al-Maidah : 78-79)

     Rasulullah ﷺ bersabda :

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقًا ، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا . فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا

“Perumpamaan orang yang menjaga larangan-larangan Allah dan orang yang terjatuh di dalamnya adalah seperti suatu kaum yang sedang mengundi untuk mendapatkan tempat mereka masing-masing di dalam kapal. Sebagian mendapat tempat di bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat di bagian bawah.  Orang-orang yang berada di bawah jika ingin mendapatkan air minum mereka melewati orang-orang yang ada di atas. Mereka (yang ada di bawah) berkata: “Andaikata kita melubangi perahu ini untuk mendapatkan air minum, maka kita tidak akan mengganggu mereka yang ada di atas”. Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan perbuatan dan keinginan orang-orang yang ada di bawah (yaitu melubangi kapal), maka mereka semua akan tenggelam." (HR Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)

   



"Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah

  "Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah" Itu Bukan Sebuah Jam'iyyah ataupun Hizbiyyah Hukumi Manusia Dengan Hujjah Dan Burhan Sesuai Z...